Perkembangan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang Hutan Kemasyarakatan

Demikian juga dengan keberadaan kelembagaan Forum HKm yang tidak memiliki sumber pendanaan. Sebagai akibatnya pengurus Forum tidak memiliki kemampuan finansial atau insentif dalam menyampaikan perkembangan informasi dari pusat, provinsi dan kabupaten. Hasil dari wawancara mendalam ditemukan bahwa dana yang bersumber dari petani pengelola kasus HKm Sesaot tidak diperuntukkan bagi kelembagaan Forum HKm, namun didistribusikan bagi Desa dan Dinas Kehutanan. Kemudian pada kawasan HKm lainnya seperti Batukliang Utara Stiling, Aik Berik dan Lantan dan kawasan HKm Sekaroh juga belum memiliki kelembagaan seperti Forum HKm. Perangkat dalam struktur organisasi Forum HKm, seperti bendahara belum dapat berfungsi untuk dapat menggalang dana bagi kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat menjadikan kelembagaan Forum HKm dapat berjalan efektif menjalankan fungsinya, maka dana yang bersumber dari masyarakat pengelola HKm sebaiknya didistribusikan juga bagi kelembagaan Forum Hkm sebagai dana operasional

5.2. Perkembangan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang Hutan Kemasyarakatan

Kebijakan tentang HKm seperti Surat Keputusan Menteri dan Peraturan Menteri Kehutanan memberikan dampak terhadap terbitnya berbagai kebijakan pada tingkat provinsi dan kabupaten. Kebijakan tentang HKm tersebut memberikan peluang bagi stakeholder terlibat dengan berbagai perannya dan berdampak pula terhadap ekologi kawasan HKm, seperti jenis tanaman yang diusahakan dalam kawasan HKm. Perubahan ekologi kawasan terjadi sebagai akibat dari diberikannya hak kepada masyarakat untuk mengelola hutan melalui penanaman kombinasi antara tanaman kayu-kayuan, buah-buahan dan tumpangsari tanaman pangan untuk mengisi ruang antara tanaman kayu-hutan dan tanaman MPTS Multi Purpose Tree Crop Spesies, namun ragam setiap kawasan berbeda sesuai dengan awik-awik aturan dan perjanjian dalam kelembagaan masing-masing. Kebijakan tentang HKm yang terimplementasi langsung berupa SK Kakanwil Dephutbun Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 06Kpl-42000 Tentang Pemberian Ijin HKm Kepada Koperasi Darus Shiddiqien, Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun 2004 tentang Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. di Kabupaten Lombok Barat, Peraturan Daerah Lombok Timur Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat, SK Menteri Kehutanan Nomor 436Menhut-II2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lombok Tengah; SK Bupati Lombok Barat Nomor 213065Dishut2009 tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan IUPHKm kepada Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan KMPH Mitra Sesaot, Lebah Sempaga dan Sedau Kecamatan Narmada. Awal dari terbitnya kebijakan tentang HKm di Pulau Lombok adalah program kopi penyangga dalam kawasan hutan lindung Sesaot menimbulkan masalah yang cukup kompleks. Oleh karena itu, pada tahun 1994, masyarakat mengusulkan kepada Departemen Kehutanan supaya diberikan hak mengelola hutan Sesaot yang pada waktu itu diperkirakan mencapai 2000 hektar melalui skema Hutan Kemasyarakatan. Usulan tersebut merupakan inisiatif masyarakat yang diinspirasi oleh Surat Keputusan SK Menteri Kehutanan Nomor 622 Kpts- II1995, tentang hutan kemasyarakatan. Sebagai bentuk dari tanggungjawab petani dan dalam rangka menunjukan kemampuannya, maka diusulkan untuk memulai dengan ujicoba pengelolaan pada areal hutan yang sudah rusak Suryadi 2003. Departemen Kehutanan melalui SK Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Kelompok Mitra Pengamanan Hutan KMPH sebagai wakil masyarakat petani menandatangani persetujuan tanggal 27 Oktober 1995. Dalam kesepakatan tersebut memuat hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam pelaksanaan hutan