Manipulation: Level terendah dari partisipasi non partisipasi, dimana Information: Stakeholder diinformasikan tentang hak, tanggungjawab dan Consultation: Pada tahapan ini terjadi komunikasi dua arah, dimana Consensus-building: Pada level ini, stakeh

tetapi kewenangan tetap ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Level berikutnya adalah kemitraan dimana masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Kemudian pada level terakhir adalah pendelegasian dan kontrol masyarakat dimana masyarakat yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan. Tingkatan partsipasi tersebut diringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein 1969 No TanggaTingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1 Manipulasi Komite berstempel Tidak ada Partisipasi 2 Terapi Pemegang kekuasaan mendidik dan mengobati masyarakat 3 Informasi Hak-hak masyarakat dan pilihannya diidentifikasi 4 Konsultasi Masyarakat didengar tetapi tidak selalu dipakai sarannya Tokenisme 5 Placation Saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan 6 Kemitraan Timbal balik dinegosiasikan 7 Pendelegasian Kekuasaan Masyarakat diberi kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program Tingkatan Kekuatan masyarakat 8 Kontrol Oleh Mayarakat Sumber : Mitchell, Setiawan dan Rahmi 2003 ; Setyowati 2006 Kemudian UNCD 1996 juga membagi partisipasi menjadi delapan tahapan atau tingkatan yaitu :

a. Manipulation: Level terendah dari partisipasi non partisipasi, dimana

partisipasi dibangun sebagai peluang non doktrin.

b. Information: Stakeholder diinformasikan tentang hak, tanggungjawab dan

pilihan. Tahapan pertama yang penting adalah menuju pada keihlasan atau kesadaran untuk berpartisipasi. Pada tahapan ini terjadi satu arah komunikasi dengan jaringan atau sumber negosiasi

c. Consultation: Pada tahapan ini terjadi komunikasi dua arah, dimana

stakeholder memiliki kesempatan untuk mengekspresikan saran dan pemikiran, tetapi tidak dijamin apa yang disampaikan tersebut akan digunakan atau dimplementasikan dalam tujuan tertentu.

d. Consensus-building: Pada level ini, stakeholders berinterakasi untuk dapat

memahami dan bernegosiasi satu dengan lainnya dalam kelompok. Secara umum kelemahannya adalah kerentanan individu dan kelomppk yang cenderung diam atau menyetujui secara pasif..

e. Decision-making: Ketika konsensus dilaksanakan melalui keputusan kolektif,

maka ditandai dengan inisiasi pembagian tanggungjawab terhadap hasil dari aktvitas tersebut. Negosiasi pada tahapan ini merefelksikan perbedaan tingkat kemampuan dari individu dan kelompok f. Risk-sharing: Pada bentuk ini dimana terjadi pembagian manfaat dan resiko sebagai konsekuensi dalam pengambilan keputusan..

g. Partnership: Pada bentuk partisipasi ini dimana terjadi hubungan kerjasama

untuk mencapai tujuan yang telah dibangun bersama.

