Pola Interaksi Keluarga Subjek Kasus

167 Kegagalan dalam proses internalisasi nilai pada ketiga subjek akan berpengaruh dalam proses perkembangannya secara keseluruhan. Anak yang melakukan proses sosialisasi dengan baik, akan menunjukkan perilaku yang kooperatif, ramah, kondisi emosinya stabil, merasa bahagia karena adanya kehangatan dari orang tuanya Grusec, 1997, h. 12. Ketiga subjek mengalami kegagalan dalam melakukan internalisasi nilai, sehingga ketiga subjek mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Ketiga subjek kasus kurang dapat bergaul secara hangat dan terbuka dengan orang lain, tidak dapat bekerja sama dengan baik, kondisi emosinya cenderung tidak stabil, dan kurang merasa bahagia dengan kehidupannya. Selain itu, ketiga subjek kasus mengalami kesulitan dalam melaksanakan tuntutan dari lingkungan, sehingga ketiga subjek dianggap kurang mampu berperan sesuai dengan tingkat perkembangannya dan cenderung memiliki standar pribadi yang berbeda dari orang lain.

3. Pola Interaksi Keluarga Subjek Kasus

Sebagai sebuah sistem sosial, semua anggota keluarga akan saling terhubung dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Setiap anggota keluarga memiliki persepsi tersendiri terhadap jalinan hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Seperti pendapat Klein 1996, h. 88 yang menyatakan bahwa setiap anggota keluarga akan mengalami perbedaan dalam memaknai setiap peristiwa yang terjadi pada keluarga tersebut yang diwujudkan dalam simbol-simbol tertentu. Simbol tersebut akan dimanifestasikan ketika seseorang berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. 168 Manifestasi dari pemaknaan simbol tersebut berupa persepsi, sikap dan perilaku nyata yang ditunjukkan oleh salah satu anggota keluarga ketika berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Apabila hubungan disimbolkan secara positif, maka persepsi, sikap dan perilaku yang ditunjukkan cenderung baik merasa nyaman dan puas. Namun, bila hubungan disimbolkan secara negatif, maka persepsi, sikap dan perilaku yang ditunjukkan cenderung buruk merasa terancam dan kecewa. Kepuasan dalam berhubungan dengan anggota keluarga yang lain, berhubungan positif dengan kualitas peran yang dapat dilakukan oleh setiap anggota keluarga Klein, 1996, h. 98. Oleh karena itu, apabila orang tua dianggap kurang mampu berperan dengan baik oleh ketiga subjek kasus atau sebaliknya, maka hubungan yang terjalin di lingkungan keluarga tersebut cenderung diliputi oleh ketidakpuasan. Keluarga memerlukan keadaan yang selalu seimbang homeostatis dalam menjalankan kehidupannya. Keseimbangan sistem keluarga dapat tercapai apabila masing-masing anggota keluarga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik apabila hubungan antaranggota keluarga terjalin kuat dan hangat Klein, 1996, h. 159. Pada akhirnya tujuan dari sistem keluarga tersebut dapat tercapai. Namun pada kenyataannya, jalinan hubungan antaranggota keluarga ketiga subjek kasus cenderung renggang, dingin, dominatif, dan sering diliputi oleh tindakan kekerasan. Keadaan tersebut akan berakibat pada tidak optimalnya pelaksanaan tugas masing-masing anggota keluarga, sehingga berpengaruh pada 169 terganggunya sistem keluarga secara keseluruhan. Sistem keluarga yang terganggu dapat menghambat tercapainya tujuan keluarga ketiga subjek kasus. Hubungan antara orang tua dan anak dicirikan oleh adanya rasa saling tergantung dan menguntungkan, karena di dalam hubungan tersebut terdapat berbagai kebutuhan dan harapan. Anak tergantung pada orang tua karena adanya kebutuhan untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Orang tua juga tergantung pada anaknya untuk memenuhi kebutuhan meneruskan keturunan, mencurahkan kasih sayang, dan memberikan kepuasan kepada anak Hoffman, dalam Grusec, 1997, h. 33. Selain itu, anak di keluarga Jawa mempunyai kedudukan tersendiri. Berdasarkan ungkapan anak iku geganthelaning ati, yang artinya anak adalah tempat bergantungnya hati. Anak adalah pengikat hubungan orang tua di dalam kehidupan keluarga, sehingga kehadiran anak sangatlah didambakan oleh kedua orang tua mereka Astiyanto, 2006, h. 39. Namun pada kenyataannya, baik orang tua maupun ketiga subjek cenderung kurang memahami kebutuhan dan harapan masing-masing, sehingga pola interaksi keluarga cenderung diliputi oleh kekecewaan. Keadaan tersebut akan berakibat pada timbulnya konflik terpendam di antara anggota keluarga. Berdasarkan analisis informasi yang telah dilakukan, ketiga subjek kasus menyatakan bahwa mereka merasa kurang puas terhadap orang tua karena dinilai kurang memahami keinginan ketiga subjek kasus. Begitu pula dari pihak orang tua yang puas terhadap ketiga subjek kasus karena dinilai kurang mampu berperan sesuai dengan harapan orang tua. 170 Interaksi antara orang tua dan anak sering diwarnai dengan konflik apabila telah mengarah pada pola penegakan disiplin orang tua untuk