konflik antara Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan pesanggem HKm pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot.
Konflik kepentingan antar stakeholder juga terjadi sebagai akibat dari beragamnya kebutuhan dan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam
memanfaatkan kawasan hutan. Pihak-pihak tersebut bersaing dalam pemanfaatan hutan dengan dalih adanya kebutuhan dan kepentingan melindungi kawasan hutan
agar tetap lestari. Antara kebutuhan dan kepentingan pada setiap stakeholder memiliki jarak gap yang cukup lebar yang memberikan ancaman terhadap
kondisi sumberdaya hutan. Kebutuhan dapat berupa pengambilan manfaat ekonomi dari dalam kawasan, sedangkan kepentingan berupa perlindungan
terhadap hawasan hutan.
5.3.1. Konflik Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok
Kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan memiliki dinamika subtansi dan juga kepentingan para pihak, baik pada tatanan
pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah pada tingkatan nasional telah memberikan ruang bagi masyarakat terlibat dalam pemanfaatan kawasan hutan.
Kebijakan pemerintah pusat yang memuat tentang pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan hutan terdapat dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dan
beberapa surat keputusan menteri dan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan.
Kebijakan pemerintah pusat tersebut mendapat respon yang berbeda dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Kebijakan otonomi daerah yaitu UU No. 22
tahun 1999 direvisi melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan atau kewenangan yang lebih kepada
pemerintahan kabupaten dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sebagai contoh yaitu dalam pemberian ijin IUPHKm cukup ditetapkan oleh SK Bupati dan
Pencadangan Areal HKm melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kuatnya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumberdaya hutan khususnya pengelolaan HKm, memberikan spirit terhadap terbitnya beberapa kebijakan HKm dan menjadi dasar implementasi
pembangunan HKm pada tingkat kabupaten. Kebijakan tersebut adalah Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan, Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 25 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat dan SK Kakanwil
Dephutbun Provinsi NTB Nomor 06KptsKwl-42000 tentang pemberian ijin sementara kepada Kepontren Darus Shiddiqien untuk pemanfaatan hutan seluas
1.042 hektar yang tersebar pada 10 lokasi wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan Kecamatan Batukliang Kabupaten Lombok Tengah.Markum 2006.
Terbitnya Perda tentang HKm pada beberapa kabupaten memberikan makna bahwa Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan bukan sebagai acuan penyelanggaraan HKm di Pulau Lombok atau di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Karena pada saat
perda tingkat provinsi tersebut disyahkan, beberapa kabupaten telah memiliki perda sendiri. Meskipun Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 terkesan
terlambat dalam implementasinya dan memiliki eksistensi yang lemah. Namun bila dikaji bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya memiliki
kepentingan dan spirit tertentu Menurut Zainal di dalam Markum 2006 mengungkapkan bahwa kepentingan dan spirit dari perda tersebut adalah ingin
mengangkat berbagai bentuk praktik-praktik pengelolaan hutan, baik oleh masyarakat dan pihak pemerintah serta berbagai pihak lainnya dengan tetap
konsisten pada istilah Hutan Kemasyarakatan. Selain itu, perda tersebut juga mencoba membawa pesan pentingnya wacana jasa lingkungan diangkat sebagai
bagian pengelolaan hutan secara integral. Melalui perda tersebut, maka diharapkan dapat memberikan arahan kepada semua kabupaten ketika menyusun
kebijakan HKm sehingga memiliki referensi dan koridor yang jelas dan tidak menabrak peraturan lainnya. Pendapat yang bertentanganpun muncul dari Sabani
dan Taqiudin dari LSM Konsepsi Mataram dalam Markum 2006 menyatakan bahwa perda tersebut belum memadai untuk dijadikan spirit perubahan paradigma
pengelolaan hutan pada tingkat kabupaten. Namun perda tersebut lebih mirip sebagai petunjuk pelaksanaan teknis PP Nomor 34 Tahun 2002.
Perda NTB Nomor 6 Tahun 2004 tetap diberlakukan, walaupun tidak dijadikan sebagai acuan oleh pemerintah kabupaten dalam penyusunan perda yang
berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatan. Dibalik kebijakan yang terkesan memaksakan tersebut, sesungguhnya terdapat kepentingan lain bila berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan memiliki potensi sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah PAD karena berkaitan dengan kayu
log dan jasa lingkungan yang mampu menghasilkan pendapatan baru bagi pemerintah daerah.
