kelompok untuk menumbuhkan tanaman konservasi cenderung ditinggalkan. Kelompok melalui ketua kelompoknya tidak mampu untuk mengendalikan prilaku
pesanggem untuk lebih mengembangkan tanaman-tanaman yang memberikan manfaat ekonomi. Armah et al. 2009 dalam konteks pemberdayaan dan
konservasi di Ghana menemukan bahwa pemberdayaan dalam aspek sosial ekonomi berhasil namun memiliki kegagalan dalam partisipasi pada aspek ekologi
yaitu kondisi ekologi Korle Lagoon tidak meningkat. Hubungannya dengan hasil penelitian bahwa kegagalan dalam
mengkonservasi lahan disebabkan karena ketidakmampuan pemerintah dan kelompok dalam mengendalikan anggotanya melalui aturan main yang ada.
Artinya bahwa aturan mainawik-awik kelompok belum mampu untuk diimplementasikan secara tegas khususnya dalam konservasi kawasan. Hal ini
disebabkan karena Awik-awik yang terbangun belum mengandung kesepakatan yang tegas dan belum mengatur sanksi terhadap keharusan dalam
mengkonservasi. Sebagai implikasinya adalah masyarakat pesanggem cenderung untuk mengabaikan tindakan konservasi pada kawasan yang dikelolanya.
7.4. Paradoks Teori Partisipasi dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan
Teori partisipasi masyarakat community participation theory berkembang sebagai respon hasil pembangunan selama ini yang mengeksploitasi
masyarakat dalam pembangunan pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Manfaat penting dari partisipasi adalah terjadinya efektifitas pengambilan
keputusan dan posisi tawar antara masyarakat dan pemerintah Howell et al. 1987.
Teori partisipasi dibangun oleh tiga teori dasar yaitu Teori Demokrasi, Teori Pertukaran Sosial Social Exchange Theory dan Teori Mobilisasi Sosial
Social Mobilization Theory. Dari ketiga jenis teori yang membangun Teori Partisipasi tersebut, maka Teori Pertukaran Sosial memberikan kontribusi yang
relatif besar dalam Teori Partisipasi. Teori Pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik Adam Smith yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut
berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori Pilihan Rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki
tujuan berupa maksimisasi kepuasan untuk pemenuhan kebutuhan. Pertukaran
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tersebut dipengaruhi keterbatasan sumberdaya dan kelembagaan sosial. Goodman and Rizzer 2003; Turner 1987.
Akan tetapi, dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas Cook
1987. Menurut Thibaut dan Kelly 1959; Homans 1961 dan Blau 1964 yang mengkaji perkembangan Sosial Exchange Theory dalam Howell et al. 1987,
menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari benefit insentif. Insentif merupakan manfaat langsung maupun tidak
langsung dan dalam jangka pendek ataupun jangka panjang yang diterima oleh individu dari tindakan yang dilakukannya ataupun pemberian pihak luar. Benefit
dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan serta kepastian hak bundle of right dan kenyamanan. Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya
yang bersifat common-pool resources menurut Agrawal and Ostrom 2001 bahwa hak bundle of right mengandung empat unsur penting yaitu withdrawal,
management, exclusion dan alienation. Berdasarkan Teori Partisipasi dan kajian dari hasil penelitian, maka dalam
pembangunan perhutanan sosial HKm di Pulau Lombok ditemukan Paradoks dari Teori Partisipasi. Insentif melalui kebijakan pemerintah tidak
memenyebabkan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hutan Kemayarakatan dan malah sebaliknya yaitu partisipasi keaktifan
masyarakat rendah. Demikian juga dengan insentif dari manfaat tidak langsung konservasi memiliki hubungan yang rendah dengan partisipasi masyarakat dalam
menumbuhkan tanaman kayu-kayuan sebagai tanaman konservasi. Kebijakan pemerintah berupa pemberian hak pemanfaatan menjadi 35
tahun dan terbatas pada hanya hak pemanfaatan saja sebagai suatu insentif seharusnya mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
Hutan kemasyarakatan, namun demikian justru menyebabkan partisipasi masyarakat rendah. Waktu pengelolaan sesungguhnya merupakan insentif, karena
