Pola Asuh Orang Tua Proses Sosialisasi Nilai di Lingkungan Keluarga

38

4. Pola Asuh Orang Tua

Strong dan De Vault 1989, h. 230 mengartikan pola asuh sebagai cara atau model pendekatan orang tua dalam mendidik anak, memberi perlindungan, dan memenuhi kebutuhan anak dalam kehidupan sehari-hari. Variasi dalam pola pengasuhan anak, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, kepribadian orang tua, dan pengalaman orang tua. Selanjutnya Strong dan De Vault 1989, h.231 juga menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara dan strategi dalam pengasuhan anak yang dimulai dengan melatih, mengajar, merawat, memberikan aturan-aturan kepada anak. Pola asuh ditegakkan oleh orang tua sebagai media untuk melakukan pentransferan nilai. Pola asuh dicirikan dengan beberapa dimensi perilaku seperti pengekspresian emosi, pemberian hukuman, tindakan tegas, dan penolakan terhadap perilaku tertentu Grusec, 1997, h. 12. Dimensi yang lain adalah adanya cinta atau permusuhan dan pemberian kebebasan atau pengendalian perilaku Schaefer, dalam Grusec, 1997, h. 12 kehangatan dan pengekangan atau permisif Becker, dalam Grusec, 1997, h. 12 kehangatan emosi ata permusuhan dan membiarkan atau melibatkan peran anak Baldwin, dalam Grusec, 1997, h. 12.

5. Proses Sosialisasi Nilai di Lingkungan Keluarga

Keluarga berperan sebagai ujung tombak untuk melakukan serangkaian proses sosialisasi nilai dan berbagai kebiasaan di lingkungan masyarakatnya. Proses tersebut dapat terjadi melalui penerapan pola asuh orang tua kepada anak- anaknya. Davidoff 1991, h. 115 menyatakan bahwa orang tua merupakan agen 39 sosialisasi utama, sehingga anak akan memperoleh bimbingan secara langsung dan menjadi petunjuk otoritas yang berperan dalam pembentukan kepribadian. Anak yang melakukan proses sosialisasi dengan baik, akan menunjukkan perilaku yang kooperatif, ramah, kondisi emosinya stabil, merasa bahagia karena adanya kehangatan dari orang tuanya. Proses sosialisasi akan berjalan dengan baik apabila orang tua memberikan panduan perilaku yang jelas dengan tetap membebaskan anak dalam derajad tertentu. Orang tua harus dapat menjalin komunikasi dengan jelas terhadap anak, terutama tentang berbagai harapannya dengan memberikan alasan yang dapat diterima oleh anak Grusec, 1997, h. 12. Proses sosialisasi dalam konteks keluarga dilakukan dalam dua arah. Pada proses ini, orang tua mempengaruhi anaknya dengan mensosialisasikan nilai dan anak menginternalisasikan nilai tersebut. Ketika seorang anak terlahir, dirinya belum memahami makna tentang tugas dan harapan orang tuanya yang mencakup sistem nilai budaya di masyarakatnya. Setelah berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, anak mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang nilai, sikap, tugas, dan produk budaya lainnya. Pengalaman dan pengetahuan tersebut diinternalisasikan pada diri anak melalui peran keluarga Grusec, 1997, h. 23. Pada proses sosialisasi orang tua bertindak aktif dalam menentukan tujuan, pola, dan strategi pengasuhan. Anak berperan sebagai objek yang selalu siap menerima materi dari orang tuanya. Namun begitu, sosialisasi merupakan proses negosiasi dalam konteks hubungan orang tua dengan anak di sebuah keluarga Grusec, 1997, h. 26. Interaksi orang tua dengan anak juga dapat menghasilkan transformasi pemikiran terhadap nilai budaya, selama proses sosialisasi. Oleh 40 karena itu, anak diharapkan tidak pasif menerima begitu saja nilai dari orang tuanya. Orang tua juga tidak boleh terlalu kaku dalam menanggapi alternatif sudut pandang yang sedikit berbeda dari anaknya Grusec, 1997, h. 34. Proses internalisasi nilai hanya akan terjadi apabila selama berinteraksi, terdapat kesatuan pemikiran antara orang tua dengan anak. Oleh karena itu, orang tua harus mampu berkomunikasi dengan baik untuk dapat memahami dunia anaknya. Selain itu, orang tua juga harus berusaha untuk menyampaikan materi dengan baik tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat di lingkungan sekitarnya kepercayaan, nilai, sikap, dan ketrampilan tertentu kepada anaknya Grusec, 1997, h. 34. Pada konteks hubungan orang tua dan anak, proses sosialisasi membutuhkan suasana yang hangat untuk mendukung terciptanya internalisasi nilai. Keadaan ini merupakan konsekuensi alamiah, karena setiap anak tetap akan membutuhkan kelekatan afeksi dengan orang tuanya Stayton, dalam Grusec, 1997, h. 382. Masa remaja dipandang sebagai periode yang penuh dengan ketegangan di antara dua tugas perkembangan, yaitu meningkatnya konformitas terhadap harapan sosial, namun di sisi lain berkembang pula otonomi dari pengaruh orang lain Cooper, dalam Grusec, 1997, h. 78. Berdasarkan konsep tersebut, fungsi dari internalisasi nilai adalah untuk menentukan langkah pengaturan diri sesuai dengan harapan orang lain. Hubungan emosi antara orang tua dan remaja masih tetap terjaga, tetapi proses individuasi pada diri remaja semakin berkembang. Pada masa transisi ini, secara umum remaja mengalami penurunan pada rasa penerimaan diri maupun 41 kepuasan terhadap kehidupan keluarganya. Orang tua maupun remaja lebih banyak menampilkan emosi negatif, saling tidak setuju, dan cenderung tertutup Collins Russell; Steinberg; dalam Grusec, 1997, h. 82. Remaja lebih mudah dalam melakukan internalisasi nilai dari pada anak-anak. Keadaan ini dipengaruhi oleh proses perkembangan kognisi yang semakin matang, sehingga remaja menjadi lebih mudah dalam memahami nilai yang diajarkan dengan mengelaborasikan berbagai pengalaman yang dialaminya Grusec, 1997, h. 89.

6. Figur dan Peran Orang Tua