Pada kondisi lebih dominannya peran pemerintah kabupaten dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan, namun peran dan keterlibatan pemerintah
pusat masih ada melalui institusi BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai sebagai perpanjangan tangan Dirjen RLPS Dirjen Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. Peran tersebut terimplimentasi pada perencanaan pengelolaan kawasan dan monitoring dan evaluasi program pembangunan HKm. Dengan
demikian kedua instansi yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten dan BPDAS memiliki peran yang lebih dominan daripada Dinas Kehutanan Provinsi dalam
pembangunan Hutan Kemasyarakatan Implikasinya adalah peranan BPDAS dan Dinas Kehutanan Kabupaten
menjadi lebih dominan bila dibandingkan dengan Dinas Kehutanan Provinsi
Kotak 4. Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 Tidak Menjadi Acuan Implementasi HKm di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Perda Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki kepentingan
politik, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal yang berada dibalik pengusungan agenda kebijakan pedoman penyelenggaraan hutan
kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Secara politik Perda NTB No 6 Tahun 2004 adalah legal dan terkesan
melibatkan semua pihak baik pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, lembaga masyarakat, tokoh masyarakat dan masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan sehingga terciptanya hutan yang lestari. Namun perda tersebut terkesan lamban dan tidak dijadikan sebagai pedoman implementasi
pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Adanya kewenangan yang lebih sejak otonomi daerah mendorong pemerintah kabupaten lebih dahulu merespon
kebijakan pemerintah pusat dan menerbitkan perda tersendiri sebagai pedoman penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
Sumber. Disarikan dari Kusuma 2007 dan Markum 2006.
khususnya dalam pembangunan HKm. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan dampak terhadap pelemahan kewenangan
pemerintah provinsi Dinas Kehutanan Provinsi dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya HKm. Perda Provinsi NTB No. 6 Tahun 2004 Tentang
Pedoman Penyelengaraan Hutan Kemasyarakatan hanya menjadi pajangan belaka. Konflik kebijakan lainnya di Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2000
dan berdampak pada terjadinya konflik vertikal pemerintah dan masyarakat dan konflik horizontal antara masyarakat telah diungkapkan oleh Rosdiana et al.
2003. Sumber konflik adalah pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB Nomor 522.21546Dishut
Prod Tanggal 15 Agustus 2000 yang bermaksud ingin memanfaatkan kayu bekas pencurian untuk peningkatan PAD. Namun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat
dengan kewenangan teritorial yang dimiliki melalui Surat Nomor 18004Kum2000 tanggal 9 Oktober 2000 meminta Dinas Kehutanan Provinsi
untuk menghentikan kegiatan eksploitasi di Hutan Lindung Sesaot. Kebijakan Gubernur tersebut bertentangan dengan PP 62 Ttahun 1998 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. PP ini antara lain melimpahkan pekerjaan dan tata batas hutan serta rehabilitasi hutan
kepada pemerintah kabupaten. Konflik teredam setelah kebijakan Gubernur tersebut dicabut dan kegiatan eksploitasi terhadap Hutan Lindung Sesaot terhenti.
Konflik kebijakan terjadi kembali di Kawasan Hutan Lindung Sesaot yang sekaligus merupakan kawasan HKm. Sumber konflik adalah kebijakan pemerintah
pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan yang tumpang tindih. Fase awal konflik ditandai dengan munculnya sikap dan pernyataan
masyarakat pengelola HKm atas penolakan kebijakan pemerintah tersebut. Masyarakat menilai bahwa kebijakan Taman Hutan Raya pada Kawasan Hutan
Lindung Sesaot tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah tentang pencadangan areal HKm seluas 185 hektar pada kawasan yang sama.
Luas Kawasan Tahura Nuraksa adalah 3.155 hektar, sementara itu luas HKm pada lokasi yang sama adalah 185 hektar dan belum termasuk luasan hutan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang menamakan dirinya HKm non program perambah menurut versi Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Melihat kondisi
tersebut ada peluang dan potensi bahwa masyarakat HKm yang memiliki lahan terutama pada zona inti Tahura akan dikeluarkan. Dengan kata lain bahwa
masyarakat kehilangan hak pengelolaan 35 tahun dan tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pengelolaan kawasan HKm.