kemasyarakatan. Tahun 1998 Program Ujicoba HKm di evaluasi oleh Departemen Kehutanan. Standar penilaian menggunakan 80 untuk tingkat daya tahan hidup tanaman atau lebih. Berdasarkan hasil akhir evaluasi, tingkat bertahan hidup tanaman pada areal ujicoba program HKm mencapai 93 dari total jumlah tanaman rata-rata 3000 pohon per hektar Suryadi, 2003. Atas dasar keberhasilan tersebut, kemudian KMPH mengusulkan perluasan pengelolaan program HKm. Bulan Oktober 1998 dilakukan pemetaan antara KMPH dengan Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Dari hasil pemetaan kawasan, disepakati perluasan lokasi mencapai 211 Ha dengan jumlah penggarap 1.224 KK dan tersebar di 5 wilayah dengan perincian yakni i Bunut Ngengkang Desa Sesaot 25 Ha; ii Pesuren Desa Lembah Sempaga 35 Ha; iii Kumbi I dan II, Desa Lembah Sempaga 35 Ha; iv Lembah Suren Desa Sedau 65 Ha dan v Selen Aik Desa Sedau 51 Ha. Dengan demikian, total luas lahan HKm mencapai 236 ha KMPH 2006. Kemudian pada tahun 2000 kembali Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat menerbitkan ijin pengelolaan HKm melalui SK Kakanwil Dephutbun Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 06Kpl- Kotak 3. Hak dan Tanggung Jawab antara Pemerintah dan Masyarakat dalam Kelembagaan KMPH Sesaot a. Kedua belah pihak sepakat bahwa dalam penyediaan bibit tanaman, maka petani akan menyumbang 80 dari total jumlah bibit yang dibutuhkan. Sedangkan pihak pemerintah akan menyumbang 20. b. Para petani harus memelihara pohon-pohon yang ada terutama dari jenis asli yang terdapat di wilayah program hutan kemasyarakatan. c. Kedua belah pihak sepakat bahwa status kepemilikan atas tanah tetap menjadi milik negara dan sementara hak-hak petani hanya dalam hal memanen kayu dan produk hutan non kayu pada lahan kelola dalam wilayah hutan kemasyarakatan. d. Para petani wanita tanpa suami dan memiliki tanggungan anak serta tidak mempunyai pekerjaan. e. Para petani harus menanam kembali pohon-pohon di tempat dimana lokasi program hutan kemasyarakatan dengan menggunakan sistem taungya dan mempraktekkan langkah-langkah konservasi seperti terasering. f. Para petani harus membantu Departemen Kehutanan dan polisi setempat dalam menegakkan peraturan-peraturan kehutanan, khususnya yang berkaitan dengan penebangan liar di daerah hutan masyarakat. g. Para petani peserta harus memahami dan mengikuti syarat-syarat pengelolaan kawasan hutan yang telah disetujui KMPH dengan Departemen Kehutanan. h. Para petani peserta harus bersedia dan mampu”mandiri dan berswadaya” dalam Mengelola lahan pada Hutan Kemasyarakatan. Sumber. Suryadi 2003. 42000 Tentang Pemberian Ijin HKm Kepada Koperasi Pondok Pesantren Darus Shiddiqien dengan luas garapan 1.042 hektar dan jumlah anggota sebanyak 2.527 orang. Dari luas areal HKm tersebut terbagi menjadi 4 blok sebagai berikut : 1. Blok Lantan seluas 200 hektar yang terbagi menjadi 28 kelompok tani dengan jumlah anggota 626 orang. 2. Blok Karang Sidemen seluas 100 hektar yang terbagi menjadi 4 kelompok tani dengan jumlah anggota 465 orang. 3. Blok Seteling seluas 150 hektar dibagi menjadi 21 kelompok tani dengan jumlah anggota 541 orang. 4. Blok Aikberik seluas 592 hektar dibagi menjadi 42 kelompok dengan jumlah anggota 895 hektar. Dengan demikian, praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM yang telah dilakukan masyarakat selama ini sudah memiliki kepastian hukum. Kemudian Peraturan Menteri khususnya mengenai Hutan Kemasyarakatan HKm melalui Permenhut No. P.37 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan mendorong terbitnya kebijakan pada tingkat kabupaten. Di Penghujung Tahun 2007, Menteri Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK 436Menhut-II2007 tentang Penetapan Areal Kerja HKm di Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya pada Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Batukliang