Aturan Main Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan. 1. Stuktur Organisasi

pembibitan dan pengembangan teknologi kehutanan. Seksi ini memiliki peranan penting mengingat bahwa sering terjadinya kelangkaan bibit kayu-kayuan dan MPTS, sehingga petani kesulitan dalam memperoleh bibit-bibit tanaman untuk keperluan program pembangunan HKm. Demikian juga bila terdapat kegiatan atau program pemerintah yang membutuhkan bibit dari masyarakat. Kelangkaan bibit dapat menyebabkan keterlambatan penanaman yang selanjutnya beresiko terhadap keberhasilan tumbuh dan kegagalan program pembangunan perhutanan sosial. Seksi pembibitan ini harus dipisahkan dengan seksi penanaman. Seksi pembibitan lebih pada penyediaan bibit dan pengembangan teknologi kehutanan, sedangkan seksi penanaman lebih fokus pada pengerahan tenaga kerja upahan petani untuk melakukan pekerjaan penanaman tanaman kayu dan MPTS pada areal HKm. Dengan struktur organisasi yang ada tersebut, masih memiliki kelemahan yaitu pergerakan informasi yang lamban dan perangkat organisasi yang ada belum dapat menjalankan fungsinya. Lambannya pergerakan informasi dikarenakan oleh terlalu besarnya perangkat organisasi dan besarnya anggota HKm yang ada dan lemahnya organisasi dalam penghimpunan dana sehingga tidak ada insentif bagi pengurus yang berakibat pada tidak berjalannya organisasi yang ada. Kelemamahan dalam penataan struktur organisasi tersebut memberikan dampak terhadap tidak berfungsinya perangkat organisasi dan informasi menjadi tidak jalan. Meskipun organisasi yang ada tersebut ramping, namun dengan besarnya jumlah kelompok dan anggota yang ada dapat menyebabkan kemandekan informasi, lebih-lebih pada organisasi dengan ketidakatifan pengurus sebagai akibat dari rendahnya insentif bagi pengurus sebagai penggerak organisasi. Keadaan ini akan menjadi faktor penghambat dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan.

6.3.2.2. Aturan Main

Dalam penelitian ini didefinisikan bahwa Awik-awik secara normatif merupakan aturan berisikan kebolehan, larangan dan sanksi yang disepakati bersama antara anggota kelompok masyarakat dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Sifat dari awik-awik ini adalah dibentuk dan bukan diturunkan atau bukan berasal dari pengetahuan lokal yang ada dalam masyarakat. Awik- awik yang dibangun oleh kelompok HKm semata-mata hanya untuk mengatur pengelolaan HKm sehingga hutan dapat menjadi lestari. Aturan main atau awik-awik yang berkembang pada pembangunan perhutanan sosial di Pulau Lombok telah disepakati terutama berkaitan dengan kawasan Hutan Kemasyarakatan adalah berupa pemerintah, kebolehan dan larangan. Awik-awik yang berisi perintah seperti pengaturan komposisi tanaman, sedangkan yang berisi kebolehan adalah pengaturan jarak tanam dan mengisi lahan diantara tanaman kayu dan MPTS dengan tanaman pangan dan pemanfaatanpemungutan hasil hutan non kayu termasuk pemanfaatan jasa lingkungan. Sementara itu, awik-awik yang berkaitan dengan larangan adalah dalam hal pengelihan hak terhadap lahan dan penebangan liar. Hasil diskusi dengan ketua Forum HKm dan ketua Gapoktan HKm memberikan uraian bahwa awik-awik yang berisikan perintah dan kebolehan terutama yang berkaitan dengan pengaturan komposisi tanaman dan biaya serta benefit mengarah pada perubahan yang lebih menguntungkan anggota HKm. Namun sebaliknya memberikan dampak pada penurunan kualitas ekologi kawasan. Perubahan awik-awik tersebut mengarah pada penambahan komposisi tanaman MPTS dan pangan, namun mengurangi komposisi tanaman konservasi. Awik-awik ini dalam realitanya belum berfungsi atau tidak dapat diimplementasikan. Hal ini ditunjukan oleh