Tata Nilai Budaya dan Mentalitas Manusia Jawa

50 Banyak sekali produk dari budaya Jawa yang berupa aturan dalam melakukan pergaulan, seperti adanya konsep wedi, isin dan sungkan, yang memiliki fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat Suseno, 2001, h. 94. Apabila seorang manusia Jawa belum memiliki konsep perasaan ini, maka dirinya belum dianggap sebagai manusia Jawa yang sesungguhnya. Adanya berbagai macam suasana pergaulan di budaya Jawa seperti di atas, akan menuntut manusia Jawa untuk dapat menyelaraskan diri dengan tuntutan dari lingkungan agar dapat mengurangi kemungkinan munculnya gangguan kejiwaan.

4. Tata Nilai Budaya dan Mentalitas Manusia Jawa

Nilai adalah sesuatu yang dianggap penting oleh manusia sekelompok manusia, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau makna dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat Sulaeman, 1998, h. 19. Nilai luhur dalam budaya Jawa berarti sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat Jawa, berupa pandangan yang diyakini kebenarannya dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Nilai adalah bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dengan sikap hidup inilah yang biasa disebut sebagai mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannya pada masyarakat Jatman, 1997, h. 23. Perwujudan dari pentingnya bermasyarakat dalam budaya Jawa adalah adanya konsep gotong royong yang dijunjung tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan pola pemikiran mereka yang menyatakan bahwa pada hakekatnya 51 manusia hidup tidak sendiri, sehingga efek dari budaya gotong royong adalah munculnya suatu sikap konformisme yang tinggi Koentjaraningrat, 2002, h. 41. Norma adalah nilai budaya yang terkait dengan peranan tertentu yang dimiliki oleh seseorang di dalam masyarakat Koentjaraningrat, 2002, h. 12. Pemaksaan nilai di dalam sebuah masyarakat, akan berimbas buruk terhadap masyarakat. Karena nilai-nilai tidak dapat dilepaskan dari makna hidup, dan makna hidup tidak dapat dilepaskan dari aktualisasi diri. Maka krisis nilai menyebabkan munculnya krisis identitas, yang pada akhirnya dapat berakibat fatal di mana seseorang menjadi tidak tahu fungsi, peran, dan posisinya di dalam masyarakat Hassan dalam Jatman, 1997, h. 4. Nilai budaya sama halnya dengan mentalitas, yang terbentuk dari pemikiran abstrak dan dipelajari sejak awal kehidupan melalui proses sosialisasi. Nilai budaya seakan-akan merupakan jiwa yang memberikan nuansa kehidupan bagi seluruh budaya Koentjaraningrat, 2002, 13. Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dengan demikian, suatu sistem nilai budaya itu biasanya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong perilaku manusia Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2004, h. 387. Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2004, h. 350 menyatakan bahwa suatu kelemahan dari mentalitas masyarakat pedesaan di Jawa, adalah sikapnya yang pasif dalam hidup. Orang Jawa suka terhadap gerakan-gerakan kebatinan, adanya penilaian yang tinggi terhadap konsep nrima, ketabahan yang sangat ulet dalam 52 penderitaan, dan lemah dalam hal karya. Selain itu, mentalitas priyayi Jawa mempunyai persepsi terhadap waktu yang banyak ditentukan oleh masa lampau, yang pada akhirnya dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa depan Koentjaraningrat, 2002, h. 39. Nilai-nilai di budaya Jawa akan menentukan tingkah laku orang Jawa dalam hubungan sosialnya. Greetz dalam Koentjaraningrat, 1984, h. 251-255 memilih “hormat” sebagai titik temu antara berbagai perasaan individu Jawa yang timbul bila dirinya sedang berinteraksi dengan orang lain. “Hormat” menunjukkan perasaan bahwa orang yang bersangkutan adalah lebih tinggi derajadnya, dan mempunyai kewibawaan, dan memang seharusnya dikagumi dan dihormati. Apabila dibuat sebuah bagan dengan superioritas pada urutan tertinggi, kemudian semakin menurun hingga inferioritas di tempat terendah, maka aji harus ditempatkan paling tinggi dan isin ditempatkan paling rendah. Isin untuk menyatakan superlatif yang menunjukkan suatu perasaan yang dimiliki oleh seorang Jawa apabila merasa dirinya sangat inferior terhadap orang lain, karena ego-nya mengira bahwa orang itu menganggapnya rendah. 53 Berikut ini adalah gambar skema perasaan orang Jawa, ketika melakukan interaksi sosial dengan orang lain : Negatif aji Positif hormat Superioritas Peweket sungkan sengit gething Ajrih remen tresna sangat benci benci takut senang cinta Lingsem malu Inferioritas Isin sangat malu Gambar 3. Skema Perasaan Orang Jawa ketika Melakukan Interaksi Sosial

5. Pola Asuh dan Interaksi Keluarga di Budaya Jawa