Analisis Fraksi Karbohidrat dari Biji dan Umbi Teratai

G. Analisis Fraksi Karbohidrat dari Biji dan Umbi Teratai

Analisis fraksi karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi dilakukan dengan menggunakan HPLC menggunakan kolom Aminex Ion Exclusion HPX-87H 300 mm x 7.8 mm, BioRAD. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kadar gula yang terdapat pada biji dan umbi teratai mgg bk Stakiosa Rafinosa Sukrosa Glukosa Fruktosa Biji - 0.60 1.34 2.26 1.51 Umbi 10.42 0.27 8.60 7.37 0.85 Keterangan : bk= berat kering; Pada biji, peak stakiosa tidak terpisah dengan rafinosa Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan biji maupun umbi, mengandung oligosakarida dari keluarga Rafinosa rafinosa stakiosa. Kadarnya pada umbi lebih besar dibandingkan biji. Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat baik pada biji maupun umbi, mempunyai kandidat sebagai prebiotik. Untuk mengetahui apakah oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, maka dilakukan pengujian dengan memodifikasi media pertumbuhan mikroba tersebut, dimana media komersial yang mengandung glukosa diganti dengan oligosakarida. Hasil pengujian dengan menggunakan gula rafinosa + stakiosa standar sebagai pengganti glukosa pada media menunjukkan hasil yang positif. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh mikroba uji yaitu L.acidophilus untuk mikroba aerob dan Bifidobacterium bifidum untuk anaerob. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi zona kuning Gambar 14. Hal ini menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, sehingga rafinosa dan stakiosa dapat berperan sebagai prebiotik. Meskipun demikian perlu penelitian lanjutan, untuk mengetahui seberapa besar oligosakarida dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria. Pada media yang gulanya diganti dengan gula dari biji dan umbi juga menunjukkan adanya pertumbuhan koloni yang dikelilingi zona kuning Gambar 14. Hal ini menunjukkan bahwa gula yang terdapat dalam biji dan umbi teratai d m p m dapat diferm mengansung perlu penel menstimulas Gambar Koloni L acidophi memferm raffinosa Koloni Bif bifidum ya memferme gulaoligos mentasi ole g gula yang itian lanjuta si pertumbuh 14. Koloni B yang dap Lactobacillus ilus yang mentasi a murni fidobacterium ang entasi sakarida umbi eh mikroba memiliki ka an, untuk m han bakteri a Bifidobacter pat memferm uji, yang andidat seba melihat seb asam laktat. ium bifidum mentasi gula K ac m Ko aci me gu berarti bai agai prebioti berapa besar dan Lactoba a glukosa, ol Koloni Lactoba cidophilus yan memfermentasi oloni Lactobac idophilus yang emfermentasi laoligosakarid ik biji mau k. Meskipun r oligosaka acillus acido ligosakarida cillus ng glukosa illus g da biji upun umbi n demikian arida dapat ophilus a H . Evaluasi Aktivitas Biologis Biji Teratai dan Ekstrak Biji Teratai 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan untuk penelitian secara in vivo dilakukan dua tahap. Tahap pertama menentukan konsentrasi EPEC K1.1 yang diberikan pada tikus percobaan sehingga diare. Tahap kedua adalah menentukan konsentrasi tepung teratai yang disubstitusi pada ransum tikus yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli pada isi sekum dari sekum tikus percobaan. Pada penelitian pendahuluan tahap pertama mengacu pada penelitian Oyetayo 2004 dengan melakukan pengujian menggunakan dua konsentrasi EPEC K.1.1 yang diberikan pada tikus percobaan yaitu 300 µL 10 6 CFUml dan 10 7 CFUml. Penentuan konsentrasi yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah berdasarkan kecepatan menimbulkan diare dengan mengamati penampakan feses setelah diberikan EPEC K.1.1. Penentuan konsentrasi EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare dilihat dari tekstur feses yaitu berukuran lebih besar dari feses tikus sehat, lembek, berair, berlendir dan lengket. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL 10 6 CFUml sudah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. Pada pemberian 10 6 , hari ke-2 setelah intervensi pertama ada satu ekor tikus sudah mulai menunjukkan gejala diare dan setelah 3 hari intervensi empat ekor tikus pada perlakuan yang sama menunjukkan gejala yang sama. Munculnya gejala diare ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba patogen untuk melekat pada epitelium usus dan menimbulkan sakit pada inang. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada sisi kolonisasi dan mekanisme pertahanan inang. Nutrisi yang terbatas mempengaruhi sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik, fagositosis, lisozim dan faktor lainnya Boyd Marr 1980. Menurut Boyd Marr 1980, pada kondisi tertentu, meskipun mikroorganisme patogen dalam jumlah besar dapat bertahan terhadap respon imun inang dan dapat berkembangbiak dalam waktu yang cepat dalam tubuh inang akan tetapi tidak menimbulkan penyakit pada inang. Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut carrier, menjadi berperan seperti mikroflora normal. Adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus juga menjadi pertimbangan dalam hal ini Tannock 1999. Oleh karena itu pada konsentrasi tertentu mungkin berpengaruh terhadap kecepatan timbulnya gejala diare, akan tetapi jika konsentrasinya ditingkatkan menjadi tidak berarti. Oyetayo 2004 melakukan penelitian untuk membuat tikus percobaan jenis albino menjadi diare dengan E.coli strain Enterotoxigenic pada konsentrasi 0.3 ml dari 10 5 CFUml E.coli. Pada penelitian pendahuluan tahap kedua dilakukan pengujian terhadap jumlah tepung teratai yang ditambahkan pada ransum berdasarkan nilai MIC minimum inhibitory concentration dari ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitasnya. Berdasarkan hasil penelitian secara in vitro diperoleh hasil ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitas penghambatannya terhadap mikroba uji EPEC K1.1 adalah ekstrak etil asetat dengan nilai MIC 0.1 bv ekstrak. Nilai MIC tersebut dikonversi menjadi berat per gram biji teratai sehingga diperoleh nilai ≈ 93.29 mg biji teratai dalam bentuk tepung. Dengan mempertimbangkan bahwa tepung teratai ini akan diberikan dalam bentuk utuh bukan ekstrak maka pemberian pada tikus percobaan dikalikan 10 kalinya, 20 kalinya dan 30 kalinya, dengan notasi 10 MIC, 20 MIC dan 30 MIC. Tepung teratai tersebut disubstitusikan ke dalam ransum secara isokalori. Pada penelitian ini, tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL dari 10 6 CFUml sesuai konsentrasi yang diperoleh pada tahap pertama. Tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 selama 17 hari percobaan. Setelah 7 hari dicekok EPEC K1.1 dimana tikus percobaan sudah menunjukkan gejala diare, ransum perlakuan diberikan. Ransum perlakuan berupa substitusi ransum standar dengan tepung biji teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 MIC. Pada saat pemberian ransum, tikus percobaan tetap dicekok dengan EPEC K1.1. Pemberian ransum perlakuan tersebut selama 10 hari, setelah itu tikus dibedah dan dianalisis total mikroba, total E.coli dan total bakteri asam laktat BAL dari isi sekum dan mukosa sekum. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15 terlihat pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli isi sekum lebih dari 1 unit log dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai P0.05 Lampiran 3c. Hal yang sama terlihat pula pada total E. coli pada mukosa sekum Gambar 16. Pada kondisi terinfeksi, pemberian tepung biji teratai selama 10 hari mampu mengobati diare setelah 1 minggu diintervensi dengan EPEC K 1.1. Hal ini dapat dilihat dari tekstur feses yang agak kering, tidak berlendir dan tidak lengket. Hal ini diduga karena aktivitas antimikroba dari biji teratai bekerja menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan efek dari komponen fitokimianya seperti alkaloid yang diketahui memiliki aktivitas terhadap waktu transit dalam usus halus Cowan 1999. Berdasarkan hasil penelitian dari Budiarti dan Mubarik 2007, EPEC K1.1 menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang dapat mendegradasi mucin sehingga dapat melekat pada sel epitel usus dan menimbulkan diare pada inang. Adanya tanin pada tepung biji teratai yang diketahui dapat mengendapkan protein Scalbert 1991, dapat menghambat aktivitas protease ekstraseluler yang diproduksi oleh EPEC K1.1 untuk mendegradasi mucin. Akibatnya, EPEC K1.1 tidak dapat melekat pada epitel usus dan diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, tanin yang terkandung di dalam biji teratai diketahui bekerja mengendapkan protein sehingga terjadi penurunan sekresi yang membuat mukosa usus lebih resisten Tripathi 1994 yang dikutip oleh Adzu et al. 2004. Gambar 15. E.coli dari isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata P0.05 Pada Gambar 15 terlihat ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli mukosa sekum lebih dari 1 unit log dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai P0.05Lampiran 3d. Pada tikus percobaan yang diberi ransum 30 MIC tepung biji teratai terlihat total E.coli pada mukosa sekum lebih tinggi dibandingkan 20 MIC Gambar 16. Hal Perlakuan 3 4 5 6 7 8 Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic E .coli is i s ek u m L og 10 CFU g i