Penelitian Lanjutan 1 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap konsumsi

E.coli dari isi sekum tikus percobaan yaitu 20 MIC ≈ 1,866 g tepung biji teratai. Hasil tersebut digunakan untuk penelitian selanjutnya. 2. Penelitian Lanjutan 2.1 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan Penyusunan ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dilakukan secara isokalori dengan mempertimbangkan zat gizi yang terdapat pada tepung biji teratai yang mempengaruhi pertumbuhan tikus percobaan, seperti kadar protein, lemak dan karbohidrat. Pada perlakuan dengan FOS Fruktooligosakarida, FOS diberikan sebanyak 6 dari ransum dan diberikan dengan cara dicekok. Kurva kenaikkan berat badan tikus percobaan selama masa perlakuan 28 hari dan total konsumsi ransum pada masing-masing grup tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus percobaan yang sehat, konsumsi rata-rata ransum tepung biji teratai lebih tinggi dibandingkan kontrol, grup ekstrak biji teratai, dan FOS Gambar 19. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap total konsumsi ransum tikus percobaan P0.05 Lampiran 4. Pada Gambar 19 terlihat terjadi kenaikan berat badan pada semua tikus percobaan. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan rata-rata tikus percobaan P0.05 Lampiran 4. Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai lebih rendah dibanding grup lain, dan berdasarkan analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga pemberian ekstrak biji teratai dapat menghambat pertambahan berat badan pada tikus percobaan yang berkorelasi dengan rendahnya nilai efisiensi ransum. Berdasarkan efisiensi penggunaan ransum, yang merupakan perbandingan antara kenaikan berat badan dengan total konsumsi, nilainya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus yang sehat, pengaruh perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi ransum. Berdasarkan uji Duncan menunjukkan, pemberian ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak biji teratai. Sementara nilai efisiensi ransum pada perlakuan tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan substitusi tepung biji teratai dan FOS tidak berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum, pada kondisi sehat. Sebaliknya pada perlakuan ekstrak biji teratai, karena pertambahan beratnya lebih rendah dari grup lain, akibatnya nilai efisiensi ransum juga lebih rendah. Gambar 19. Konsumsi ransum ratra-rata g , kenaikan berat badan rata-rata g dan efisiensi ransum tikus percobaan kelompok yang sehat. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 Banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan 28 hari pada kondisi tikus percobaan diintervensi EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 20. Pada grup ekstrak biji teratai terlihat konsumsi rata-rata per ekor tikus percobaan lebih rendah dibandingkan grup biji teratai dan FOS. Demikian pula pada grup kontrol yang mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, konsumsi rata-rata per ekor tikus lebih rendah dibanding grup biji teratai dan FOS. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan 28 hari pada grup tikus yang mendapat ransum tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan grup ekstrak biji teratai dan grup kontrol yang diare setelah diintervensi EPEC K1.1 Gambar 20 Lampiran 4. Hal ini menunjukkan bahwa diare pada tikus percobaan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya konsumsi ransum. a a b b a b a a b b 4 8 12 16 20 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS gram g b perse n gram g a Gambar 20. Konsumsi ransum rata-rata g , , kenaikan berat badan rata-rata g dan efisiensi ransum tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan selama 28 hari pada kondisi tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1, dapat dilihat pada Gambar 20. Kenaikan berat badan tikus percobaan pada grup ekstrak biji teratai dan kontrol terlihat sedikit lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 P0.05 Lampiran 4. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai berbeda nyata dengan perlakuan biji teratai dan FOS, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum Gambar 20. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FOS dapat mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein atau asam amino ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan. a a a a ab a 4 8 12 16 20 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS gram g per sen b b a a b b Pemberian prebiotik FOS dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria probiotik. Menurut Winarsih 2005 pemberian probiotik menyebabkan efisiensi penggunaan ransum menjadi lebih baik, terutama pada ayam yang diinfeksi dengan Salmonella, dimana akibat infeksi tersebut terjadi lesio pada usus yang menyebabkan terganggunya proses pencernaan dan penyerapan. Berdasarkan penelitian Sofjan 2003 yang dikutip oleh Winarsih 2005 menunjukkan bahwa pemberian probiotik Bacillus sp pada ayam petelur dapat meningkatkan asam amino dalam usus. Adanya peningkatan jumlah asam amino maka jumlah asam amino yang diserap mengalami peningkatan, sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan dan kesehatan ayam. Pemberian probiotik juga dapat memperbaiki daya cerna protein ransum, dimana Bacillus apiarius dan B. coagulans diketahui dapat menghasilkan enzim pencernaan seperti amilase, protease dan lipase yang akan membantu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dapat diserap usus. Adanya penambahan enzim pencernaan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut akan meningkatkan penyerapan zat gizi dari ransum yang berkorelasi dengan pertambahan berat badan pada hewan percobaan. Dengan demikian , pemberian FOS dan tepung biji teratai juga dapat mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba dan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan. Pada grup yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai, meskipun setelah intervensi EPEC K1.1 tidak menunjukkan gejala diare seperti halnya pada grup kontrol, tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan FOS. Adanya hubungan antara total konsumsi ransum dan kenaikkan berat badan, dimana pada grup ekstrak biji teratai total konsumsi ransum rata-rata per ekor tikus percobaan selama 28 hari lebih rendah dibandingkan dengan grup lain. Akibatnya total kenaikkan berat badan rata-rata juga lebih rendah. Hal ini menunjukkan efisiensi ransum juga lebih rendah dibanding grup yang lain. Adanya komponen aktif dari ekstrak biji teratai diduga mempengaruhi konsumsi ransum pada grup ini, yang berpengaruh pada berat badan. Pada grup kontrol yang diintervensi EPEC K1.1 dimana tikus percobaan mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, meskipun total konsumsi ransumnya tidak berbeda dengan grup perlakuan lainnya akan tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah. Kondisi ini berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum yang juga lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Hal ini menunjukkan bahwa diare mengakibatkan terganggunya penyerapan zat gizi yang berkorelasi dengan berat badan. 2.2 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total mikroba pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap mikrobiota usus pada penelitian ini dilakukan pada bagian sekum, baik isi sekum maupun mukosa sekum, karena sekum merupakan bagian proksimal usus besar. Pada hewan non-ruminansia seperti tikus, proses fermentasi oleh mikrobiota sebagian besar terjadi di bagian sekum Le Blay et al. 1999. Pengamatan terhadap isi sekum dan mukosa sekum dengan pertimbangan bahwa, menurut Surono 2004, ekosistem mikroba pada bagian bawah saluran pencernaan dibagi menjadi dua sub ekosistem. Pertama adalah bakteri luminal, dimana komposisi bakteri saluran pencernaan lumen hanya ditentukan oleh ketersediaan nutrisi dan pengaruh senyawa antimikroba. Kedua, bakteri mukosal, yang ditentukan oleh laju produksi mukus, produksi imunoglobulin yang disekresikan, ekstrusi bahan seluler dari membran ke mukus dan ekspresi inang tempat pelekatan. Oleh karena itu pada penelitian ini diamati kedua bagian tersebut isi sekum dan mukosa sekum. Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum pada kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 sehingga menjadi diare dan setelah 1 minggu intervensi dihentikan dilakukan dengan menghitung total mikroba isi sekum dan mukosa sekum. Pada Tabel 17terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFUg isi sekum, setelah diberi perlakuan selama 2 minggu terjadi peningkatan total mikroba pada isi sekum dan mukosa sekum grup tepung biji teratai. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pemberian biji teratai pada ransum berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum dan mukosa sekum Lampiran 5a dan 5f. Tabel 17. Total mikroba isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Waktu Perlakuan Perlakuan Bagian sekum yang diamati Isi sekum Log CFUg Mukosa sekum Log CFUcm 2 Sehat 0 Minggu - 8.57±0.39 4.94±0.41 Sehat 2 Minggu Kontrol 8.43±0.30 ab 5.88±0.63 b Biji teratai 9.25±0.53 b 6.04±0.53 b Ekstrak biji teratai 8.22±0.74 a 4.57±0.49 a FOS 8.14±0.14 a 4.92±0.19 a Sehat 3 Minggu Kontrol 8.64±0.35 a 6.36±0.61 b Biji teratai 8.65±0.46 a 6.63±0.42 b Ekstrak biji teratai 8.10±0.22 a 4.82±0.92 a FOS 8.22±0.30 a 4.92±0.27 a Sehat 4 Minggu Kontrol 8.70±0.47 a 4.54±0.38 a Biji teratai 8.58±0.41 a 5.65±1.30 a Ekstrak biji teratai 8.16±0.16 a 4.51±0.51 a FOS 8.24±0.46 a 4.57±0.47 a Setelah intervensi EPEC K1.1 3 Minggu Kontrol 8.01±0.06 a 4.39±0.34 a Biji teratai 8.54±0.25 a 5.22±0.43 a Ekstrak biji teratai 8.16±0.53 a 4.16±0.59 a FOS 8.53±0.44 a 4.55±0.51 a 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 Minggu Kontrol 8.76±0.23 a 4.64±0.38 a Biji teratai 8.23±0.59 a 5.49±0.50 a Ekstrak biji teratai 7.53±1.24 a 4.34±0.92 a FOS 9.05±0.80 a 4.94±0.23 a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata P0.05 Setelah 3 minggu dan 4 minggu perlakuan, pemberian ransum perlakuan pada tikus percobaan yang sehat menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum P0.05 Lampiran 5b dan 5c. Akan tetapi pada total mikroba mukosa sekum, perlakuan ransum selama 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total mikroba mukosa sekum P0.05 Lampiran 5g. Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pemberian tepung biji teratai berbeda nyata dengan grup FOS dan ekstrak biji teratai, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan grup kontrol Lampiran 5g. Pemberian FOS tidak berpengaruh terhadap jumlah total mikroba baik isi sekum maupun mukosa sekum, dibandingkan dengan jumlah total mikroba awal dari hewan coba. Menurut Gibson et al. 1995 penambahan oligofruktosa FOS ke dalam ransum tidak mengubah total bakteri, akan tetapi menurunkan jumlah bacteriodes, clostridia dan fusobacteria. Demikian pula menurut Bielecka et al. 2002 pemberian FOS tidak mengubah total mikroba, akan tetapi meningkatkan Bifidobacterium dan menurunkan coliform. Pengamatan terhadap total mikroba isi sekum saat intervensi EPEC K1.1dan setelah intervensi EPEC K1.1dapat dilihat pada Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFUg isi sekum, setelah diintervensi EPEC K1.1 pada grup yang diberi perlakuan tepung biji teratai terjadi sedikit peningkatan total mikroba isi sekum dan setelah intervensi dihentikan, total mikroba isi sekum grup tepung biji teratai mengalami sedikit penurunan. Demikian pula pada grup ekstrak biji teratai, total mikroba isi sekum setelah diintervensi EPEC K1.1 cenderung tidak berbeda dengan grup tepung biji teratai. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata P0.05 Lampiran 5d dan 5e terhadap total mikroba isi sekum tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1. Hal ini menunjukkan intervensi EPEC K1.1 tidak menyebabkan peningkatan total mikroba isi sekum, baik pada grup tepung biji teratai, FOS maupun ekstrak biji teratai.

2.3 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total E.coli

pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 dan setelah 1 minggu intervensi dihentikan, dilakukan dengan menghitung total E.coli isi sekum dan mukosa sekum, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18. Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai selama dua minggu dan tiga minggu tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum dua minggu dan tiga minggu tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap total E.coli isi sekum pada kelompok tikus yang sehat P0.05 Lampiran 6a dan 6b. Perlakuan substitusi tepung biji teratai pada ransum setelah 4 minggu mampu menurunkan jumlah E.coli isi sekum, dimana secara statistik substitusi tepung teratai secara nyata dapat menurunkan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol P0.05 Lampiran 6c. Demikian pula dengan pemberian ekstrak biji teratai setelah empat minggu pemberian, dapat menurunkan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol P0.05 Lampiran 6c. Pada kondisi sehat, pemberian FOS baik selama 2, 3 maupun 4 minggu pada penelitian ini, tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol P0.05 Tabel 18. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian prebiotik dapat meningkatkan jumlah E.coli karena E.coli merupakan bakteri yang dapat tumbuh dengan nutrisi yang minim. Bakteri ini dapat menghasilkan sendiri faktor pertumbuhan yang diperlukannya, asalkan ada sumber karbon Todar 2005. Rossoeu et al. 2004 menemukan bahwa E.coli dapat mengkonsumsi FOS DP 3-5 meskipun pada tingkat yang amat rendah yaitu sebesar 14-21 setelah inkubasi 48 jam dengan konsentrasi FOS 10gL media. Substitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS pada ransum ternyata tidak dapat menurunkan secara nyata jumlah E.coli yang terdapat pada mukosa sekum Tabel 18 tikus yang sehat, baik setelah dua minggu perlakuan maupun tiga dan empat minggu perlakuan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum baik 2, 3 maupun 4 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum Lampiran 6d, e dan f. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah E.coli yang melekat pada mukosa sekum yang merupakan mikroflora alami yang menempati mukosa sekum P0.05. Pada grup FOS, setelah dua minggu perlakuan terlihat peningkatan jumlah E.coli Tabel 18. Hal ini menunjukkan bahwa FOS juga dapat difermentasi oleh E.coli. Hasil penelitian dari Morisse et al. 1993 di dalam Hartemink et al. 1997 menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah E.coli saprofit pada kelinci yang diberi ransum yang mengandung FOS. Meningkatnya jumlah E.coli saprofit ini mengakibatkan E.coli strain patogenik tidak dapat hidup . Menurut Hartemink et al. 1997 enterobacteria merupakan grup bakteri anaerob fakultatif yang dominan di ileum dan kolon usus besar yang juga berkontribusi terhadap fermentasi FOS. FOS juga cepat didegradasi oleh Bifidobacteria, Bacteroides dan beberapa grup lainnya, sehingga secara in vivo sangat sulit untuk ditentukan mana yang lebih dominan. Tabel 18. Total E.coli isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Waktu Perlakuan Perlakuan Bagian sekum yang diamati Isi sekum Log CFUg Mukosa Log CFUcm 2 Minggu - 6.91 ± 0.49 3.38±0.53 Sehat 2 Minggu Kontrol 6.16±0.57 a 3.86±0.70 a Biji teratai 4.04±2.98 a 3.30±2.04 a Ekstrak biji teratai 6.87±0.60 a 3.10±0.60 a FOS 6.68±0.38 a 3.37±0.69 a Sehat 3 Minggu Kontrol 6.63±1.16 a 3.50±0.67 a Biji teratai 5.96±1.19 a 4.02±0.58 a Ekstrak biji teratai 5.60±0.62 a 2.76±0.26 a FOS 5.53±1.51 a 3.97±0.93 a Sehat 4 Minggu Kontrol 7.03±0.48 b 3.33±1.50 a Biji teratai 5.84±0.31 a 2.99±0.42 a Ekstrak biji teratai 6.19±0.60 a 2.06±0.66 a FOS 7.02±0.16 b 3.30±0.97 a Setelah Intervensi EPEC K1.1 3 Minggu Kontrol 6.84±0.38 b 3.28±0.38 a Biji teratai 4.66±1.31 a 2.83±0.30 a Ekstrak biji teratai 6.32±0.10 b 2.48±0.40 a FOS 6.66±0.91 b 3.73±0.40 a 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 Minggu Kontrol 6.94±0.13 c 3.20±0.50 a Biji teratai 5.13±0.52 a 2.73±1.04 a Ekstrak biji teratai 5.89±0.33 b 2.83±0.69 a FOS 4.75±0.32 a 1.88±0.84 a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata P0.05 Pada kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh terhadap total E.coli isi sekum, baik setelah intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum pada saat tikus diintervensi EPEC K1.1 dan setelah intervensi dihentikan berpengaruh nyata terhadap total E.coli isi sekum Lampiran 6g dan 6h. Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai pada saat intervensi EPEC K1.1, total E.coli isi sekum berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, ekstrak biji teratai dan FOS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16 dimana terlihat perbedaan jumlah E.coli antara grup tepung teratai dan kontrol mencapai 2 unit log. Demikian pula setelah intervensi dihentikan ransum yang disubstitusi tepung biji teratai tetap diberikan menunjukkan jumlah E.coli yang tidak berbeda dengan kondisi intervensi. Hal ini menunjukkan tepung biji teratai dapat menghambat atau mencegah tumbuhnya E.coli patogen yang dicekokkan pada saluran pencernaan hewan percobaan. Pada grup ekstrak biji teratai juga terjadi penurunan jumlah E.coli isi sekum terutama setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, walaupun tidak sebesar grup tepung biji teratai. Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara jumlah E.coli isi sekum pada grup tikus percobaan yang diberi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, dibandingkan dengan grup kontrol setelah intervensi dihentikan minggu ke-4 P0.05 Lampiran 6h. Pada grup FOS, setelah intervensi EPEC K1.1 minggu ke-3 terjadi penurunan jumlah E.coli, akan tetapi tidak sebesar grup tepung biji teratai. Secara statistik setelah intervensi EPEC K1.1, pemberian FOS tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan grup kontrol P0.05 Lampiran 6g. Setelah 4 minggu pemberian FOS atau setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, efek penurunan terhadap jumlah E.coli isi sekum pada grup ini terlihat nyata dibandingkan dengan grup kontrol yaitu mencapai 2 unit log P0.05 Lampiran 6h. Menurut Hartemink 1997, enterobakter seperti E.coli mempunyai enzim yang dapat mendegradasi FOS. Meskipun E.coli dapat memfermentasi oligofruktosa pada kultur bersama dengan B. infantis secara in vitro, akan tetapi setelah 25 jam fermentasi terjadi penurunan jumlah E.coli dan setelah 35 jam sudah tidak ada pertumbuhan, sebaliknya pada B. infantis yang jumlahnya stabil dari awal fermentasi hingga 60 jam fermentasi Wang Gibson 1993. Hal tersebut menunjukkan FOS secara tidak langsung dapat mencegah berkembangnya bakteri patogen dan mempertahankan kondisi tersebut setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Pemberian FOS sebelum hewan diinfeksi dengan patogen, mampu mencegah patogen berkembang pada inang melalui stimulasi bakteri asam laktat yang mampu memfermentasi gulaoligosakarida menjadi asam laktat, sehingga media tumbuh ber-pH rendah, dimana pada kondisi ini patogen tidak dapat tumbuh dan berkembang biak. Setelah intervensi dihentikan terjadi penurunan total E.coli isi sekum pada grup FOS. Hal ini menunjukkkan bahwa pemberian FOS setelah intervensi dihentikan mampu menurunkan jumlah patogen. Diketahui bakteri asam laktat menghasilkan hidrogen peroksida yang