Memang dalam realitanya kedua kebijakan menteri tersebut memiliki kondisi tumpang tindih. Karena pada areal yang sama diberlakukan dua hal yang
bertentangan dalam implementasinya yaitu kawasan hutan lindung Sesaot dibagi menjadi kawasan hutan konservasi Tahura seluas 3.155 hektar dimana tidak
diperkenankan pengelolaannya dengan pola HKm. Tahura ditetapkan melalui SK Menhutbun No. 244Kpts-II1999 tanggal 27 April 1999 dengan luasan 3.155
hektar pada kawasan hutan lindung Sesaot Sementara itu, sepuluh tahun kemudian diterbitkan ijin pencadangan areal HKm melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 445Menhut-II2009 dengan luasan 185 hektar. Meskipun ijin pencadangan areal HKm terbit belakangan, namun implementasinya sudah
dimulai sejak tahun 1995 yang dimulai dengan HKm uji coba 25 hektar di Kawasan Hutan Lindung Sesaot dan mendapat ijin sementara dari Bupati
Kabupaten Lombok Barat. Oleh karena itu, maka Taman Hutan Raya Sesaot menjadi ancaman
terhadap kepastian hak masyarakat HKm. Acaman tersebut dikarenakan oleh
Kotak 5. Masyarakat Dalam Kebimbangan dan Penuh Harapan Terhadap Kawasan HKm.
Ahmad Muladi ketua Forum HKm Sesaot dan Marwi mantan kepala desa Aikberik, mengungkapkan bahwa masyarakat pengelola HKm menjadi
bingung bahwa pada kawasan hutan lindung yang sama diberlakukan dua kebijakan dan memiliki manajemen yang berbeda. Pengalaman terdahulu
mengingatkan kami bahwa dengan Pembangunan Taman Nasional Gunung Rinjani TNGR masyarakat yang telah masuk dalam kawasan TNGR
dikeluarkan dari kawasan. Demikian juga dengan TAHURA nantinya, bahwa masyarakat yang mengelola hutan dalam bentuk HKm dan berada dalam
kawasan TAHURA tentunya akan dikeluarkan juga, karena menurut kami bahwa manajemen TAHURA tidak berbeda jauh dengan TNGR. Kemudian
kedepannya Mau dibawa kemana kami-kami ini dan haruskah kami kehilangan kawasan hutan yang telah kami usahakan dengan berbagai jenis
tanaman pangan dan MPTS. Apakah tanaman kami akan diganti rugi dan kami mendapat kawasan lainnya sebagai pengganti. Atau adakah menajemen baru
TAHURA yang berpihak pada masyarakat. Sumber. Diskusi dengan Ketua Forum HKm Sesaot dan Ketua Gapoktan
terbedaan pola pengelolaan pada kedua kawasan hutan konservasi TAHURA dan hutan lindung HKm. Perbedaan pengelolaan pada kedua jenis kawasan
tersebut disajikan pada tabel berikut. Tabel 20. Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Taman
Hutan Raya
Dengan adanya perbedaan pola pengelolaan antara HKm dan Tahura membangun konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat yang telah
eksis dalam Kawasan HKm dan berada dalam Kawasan Tahura tentunya harus keluar, karena hanya masyarakat tradisional yang diberikan kewenangan
pengelolaan dalam Taman Hutan Raya. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini akan berkelanjutan bila
kedua keputusan menteri kehutanan tersebut tetap dipertahankan karena masyarakat tetap bertahan demi keberlangsungan kehidupannya dan masyarakat
berpandangan bahwa pengelolaan HKm adalah legal karena memiliki kekuatan hukum yang diperoleh melalui SK. Menteri dan SK Bupati.
Dengan demikian, maka akar permasalahannya adalah terdapat dua kebijakan menteri kehutanan dalam kawasan yang sama dengan pola pengelolaan
yang berbeda. Tahura merupakan kawasan hutan konservasi, sedangkan HKm berada pada kawasan hutan lindung. Pada hutan konservasi tidak diperkenankan
pola pengelolaan seperti pola Hutan Kemasyarakatan Hkm yang berkembang sekarang ini. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat, sehingga
memiliki persepsi buruk terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan TAHURA.