h. Self-management: Bentuk ini merupakan puncak dari partisipasi, dimana

stakeholder berinteraksi dalam proses pembelajaran yang memberikannya manfaat. Berbeda dengan yang lainnya Warner 1997 membedakan tiga bentuk atau model partisipasi yaitu popular participation, selective participation dan consensus partisipation. Model Popular Participation memiliki tujuan pemberdayaan kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi, kemudian Selective Participation memiliki tujuan keberlanjutan institusi dan Consensus Participation memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan Dearden et al. 1999 membedakan tujuh tipologi partisipasi sebagai berikut: a. Passive participation yaitu orang berpartisipasi dalam bentuk hanya mendengarkan apa yang sedang dan telah terjadi. b. Participation in information giving yaitu orang berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan dan tidak mempengaruhi proses c. Participation by consultation yaitu orang berpartisipasi melalui konsultasi dan mendengarkan pandangan pihak lain agent d. Participation for material incentive yaitu orang berpartisipasi atas pertimbangan insentif . e. Fuctional participation yaitu orang berpartisipasi umumnya dalam bentuk kelompok yang berkaitan dengan tujuan proyek f. Interactive participation yaitu partisipasi seseorang dalam mengkaji secara bersama joint analysis dalam membangun dan memformulasikan rencana aksi dalam kelompok. g. Self-mobilization yaitu orang berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas dalam institusi dalam merubah sistem. Probst et al. 2003 membagi empat tipe partisipasi sebagai berikut : a. Contractual participation yaitu aktor sosial memberikan hak pengambilan keputusan pada aktor sosial lainnya. b. Consultative participation yaitu Sebagaian besar keputusan dipengang oleh satu kelompok stakeholder tetapi penekananannya adalah pada konsultasi dan mengumpulkan informasi dari yang lain. c. Collaborative participation yaitu aktor yang berbeda berkolaborasi dan mengutamakan kesamaan hak melalui pertukaran pengetahuan, kontribusi dan distribusi kekuatan dalam pengambilan keputusan. d. Collegiate partisipation yaitu aktor yang berbeda berkerjasama sebagai kolega atau parner. Syahyuti 2006 menguraikan partisipasi dalam enam bentuk sebagai berikut : a. Co-option yaitu tidak ada input apapun dari masyarakat lokal dan peran masyarakat sebagai subyek. b. Co-operation yaitu terdapat insentif, namun proyek telah disesain oleh pihak luar yang menentukan agenda dan proses secara langsung serta peran masyarakat sebagai tenaga kerja dan subordinat. c. Consultation yaitu opini masyarakat diperlukan sebagai informasi, namun pihak luar yang menganalisa dan sekaligus menentukan bentuk akhirnya dan peran masyarakat sebagai clients. d. Collaborative yaitu masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas, dan pihak luar bertanggungjawab secara langsung kepada proses serta peran masyarakat sebagai collaborators. e. Co-learning yaitu masyarakat lokal dan luar saling membagi pengetahuannya untuk memperoleh saling pengertian dan bekerjasama untuk merencanakan aksi, sementara itu pihak luar hanya memfasilitasi serta peran masyarakat sebagai parner. f. Collective action yaitu masyarakat lokal menyusun dan melaksanakan agendanya sendiri, sementara itu pihak luar absen sama sekali dan peran masyarakat sebagai director. Menurut Inoue 1998, bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut : a. Partisipasi Individu individual participation adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan. b. Partisipasi Kelompok Temporer temporary group partipation adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong. c. Partisipasi Kelompok Tetap fixed group participation adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya. d. Partisipasi upah kerja wage labor partipation adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah. 2.2.3. Multipihak dan Aksi Kolektif Dalam Sektor Kehutanan 2.2.3.1. Proses Multipihak Hutan merupakan property yang sering dipersengketakan oleh kelompok- kelompok yang berkepentingan karena beragamnya manfaat yang diberikan oleh hutan terhadap kehidupan. Untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut, strategi kolaborasi antar pihak atau Multipihak Multi Stakeholders sebagai salah satu alternatif yang cukup rasional dan efektif. Multipihak dapat berupa individu, kelompok dan organisasi yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan atau tujuan yang ingin dicapai bersama dari institusi tertentu Buck et al. 2005. Oleh karena itu, proses multi-pihak MSP dipahami sebagai pendekatan baru untuk mendorong perorangan dan organisasi bekerjasama, atau memperbaharui kerjasama dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang semakin rumit. Melalui pendekatan tersebut, seluruh pemangku kepentingan stakeholders utama dibawa ke “…a new form of communication, decision- finding and possibly decision-making…” berkenaan dengan masalah tertentu, seperti pembangunan berkelanjutan, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, atau kehutanan. Pemangku kepentingan sendiri didefinisikan sebagai “those who have an interest in a particular decision, either as individuals or representatives of a group. This includes people who influence a decision, or can influence it, as well as those affected by it” Fahmi et al. 2003. Sebagai pendekatan baru, sejumlah nilai mendasar disebutkan sebagai pondasi MSP. Dua kelompok nilai yang terpenting adalah a. proses ini menekankan pentingnya pemerataan dan keadilan dalam perumusan mekanisme pengaturan dan pengurusan governance, ataupun dalam distribusi manfaat, b. proses dimaksud didasarkan pula atas prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi dalam interaksi para pihak. Nilai-nilai kedua merupakan prasyarat untuk mencapai nilai-nilai pertama Fahmi et al. 2003. Agar dapat berpartisipasi dengan baik, jelaslah bahwa hak bersuara saja tidaklah cukup. Hemmati menyebutkan bahwa efektivitas penyampaian aspirasi dan kepentingan ditentukan oleh kapasitas; kapasitas merupakan fungsi dari informasi dan pengetahuan, waktu, dan sumber daya. Demikianlah, maka di balik gagasan MSP, terdapat sejumlah pengandaian penting yang merupakan kekuatan, tapi mungkin juga sekaligus kelemahan pendekatan ini dalam konteks Indonesia. Pengandaian-pengandaian dimaksud adalah Fahmi et al. 2003: a memadainya institusi demokrasi, sehingga pengakuan minimal terhadap hak bersuara dapat berjalan dengan tulus dan substansial; b adanya kesetaraan dalam kapasitas khususnya berkaitan dengan informasipengetahuan dan kuasaotoritas baik karena faktor-faktor struktural maupun kultural, sehingga partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dapat produktif. Aransemen institusional adalah aturan-main berkenaan dengan: siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan, bagaimana informasi distrukturkan, aksi apa yang dapat diambil dan dalam urutan yang bagaimana, dan bagaimana aksi individual disinergikan menjadi aksi kolektif. Secara kategoris sejauh ini dikenal tiga aransemen institusional utama dalam pengelolaan hutan, yaitu negara hirarki, pasar, dan sukarela voluntary, yang bekerja baik sendiri-sendiri maupun saling terkait satu sama lain. Institusi negara bekerja dalam pengelolaan hutan menurut versi pemerintah, seperti penetapan hutan lindung dan hutan produksi; institusi pasar digunakan dalam pengelolaan hutan melalui skema HPH, HTI, dan semacamnya; dan institusi sukarela, seperti hukum adat, mengatur bagaimana hutan perlu dikelola menurut komuniti adat – yaitu: dijaga, diambil manfaatnya, dan menjadi unsur kebudayaan masyarakat setempat. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya, pendekatan MSP tidaklah memisahkan secara kaku wilayah-kelola institusi negara, pasar, dan masyarakat. Wilayah-kelola tersebut dipandang saling terkait satu sama lain, sehingga diperlukan kesepahaman dan kerjasama yang erat di antara ketiganya. Melalui aktor-aktor yang mewakilinya, ketiga institusi dimaksud diharapkan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” merumuskan model pengelolaan yang dapat disepakati danatau dijalankan bersama. Karena pergeseran pendekatan yang demikian jauh, maka sejumlah pertanyaan patut dibahas, seperti: bagaimana institusi yang berbeda kepentingan ataupun kuasanya, dapat dikonsolidasikan dalam pengelolaan suatu wilayah danatau bidang-kelola tertentu? Perlakuan apa yang dilakukan agar asumsi kesetaraan tersebut dapat dipenuhi? Jika, melalui suatu insentif tertentu kerjasama dapat dijalin, bagaimana menjamin bahwa kerjasama tersebut akan berlanjut? Dengan kategori pihak yang demikian beragam, maka dapat dibayangkan perhubungan di antara merekapun merupakan perhubungan yang rumit dan berlapis. Hubungan tersebut disajikan pada gambar di bawah ini. LOCAL First Appropriators EXTERNAL Second Appropriators POLICY MAKERS LOCAL First Appropriators Identifikasi Kepentingan samabeda EXTERNAL Second Appropriators Identifikasi Kepentingan samabeda POLICY MAKERS Identifikasi Kepentingan samabeda Sumber. Fahmi et al. 2003 PP Gambar 4. Skema Hubungan Antar Pihak dalam Proses Kehutanan Multipihak Konsekuensi hal di atas adalah bahwa konsolidasi institusional para-pihak tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Karena itu, untuk melihat kelayakannya pada skala institusi, perlu didiskusikan terlebih dahulu kelayakan kerjasama dimaksud pada tingkat individu, khususnya antara individu-individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri self-interest.