masih terjadinya penyerobotan lahan dan kelembagaan HKm tidak dapat memberikan sanksi atas prilaku oknum dan masyarakat. Kelembagaan HKm malah menyerahkan sepenuhnya penegakan hukum terhadap awik-awik pada pihak pemerintah dan belum memberikan sanksi bersama. Kemudian awik-awik yang berupa sanksi merupakan tindakan yang dapat dilakukan atas dasar pelanggaran terhadap awik-awik yang bersifat larangan. Meskipun telah tersusun awik-awik untuk mengatur pemanfaatan kawasan hutan di Pulau Lombok, namun awik-awik tersebut belum dapat diterapkan. Kelembagaan HKm belum memiliki kekuatan dan keberanian dalam implementasi awaik-awik tersebut. Masyarakat khawatir terjadinya konflik horizontal akan terjadi, bila awik-awik yang berupa sanksi diimplentasikan. Hal ini disebabkan karena yang melakukan pelanggaran tersebut adalah masyarakat pada lingkungannya sendiri, sehingga bila diterapkan sanksi terhadap pelanggar kesepakatan tersebut akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan antar mereka sebagai anggota HKm atau perhutanan sosial. Oleh karena itu, fungsi kelembagaan dalam hal ini hanya sebagai informan apabila terjadi pelanggaran aturan oleh masyarakat. Informasi ini dilanjutkan kepada pihak instansi pemerintah dan keputusan sanksi sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemerintah penegak hukum. Langkah ini ternyata masih memiliki kelemahan, karena pihak pemerintah juga belum mampu untuk untuk memberikan sanksi terhadap pelanggar awik- awik yang ada. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara mendalam bahwa selama ini pelaku-pelaku yang melakukan pelanggaran awik-awik tidak pernah disentuh oleh hukum, meskipun informasi pelanggarn telah disampaikan kepada pihak desa dan pihak Dinas Kehutanan. Dari kelembagaan HKm yang ada ternyata hanya kelembagaan HKm Sesaot yang memiliki mekanisme dalam penegakan awik-awik. Adapun mekanisme penegakan awik-awik tersebut sebagai berikut: 1 Teguran lisan sampai 2 kali, dengan rentang antar waktu teguran maksimal 1 bulan 2 3 Jika teguran tertulis juga tidak diindahkan maka paling lama satu bulan setelah teguran lisan, pelanggar awiq-awiq ini harus dihadirkan dalam sidang awiq-awiq yang dihadiri oleh Pihak Dinas Kehutanan, Pemerintah Desa, Ketua-Ketua kelompok, Pemangku Awiq-Awiq serta Lang-Lang. Jika teguran lisan tidak diindahkan maka dalam waktu paling lama 1 bulan setelah teguran kedua akan diberikan teguran tertulis. 4. Jika pelanggar adalah penggarap, maka sidang dapat memutuskan sanksi, dengan sanksi maksimal berupa pencabutan hak atas lahan garapan Meskipun awik-awik kelompok sudah terbangun, namun lemah dalam penegakannya, sehingga masih terjadi pelanggaran terhadap keharusan dan larangan yang sudah terbangun. Mengingat bahwa awik-awik yang terbangun bersumber dari kesepakatan bukan dari penurunan pengetahuan lokal yang ada dan dibenturkan dengan masyarakat pengelola HKm yang memiliki kohesifitas yang lemah, maka masyarakat memiliki potensi untuk melanggar awik-awik Kotak 9. Perubahan Awik-awik Melalui Pengaturan Benefit dan Komposisi Tanaman 1. Komposisi Tanaman. Komposisi tanaman yang diinginkan oleh masyarakat adalah 70 tanaman kayu hutan dan 30 tanaman MPTS bila areal HKm berada pada kawasan hutan produksi, sedangkan sebaliknya 30 tanaman kayu hutan dan 70 tanaman MPTS pada kawasan hutan lindung. Kemudian komposisi tanaman tumpang sari ditentukan oleh petani pesanggem sesuai dengan kondisi kebutuhan masyarakat dan wilayah setempat. 