Masyarakat menyadari permasalahan tersebut, sehingga bila TAHURA diimplementasikan pada Kawasan Hutan Sesaot, maka berimplikasi terhadap
No Komponen
Hutan Kemasyarakatan Taman Hutan Raya Tahura
1. Kewenangan Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Pemerintah Provinsi
2. Pengelola Masyarakat
Pemerintah dan masyarakat tradisional
3. Teknologi Pengelolaan Agroforestri Pengelolaan tradisional
4. Waktu Pengelolaan Diatur pemerintah 35 tahun
Tidak ditentukan 5. Lokasi
Hutan Lindung Hutan Konservasi
6. Wilayah Kelola Pencadangan Areal
Zona Pemanfaatan 7. Akses Masyarakat
Terbatas sesuai dengan luas Pencadangan Areal
Sangat terbatas sesuai dengan luas Zona Pemanfaatan
8. Kontrol Kawasan Pemerintah dan masyarakat
Pemerintah
keberadaan pesanggem yang cukup lama dalam kawasan hutan secara fakta sejak tahun 1995 sejak dimulainya perconcohan areal HKm dan bertambah seluas 211
hektar. Masuknya masyarakat lainnya dalam kawasan hutan perambahHKm Non Program semakin memperluas kawasan hutan lindung yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitarnya yang tidak masuk dalam kelompok HKm Program. Dari hasil estimasi, pemanfaatan kawasan hutan lindung Sesaot oleh kelompok HKm
Non Program dengan jumlah 6000 orang, namun pemerintah melalui keputusan menteri kehutanan tentang pencadangan areal hanya mengijinkan luasan 185
hektar Kronologis HKm dan Tahura dalam kotak 6.
Kotak 6. Kronologis Tahura Nuraksa Sesaot Kabupaten Lombok Barat
1. Kawasan Hutan Sesaot semula merupakan Kawasan Hutan TutupanHutan Negara berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Nomor: 1-Sub I Tanggal 9 September 1929. Selanjutnya, pada Tahun 1982, sejalan dengan program pembagian air dari kabupaten
Lombok Barat ke Lombok bagian selatan, maka fungsi hutan Sesaot diubah menjadi Hutan Lindung, dengan maksud agar kawasan hutan
sesaot mampu mempertahankan sumber mata air yang tersedia, sesuai dengan SK. Menteri Pertanian No.756Kpts 101982 tanggal 12 Oktober
1982 tentang TGHK Provinsi NTB.
2. Untuk meningkatkan nilai manfaat HL bagi masyarakat, maka mulai tahun 1986, dikembangkan pola-pola pembangunan kehutanan yang
memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola dan menerima manfaat ekonomi langsung dari kawasan hutan melalui berbagai program
seperti Pembangunan Hutan Penyangga Kopi, Hutan Serbaguna dengan mengembangkan jenis buah-buahan, dan beberapa model agroforestry
lainnya.
3. Pada 1995, dengan difasilitasi oleh LP3ES, dilakukan Uji Coba Pengembangan HKm seluas 25 Ha HKm Program di sebagian Kawasan
Sesaot. Berdasarkan hasil evaluasi, kegiatan tersebut dinyatakan berhasil menghutankan kembali hutan Sesaot dan meningkatkan ekonomi
masyarakat sekitar hutan sehingga kemudian diperluas menjadi 236 Ha.
4. Pembangunan HKm Program tersebut telah menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan bagi sebagian masyarakat yang belum tergabung dalam
HKm Program. Ditambah lagi dengan situasi politik nasional, euforia reformasi yang berlebihan dan berbagai permasalahan sosial ekonomi
lainnya, memberikan tekanan dan gangguan yang cukup berat bagi Kawasan Hutan Sesaot.
5. Untuk mengantisipasi meluasnya tekanan dan memberikan keadilan bagi sebagian masyarakat tersebut, ditempuh kebijakan untuk mengembangkan
Hkm Non Program. Sampai dengan akhir tahun 2010, keseluruhan areal mencapai ± 6.000 orang, dimana dari luasan tersebut sudah dicadangkan
oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HKm seluas 185 Ha melalui SK.Nomor : 445Menhut-II2009 tanggal 4 Agustus 2009
6. Pada 1990-an, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan bahwa setiap Provinsi diharapkan dapat mengembangkan minimal satu TAHURA pada
setiap provinsi. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi, yang difasilitasi oleh BAPEDALDA Provinsi NTB, mengusulkan
beberapa calon lokasi dan yang terpilih adalah Kawasan Sesaot, karena memenuhi kriteria sebagai TAHURA. Pada tanggal 27 April 1999,
Menhutbun menetapkan Kawasan Sesaot sebagai TAHURA
”NURAKSA” SESAOT
melalui Keputusan Menhutbun No. 244kpts- II1999 seluas 3.155 Ha.