si sek u m b b a ab yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian dari Agunu et al. 2005, dimana dosis berpengaruh terhadap aktivitas antidiare dari ekstrak tanaman Acacia nilotica, Parkia biglobosa, Vitex doniana, Acanthospermun hispidum dan Gmelina arborea. Pada dosis rendah ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas antidiare yang sangat kuat, akan tetapi pada dosis yang lebih tinggi hampir kehilangan aktivitasnya. Hal ini diduga pada konsentrasi rendah masing-masing komponen antimikroba yang terdapat pada bahan bekerja secara sinergis akan tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, efek sinergis tersebut menjadi saling menutupi satu sama lainnya. Akibatnya pada konsentrasi yang lebih tinggi aktivitas antimikroba dari bahan tersebut menjadi berkurang. Gambar 16. E.coli dari mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata P0.05 Selain hal tersebut di atas, mekanisme lain yang mungkin berperan adalah kandungan tepung biji teratai yang lebih tinggi mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat lebih baik. Fermentasi yang cepat dari prebiotik yang terdapat dalam biji teratai menyebabkan kondisi usus menjadi lebih asam akibat produksi asam organik oleh BAL, yang mengakibatkan iritasi pada mukosa usus atau terjadinya inflamasi Ten Bruggencate et al. 2003. Iritasi pada mukosa mengakibatkan rusaknya fungsi pertahanan usus, sehingga E.coli tetap bertahan. Pada kondisi tikus diare, komponen antimikroba dari tepung biji teratai yang bekerja, sedangkan komponen karbohidrat yang dapat menstimulasi b ab a b Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic E.col i mukosa sekum L og 10 CFU pertumbuhan bakteri asam laktat tidak berperan secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis total bakteri asam laktat dari isi sekum dan mukosa sekum. Total bakteri asam laktat pada semua perlakuan konsentrasi tepung biji teratai yang dicobakan menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kontrol Gambar 17 dan 18. Gambar 17. BAL aerob isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata P0.05 Gambar 18. BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Berdasarkan penelitian pendahuluan ini diperoleh konsentrasi E.coli yang lebih cepat menimbulkan diare pada tikus percobaan yaitu 300 µL dari 10 6 CFUml EPEC K.1.1 dan jumlah tepung teratai yang mampu menurunkan total a a a a a 5 6 7 8 9 10 Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic B A L a er o b is i se k um Log 10 C F Ug is i se k um Perlakuan 5 6 7 8 9 10 Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic BAL aerob mukosa se kum Lo g 10 CFU Perlakuan a a a E.coli dari isi sekum tikus percobaan yaitu 20 MIC ≈ 1,866 g tepung biji teratai. Hasil tersebut digunakan untuk penelitian selanjutnya. 2. Penelitian Lanjutan 2.1 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan Penyusunan ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dilakukan secara isokalori dengan mempertimbangkan zat gizi yang terdapat pada tepung biji teratai yang mempengaruhi pertumbuhan tikus percobaan, seperti kadar protein, lemak dan karbohidrat. Pada perlakuan dengan FOS Fruktooligosakarida, FOS diberikan sebanyak 6 dari ransum dan diberikan dengan cara dicekok. Kurva kenaikkan berat badan tikus percobaan selama masa perlakuan 28 hari dan total konsumsi ransum pada masing-masing grup tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus percobaan yang sehat, konsumsi rata-rata ransum tepung biji teratai lebih tinggi dibandingkan kontrol, grup ekstrak biji teratai, dan FOS Gambar 19. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap total konsumsi ransum tikus percobaan P0.05 Lampiran 4. Pada Gambar 19 terlihat terjadi kenaikan berat badan pada semua tikus percobaan. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan rata-rata tikus percobaan P0.05 Lampiran 4. Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai lebih rendah dibanding grup lain, dan berdasarkan analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga pemberian ekstrak biji teratai dapat menghambat pertambahan berat badan pada tikus percobaan yang berkorelasi dengan rendahnya nilai efisiensi ransum. Berdasarkan efisiensi penggunaan ransum, yang merupakan perbandingan antara kenaikan berat badan dengan total konsumsi, nilainya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus yang sehat, pengaruh perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi ransum. Berdasarkan uji Duncan menunjukkan, pemberian ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak biji teratai. Sementara nilai efisiensi