2.2.3.2. Aksi Kolektif

Pemikir analisis institusional telah menunjukkan bahwa suatu aksi bersama collective action di antara individu atau kelompok dapat berlangsung jika manfaat yang diperoleh, atau diharapkan oleh para pihak dari keterlibatannya dalam aksi tersebut lebih besar daripada biaya yang harus ditanggung. Manfaat tidak harus berupa manfaat segera, tapi dapat pula berupa manfaat yang diharapkan di masa depan dan manfaat tidak harus terdistribusi merata. Aksi bersama dapat terjadi jika aktor-aktor dominan mendapatkan keuntungan yang membuatnya tertarik menggagas, mendorong danatau melaksanakan aksi bersama. Biaya yang terutama dimaksud di sini adalah biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menggalang aksi bersama, MSP termasuk untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Selanjutnya rasa saling percaya dapat dijadikan mekanisme untuk meminimalkan biaya transaksi, sehingga memungkinkan terjadinya aksi bersama Fahmi et al. 2003. Proposisi di atas merupakan koreksi terhadap model “the tragedy of the common” dan model “the prisoner’s dilemma”, yang pesimis terhadap kelayakan aksi bersama. Model di atas banyak mempengaruhi pemikir dan perumus kebijakan publik tahun 1960-an, dan menjastifikasi peran dominan institusi negara. Premis mengenai fenomena penunggang gelap free rider: seseorang yang tidak dapat dikecualikan dalam pemanfaatan suatu barangjasa publik ketika barangjasa tersebut telah tersedia tidak akan memperoleh insentif untuk berkontribusi dalam penyediaannya. Faktor pendorong terjadinya aksi bersama adalah ada dan dipatuhinya kesepakatan tentang tujuan, batas, dan landasan kerjasama, tersedianya struktur insentif dan dis-insentif yang menjamin para-pihak mematuhi komitmennya. Mendasari faktor-faktor di atas adalah pengakuan dan penghormatan atas kesetaraan posisi para pihak yang bekerja sama. Namun meski telah semakin lengkap, pemenuhan faktor-faktor di atas tetaplah menyisakan satu faktor kritis, yaitu waktu. Waktu adalah penguji kredibilitas komitmen para pihak yang tak dapat dimanipulasi atau digantikan. Pemenuhan berbagai faktor syarat yang disebut sebelumnya, meski penting, belum menjamin tercapainya hasil yang memuaskan. Menurut Fisher 1995 di dalam Asanga 2005 bahwa pendekatan kolaboratif atau aksi bersama dalam pengelolaan hutan memiliki keuntungan yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat lokal berupa akses dan pendapatan dari produk hutan sebagai konsekuensi dari masyarakat yang melakukan konservasi. Kemudian Mitchell et al. 2003 menyatakan bahwa ada beberapa alasan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yaitu ; a. Merumuskan persoalan menjadi lebih efektif; b. Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima; c. Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan ilmiah; d. Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya. Namun Asanga 2005 dalam kasus pendampingan masyarakat mengkonservasi hutan di Kamerun menemukan adanya kelemahan dari pendekatan multipihak yang kolaboratif yaitu keputusan yang dibuat tidak selalu partisipatif, karena beragamnya kepentingan dari masing-masing pihak. Beragamnya kepentingan tersebut dikemukakan oleh Peluso 2006 di dalam Maring 2008 bahwa negara memiliki kepentingan atas hutan untuk mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan dengan menguasai lahan, spesies dan tenaga kerja serta aspek idiologis. Sementara itu, kepentingan masyarakat adalah menguasai hutan adalah sebagai tempat untuk bertahan hidup, kekuasaan dan tanggungjawab memelihara warisan nenek moyang serta hutan merupakan masa depan anak cucu. Lebih jauh, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM masuk memiliki kepentingan terlibat dalam pengelolaan hutan untuk mendukung kepastian hak property right atas lahan bagi masyarakat Maring 2008. Beragamnya kepentingan stakeholder tersebut timbul dari tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mewujudkan kepentingan tersebut, sering