Sistem Religi dan Kepercayaan Sistem Pergaulan Masyarakat Jawa

46

C. Kebudayaan Jawa 1. Batasan Kebudayan Jawa

Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2004, h. 329 menyatakan bahwa daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Daerah-daerah kolektif ini sering disebut daerah Kejawen. Sebelum terjadi perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Dengan daerah di luar disebut pesisir dan ujung timur. Kerangka kebudayaan Jawa adalah bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, dengan pusat kebudayaan di kota Yogyakarta dan Surakarta. Orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa Suseno, 2001, h. 11. Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang bersifat homogen Koentjaraningrat, 1984, h. 25 karena kebudayaan Jawa, dapat dibagi menjadi empat subbudaya yang masing- masing memiliki ciri yang khas dan menonjol dengan ciri karakteristik tertentu, antara lain : Jawa Banyumasan, Jawa Bagelenan Kedu, Jawa Negarigung Kratonan, dan Jawa Pesisiran.

2. Sistem Religi dan Kepercayaan

Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa manusia di dunia ini sudah diatur oleh alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nrima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2004, h. 347. Budaya Jawa termasuk dalam budaya yang bersifat kurang ekspresif, dan 47 cenderung menganggap bahwa budaya itu bersifat statis dan tradisional, yaitu budaya yang ada dianggap sudah final, dan pola pemikirannya menjadi tidak rasional, yang pada akhirnya terjerumus di dalam penghayatan mistik secara ekstrem Simuh, 2003, h. 3. Di alam pikirannya, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasekten dan makhluk-makhluk halus yang menempati alam di sekitar mereka. Menurut kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan kematian Kodiran, dalam Koentjaraningrat, 2004, h. 347. Murphy dalam Matsumoto, 2004, h. 210 menyatakan bahwa pada budaya yang lebih banyak percaya terhadap intervensi supranatural, memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan. Adanya kepercayaan terhadap magis atau mistik yang berlebihan pada masyarakat Jawa, dapat dimungkinkan prevalensi Skizofrenia di budaya Jawa akan cenderung tinggi.

3. Sistem Pergaulan Masyarakat Jawa

Menurut Greetz dalam Suseno, 2001, h. 38 ada dua kaidah yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa. Kaidah pertama, manusia harus bersikap untuk tidak menimbulkan konflik dengan mengembangkan hidup rukun, sedangkan kaidah kedua adalah manusia harus mampu membawa diri untuk hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Manusia Jawa, dalam hidupnya akan terus-menerus berada di bawah tekanan 48 masyarakat untuk bertindak sesuai dengan prinsip kerukunan dan hormat tersebut. Kedua prinsip keselarasan itu menuntut agar dorongan dirinya sendiri di tekan dan dikontrol secara tajam Suseno, 2001, h. 168. Kontrol perilaku yang kuat di kalangan masyarakat Jawa, dimungkinkan dapat menimbulkan tekanan pada beberapa individu yang berada di lingkungan tersebut. Selain itu dengan adanya falsafah hidup rukun, akan menuntut individu untuk mengesampingkan, bahkan menghilangkan kepentingan pribadinya demi kesepakatan bersama. Suseno 2001, h. 42 menyatakan bahwa masyarakat Jawa harus dapat mengekang emosinya jangan sampai pecah secara terbuka, sehingga dapat menimbulkan konflik. Pengekangan emosi sangatlah diharuskan, karena membuka perasaan hati begitu saja akan dinilai negatif oleh lingkungan. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal yang tidak enak secara tidak langsung. Pada umumnya orang Jawa yang sopan, akan menghindari keterusterangan yang serampangan. Mereka akan selalu melakukan teknik pura-pura Suseno, 2001, h. 44. Terutama dalam adat sopan santun Jawa, orang harus bersikap ramah terhadap seseorang, walaupun di dalam batinnya ia mungkin membenci orang tersebut Koentjaraningrat, 2002, h. 133. Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam melakukan pergaulan, maka penyampaian pendapat yang berbeda tersebut akan disampaikan secara tidak langsung dan dengan cara yang sopan, melalui sindiran atau tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan. 49 Kesantunan atau sopan-santun sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat Jawa. Sopan santun merupakan aturan atau norma yang dianggap baik oleh masyarakat dan dilandasi oleh nilai-nilai moral. Pada masyarakat Jawa, sopan- santun dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan wujud kebahasaan, ketika berinteraksi dengan orang lain. Geertz 1981, h. 326 mendefinisikan sopan- santun sebagai cara merendahkan diri sendiri dengan sopan, sebagai bentuk perilaku yang dibenarkan dan harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajad atau lebih tinggi kedudukannya. Keselarasan adalah inti dari kewajiban hidup yang harus diciptakan dan dijaga Endraswara, 2003, h. 5. Oleh karena itu, sikap dan perilaku seorang manusia Jawa harus tetap dibingkai oleh norma yang dinamakan budi pekerti Jawa. Norma moral ini mampu menjaga kadar keselarasan hubungan diantara anggota masyarakat yang hierarkis. Hakikat hubungan manusia Jawa adalah perwujudan pergaulan sosial yang lebih mengutamakan kepentingan kolektif dan tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri. Menurut Jong dalam Endraswara, 2003, h. 106 masyarakat Jawa memiliki sikap hidup rila, narima, dan sabar. Rila disebut juga ikhlas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil hanya kepada Tuhan. Narima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi tetap mengucapkan syukur. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat atau nafsu yang bergejolak. Sikap hidup ini telah diajarkan kepada anak di lingkungan keluarga melalui berbagai praktek kehidupan. 50 Banyak sekali produk dari budaya Jawa yang berupa aturan dalam melakukan pergaulan, seperti adanya konsep wedi, isin dan sungkan, yang memiliki fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat Suseno, 2001, h. 94. Apabila seorang manusia Jawa belum memiliki konsep perasaan ini, maka dirinya belum dianggap sebagai manusia Jawa yang sesungguhnya. Adanya berbagai macam suasana pergaulan di budaya Jawa seperti di atas, akan menuntut manusia Jawa untuk dapat menyelaraskan diri dengan tuntutan dari lingkungan agar dapat mengurangi kemungkinan munculnya gangguan kejiwaan.

4. Tata Nilai Budaya dan Mentalitas Manusia Jawa