meningkatkan kepastian hak pengelolaan dan pemanfaatan kawasan sehingga terdapat kepastian dan jaminan untuk dapat memperoleh hasil panen dari
tanaman MPTS tanaman umur panjang yang diusahakan. Idiologis masyarakat pesanggem belum menganggap kebijakan tersebut sebagai sebuah insentif untuk
mendorong partisipasinya dalam pembangunan HKm. Hal tersebut menjadi rasional juga bila dipandang meskipun kebijakan memberikan kepastian atau
perpanjangan hak jangka waktu pemanfaatan, namun haknya hanya terbatas pada memanfaatkan dari seberkas hak bundle of right yang ada. Hak pemanfaatan
memberikan keterbatasan atau kebebasan untuk mengelola kawasan termasuk dalam bentuk atau sistem usahatani yang ada dalam kawasan hutan mendorong
timbulnya rasa kepemilikan yang rendah terhadap kawasan tersebut dan berimplikasi pada rendahnya partisipasi masyarakat pesanggem pada program
pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Kemudian Paradoks Teori Partisipasi lainnya adalah dalam perlindungan
kawasan hutan melalui aktivitas konservasi kawasan. Konservasi merupakan insentif secara tidak langsung, karena memberikan manfaat terhadap perlindungan
kawasan. Konservasi memberikan manfaat jangka panjang terhadap kesuburan kawasan karena perbaikan tata air dan menjaga lahan dari erosi. Sebenarnya
dengan adanya insentif dari aktivitas konservasi, maka masyarakat terdorong berpartisipasi yang kuat dalam dalam kegiatan tersebut. Namun kejadian tersebut
tidak demikian, hubungan partisipasi dengan kondisi ekologi kawasan penumbuhan tanaman konservasi adalah rendah. Hal ini ditujukkan dari hasil
wawancara mendalam bahwa masyarakat pesanggem bahkan mengurangi tanaman konservasi dan memperbanyak tanaman memiliki nilai ekonomi.
Bila dikaitkan dengan dasar Teori Pertukaran Sosial Social Exchange Theory yang membangun Teori Partisipasi bahwa pertukaran terjadi apabila
terdapat insentif ekonomi ataupun penghargaan non ekonomi yang diterima oleh antar pelaku. Atau dengan ungkapan lain bahwa partisipasi terjadi bila terdapat
insentif baik yang bersifat ekonomi atau non ekonomi reward. Pesanggem seharusnya memiliki partisipasi yang tinggi pada penumbuhan
tanaman konservasi. Namun sebaliknya terjadi partisipasi yang rendah dan hal ini nampaknya cukup rasional bagi dari pandangan pesanggem. Pesanggem memiliki
pandangan atau pengetahuan kurang lengkap mengenai manfaat konservasi, sehingga beranggapan bahwa konservasi bukan merupakan insentif dan
sebaliknya kegiatan konservasi dianggap sebagai sumber pengeluaran dan manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung.
Bila dikaitkan dengan output dari konservasi adalah jasa lingkungan barang publik seperti kondisi iklim setempat dan ketersedian sumberdaya air dan
dalam kondisi pesanggem yang memiliki keterbatasan rasionalitas bounded rationality, maka keputusan partisipasi pesanggem yang menghindar atau
mengurangi aktivitas konservasi menjadi rasional pula. Artinya pesanggem tidak mendapat manfaat dari kegiatan konservasi, karena outputnya berupa barang
publik yang dinikmati oleh semua orang. Pada kondisi sekarang bahwa keadaan iklim setempat masih baik dan ketersediaan air masih berlimpah serta tidak
memiliki persaingan untuk memperolehnya, maka logis setiap individu termasuk pesanggem kurang peduli terhadap tindakan konservasi dengan catatan bahwa
masih ada alternatif yang lebih menguntungkan yaitu mengembangkan tanaman MPTS yang memiliki nilai ekonomi sebagai bentuk insentif yang akan diterima
oleh petani pesanggem. Pada kondisi individu dihadapkan pada barang publik, maka individu
cenderung menjadi penumpang gelap dan kejadian ini lebih parah dalam kelompok yang lebih besar dan barang milik bersama common good dan terjadi
kecenderungan lebih parah dengan semakin besarnya kelompok yang ada. Peristiwa ini pernah diungkapkan oleh Hardin 1968 bahwa karena pada
sumberdaya milik bersama dan bersifat open access. Pada karakteristik sumberdaya tersebut, terjadi peluang suatu kehancuran yang kita dengan dengan
istilah Tragedy of Common. Pada peristiwa ini semua masyarakat dapat mengakses sumberdaya tersebut, namun tidak satupun yang berusaha memelihara
sumberdaya tersebut, sehingga sumberdaya tersebut mengalami kehancuran negative eksternalitas.