memiliki efek bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan terurai menjadi radikal superoksida dan hidroksil. Adanya gugus sulfhidril pada protein dinding sel akan berinteraksi dengan radikal superoksida sehingga meningkatkan permeabilitas membran dan mendenaturasi sejumlah enzim sel. H 2 O 2 juga dapat bertindak sebagai prekursor bagi pembentukan radikal bebas yang dapat merusak DNA. Disamping itu, reaksi pembentukan H 2 O 2 akan mengikat oksigen sehingga membentuk suasana anaerob yang tidak nyaman bagi bakteri aerob Surono 2004. Oleh karena itu jumlah patogen semakin menurun setelah intervensi dihentikan. Pada perlakuan tepung biji teratai, mekanisme penghambatan terhadap EPEC K1.1 ada dua yaitu penghambatan oleh komponen antimikroba yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan adanya komponen prebiotik yaitu oligosakarida rafinosastakiosa. Komponen prebiotik ini dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobakteria sehingga menimbulkan kondisi yang asam. Pada kondisi asam, pertumbuhan E.coli dapat dihambat, sehingga diare pada inang dapat dicegah dan inang terlindungi dari patogen. Adanya tanin pada tepung biji teratai dapat menghambat aktivitas protease Scalbert 1991 yang diproduksi oleh EPEC K1.1 Budiarti Mubarik 2007 untuk mendegradasi mucin yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan inang untuk mencegah melekatnya patogen pada sel epitel usus. Hal yang sama diduga terjadi juga pada perlakuan ekstrak biji teratai sehingga diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, dari dalam tubuh hewan coba itu sendiri mempunyai pertahanan untuk melawan adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh. Viabilitas bakteri dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh sekresi sel seperti mucus, lisozim dan fosfolipase yang dapat memberi dampak negatif maupun positif. Selain itu, sel epitel usus hewan coba juga dapat mengeksresikan antimikroba berupa peptidaprotein yang dapat membuat membran sel bakteri menjadi permiabel dan mengalami kebocoran Wilson 2005. Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum tikus percobaan pada kondisi sehat dapat dilihat pada Tabel 16. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan selama 2, 3 dan 4 minggu tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum dibandingkan kontrol P0.05 Lampiran 6d, 6e dan 6f. Demikian pula pada grup yang diintervensi EPEC K1.1. Perlakuan ransum pada kondisi setelah intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi dihentikan menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum P0.05 Lampiran 6i dan 6j. Menurut Scheinbach 1998 mikroflora indigenus dengan jumlah yang amat tinggi telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan flora inang, menyebabkan organisme pendatang akan sangat sulit untuk berkompetisi dalam sisi penempelan maupun nutrisi. Pada grup FOS, terlihat jumlah E.coli pada mukosa sekum tidak berbeda dengan kontrol pada saat intervensi EPEC K1.1, sedangkan setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli pada mukosa menurun 1 unit log. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan E.coli oleh FOS tidak secara langsung dan waktunya lebih lama. Berbeda kondisinya dengan perlakuan tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai yang efek penghambatan terhadap EPEC K1.1 bersifat langsung dan dalam waktu yang singkat. Pada kondisi tersebut EPEC K1.1 tidak diberi kesempatan untuk tumbuh ketika intervensi diberikan, sehingga setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli yang hidup pada mukosa usus tidak berbeda dengan sebelumnya. Sementara itu, E.coli yang menempel pada mukosa usus merupakan mikroflora usus yang normal Tabel 18. Pada grup kontrol walaupun total E.coli mukosa sekum minggu ke-3 perlakuan sewaktu intervensi EPEC K1.1 tidak berbeda nyata P0.05 jumlahnya dengan grup perlakuan yang lain, akan tetapi terjadi diare pada grup kontrol. Hal ini menunjukkan EPEC K1.1 yang dicekokkan telah mampu menempel pada mukosa usus dengan menggantikan daerah pelekatan pada mukosa usus dengan E.coli yang merupakan mikroflora normal usus sehingga menimbulkan diare pada inang tikus percobaan. 2.4 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap BAL aerob dan anaerob pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap total BAL aerob diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL aerob, terutama Lactobacillus. Pengamatan terhadap total BAL anaerob, diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL anaerob terutama Bifidobakteria. Penambahan prebiotik pada makanan bertujuan untuk meningkatkan mikrobiota probiotik endogenous. Kebanyakan prebiotik yang telah dipelajari merupakan jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna di usus halus. Beberapa galaktooligosakarida seperti rafinosa dimetabolisme oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, yang memiliki alfa-galaktosidase Matteuzzi et al. 2004. Pada kelompok tikus yang sehat pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total BAL aerob dan anaerob isi sekum dapat dilihat pada Tabel 19. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum selama dua minggu memberi pengaruh yang nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan P0.05 Lampiran 7a. Uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL aerob isi sekum pada grup tikus yang disubstitusi tepung biji teratai secara nyata berbeda dengan BAL aerob isi sekum grup kontrol P0.05. Setelah tiga minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum P0.05 Lampiran 7b. Setelah empat minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan P0.05 Lampiran 7c. Pada grup yang diberi FOS terlihat peningkatan jumlah BAL aerob isi sekum terjadi setelah empat minggu perlakuan. Total BAL aerob isi sekum grup FOS menunjukkan tidak berbeda nyata dengan grup tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, tapi berbeda nyata dengan kontrol P0.05. Pada kondisi tikus sehat, perlakuan ransum selama 2 dan 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan P0.05 Lampiran 7f dan 7g Akan tetapi setelah empat minggu perlakuan, ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa P0.05 Lampiran 7h. Setelah 4 minggu pemberian ransum perlakuan menunjukkan jumlah BAL aerob yang lebih rendah atau menurun mendekati jumlah BAL pada kondisi awal percobaan. Menurut Ballongue 2004, keseimbangan ekosistem saluran gastrointestinal dapat terjaga melalui beberapa faktor berupa mekanisme secara fisik, kimia dan pengaturan biologis seperti gerakan peristaltik usus yang dapat menyebabkan eliminasi mikroorganisme dan interaksi-interaksi yang terjadi antara berbagai macam spesies bakteri yang terdapat dalam usus baik simbiosis maupun antagonis. Mekanisme dan kandungan mikroflora yang amat kompleks dalam saluran pencernaan hewan percobaan dapat menyebabkan BAL aerob tidak dapat beradaptasi dan bersaing dalam saluran pencernaan hewan. Tabel 19. Total BAL aerob dan anaerob isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Waktu Perlakuan Perlakuan BAL aerob sekum BAL anaerob sekum Isi sekum logCFUg Mukosa logCFUcm 2 Isi sekum logCFUg Mukosa logCFUcm 2 minggu - 8.66±0.48 5.13±0.38 8.34±0.47 5.08±0.41 Sehat 2 Minggu Kontrol 8.73±0.55 ab 5.92±0.71 b 8.56±0.60 a 5.89±0.76 b Biji teratai 9.54±0.06 b 6.04±0.84 b 9.60±0.08 a 6.10±0.92 b Ekstrak biji teratai 7.61±0.85 a 3.96±1.56 a 8.34±1.47 a 4.04±1.20 a FOS 8.61±0.60 ab 5.69±0.38 ab 8.63±0.57 a 5.63±0.35 ab Sehat 3 Minggu Kontrol 8.62±0.59 a 6.62±0.67 b 8.56±0.53 a 6.39±0.68 b Biji teratai 9.07±0.28 a 6.96±0.58 b 9.22±0.28 a 6.83±0.12 b Ekstrak biji teratai 8.61±0.67 a 5.35±0.5 a 8.66±0.70 a 5.33±0.57 a FOS 8.61±0.50 a 5.71±0.93 ab 8.13±0.37 a 5.24±0.26 a Sehat 4 Minggu Kontrol 8.58±0.68 a 4.52±1.50 a 8.41±0.69 a 4.69±0.11 a Biji teratai 9.16±0.41 ab 5.41±0.42 a 9.18±0.52 ab 6.04±0.03 c Ekstrak biji teratai 8.49±0.33 a 4.42±0.52 a 8.74±0.22 a 4.68±0.49 a FOS 9.30±0.14 b 5.24±0.97 a 9.44±0.12 b 5.49±0.03 b Setelah Intervensi EPEC K1.1 3 Minggu Kontrol 7.89±0.41 a 4.52±0.52 a 7.56±0.35 a 4.46±0.54 ab Biji teratai 8.68±0.29 a 5.36±0.48 a 8.85±0.47 b 5.56±0.53 c Ekstrak biji teratai 7.79±0.33 a 4.13±0.46 a 8.01±0.33 a 3.97±0.44 a FOS 8.60±0.47 a 4.84±0.99 a 8.88±0.47 b 5.14±0.65 bc 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 Minggu Kontrol 8.57±0.21 ab 4.60±0.13 a 8.20±0.35 ab 4.69±0.25 ab Biji teratai 8.95±0.32 b 5.61±0.60 a 8.99±0.58 b 5.64±0.63 c Ekstrak biji teratai 7.42±1.30 a 3.55±1.96 a 7.39±1.34 a 4.29±0.57 a FOS 8.86±0.07 b 5.00±0.28 a 8.96±0.13 b 5.21±0.15 bc Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata P0.05. Substitusi tepung teratai ke dalam ransum ternyata dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dari tikus percobaan. Hal ini ditunjukkan dengan Tabel 19, dimana setelah 14 hari pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, cenderung terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob isi sekum dibandingkan kontrol. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan selama 2 dan 3 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum P0.05 Lampiran 8a dan 8b. Perlakuan ransum selama empat minggu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum P0.05 Lampiran 8c. Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan FOS berbeda nyata dengan kontrol. Pada grup tikus yang diberi FOS terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob setelah 4 minggu pemberian Tabel 19. Hal ini menunjukkan bahwa FOS lebih lambat dapat menstimulasi pertumbuhan BAL dibandingkan gula rafinosa yang terkandung di dalam tepung biji teratai. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa tepung biji teratai mengandung oligosakarida jenis rafinosa. Rafinosa merupakan trisakarida yang terdiri dari monomer fruktosa, galaktosa dan glukosa. Rafinosa tersebut dapat difermentasi oleh Lactobasillus sp., Bifidobacterium bifidum dan B. longum. Hasil penelitian Smiricky et al. 2003 secara in vitro menujukkan rafinosastakiosa lebih cepat difermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek dibandingkan dengan FOS. Penambahan oligosakarida famili rafinosa pada susu meningkatkan populasi Bifidobacterium lactis Bb-12 dan L. acidophilus pada susu fermentasi, serta menurunkan waktu fermentasi dari 12 jam menjadi 10 jam Martinez-Villaluenga et al. 2005. Pada kultur murni yang ditambahkan rafinosa dan stakiosa hasilnya menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat dimetabolisme dengan baik oleh Bifidobacterium dan Lactobacillus. Selain itu juga dapat dimetabolisme oleh bakteri enterik lainnya, kecuali E.coli Rastal 2000. Rastal 2000 juga menjelaskan bahwa pemberian rafinosa 15 ghari pada manusia, secara nyata meningkatkan Bifidobacterium 0,6 log dan menurunkan Bacteriodes spp 0,6 log dan Clostridium spp 1,6 log. Adapun FOS yang digunakan pada penelitian ini mengandung unit fruktosa atau glukosa dari oligofruktosa dengan derajat polimerisasi antara 2 dan 8 sebesar ≥ 93.2 dan glukosa+fruktosa+sukrosa 6.8 ORAFTI 2006. Oleh karena struktur FOS yang lebih kompleks dibandingkan rafinosa, maka waktu yang diperlukan oleh mikroba untuk memotong-motong FOS menjadi monomer sebagai substrat pertumbuhannya memerlukan waktu yang lebih lama. Menurut Nilsson et al. 1988 pencernaan FOS adalah 100 pada tikus percobaan yang diberi ransum FOS sekitar 1 ghari selama 4-9 hari. Hasil penelitian Le Blay et al.1999 menunjukkan waktu transit dari FOS pada tikus percobaan lebih lama dibanding kontrol ransum standar. Selain itu, adanya kompetisi dengan bakteri selain yang memproduksi asam laktat, yang juga dapat menggunakan FOS sebagai substrat seperti Bacteroides sp., Clostridium sp. dan Enterobacteriaceae Hartemingk et al.1997. Kompetisi ini dapat menghasilkan penekanan terhadap jumlah bakteri penghasil asam laktat Le Blay et al. 1999. Hal ini menjelaskan mengapa pemberian FOS selama 2 dan 3 minggu menunjukkan jumlah BAL yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Substitusi tepung biji teratai pada ransum selama tiga minggu secara nyata dapat menstimulai pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa tikus percobaan yang sehat sehingga jumlahnya lebih tinggi dibandingkan grup yang diberi FOS maupun ekstrak biji teratai P0.05 Lampiran 8g Tabel 17. Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS selama empat minggu pada kelompok tikus sehat, mampu menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa. Dengan demikian terlihat perbedaan yang nyata antara BAL anaerob pada mukosa sekum tikus percobaan yang diberi perlakuan biji teratai dan FOS dengan kontrol dan ekstrak biji teratai P0.05 Lampiran 8h. Menurut Tortuero et al. 1997 yang dikutip oleh Matteuzzi et al. 2004, rafinosa adalah substrat yang sangat efektif untuk fermentasi di dalam usus besar tikus percobaan dan makanan yang mengandung rafinosa dapat menurunkan pH fecal, meningkatkan total volatile asam lemak dan konsentrasi Lactobacillus. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL aerob isi sekum pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS dapat dilihat pada Tabel 19. BAL aerob pertumbuhannya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 pada grup tikus yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS. Meskipun terjadi sedikit penurunan jumlah BAL aerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat tidak diintervensi EPEC K1.1, akan tetapi jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol 1 unit log dan grup ekstrak biji teratai. Hal ini menunjukkan pemberian tepung biji teratai sebelum inang terinfeksi bakteri patogen mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh inang dan pemberian perlakuan dilanjutkan terus setelah terinfeksi patogen, mampu mempertahankan kondisi yang sama dengan sebelum terinfeksi. BAL aerob yang distimulasi oleh biji teratai mampu bertahan akibat adanya intervensi patogen. Demikian pula pada grup FOS, pertumbuhan BAL aerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat tanpa intervensi Tabel 19. Meskipun demikian, análisis ragam menunjukan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob pada isi sekum setelah intervensi EPEC K1.1 P0.05 Lampiran 7d. Setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 minggu pemberian ransum perlakuan menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob isi sekum Lampiran 7e. Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai dan FOS mampu mempertahankan jumlah BAL aerob isi sekum pada kondisi intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Pengaruh perlakuan ransum terhadap pertumbuhan BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Tabel 19. Jika dibandingkan dengan kondisi yang sehat, terjadi penurunan jumlah BAL aerob pada grup kontrol, dan sedikit penurunan pada grup FOS. Meskipun demikian terhadap grup tepung biji teratai tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Bakteri asam laktat aerob pada grup kontrol lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan grup FOS, baik sewaktu intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi EPEC K1.1. Intervensi EPEC K1.1 menyebabkan penurunan jumlah BAL aerob yang menempel pada mukosa sekum grup kontrol, baik sewaktu intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hal ini menunjukkan menurunnya pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen pada grup kontrol. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL anaerob pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai dapat dilihat pada Tabel 19. Pada Tabel 19 terlihat sedikit penurunan jumlah BAL anaerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat tidak diintervensi EPEC K1.1. Meskipun demikian jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol lebih dari 1 unit log. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum P0.05 Lampiran 8d. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL anaerob isi sekum pada perlakuan biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Intervensi EPEC K1.1 pada hewan coba tidak berpengaruh terhadap BAL anaerob, baik pada grup yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS. Sebaliknya pada grup kontrol, intervensi EPEC K1.1 mengakibatkan penurunan jumlah BAL anaerob. Hal ini berkaitan dengan persaingan nutrisi dan sisi penempelan pada mukosa. Pada grup FOS, pertumbuhan BAL anaerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat tanpa intervensi Tabel 19. Secara statistik, saat intervensi EPEC K1.1 diberikan minggu ke-3 jumlah BAL anaerob pada isi sekum dari grup tikus yang diberi FOS tidak berbeda nyata dengan grup tikus yang ransumnya disubstitusi tepung biji teratai P0.05 Lampiran 8d. Pemberian baik FOS ataupun tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai sebelum intervensi EPEC K1.1 hingga setelah intervensi EPEC K1.1, mampu mencegah hewan coba dari timbulnya diare akibat bakteri patogen. Setelah intervensi dihentikan, terjadi sedikit peningkatan jumlah BAL anaerob pada grup kontrol, akan tetapi pada grup biji teratai dan FOS menunjukkan jumlah yang tidak berbeda dengan sewaktu intervensi EPEC K1.1. Hal yang sama juga dapat dilihat pada BAL anaerob mukosa Tabel 19 dimana intervensi EPEC K1.1 menyebabkan menurunnya jumlah BAL anaerob mukosa grup kontrol jika dibandingkan dengan kondisi sehat. Intervensi EPEC K1.1 tidak mempengaruhi jumlah BAL anaerob yang menempel pada mukosa sekum hewan coba yang diberi perlakuan tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS. Secara statistik perlakuan tepung biji teratai dan FOS menyebabkan jumlah BAL anaerob mukosa berbeda nyata dengan grup kontrol P0.05 Lampiran 8i dan 8j. Penurunan jumlah BAL anaerob mukosa sekum pada grup kontrol mencerminkan penurunan pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen, karena sisi penempelan BAL anaerob mampu digantikan oleh E.coli. Oleh karena itu pada grup kontrol timbul diare akibat menurunnya sistem pertahanan pada mukosa usus. Pada grup yang diberi ekstrak biji teratai, intervensi EPEC K1.1 berpengaruh terhadap total BAL anaerob mukosa sekum. Meskipun jumlah total BAL anaerob lebih rendah dari grup lain, akan tetapi pada grup tersebut tidak terjadi diare. Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai tidak dapat menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa sekum. Meskipun demikian, ekstrak biji teratai mampu mencegah melekatnya EPEC K1.1 patogen pada mukosa sekum sehingga tidak terjadi diare. Berdasarkan identifikasi dengan cara menguji karakteristik biokimia dan morfologi dari bakteri asam laktat aerob dan anaerob yang hidup pada isi sekum maupun mukosa sekum tikus percobaan pada penelitian ini, menunjukkan bahwa BAL bersifat katalase negatif dan dengan pewarnaan gram termasuk jenis gram positif. BAL tersebut ada yang berbentuk batang, seperti huruf Y dan ada yang berbentuk cocus. Bakteri asam laktat yang tumbuh pada kondisi aerob adalah jenis Lactobacillus spp, mikroba ini gram positif berbentuk batang dan katalase negatif. Bakteri asam laktat yang hidup pada kondisi obligat anaerob adalah Bifidobacterium spp. Bakteri tersebut merupakan gram positif berbentuk batang dengan karakteristik membentuk huruf Y, V atau X. Sementara E.coli yang terdapat pada isi sekum hewan percobaan bersifat anaerob fakultatif, sel berbentuk batang, gram negatif dan katalase positif.

3. Histologi tebal mukosa usus halus tikus percobaan