Aksi Kolektif Multipihak dan Aksi Kolektif Dalam Sektor Kehutanan 1. Proses Multipihak

LOCAL First Appropriators EXTERNAL Second Appropriators POLICY MAKERS LOCAL First Appropriators Identifikasi Kepentingan samabeda EXTERNAL Second Appropriators Identifikasi Kepentingan samabeda POLICY MAKERS Identifikasi Kepentingan samabeda Sumber. Fahmi et al. 2003 PP Gambar 4. Skema Hubungan Antar Pihak dalam Proses Kehutanan Multipihak Konsekuensi hal di atas adalah bahwa konsolidasi institusional para-pihak tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Karena itu, untuk melihat kelayakannya pada skala institusi, perlu didiskusikan terlebih dahulu kelayakan kerjasama dimaksud pada tingkat individu, khususnya antara individu-individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri self-interest.

2.2.3.2. Aksi Kolektif

Pemikir analisis institusional telah menunjukkan bahwa suatu aksi bersama collective action di antara individu atau kelompok dapat berlangsung jika manfaat yang diperoleh, atau diharapkan oleh para pihak dari keterlibatannya dalam aksi tersebut lebih besar daripada biaya yang harus ditanggung. Manfaat tidak harus berupa manfaat segera, tapi dapat pula berupa manfaat yang diharapkan di masa depan dan manfaat tidak harus terdistribusi merata. Aksi bersama dapat terjadi jika aktor-aktor dominan mendapatkan keuntungan yang membuatnya tertarik menggagas, mendorong danatau melaksanakan aksi bersama. Biaya yang terutama dimaksud di sini adalah biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menggalang aksi bersama, MSP termasuk untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Selanjutnya rasa saling percaya dapat dijadikan mekanisme untuk meminimalkan biaya transaksi, sehingga memungkinkan terjadinya aksi bersama Fahmi et al. 2003. Proposisi di atas merupakan koreksi terhadap model “the tragedy of the common” dan model “the prisoner’s dilemma”, yang pesimis terhadap kelayakan aksi bersama. Model di atas banyak mempengaruhi pemikir dan perumus kebijakan publik tahun 1960-an, dan menjastifikasi peran dominan institusi negara. Premis mengenai fenomena penunggang gelap free rider: seseorang yang tidak dapat dikecualikan dalam pemanfaatan suatu barangjasa publik ketika barangjasa tersebut telah tersedia tidak akan memperoleh insentif untuk berkontribusi dalam penyediaannya. Faktor pendorong terjadinya aksi bersama adalah ada dan dipatuhinya kesepakatan tentang tujuan, batas, dan landasan kerjasama, tersedianya struktur insentif dan dis-insentif yang menjamin para-pihak mematuhi komitmennya. Mendasari faktor-faktor di atas adalah pengakuan dan penghormatan atas kesetaraan posisi para pihak yang bekerja sama. Namun meski telah semakin lengkap, pemenuhan faktor-faktor di atas tetaplah menyisakan satu faktor kritis, yaitu waktu. Waktu adalah penguji kredibilitas komitmen para pihak yang tak dapat dimanipulasi atau digantikan. Pemenuhan berbagai faktor syarat yang disebut sebelumnya, meski penting, belum menjamin tercapainya hasil yang memuaskan. Menurut Fisher 1995 di dalam Asanga 2005 bahwa pendekatan kolaboratif atau aksi bersama dalam pengelolaan hutan memiliki keuntungan yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat lokal berupa akses dan pendapatan dari produk hutan sebagai konsekuensi dari masyarakat yang melakukan konservasi. Kemudian Mitchell et al. 2003 menyatakan bahwa ada beberapa alasan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yaitu ; a. Merumuskan persoalan menjadi lebih efektif; b. Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima; c. Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan ilmiah; d. Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya. Namun Asanga 2005 dalam kasus pendampingan masyarakat mengkonservasi hutan di Kamerun menemukan adanya kelemahan dari pendekatan multipihak yang kolaboratif yaitu keputusan yang dibuat tidak selalu partisipatif, karena beragamnya kepentingan dari masing-masing pihak. Beragamnya kepentingan tersebut dikemukakan oleh Peluso 2006 di dalam Maring 2008 bahwa negara memiliki kepentingan atas hutan untuk mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan dengan menguasai lahan, spesies dan tenaga kerja serta aspek idiologis. Sementara itu, kepentingan masyarakat adalah menguasai hutan adalah sebagai tempat untuk bertahan hidup, kekuasaan dan tanggungjawab memelihara warisan nenek moyang serta hutan merupakan masa depan anak cucu. Lebih jauh, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM masuk memiliki kepentingan terlibat dalam pengelolaan hutan untuk mendukung kepastian hak property right atas lahan bagi masyarakat Maring 2008. Beragamnya kepentingan stakeholder tersebut timbul dari tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mewujudkan kepentingan tersebut, sering sekali digunakan kekuatan power yang muncul dari kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Sebagai konsekuensinya adalah muculnya konflik kepentingan, sehingga tidak tercapainya aksi bersama sebagai keputusan akhir yang baik bagi semua pihak Maring 2008. Keputusan aksi bersama dapat juga tidak tercapai sebagai akibat dari besarnya kelompok, sehingga keputusan yang diambil tidak mewakili kepentingan anggota. Pada kondisi yang demikian keberadaan anggota dalam organisasi atau kelompok sering diibaratkan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Artinya, tidak satupun dari anggota kelompok dapat mempengaruhi keputusan yang diambil Olson 1977. Konfik kepentingan para pihak belum cukup untuk memahami persoalan pengelolaan hutan, karena masih ada faktor lain yaitu karakteristik dari sumberdaya hutan itu sendiri. Berdasarkan kepemilikannya, maka hutan dapat dikelompokkan dalam Common-Pooll Resources CPR yang dapat dibedakan dari barang publik lainnya. Karakteristik hutan sebagai barang yang bersifat CPR dicirikan sebagai berikut ; a. konsumsinya bersifat individual dan bersaing; b. tidak mungkin, atau sangat mahal, untuk mengeluarkan seseorang dari konsumsi sekali barangjasa dimaksud telah tersedia. Dengan demikian, maka menyebabkan terjadinya persaingan untuk meraih manfaat tanpa harus memberikan kontribusi membayar, menjadikan para pihak rentan terlibat konflik, sebagaimana meluas terjadi pada berbagai lingkungan dan masa. Dengan kata lain, setiap orang mendapat insentif untuk menjadi penunggang gelap free-rider. Sementara, karena persoalan kecukupan pasokan sebagaimana digambarkan di atas, maka penyediaan barangjasa tersebut haruslah dilakukan melalui aksi bersama, termasuk dengan mewajibkan setiap penerima manfaat potential beneficiaries untuk berkontribusi dalam penyediaannya Fahmi et al. 2003; Kartodiharjo 2006a; Runge 1992. Karena karakteristik dari sumberdaya hutan yang termasuk dalam katagori CPR, maka diperlukan suatu penyusunan institusi khusus pula. Fahmi et al. 2003 mengungkapkan bahwa institusi yang dimaksud dapat berupa institusi masyarakat institusi komuniti yang dapat mengatur fungsi produksi dan fungsi konsumsi suatu CPR. Institusi tersebut sebaiknya tumbuh dari sekelompok orang yang memenuhi ciri-ciri suatu komuniti, seperti masyarakat hukum adat. Pada masyarakat tersebut, telah berkembang antar generasi suatu aturan-main rules-in- use yang mengatur apa yang boleh, harus, dan terlarang dilakukan oleh warga komuniti. Singkat kata, institusi komuniti memiliki struktur insentif dan dis- insentif, yang memungkinkan komuniti dapat memenuhi keperluan kolektifnya, termasuk keperluan kolektif akan CPR. Prinsip desain tersebut adalah: 1. Adanya batas boundaries yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan CPRnya sendiri; 2 Kesesuaian antara aturan rules pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; 3 Modifikasi susunan pilihan- kolektif collective-choice arrangements, khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan pihak-pihak yang terkena dampaknya; 4. Pemantauan perilaku pengambil manfaat appropriators dan kepada siapa pemeriksa kondisi CPR bertanggungjawab; 5. Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; 6. Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan 7. Pengakuan minimal atas hak komunitas untuk mengorganisasikan diri. Mengingat bahwa spessifiknya karakteristik hutan, maka diperlukan metode tertentu dalam menganilisisnya. Atribut yang tersusun tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Oakerson 1992 mengemukaan empat atribut atau variabel yang digunakan untuk kepentingan analisis barang yang bersifat common yaitu a. variabel fisik merupakan fasilitas dan teknologi tepat guna yang digunakan memproduksi sumberdaya tersebut; b. pengaturan organisasi atau aturan main yang digunakan untuk pengambilan keputusan; c. pola interaksi antar stakeholders; dan d. hasil outcomes dan konsekuensi. Hubungan masing-masing atribut digambarkan pada skema di bawah ini. Sumber. Oakerson 1992 Gambar 5. Skema Analisis Barang yang Bersifat Common 2.3. Manajemen Pengelolaan Hutan di Indonesia 2.3.1. Sejarah Pengelolaan Hutan