Karakteristik sumberdaya yang diungkapkan oleh Hardin 1968 ini nampaknya sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan jika sifatnya open
access dalam menghasilkan jasa lingkungan, sehingga memiliki potensi untuk terjadinya tragedy of common tersebut. Oleh karena itu, maka untuk menghindari
terjadinya tragedi tersebut pada sumberdaya yang bersifat common tersebut diperlukan pengelolaan yang tepat melalui intervensi pemerintah dalam
pengaturan akses terhadap sumberdaya tersebut.
Dikaitkan dengan kawasan HKm di Pulau Lombok bahwa pelibatan masyarakat didalamnya seperti pisau bermata dua yaitu pada satu sisi dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun pada sisi lainnya merupakan pintu perambahan bila masyarakat tidak dapat melindungi kawasan tersebut dan
kehancuran kawasan hutan karena tidak terkonservasi. Partsipasi masyarakat pesanggem nampaknya sangat sulit diharapkan dalam aspek konservasi. Oleh
karena itu diperlukan model pengelolaan yang cukup tepat dan bijak dalam pembangunan kawasan Hutan Kemasyarakatan.
Beberapa bentuk pengelolaan yang memungkinkan adalah melalui intervensi yang kuat dari pemerintah melalui kebijakan, kemudian dapat juga
dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat khususnya pembelajaran mengenai konservasi. Pemberdayaan lainnya seperti pengembangan aktivitas ekonomi
masyarakat kawasan, penataan kelembagaan serta penataan kawasan HKm yang lebih memberikan manfaat ekonomi lebih tinggi dan seimbang melalui penataan
antar tanaman pangan, MPTS dan tanaman konservasi serta menata dan mengemkan tanaman bernilai ekonomi tinggi yang memiliki tuntutan konservasi
tanaman, sehingga menanam tanaman ekonomi tinggi sekaligus memiliki manfaat konservasi kawasan.
VIII. RANCANGAN ALTERNATIF MODEL PARTISIPATIF PERHUTANAN SOSIAL BEKELANJUTAN DI PULAU LOMBOK
Dalam merancang model partisipatif perhutanan sosial disusun berdasarkan rancangan model pada kawasan HKm, kemudian dikembangkan
dalam bentuk model integrasi dengan menambahkan pertimbangan sosial ekonomi dalam model kawasan tersebut. Pertimbangan aktivitas masyarakat
dalam program pembangunan, penataan kelembagaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Integrasi model ini dikembangkan atas dasar bahwa untuk menjadikan hutan lestari tidak cukup dengan hanya mengembangkan areal hutan saja, namun
kelembagaan, masyarakat dan serta kesejahteraannya harus mendapat perhatian. Setelah model integrasi terbangun, baru kemudian disusun strategi untuk menjadi
pertimbangan dalam implementasi model. Strategi tersebut dipertimbangkan berdasarkan tujuan, kebutuhan, aktor terlibat dan kendala yang dihadapi dalam
mencapai tujuan model tersebut.
8.1. Alternatif Model Dalam Kawasan Hutan Kemasyarakatan
Dari hasil penelitian melalui observasi dan survai ditemukan 6 bentuk agroforestri dalam pengembangan kawasan atau areal HKm di Pulau Lombok
berdasarkan tanaman intibasis yang didusahakan masyarakat. Keenam bentuk agroforestri tersebut adalah Agroforestri Buah-buahan, Agroforestri Vanili,
Agroforestri Sengon, Agroforestri Pangan, Agroforestri Kopi dan Agroforestri Gaharu.
Pada dasarnya setiap bentuk agroforestri tersebut tidak berdiri sendiri dengan tanaman intinya, namun dikembangkan juga beberapa jenis tanaman
lainnya, baik tanaman MPTS ataupun tanaman pangan. Keenam bentuk agroforestri tersebut tidak saja dikembangkan di areal HKm pada kawasan hutan
lindung dan hutan produksi di Pulau Lombok, akan tetapi dikembangkan juga pada lahan milik masyarakat seperti dalam kebun campuran dan tegalan.
Untuk memperoleh model prioritas dalam kawasan HKm digunakan analisis AHP dengan beberapa kriteria sebagai pertimbangan yaitu tingkat
penutupan areal, kemampuan mengkonservasi kawasan, ketersediaan teknologi,