concentration dari ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap mikroba uji menurut Murhadi 2002 hasil modifikasi dari Muroi et al. 1993 dan
Kubo et al. 1995. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis ekstrak yang memiliki aktivitas antimikroba paling besar berdasarkan tingkat kepolaran pelarut.
Pada tepung biji dan umbi serta masing-masing ekstraknya dilakukan pengujian secara kualitatif komponen fitokimianya, meliputi tanin, alkaloid,
saponin, glikosida, flavonoid, sterol danatau triterpen. Komponen fitokimianya dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui jenis komponen fitokimia yang
terdapat pada masing-masing ekstrak.
2. Fraksinasi ekstrak yang teraktif dan pengujian aktivitas antibakteri masing-masing fraksi
Ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi difraksinasi untuk diuji masing-masing fraksi yang terdapat pada biji dan umbi teratai terhadap bakteri
EPEC K1.1 dan S. Typhimurium, dengan menggunakan metode bioautografi dan difusi agar atau sumur Gariga et al.1983. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui
fraksi yang paling berperan sebagai antibakteri. Identifikasi komponen yang diduga memiliki aktivitas antibakteri dari
beberapa fraksi dari ekstrak biji dan umbi teratai dilakukan dengan alat GCMS Gas Chromatography Mass Spectrofotometer. Identifikasi dan konfirmasi
identitas komponen dilakukan dengan bantuan komputer untuk membandingkan spektra massa suatu senyawa dengan pola spektra massa pada mass spectra
library koleksi Wiley229. 3. Analisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi
teratai.
Analisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi teratai dilakukan dengan HPLC. Pada tahap ini dianalisis komposisi fraksi
karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi teratai, meliputi monosakarida glukosa dan fruktosa, disakarida sukrosa, oligosakarida
rafinosa dan stakiosa. Pengujian fraksi karbohidrat yang sudah dipisahkan pada tahap sebelumnya,
dianggap sebagai gula pada media pertumbuhan dengan memodifikasi media pertumbuhannya secara in vitro Kaplan Hutkins 2000. Tahap ini bertujuan
untuk mengetahui apakah fraksi karbohidrat yang diduga berperan sebagai prebiotik dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobacterium uji,
yaitu dengan membandingkan antara glukosa yang terdapat pada media pertumbuhan bakteri asam laktat dan bifidobaterium sebagai sumber karbohidrat
dengan gula lain yang terdapat pada biji dan atau umbi teratai. Fraksi karbohidrat yang dapat difermentasi dan dihasilkan asam sebagai produk akhir ditandai
dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi oleh zona warna kuning 3 mm dengan latar belakang berwarna abu-abu. Sedangkan koloni yang tidak dapat
memfermentasi fraksi karbohidrat uji menghasilkan koloni berwarna putih kecil tanpa zona berwarna kuning.
4. Evaluasi aktivitas biologis tepung biji teratai ekstrak biji teratai terhadap tikus percobaan
Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan jenis Sprague
Dawley selama 28 hari untuk mengevaluasi aktivitas biologis biji teratai baik yang berupa tepung maupun ekstrak biji dan kaitannya dengan pencegahan diare.
Pada tahap ini, tepung biji disubstitusikan ke dalam pakan standar tikus percobaan secara isokalori dan isonitrogen. Pembuatan ransum standar mengikuti metode
AOAC 1990 dengan kasein sebagai sumber protein ransum 10. Komposisi ransum sebagai berikut :
1.6 x 100 Protein a
= -------------------- Kadar N kasein
a x Kadar Lemak Lemak b
= [8 - -------------------------] 100
a x Kadar Abu
Mineral c = [ 5 - -------------------------- ]
100
a x Kadar Air Air d
= [ 5 - --------------------- ] 100
a x Kadar Serat Serat e
= [ 1 - ----------------------- ] 100
Vitamin f = 1
Pati = 100 – a + b + c + d + e + f
Sumber protein yang digunakan adalah kasein, sebagai sumber lemak adalah minyak jagung. Mineral yang digunakan merupakan mineral mix yang terdiri dari
KI 0.79 g, NaCl 139.30 g, KH
2
PO
4
389.00 g, MgSO
4
anhidrat 53.702 g, CaCO
3
381.40 g, FeSO
4
.7H
2
O 27.00 g, MnSO
4
.2H
2
O 4.01 g, ZnSO
4
.7H
2
O 0.55 g, CuSO4.5H2O 0.48 g dan CoCl
2
.6H
2
O 0.02 g Muchtadi 1989. Air yang digunakan adalah air minum kemasan, sebagai sumber serat adalah selulosa dan
vitamin yang digunakan adalah vitamin mix Vitamin A, B
1
, B
2
, B
3
, B
6
, B
12
,C, D
3
, E, Ca Panthotenat. Pati yang digunakan adalah pati jagung.
Komposisi ransum yang diberikan pada grup tikus percobaan untuk masing- masing perlakuan seperti tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi ransum tikus percobaan modifikasi AOAC 1990
Bahan Grup tikus percobaan
Kontrol Biji teratai
Ekstrak biji teratai FOS
Kasein 11.09
9.02 11.09
11.09 Minyak jagung
7.94 6.46
7.94 7.94
Mineral mix 4.56
3.71 4.56
4.56 Air 4.52
3.68 4.52
4.52 Selulosa 1.00
0.81 1.00
1.00 Vitamin mix
1.00 0.81
1.00 1.00
FOS 0 6.00
Pati jagung 69.89
56.85 69.89
63.89 Biji teratai tepung
18.66 Total 100
100 100
100
Grup kontrol menggunakan ransum standar Modifikasi AOAC 1990 Ransum yang diberikan : 10 ghariekor tikus
Kasein sebagai sumber protein ransum 10
Ada dua kelompok tikus yang akan dipelajari yaitu kelompok tikus normal sehat dan kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 Gambar 5. Masing-
masing kelompok tikus dibagi menjadi 4 grup tikus n=9 ekor, yaitu : 1.
Grup tikus yang mendapat ransum standar 2.
Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai 20 MIC
3. Grup tikus yang mendapat ransum standar dan ekstrak biji teratai yang
teraktif 20 MIC 4.
Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan FOS 6 yang memiliki potensi aktivitas sebagai prebiotik.
Gambar 5. Bagan penelitian secara in vivo Pemberian ransum dilakukan dari hari ke-1 hingga ke-28, dengan
banyaknya ransum yang diberikan adalah 10 ghariekor tikus percobaan. Perlakuan ransum yang diberikan, sebagai berikut :
- ransum standar KontrolK - ransum standar disubstitusi tepung teratai 20 MIC
- ransum standar + ekstrak etil asetat biji teratai 20 MIC cekok - ransum standar disubstitusi FOS 6 cekok
Kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 mendapat ransum perlakuan yang sama dengan kelompok sehat, yaitu dari hari ke-1 sampai ke-28. Akan tetapi pada
hari ke-14 – 21 dilakukan intervensi cekok EPEC K1.1 sehingga tikus menjadi
diare. Setelah hari ke-22 intervensi EPEC K1.1 dihentikan.
Agar terjadi diare pada tikus percobaan, tikus percobaan diintervensi dicekok dengan EPEC K1.1 pada jumlah koloni tertentu koloniml yang sudah
diketahui dari hasil penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemberian inokulum EPEC K1.1 pada beberapa konsentrasi koloniml
sehingga tikus menjadi diare yang ditandai dengan feses yang cair. Penelitian pendahuluan mengacu pada hasil penelitian Oyetayo 2004, dimana intervensi
1 14
21 28
Terminasi1 Terminasi2
Terminasi 3 K0
sebanyak 0.3 ml dari 10
5
CFUml EPEC K1.1 telah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan tanpa menyebabkan kematian.
Evaluasi aktivitas biologis biji dan ekstrak biji teratai terhadap tikus percobaan dilakukan dengan mengamati : berat badan tikus setiap 4 hari,
konsumsi ransum setiap hari, jumlah bakteri asam laktat aerob dan anaerob pada hari ke-0, 14, 21 dan 28, total mikroba pada hari ke-0, 14, 21 dan 28,
total E. coli isi sekum pada hari ke-0, 14, 21 dan 28, histologi usus halus dan imunohistokimia IgA usus halus tikus percobaan pada hari ke-0, 14, 21, 28.
5. Evaluasi potensi biji teratai dan ekstraknya sebagai imunomodulator