Sumber. Wawancara Dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kotak 6. Lanjutan
7. Pada 1999, Terbit SK.Menhutbun Nomor.418kpts-II1999, tgl 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan NTB, yang
menunjuk kembali kawasan Sesaot sebagai Kawasan Hutan Lindung. Terbitnya SK.Menhutbun tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan tenurial dan ketidakpastian kawasan 41 MASALAH karena banyak kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di
lapangan, termasuk Kawasan TAHURA yang sudah ditetapkan sebelumnya serta hilangnya kawasan hutan KH.Gunung Sasak.
8. Berdasarkan SK.Menhut Nomor.598MENHUT-II2009 tanggal 2 oktober 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi
Perairan di Provinsi NTB, yang merupakan review terhadap SK.Nomor.418KPTS-II1999, menetapkan kembali Kawasan Hutan
Sesaot sebagai Kawasan Konservasi dalam bentuk TAHURA. Persoalan muncul bahwa dengan ditetapkannya kembali sesaot sebagai
TAHURA, terjadi kesalahpahaman pada masyarakat yang menganggap bahwa akses yang sudah berlangsung akan diputus dan masyarakat
yang telah beraktivitas dalam kawasan hutan akan dikeluarkan dan tidak dapat diberikan lagi pencadangan areal sebagai HKm.
9. Berdasarkan Permenhut Nomor:P.37Menhut-II2007 tentang HKm bahwa kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm
adalah Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi. Berdasarkan Pasal 92 PP. Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta Pemanfaatan Hutan menyatakan bahwa Hkm dalam Kawasan Konservasi akan diatur
dengan PP tersendiri. Namun, sampai saat ini PP.tentang HKm dalam Kawasan Konservasi belum ada.
10. Untuk menyamakan persepsi tentang hal-hal tersebut di atas, maka telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pada tanggal 21 agustus 2010, diadakan pertemuan diruang pertemuan Dishut Provinsi NTB, yang difalitasi oleh SCBFWM
NTB, yaitu ada 5 lima hal penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai pengelolaan TAHURA berbaris masyarakat, yaitu:
• Mendorong percepatan proses tata batas tahura secara partisipatif; • Mendesain Tahura model yang mencakup aspek : pengelolaan
Jasling
dan
HHBK; • Proses pembelajaran HHBK di kawasan sesaot tetap diakomodasi
dalam pengelolaa Tahura model, dan • Diperlukan payung hukum bagi Tahura model.
surat Kepala BPDAS ke Dirjen RLPS Nomor.S.392BPDAS XXIV- 32010 tgl 27-9-2010
Sumber. Wawancara dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kotak 6. Lanjutan
b. Pada tanggal 26 agustus 2010 diadakan Workshop tentang Rencana Pengelolaan TAHURA Model, yang dihadiri oleh instansi terkait,
LSM, dan masyarakat Sesaot, dengan pembicara: 3 tiga narasumber dari Kementerian Kehutanan dan Kadishut NTB. Hasil
workshop tersebut antara lain bahwa pengelolaan TAHURA akan dikembangkan dalam 3 opsi Model Pengelolaan Tahura:
1. Ada Tahura tapi masyarakat masih mempunyai akses terhadap kelola Tahura tidak ada ijin hkm, namun akan disusun payung
hukum untuk Tahura model. 2. Ada Tahura berdamping dengan hkm
3. Ada icon yang menjadi kesatuan di wilayah hkm sebagai obyek Tahura camping ground, goa, air terjun, tempat rekreasi.
c. Pada tanggal 4 September 2010, diruang pertemuan LSM Mitra Samiya. Hasilnya adalah:
1. Kelompok masyarakat menolak Tahurainisiatif lain Tahura model diterapkan dilahan kelompok masyarakat pokoknya-
pokoknya. 2. Disusun Tim kecil terdiri Dishut NTB, Dishut Lobar dan
Loteng,Unram, LSM Konsepsi, dan SCBFWM NTB. 3. Tugas Tim kecil merumuskan berdasarkan 3 pilihan solus 10b:
• Kewenangan berbagai pihak Dishut Provinsi dan Kabupaten • Peran masyarakat dan para pihak
• Hak dan kewajiban para pihak • Pola pemanfaatannya
• Zonasi kawasan • Bentuk payung hukum.
d. Pada tanggal 13 Nopember 2010, Pertemuan di Kantor DPRD Lombok Barat, yang dihadiri oleh DPRD Lobar, Dishut Prov.NTB,
Dishut Kab.Lobar, LSM Konsepsi, Forum Kawasan, dan masyarakat Sesaot. Salah satu hasilnya adalah perlu dilakukan pertemuan
kelembagaan dalam rangka mencari titik temu terjadinya dualisme aturan yang ada di kawasan sesaot, yaitu pengelolaa Tahura dengan
HKm.
e. Karena pertemuan kelembagaan itu tidak kunjung datang, maka Dishut Provinsi NTB berinisiatif mengudang: LMS Konsepsi,
BPDAS, BKSDA, WWF, Tranfom, dan SCBFWM. LSM Konsepsi tidak hadir
f. Dishut NTB melalui surat Nomor.5221310PPH-Dishut2010
tanggal 10 Desember 2010 bersurat ke Dinas Kehutanan Kab.Lombok Barat, Perihalnya mohon Dishut Kab.Lobar untuk
fasilitasi pertemuan pemecahan masalah kawasan hutan Sesaot.
Sumber. Wawancara dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kotak 6. Lanjutan
11. Permintaan Gubernur kepada Dinas Kehutanan Provinsi NTB, sbb: a. Tidak ada penambahan areal HKm selain hasil verifikasi dari BPKH
Wilayah VIII Denpasar. b. Cari model yang menguntungkan semua pihak.
12. Dengan adanya kondisi tersebut di atas, maka untuk mengakomodir akses masyarakat yang telah berlangsung kurang lebih 10 tahun dalam mengelola
Kawasan Sesaot secara partisipatif akan dikembangkan melalui alternatif dan Dinas Kehutanan Provinsi NTB menawarkan, sebagai berikut :
a. Kolaborasi Pengelolaan Tahura dengan masyarakat, sesuai dengan prinsip dan
ketentuan Pengelolaan Kawasan Konservasi seperti Tahura R.Soerjo Jawa Timur, yang mengatur:
• Peran para pihak Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping • Kewajiban para pihak Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping.
• Hak para pihak Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping • Pola pengelolaan dibagi dalam Blokzonasi Blok perlindungan, Blok
koleksi tumbuhan, Blok pemanfaatan intensif, Blok pemanfaatan tradisionalbersama masyarakat
• Sistem perijinan • Payung hukum
b. Mengusulkan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan : • Perubahan fungsi kawasan hutan dari Konservasi ke Hutan Lindung HL
dengan mengikuti ketentuan dalam Permenhut No.P.34Menhut-II2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
• Perubahan fungsi kawasan hutan ini disamping membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang dan biaya yang relatif besar karena memelukan Tim
Terpadu biaya ditanggung pemohon. • Wacana perubahan fungsi kawasan hutan Konservasi ke Hutan Lindung,
Dinas Kehutanan Provinsi NTB sudah didiskusikan dengan Kementerian Kehutanan.
13. Dinas Kehutanan Provinsi NTB tidak pernah menolak HKm tetapi yang ditolak adalah HKm tidak boleh dalam kawasan konservasi, karena dalam kawasan
konservasi tidak boleh ada HKm. HKm dalam kawasan konservasi akan diatur dengan PP tersendiri Pasal 92 PP.
Nomor 6 Tahun 2007 sampai sekarang belum ada.
14. Akses yang ada dalam Tahura semuanya diakses oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTB, tidak ada satupun akses masyarakat dalam Tahura yang tidak diakses.
15. Lahan yang digarap oleh tiap orangmasyarakat dalam Tahura luasnya tidak merata dan adanya dugaan jual beli lahan kawasan hutan Sesaot oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggungjawab. Sumber. Wawancara dengan Staff Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kedua kebijakan tersebut membawa pertentangan dan konflik vertikal antara masyarakat Sesaot khususnya pesanggem HKm Program dan Non
Program dengan pihak pemerintah provinsi Dishut Provinsi dan LSM Konsepsi merupakan lembaga yang sedang memiliki kegiatan pada kawasan Hutan Sesaot.
LSM tersebut membawa peran sebagai lembaga advokasi bagi masyarakat. Kemudian pihak lainnya yaitu Pemerintah Kabupaten Lombok Barat demikian
juga halnya dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah belum ambil bagian dalam penyelesaian konflik kawasan hutan lindung Sesaot tersebut. Kawasan
Tahura melintasi dua batas wilayah yaitu hutan lindung yang berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah.