sekali digunakan kekuatan power yang muncul dari kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Sebagai konsekuensinya adalah muculnya konflik kepentingan, sehingga tidak tercapainya aksi bersama sebagai keputusan akhir yang baik bagi semua pihak Maring 2008. Keputusan aksi bersama dapat juga tidak tercapai sebagai akibat dari besarnya kelompok, sehingga keputusan yang diambil tidak mewakili kepentingan anggota. Pada kondisi yang demikian keberadaan anggota dalam organisasi atau kelompok sering diibaratkan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Artinya, tidak satupun dari anggota kelompok dapat mempengaruhi keputusan yang diambil Olson 1977. Konfik kepentingan para pihak belum cukup untuk memahami persoalan pengelolaan hutan, karena masih ada faktor lain yaitu karakteristik dari sumberdaya hutan itu sendiri. Berdasarkan kepemilikannya, maka hutan dapat dikelompokkan dalam Common-Pooll Resources CPR yang dapat dibedakan dari barang publik lainnya. Karakteristik hutan sebagai barang yang bersifat CPR dicirikan sebagai berikut ; a. konsumsinya bersifat individual dan bersaing; b. tidak mungkin, atau sangat mahal, untuk mengeluarkan seseorang dari konsumsi sekali barangjasa dimaksud telah tersedia. Dengan demikian, maka menyebabkan terjadinya persaingan untuk meraih manfaat tanpa harus memberikan kontribusi membayar, menjadikan para pihak rentan terlibat konflik, sebagaimana meluas terjadi pada berbagai lingkungan dan masa. Dengan kata lain, setiap orang mendapat insentif untuk menjadi penunggang gelap free-rider. Sementara, karena persoalan kecukupan pasokan sebagaimana digambarkan di atas, maka penyediaan barangjasa tersebut haruslah dilakukan melalui aksi bersama, termasuk dengan mewajibkan setiap penerima manfaat potential beneficiaries untuk berkontribusi dalam penyediaannya Fahmi et al. 2003; Kartodiharjo 2006a; Runge 1992. Karena karakteristik dari sumberdaya hutan yang termasuk dalam katagori CPR, maka diperlukan suatu penyusunan institusi khusus pula. Fahmi et al. 2003 mengungkapkan bahwa institusi yang dimaksud dapat berupa institusi masyarakat institusi komuniti yang dapat mengatur fungsi produksi dan fungsi konsumsi suatu CPR. Institusi tersebut sebaiknya tumbuh dari sekelompok orang yang memenuhi ciri-ciri suatu komuniti, seperti masyarakat hukum adat. Pada masyarakat tersebut, telah berkembang antar generasi suatu aturan-main rules-in- use yang mengatur apa yang boleh, harus, dan terlarang dilakukan oleh warga komuniti. Singkat kata, institusi komuniti memiliki struktur insentif dan dis- insentif, yang memungkinkan komuniti dapat memenuhi keperluan kolektifnya, termasuk keperluan kolektif akan CPR. Prinsip desain tersebut adalah: 1. Adanya batas boundaries yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan CPRnya sendiri; 2 Kesesuaian antara aturan rules pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; 3 Modifikasi susunan pilihan- kolektif collective-choice arrangements, khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan pihak-pihak yang terkena dampaknya; 4. Pemantauan perilaku pengambil manfaat appropriators dan kepada siapa pemeriksa kondisi CPR bertanggungjawab; 5. Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; 6. Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan 7. Pengakuan minimal atas hak komunitas untuk mengorganisasikan diri. Mengingat bahwa spessifiknya karakteristik hutan, maka diperlukan metode tertentu dalam menganilisisnya. Atribut yang tersusun tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Oakerson 1992 mengemukaan empat atribut atau variabel yang digunakan untuk kepentingan analisis barang yang bersifat common yaitu a. variabel fisik merupakan fasilitas dan teknologi tepat guna yang digunakan memproduksi sumberdaya tersebut; b. pengaturan organisasi atau aturan main yang digunakan untuk pengambilan keputusan; c. pola interaksi antar stakeholders; dan d. hasil outcomes dan konsekuensi. Hubungan