mengendalikan perilaku anak Maccoby Martin; Schaffer; dalam Grusec, 1997, h. 34 konflik antara orang tua dan anak sering terjadi pada kondisi yang bersifat ambigu Hoffman, dalam Grusec, 1997, h. 34 konflik dapat terjadi apabila negosiasi dan kompromi antara orang tua dan anak tidak tercapai Kuczynski dan Kochanska, dalam Grusec, 1997, h. 34 konflik dapat terjadi apabila tidak tercapai kesepahaman dalam proses komunikasi antargenerasi Eisenberg; Goodnow, dalam Grusec, 1997, h. 34. Pada keluarga yang anggota keluarganya mengalami Skizofrenia pada usia dini, pola interaksinya cenderung kacau, masing-masing anggota keluarga kurang mampu melaksanakan tugasnya, dan pola komunikasinya tidak jelas Bateson dalam Klein, 1996, h. 170. Walaupun setiap hari ada kesempatan untuk bercengkerama bersama seluruh anggota keluarga, namun pada kenyataannya interaksi antara orang tua dan ketiga subjek kasus cenderung diliputi oleh konflik dan hambatan dalam berkomunikasi communication-gap. Seluruh anggota keluarga Subjek GA dan Subjek RK selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama pada sore dan petang hari, sambil menonton televisi bersama. Namun, kedua orang tua Subjek GA, Pak Dhe dan Bu Dhe Subjek RK terkadang bertengkar hebat secara terbuka di depan anak-anak mereka. Namun di keluarga Subjek ZS, tidak pernah ada waktu untuk bercengkerama bersama. Selain itu, sering terjadi pertengkaran yang hebat di dalam keluarga tersebut, 171 terutama antara ibu dengan bapak tiri Subjek ZS. Oleh karena itu, suasana keluarga pada ketiga subjek kasus cenderung tidak kondusif. Kemunculan Skizofrenia pada usia remaja menurut beberapa peneliti barat, disebabkan oleh keadaan hubungan keluarga yang cenderung kurang baik Kohn Clausen dalam Lidz, Fleck, dan Cornelison, 1965, h. 339. Adanya perselisihan antara orang tua dan anak Lidz, Fleck, dan Cornelison, 1965, h. 266. Keluarga yang cenderung keras dan kurang memberikan kebebasan kepada anak Bernheim, 1979, h. 115; Chordoff dan Carpenter dalam Crider, 1979, h. 134. Figur orang tua yang jauh secara psikis dan cenderung mengekang Lidz, Fleck, dan Cornelison, 1965, h. 262. Suasana keluarga ketiga subjek cenderung kurang kondusif. Terkadang orang tua terutama bapak sering membentak dan marah-marah terhadap ketiga subjek kasus, bahkan melakukan pemukulan apabila mereka tidak mau menurut. Oleh karena itu, ketiga subjek kasus merasakan suasana yang tidak nyaman di dalam keluarganya. Keadaan tersebut tidak sesuai dengan pendapat Grusec 1997, h. 35 yang menyatakan bahwa orang tua harus mampu mencari strategi yang tepat untuk menjamin rasa aman pada diri anak, dengan menghindari tindakan kekerasan ketika mendisiplinkan anak. Salah satu fungsi keluarga adalah menyediakan afeksi bagi semua anggotanya Dacey dan Travers, 1994, h. 306. Namun, pada kenyataannya suasana keluarga pada ketiga subjek kasus sering terguncang karena adanya pertengkaran antara bapak dan ibu di depan anak-anak. Keadaan ini sangat tidak mendukung bagi proses perkembangan ketiga subjek kasus secara keseluruhan. 172 Keadaan tersebut selaras dengan pendapat Afiatin 1993, h. 3 yang menyatakan bahwa keharmonisan hubungan orang tua akan berpengaruh pada keadaan mental dan perilaku remaja. Pola interaksi yang terjalin di antara anggota keluarga ketiga subjek kasus lebih bersifat renggang, dingin, dominatif, dan agresif searah. Pola interaksi di lingkungan keluarga tersebut lebih banyak dikendalikan oleh bapak. Pola interaksi yang bersifat dominatif dan agresif searah ini jarang menimbulkan pertengkaran secara terbuka. Namun, banyak menimbulkan konflik terpendam pada anggota keluarga yang banyak mendapat serangan agresi dari anggota keluarga yang lain. Di lingkungan rumah, Subjek GA, RK, dan ZS menjadi anggota keluarga yang banyak mendapatkan serangan agresi. Terutama dari kedua orang tua mereka, khususnya bapak atau Pak Dhe. Keadaan ini dapat terjadi karena posisi mereka sebagai anak pertama. Di lingkungan keluarga Jawa, anak pertama menjadi harapan utama dan tulang punggung keluarga. Oleh karena itu, orang tua banyak memberikan tuntutan kepada mereka. Tuntutan tersebut lebih banyak dan lebih berat dari pada adik-adiknya. Astiyanto 2006, h. 44 menyatakan bahwa orang tua di Jawa akan lebih banyak memberikan tuntutan dan harapan kepada anak pertama dari pada kepada adik-adiknya. Keadaan tersebut berdasarkan pada ungkapan sedulur tuwa iku dadi gegantining wong tuwa. Maksudnya adalah saudara tua kakak akan menjadi wakil atau pengganti orang tua. Apabila ketiga subjek kasus tidak menyadari dan tidak menerima tentang keadaan ini, maka mereka akan selalu mengalami konflik di lingkungan keluarga. Konflik ini akan mengakibatkan rusaknya pola hubungan 173 di antara anggota keluarga, sehingga akan berpengaruh pada proses penyesuaian sosial ketiga subjek kasus di lingkungan masyarakat.

4. Interaksi dengan Lingkungan dan Penyaluran Minat