Memahami Skizofrenia dari Perspektif Psikodinamika

27 Kaplan Sadock 1997.a, h. 709 menyatakan bahwa penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti : onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala gangguan mood, adanya simtom positif, sudah menikah, dan adanya sistem pendukung yang baik. Sedangkan prognosis negatif, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti berikut : onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap Skizofrenia, munculnya simtom negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung yang baik

7. Memahami Skizofrenia dari Perspektif Psikodinamika

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikodinamika untuk mengetahui dinamika psikis pada subjek penelitian. Pendekatan ini lebih tepat untuk menguraikan pola perkembangan psikis subjek secara konstruktif dan mendalam di sepanjang rentang kehidupannya. Fenickel dan Rapaport dalam Singer, 1997, h. 309 menyatakan bahwa Psikodinamika mempunyai terminologi yang jelas untuk mengungkapkan peran dari tahap–tahap perkembangan psikoseksual dalam pembentukan kepribadian dan penyebab munculnya psikopatologi. 28 Dalam perspektif Psikodinamika, diyakini bahwa munculnya Skizofrenia pada diri seseorang terjadi dalam sebuah proses yang panjang. Proses itu dimulai sejak masa yang paling awal dalam kehidupan seseorang, yaitu berakar dari gangguan hubungan antara bayi dengan caretaker McGlashan dalam Gabbard, 1994, h. 270. Oleh karena itu, apabila hendak membahas psikogenesis Skizofrenia, mau tidak mau harus membahas pula tentang proses perkembangan kepribadian itu sendiri. Bagaimana sebuah proses perkembangan kepribadian itu berjalan dan apa saja yang dapat menyebabkan berbagai kerentanan di dalam kepribadian, yang berujung terjadinya kerusakan kepribadian pada diri seseorang. Proses perkembangan kepribadian membutuhkan lingkungan psikologis psychological environment yang sehat. Adanya interaksi dengan lingkungan psikologis inilah yang akan membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan psikologis yang paling erat bagi perkembangan kepribadian seseorang tidak lain adalah keluarga. Keluarga akan menjadi tempat berkembangnya kepribadian. Scharff Scharff 1991, h. 144 menyatakan bahwa keluarga adalah suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik. Definisi tentang keluarga tersebut menegaskan bahwa hakikat dari keluarga adalah relasi yang terjalin antarindividu sebagai komponen-komponennya. Jadi, setiap anggota keluarga terhubungkan satu sama lainnya dalam suatu matriks relasi yang kompleks. Dalam matriks relasi yang saling terkait ini, dapat dipahami bahwa apabila ada sesuatu yang menimpa atau dialami oleh salah satu anggota keluarga, dampaknya akan mengenai seluruh anggota keluarga. Arif 2006.a, h. 7 menyatakan bahwa relasi-relasi yang ada dalam keluarga akan berpengaruh pada 29 proses perkembangan kepribadian seseorang. Psikopatologi mungkin dapat terjadi karena kepribadian seseorang berkembang dalam ruang psikologis yang tidak memadai, yang disebabkan oleh adanya gangguan pada matriks keluarga. Para anggota keluarga yang tidak bisa saling membina hubungan yang hangat dan mendalam satu sama lain, akan mengakibatkan seseorang anak terus menerus bereaksi secara defensif. Reaksi ini bersifat protektif, dengan menekan segala hal yang membuat tidak nyaman dan mengancam ego di dalam kepribadiannya. Pada akhirnya, ego tidak dapat berkembang dengan optimal dan cenderung rapuh. Stern 1985, h. 174-175 menyatakan bahwa pembentukan ego yang terganggu, akan mengakibatkan gangguan pada fungsi sosial yang normal dan mengarah pada kondisi psikotik dan defisit sosial yang sangat besar. Pada pasien Skizofrenia, relasi dengan orang lain akan cenderung dirasakan sebagai kondisi yang mengancam keberadaan ego-nya yang rapuh. Dia takut “ditelan” oleh orang lain. Freud dalam Fenichel, 1945, h. 417 menyebut keadaan ini sebagai fear of being eaten, sebagai sebuah bentuk kecemasan yang primitif. Kemudian muncul berbagai gejala Skizofrenia, baik itu gejala positif maupun gejala negatif. Munculnya berbagai gejala ini, merupakan cerminan kondisi pasien yang tercerai berai dengan segala konfliknya, yaitu untuk tetap mencari tetapi sekaligus menghindari orang lain. Lingkungan yang pertama dan yang paling penting bagi individu tidak lain adalah keluarga. Maka, konflik yang dialami oleh pasien Skizofrenia adalah konflik di dalam keluarganya. 30

B. Teori Keluarga 1. Definisi Keluarga

Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, BAB I Pasal 1 dalam buku Peraturan tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, 2006, h. 6 dinyatakan bahwa : Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami-istri dan anak, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Berdasarkan dimensi hubungan sosial, keluarga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dalam tempat tinggal yang sama dan masing- masing anggota merasakan adanya pertautan batin, sehingga tercipta suasana saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri Shochib, 2000, h. 17.

2. Interaksi Keluarga