masing-masing atribut digambarkan pada skema di bawah ini. Sumber. Oakerson 1992 Gambar 5. Skema Analisis Barang yang Bersifat Common 2.3. Manajemen Pengelolaan Hutan di Indonesia 2.3.1. Sejarah Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga periode yaitu era penjajahan, era kemerdekaan, orde baru dan era reformasi Poffenberger and Smith-Hanssen 2004. Pada era penjajahan dikelompokkan menjadi masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada tahun 1596, VOC mulai melakukan operasi penebangan dan pada tahun 1799 VOC berperan sebagai pengelola dan administratur dalam operasi penebangan hutan. Pada tahun 1808 Dienst van het Boschwezen the forest service didirikan dan memiliki hak dalam mengkontrol lahan, tanaman dan tenaga kerja. Ahirnya pada tahun 1935 penjajah Belanda mulai mengadopsi sistem tumpangsari sebagai bentuk dari pengelolaan hutan. Namun pada masa penjajahan Jepang, kontrol hutan di Pulau Jawa dilakukan oleh Ringyoo Tyuoo Zimusyoo Jawatan Kehutanan. Physical Attributes technology Decesion-Making Arrangements Patterns of Interaction Outcomes a b c e d Pada masa kemerdekaan yaitu tahun 1950 an telah dilakukan usaha perubahan manajemen hutan, namun masih berada dalam pengelolaan Jawatan kehutanan dengan estimasi luas hutan di Pulau Jawa sekitar 5.07 juta hektar. Kemudian pada tahun 1961 Perusahaan Negara Perhutani didirikan untuk mengelola hutan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta Pulau Jawa. Pada tahun 1962 PN Perhutani mulai mengumumkan Program Multiguna dari Hutan multiple use forest program. Pada masa orde baru dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 yang isinya adalah bahwa pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh negara dan pihak swasta melalui beberapa konsesnsus. Pada masa ini sering terjadi konflik antara perusahaan negara dengan masyarakat, sehingga pada tahun 1972 melalui PP No. 15 tahun 1972 melalukan merger pada PN Perhutani Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi satu perusahaan yaitu Perum Perhutani dan tahun 1978 melalui PP No. 2 , perum perhutan mulai beroperasi termasuk pada wilayah Jawa Barat. Kemudian pada sekitar tahun 1970 an Perum Perhutani mulai mengimplementasikan Multi-use Forest Program sebagai pendekatan dalam pengelolaan hutan dan sekitar tahun 1982 Perum Perhutani mengimplementasikan model pendekatan yaitu Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan yang kemudian berubah menjadi Program Social Forestry program perhutanan sosial. Pada tahun 1986 terjadi perubahan peraturan pemerintah yaitu PP No. 36 tahun 1986 menggantikan PP No. 2 Tahun 1978 yang habis masa berlakuknya yang meminta agar dilakukan pembaharuan pada Perum Perhutani. Pada era reformasi tahun 1979 terjadi konflik yang terus meningkat antara masyarakat dengan perusahaan swasta maupun perusahan negara yang mengelola kawasan hutan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan wewenang pada pemerintah daerah level kabupaten untuk mengelola sumberdaya dan terjadi pula revisi terhadap undang-undang kehutanan yang menghasilkan UU No. 41 tahun 1999 dimana memberikan hak yang terbatas terhadap masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dampak dari perubahan tersebut, terjadi perubahan peran Perum Perhutani sebagai pengelola hutan melalui PP No.53 dan pendekatan militer dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan perambahan hutan. Kemudian tahun 2000, pendekatan sosial forestry yang dikembangkan oleh Perum Perhutani berubah menjadi Collaborative Management Program PHBM. Tahun 2001, melalui TAP MPR No. 9 terjadi reformasi Undang-undang Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. PP No. 14 mengubah Perum Perhutani menjadi PT. Perhutani dan PP No.34 tahun 2002 mengubah manajemen pengelolaan hutan negara untuk kepentingan perencanaan pembangunan manajemen hutan. PP No. 30 tahun 2003 mengantikan PP No. 14 mengembalikan Perum Perhutani sebagai perusahaan koorporasi negara.