Utara seluas 1.809,5 ha. Menindaklanjuti penetapan areal kerja oleh Menteri Kehutanan tersebut dan setelah melalui proses cukup panjang, Bupati Lombok Tengah pada awal bulan Mei 2009 telah menerbitkan izin usaha pemanfaatan HKm IUPHKm kepada : 1 Koperasi Serba Usaha KSU Mele Maju Desa Lantan untuk mengelola lahan hutan seluas 349 ha dengan jumlah anggota 532 orang dan 2 Gabungan Kelompok Tani Gapoktan HKm Desa Karang Sidemen seluas 403 ha dengan jumlah anggota sebanyak 649 orang. Kelompok - kelompok tani HKm di wilayah Desa Setiling setelah melalui proses mediasi yang cukup panjang akhirnya menyepakati Pondok Pesantren Darus Shiddiqien c.q. majelis ta’lim di Desa Setiling yang akan menjadi wadah untuk pengurusan perijinan IUPHKm sedangkan untuk kelompok-kelompok tani HKm di wilayah Desa Aik Berik sepakat untuk menggunakan Gabungan Kelompok Tani HKm sebagai wadah untuk mengurus perijinan IUPHKm. Berdasarkan data yang ada, maka ditemukan bahwa luas lahan kelola anggota relatif sempit yaitu sekitar 0,25 hektar sampai dengan 0,5 hektar. Namun berbeda dengan luasan lahan untuk ketua kelompok rata-rata 1 hektar. Pembagian lahan tersebut sangat tergantung luas areal HKm dan jumlah pesertaanggota pada setiap blok. Penataan blok berdasarkan areal HKm pada setiap desa. Namun dari sejarahnya, lebih luasnya pembagian areal HKm bagi ketua blok dipertimbangkan sebagai insentif dalam mengelola HKm Dishut NTB. 2002. Hasil pertanyaan mendalam menemukan bahwa dari kondisi pembagian lahan yang timpang antara anggota dan ketua blokkelompok dari awal sesungguhnya memicu konflik horizontal. Ketua blokkelompok ternyata merupakan orang yang memiliki akses terhadap ketua koperasi dan pemerintah, sehingga pada saat pembagian areal HKm mereka memiliki kekuatan dalam menentukan dan memutuskan kesepakatan yang ada. Sejak tahun 2005 konflik horizontal mulai muncul kepermukaan, terutama dari Blok Aikberik, dalam hal lunturnya kepercayaan masyarakat pengelola pada Koperasi Pondok Pesantren Darus Shiddiqien yang dianggap kurang mampu dalam membina anggotanya. Oleh karena itu, sejak tahun 2007 Blok Aikberik memisahkan diri dan membangun kelompok sendiri yang diketuai oleh Kepala Desa Aikberik dan Sekertarisnya adalah mantan kepala desa Aikberik Marwi. Kondisi ini disusul dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 436Menhut-II2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lombok Tengah. Dengan terbitnya surat keputusan menteri tersebut lebih memberikan kepastian hak terhadap pengelolaan HKm di Kabupaten Lombok Tengah seluas 1.809,5 hektar. Luasan kawasan HKm tersebut terbagi dalam empat wilayah Pemeritahan Desa yaitu Desa Lantan seluas 349 hektar , Desa Karang Sidemen seluas 403 hektar , Desa Aik Berik seluas 349 hektar dan Desa Seteling seluas 217,5 hektar. Terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37Menhut2007 mendorong pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk menerbitkan Penyusunan dan terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat. Lokasi HKm tersebut, di Desa Sekaroh Desa Pemongkong, Sugian dan Belanting. Hutan Kemasyarakatan yang berlokasi di Hutan Sekaroh merupakan hutan lindung, sementara itu lokasi HKm di Desa Belanting dan Sugian merupakan hutan produksi. Pencadangan areal HKm lainnya terdapat juga pada desa kawasan hutan lindung Desa Sapit dan Desa Perigi masuk dalam kawasan Hutan Seruni. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Hutan Seruni ini sebanyak 600 kepala keluarga yang tergabung dalam 27 kelompok. Pola pengelolaan nampaknya beberbeda sebagai akibat dari jenis pendanaannyaproyek. Pola tersebut berupa HCP Hutan Cadangan Pangan, Kawasan Reboisasi dan HKm Amiruddin et al. 2009.

5.3. Konflik Kebijakan dan Kepentingan Parapihak dalam Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok