173 di antara anggota keluarga, sehingga akan berpengaruh pada proses penyesuaian
sosial ketiga subjek kasus di lingkungan masyarakat.
4. Interaksi dengan Lingkungan dan Penyaluran Minat
Ketika sudah memasuki usia remaja, ketiga subjek kasus masih kurang diberikan kebebasan untuk bertindak dan menentukan nasibnya sendiri. Ketiga
subjek kasus masih kurang merasakan sebagai pribadi yang utuh dan memiliki tanggung jawab sendiri serta cenderung dibatasi dalam menyampaikan kehendak
dan keinginan. Subjek RK dan ZS kurang merasa bebas untuk berhubungan dengan lingkungan sekitar, seperti dengan teman dan tetangganya. Geertz dalam
Koentjaraningrat, 1984, h. 115 yang menyatakan bahwa anak-anak di Jawa cenderung kurang dipupuk kemampuannya untuk memecahkan berbagai
persoalannya sendiri atau membebaskan keinginannya menjelajahi lingkungan. Pembatasan Subjek ZS untuk bermain dan lebih dituntut untuk bekerja di
rumah, mungkin bapak tirinya berpegang pada nilai pengabdian kepada keluarga. Keadaan ini disebabkan oleh adanya prinsip bhakti. Seorang anak di Jawa, harus
mampu mengabdikan diri kepada keluarga, baru kemudian mengabdikan diri kepada masyarakat. Bentuk pengabdian diri kepada keluarga merupakan wujud
dari bhakti anak kepada orang tua Hardjoprakoso, 1989, h. 156. Namun di sisi lain, bapak tiri subjek kurang mempertimbangkan kebutuhan Subjek ZS untuk
mengaktualisasikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan. Waktu untuk bermain bagi Subjek GA dan RK cenderung dibatasi oleh
orang tua mereka. Subjek GA dan RK diminta oleh bapak dan Pak Dhenya untuk pulang sebelum Maghrib petang hari. Ketika Subjek GA dan RK melanggar,
174 mereka langsung dimarahi oleh orang tua. Subjek GA dan RK merasa dibatasi dan
dikekang, karena teman-teman mereka tidak dituntut dengan aturan ini. Keadaan ini kemungkinan disebabkan oleh kurang pahamnya maksud dan nilai dari orang
tuanya. Orang tua Subjek GA dan RK masih sangat memegang tradisi Jawa nilai- nilai Islam, sehingga mereka melarang anak perempuan masih berada di luar
lingkungan rumah ketika hari sudah petang waktu Maghrib. Selain itu, hambatan bersosialisasi juga dapat terjadi karena Subjek RK
selalu ditekan dan dikecewakan oleh teman-teman sebayanya. Subjek RK banyak mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan pergaulannya.
Pada akhirnya, lingkungan sosial Subjek RK menjadi semakin terbatas atau bahkan dirinya menjadi semakin menarik diri. Situasi ini juga dialami oleh Subjek
ZS, sehingga Subjek RK dan ZS cenderung merasa kecewa dan ditolak oleh lingkungannya. Selain itu, Subjek RK dan ZS cenderung tertutup dan pendiam,
sehingga mereka hanya memiliki sedikit teman untuk bergaul. Namun, hubungan Subjek GA dengan teman-temannya cenderung terbuka dan hangat, sehingga
dirinya diterima dengan baik oleh lingkungan pergaulannya. Hassan 2001, h. 160 menyatakan bahwa ketika seorang anak berhubungan
dengan teman sebayanya, dia akan merasakan kenyamanan selama menikmati kesempatan itu. Suasana kebersamaan akan mendatangkan suasana kesenangan
pleasure dan kesantaian relaxation. Dengan bergaul dengan teman, seorang anak akan melakukan katarsis berbagai emosi negatif, dorongan diri, dan
menyalurkan energinya dalam bentuk kegiatan yang sesuai dengan keinginannya.
175 Oleh karena itu, apabila anak tetap dikekang dan dibatasi untuk bergaul dan
bermain dengan teman-temannya, maka saluran-saluran untuk melakukan katarsis dan self regulation telah dihambat oleh orang tua mereka. Subjek GA, RK, dan ZS
kurang memiliki kesempatan untuk melakukan self regulation, akibatnya ketiga subjek kasus selalu berada dalam kondisi disequilibrium. Kondisi ini sangat tidak
menyenangkan, karena penuh dengan rasa kecemasan dan ketidakamanan diri. Arif 2006.b, h. 26 menyatakan kondisi disequilibrium yang tak teratasi dalam
waktu lama, akan menyebabkan anak tersebut mengalami disosiasi yang parah. Akhirnya, muncul berbagai gejala Skizofrenia pada diri Subjek GA, RK, dan ZS.
5. Proses Perkembangan Kepribadian Menurut Konsep Suryomentaram