Oleh karena itu, dengan adanya keberpihakan pemerintah kabupaten dan LSM. Konsepsi terhadap masyarakat, maka nampaknya memperuncing konflik antara
masyarakat Sesaot dengan Dinas Kehutanan Provinsi yang memiliki wewenang dalam pengelolaan Tahura.
Dari kondisi tersebut, maka cukup jelas bahwa sumber konflik adalah kebijakan menteri kehutanan tentang HKm dan Tahura pada kawasan hutan
lindung Sesaot yang memberikan perbedaan persepsi dan pengetahuan tentang pola pengelolaan kawasan hutan dan akses masyarakat dalam kawasan hutan.
Sementara itu pihak yang berkonflik adalah masyarakat, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan LSM Konsepsi.
Konflik yang terbangun tersebut merupakan konflik multidisipliner Susan 2009 yang mengikuti segitiga Galtung yang merupakan hubungan sebab akibat
antara sikap, prilaku dan kontradiksi. Hal ini ditandai oleh munculnya ketegangan antara pihak yang berkonflik dari sikap dan prilaku yang kontradiksi. Situasi
konflik terlihat dari dinamika konflik. Dari empat tahapan dinamika konflik menurut Fisher dalam Susan 2004 adalah pra konflik, konfrontasi, puncak
konflik dan pasca konflik, maka kasus Hutan Lindung Sesaot masih tergolong pada tahapan pra konflik yang ditandai oleh adanya pertentangan pandangan dan
persepsi masyarakat terhadap kebijakan Tahura. Mengingat bahwa konflik yang terjadi bersumber dari kebijakan, maka
secara sederhana penyelesaian kebijakan merupakan penyelesaiannya. Pendekatan Lokakarya ternyata tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut. Pendekatan ini
memiliki kelemahan, karena ada pihak terutama masyarakat yang tidak mampu mengungkapkan kepentingannya sebagai akibat dari keterbatasan masyarakat
yang hadir dan faktor sosial ekonomi. Kepentingan masyarakat tersebut didominasi oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dominan dan
mengarah pada kepentingan tertentu. Hal ini dapat terjadi melalui mengalihkan isu konflik sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut. Sebagai akibatnya,
sehingga kompromi maupun rumusan terbaik atau terbaik kedua the second best tidak dapat tercapai.
Situasi tersebut terjadi juga yaitu hasil kesepakatan dari workshop yang dilakukan pada tanggal tanggal 26 agustus 2010 tentang Rencana Pengelolaan
TAHURA Model, tidak diterima oleh masyarakat. Workshop tersebut dihadiri oleh instansi terkait, LSM, dan masyarakat Sesaot, dengan pembicara: 3 tiga
nara sumber dari Kementerian Kehutanan dan Kadishut NTB. Hasil workshop tersebut antara lain bahwa pengelolaan TAHURA akan dikembangkan dalam 3
opsi Model Pengelolaan Tahura: 1. Ada Tahura tapi masyarakat masih mempunyai akses terhadap kelola
Tahura tidak ada ijin hkm, namun akan disusun payung hukum untuk Tahura model.
2. Ada Tahura berdamping dengan HKm 3. Ada icon yang menjadi kesatuan di wilayah HKm sebagai obyek Tahura
camping ground, goa, air terjun, tempat rekreasi. Oleh karena itu, maka diperlukan suatu pendekatan lain sebelum dilakukan
workshop. Pendekatan teresebut menurut Susan 2008 lebih dikenal dengan sebutan pendekatan non formal. Sebelum melakukan pengelolaan konflik, maka
terlebih dahulu dilakukan pemetaan konflik, sehingga jelas sumber konflik dapat dipilahkan dengan tegas, demikian juga dengan pihak-pihak yang membangun
konflik. Hal ini lebih dikenal dengan istilah cratic conflik governance CCG yaitu mekanisme pengamanan, resolusi konflik dan rekonsiliasi konflik disetiap
tingkat kepemimpinan grass root. Model ini telah dikembangkan oleh INSIST sebagai metodologi. Dengan meminjam dan memodifikasi model tersebut, maka
dapat digambarkan strategi dalam mengelola konflik sebagai berikut.