2.3.2. Konsep Pengelolaan Hutan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan Hkm

Sejak awal pembangunan nasional sampai sekarang ini pengelolaan hutan sosial social forestry mengalami perkembangan, artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Perkembangan pengelolaan hutan sosial tersebut juga tidak terlepas dari perkembangan tuntutan masyarakat dan perkembangan politik di Indonesia. Dari pemahaman para ahli yang beragam, maka definisi social forestry berbeda pula. Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress di Delhi India tahun 1968 dan mendefinisikan Social Forestry sebagai “ a forestry which aims at production flow of protection and recreation benefits for the community” Kartasubrata 2002. Namun istilah Social Forestry itu sendiri diperkenalkan setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people. Akan tetapi istilah tersebut bukan hal yang baru untuk Indonesia, karena sejak abad 18 pemerintah belanda melakukan pengelolaan hutan khususnya tanaman jati dengan sistem tumpang sari Poffenberger and Smith-Hanssen 2004; Riyanto 2005 Kemudian untuk kondisi di India pada saat itu Tiwari mendefinisikan “Social Forestry sebagai The science and art of growing trees and or other vegetation on all land available for purpose, in outside forest areas, and managing existing forest with intimate involvement of the people and more and less integrated with other operations, resulting in balance and complementary land use with a view to provide a wide range of goods and services to the individuals as well as to the society”. Wiersum 1984 mendefinisikan Social Forestry sebagai “Participatory Forestry, relating to forest management activities planned by profesional forestry sevices in which popular participation with the management of centrally controlled forest land is encouraged” Kartasubrata 2002. Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan Departemen Kehutanan 2003 menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan Anonim 2003. Kemudian Tiwary berpendapat bahwa Social Forestry pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun Prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan pemerintah Kartasubrata 2002; Riyanto 2005. Pengelolaan hutan sosial di Indonesia mengalami perkembangan dan disajikan dalam uraian berikut ini Munggoro et al. 2001; Ngadiono 2004 :

a. Hak Pengusahaan Hutan Bina Desa HPH Bina Desa

Pemegang Hak Pengusahaan Hutan HPH sesungguhnya sejak awal memiliki tanggungjawab terhadap pemabangunan masyarakat desa melalui pembinaan masyarakat setempat, namun keadaan ini tidak sesuai dengan harapan, dimana terjadi kesenjangan ekonomi antara kedua belah pihak. Untuk mengatasi persoalaan kesenjangan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pembinaan dan pengembangan masyarakat di dalam dan sekitar hutan kepada pemegang HPH yang disebut dengan HPH Bina Desa yang diatur pelaksanaannya melalui SK Menteri Kehutanan No.691Kpts-II1991 tentang peranan pemegang HPH dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan. HPH Bina Desa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta meningkatkan kualitas sumberdaya hutan. Sasarannya diarahkan untuk ; 1. Meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja dan berusaha serta tumbuhnya ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan; 2. Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang memadai; 3. Terciptanya kesadaran dan prilaku positip dalam pelestarian sumberdaya hutan sehingga dapat meningkatkan keamanan sumberdaya hutan secara swakarsa dan pengendalian perladangan berpindah. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan HPH Bina Desa ditetapkan meliputi lima aspek yaitu pertanian menetap, peningkatan ekonomi, pengembangan sarana dan prasarana umum, sosial budaya serta pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan.

b. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PMDH