2. Pembagian Biaya dan Benefit a. Biaya untuk bibit, baik tanaman kayu hutan dan tanaman MPTS disediakan oleh pihak pemerintah, sedangkan tanaman tumpangsari disediakan oleh petani pesanggem. b. Biaya untuk penanaman tanaman kayu hutan dan MPTS pada areal HKm dan Hutan Rakyat HR disediakan oleh pihak pemerintah. Petani bekerja sebagai tenaga upahan yang memperoleh upah atas tenaga kerja yang dikorbankan. Sementara itu, untuk penanaman tanaman tumpang sari, seluruh biayanya ditanggung oleh petani. c. Biaya pemeliharaan, baik tanaman kayu hutan, tanaman MPTS dan tanaman tumpangsari ditanggung oleh petani. d. Benefit dari tanaman kayu dan MPTS pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung serta hutan rakyat belum diatur. Namun dari realitanya hasil tanaman MPTS dan tumpangsari sepenuhnya merupakan hak dari petani pesanggem. 3. Awik-awik yang berkaitan dengan larangan adalah a. Penebangan liar b. Pelantaran lahan, c. Penggantirugian lahan HKm, d. Pegalihfungsian lahan hutan, e. Penyerobotan hutan, f. Pembakaran hutan dan g. Pencurian hasil hutan non kayu di lahan HKm. Sumber. Diskusi dengan ketua FKHKm dan ketua Gapoktan dan dokumen kelompok HKm di Pulau Lombok tersebut. Oleh karena itu sangat diperlukan ketegasan dan keberanian kelembagaan untuk menjalankan awik-awik tersebut secara tegas, terutama yang berkaitan dengan implementasi sanksi yang ada. Bila tidak tegas dalam menjalankan awik-awik tersebut, maka yang terjadi adalah pelanggaran berulang terhadap aturan main yang ada, sehingga tidak tercapai tujuan bersama kelompok. Sangat berbeda keadaannya bila awik-awik bersumber dari pengetahuan lokal yang ada dan bersifat diturunkan. Awik-awik yang berasal dari pengetahuan lokal umumnya memiliki nilai yang dipegang dan dipatuhi bersama. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran terhadap awik-awik tersebut, maka secara sosial pelaku pelangaran awik-awik tersebut dihukum langsung oleh masyarakat. Dengan demikian, dalam hal penegakan awik-awik tidak terjadi perbuatan saling tuding-menuding antar individu dalam masyarakat pesanggem. Dengan adanya sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat, seperti dikeluarkannya pelaku pelanggaran dari tempat domisilinya. Dari hasil wawancara mendalam ditemukan pengetahuan lokal yang dapat dimasukkan sebagai dasar penyusunan awik-awik. Pengetahuan lokal tersebut adalah Besiru yang merupakan pengetahuan lokal yaitu kelompok arisan kerja dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat untuk menyatukan kelompok masyarakat menjadi kelompok besar. Besiru memiliki fungsi sebagai sarana untuk investasi sosial, pengerahan tenaga kerja, transfer pengeolahan teknis pengolahan lahan dan pemecahan masalah secara bersama. Selain besiru terdapat pula pengetahuan lokal berkaitan dengan aturan main yang diimplementasikan pada sumberdaya hutan. Pengetahuan lokal tersebut berfungsi untuk melindungi kawasan hutan, namun belum dimanfatkan dalam implementasi aturan main dalam kelompok HKm. Pengetahuan lokal tersebut awalnya berkembang di Desa Santong Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat berupa Sawen yaitu kelembagaan yang mengatur pengelolaan hutan, pertanian dan laut Satria 2006. Pengelolaan sumberdaya hutan diketuai oleh seorang yang disebut dengan Mangku Alas dengan fungsi mengatur waktu observasi menjango, membatasi areal membangar dan membuka areal hutan membuka. Melihat kondisi tersebut dan untuk dapat mencapai pembangunan HKm menuju hutan lestari sangat diperlukan penegakan terhadap awik-awik yang telah terbangun. Namun bila memungkinkan diperlukan revitalisasi terhadap pengetahuan lokal yang ada dan dimasukkan sebagai awik-awik, mengingat bahwa pengetahuan lokal masih mengandung nilai-nilai yang dipatuhi secara bersama diantara anggota masyarakat.

6.4. Pola Pengelolaan dalam Kawasan Hutan Kemasyarakatan