Sumber. Modifikasi Fahmi et al. 2003 Gambar 13. Alternatif Pendekatan Penyelesaian Konflik Kebijakan Tahura
Nuraksa Sesaot Pulau Lombok Penyelesaian konflik seperti yang digambarkan di atas merupakan bentuk
penyelesaian konflik yang dimulai dari tingkat bawah grass root. Pada masing- masing kelompok atau individu yang berkonflik diidentifikasi kepentingannya
yang merupakan sumber konflik. Dalam kepentingan tersebut dibutuhkan mediator yang netral dan mampu mengidentifikasi sumber konflik. Pendekatan ini
dapat bersifat non formal, yaitu dengan mendekati tokoh masyarakat ataupun kelembagaan sosial masyarakat yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat.
Namun untuk pihak-pihak seperti LSM dan Dinas Kehutanan dapat didekati melalui diskusi secara formal.
Pendekatan ini penting dilakukan mengingat bahwa teori konflik muncul dari pertentangan dari teori fungsional dan struktural yang dikembangkan oleh
Ralf Dahrendorf 1958 dalam Ritzer dan Douglas 2003 yang menyatakan bahwa elemen-elemen masyarakat berada dalam kondisi disintegrasi dan
perubahan. Elemen masyarakat dalam hal ini adalah kelembagaan-kelembagaan
PARAPIHAK YANG
BERKONFLIK MASYARAKAT LOKAL
irst Appropriators EXTERNALLSM
Second Appropriators
POLICY MAKERS MAKERS
Kemenhutbun, Dishut Provinsi dan
Kabupaten, Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten MASYARAKAT
LOKAL First Appropriators
Identifikasi Kepentingan samabeda
EXTERNALLSM
Second Appropriators
Identifikasi Kepentingan
samabeda
POLICY MAKERS
Kemenhutbun, Dishut Provinsi dan
Kabupaten, Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten
Identifikasi Kepentingan
samabeda
CCG
yang berada dalam masyarakat.Kelembagaan masyarakat tersebut belum dilibatkan secara utuh dalam penyelesaian konflik sesaot.
Dalam kawasan Sesaot masih terdapat kelembagaan lokal yang belum dimanfaatkan dalam penyelesaian konflik tersebut yaitu Lokaq orang yang
dituakan yang memiliki peran dan didengar oleh masyarakat Sesaot. Padahal Lokaq ini didalam kelembagaan formal HKm dilibatkan sebagai Lang-Lang
pengawas kawasan dan hakim yang memutuskan perkara kawasan HKm. Oleh karena itu, maka sebelum workshop besar, maka sebaiknya terdapat workshop
kecil rembuk pada tingkat kawasan dengan menghadirkan para lokaq didalamnya. Melalui rembuk tersebut akan diperoleh hasil yang dapat mewakili
kepentingan masyarakat kawasan HKm. Setelah dilakukan rembuk pada tingkat masyarakat dan para pihak lainnya,
maka baru dilaksanakan workshop besar yang dihadiri oleh pihak-pihak yang berkonflik. Pada kegiatan tersebut akan dikelompokkan kepentingan-kepentingan
parapihak dan diidentifikasi serta dikelompokkan berdasarkan kepentingan yang berbeda dan kepentingan yang sama. Dengan teridentikasi perbedaan dan
kesamaan kepentingan berbagai pihak dan didiskusikan diharapkan terbangun kesepakatan bersama sebagai solusi dari konflik kepentingan para pihak.
Kemudian penyelesaian konflik tersebut juga dilakukan pada tingkat lebih tinggi yaitu pada level nasional, mengingat bahwa konflik Tahura tersebut
merupakan konflik kebijakan dan harus diselesaikan pada tingkatan menteri. Pertentangan tersebut dapat tersesaikan bila kedua kebijakan menteri tersebut
direvisi kembali. Alternatif yang memungkinkan adalah Tahura dengan HKm dijalankan berdampingan, namun belum ada kebijakan pemerintah yang mengatur
untuk alternatif tersebut. Berdasarkan Pasal 92 PP. Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta Pemanfaatan Hutan
menyatakan bahwa Hkm dalam Kawasan Konservasi akan diatur dengan PP tersendiri. Dengan demikian, maka harapan alternatif yang paling memungkinkan
pada level nasional adalah terbitnya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang terkandung dalam pasal 32 PP. Nomor 6 Tahun 2007.
5.3.2. Konflik Kepentingan Parapihak dalam Pembangunan HKm di Pulau Lombok