Masa Remaja Menjelang Gangguan

92 membuat kesalahan, lalu dirinya dimarahi, subjek cenderung mencari-cari alasan untuk menyangkal dan membela dirinya. Ibu subjek menyatakan, “Ya, membantah. Misalnya itu, “Kuwi lho Anu-anu-anu…”, gitu”. Bapak juga menguatkan pendapat, “Paling membantah Dia ikut menjawab berargumentasi begitu”. Subjek adalah pribadi yang mudah marah. Misalnya, apabila dirinya minta tolong kepada adiknya, tetapi adiknya tidak mau, biasanya GA akan marah. Oleh karena itu, subjek cenderung menjadi pribadi yang verbal agresif. Seperti kutipan pendapat ibu : “Sebetulnya GA itu anaknya keras. Dia itu memang pemarah, kalau kemauannya ndak kesampaian. Misalnya, dia minta adiknya ini… terus adiknya ndak mau, dia terus marah”. Apabila mendapatkan masalah dan berkonflik, biasanya GA akan tidur atau pergi dalam waktu yang lama. Seperti pernyataan ibu, “Kadang tidur, kalau tidak pergi ke rumah saudara atau ke tempat temannya”. Sedangkan subjek menyatakan, “Sendirian mengurung diri atau jalan-jalan”.

3. Masa Remaja Menjelang Gangguan

a. Hubungan subjek dengan ibu cenderung baik, kemudian merenggang Subjek lebih dekat dengan ibunya, karena apabila GA menghadapi kesulitan pasti disampaikan kepada ibunya. Setelah itu, ibu menyampaikan ke bapak. Seperti pernyataan bapak subjek, “Sampai sekarang jika mengalami kesulitan, dia bilang ke ibunya”. Ibu juga menguatkan pendapat, “…disampaikan dengan saya, nanti saya yang menyampaikan dengan bapak. Terus kalau bapak tetep ndak setuju, tidak dilakukan”. 93 Menurut pendapat ibu, subjek mempersepsikan ibunya terkadang cerewet. Seperti pernyataan ibunya, “Ibu juga cerewet, kok, katanya”. Subjekpun juga berani membantah ibu dan ikut menjawab apabila dirinya merasa tidak bersalah. Namun, dirinya tidak berani bila dengan bapak. Ibu subjek menyatakan : “Kadang-kadang dia ikut jawab, tapi kadang-kadang dia diam. Kalau dia tidak merasa bersalah itu pasti ikut menjawab, tapi kalau merasa bersalah dia diam. Kalau dengan bapaknya itu agak takut.”. Namun, ketika peneliti bertanya langsung ke subjek tentang persepsi dirinya tentang ibu, GA menjawab, “Sregep orangnya, menyayangi anak-anaknya, terus pinter masak, dan pengetahuannya itu luas”. Oleh karena itu, subjek ingin menjadi seperti ibunya. Seperti pernyataan bapak : ”Dia itu ingin seperti ibunya, mengajar… dapat gaji dan di rumah dapat tambahan waktu ngelesi. Akhirnya dia ngambil bahasa Inggris itu kan bisa ngelesi, katanya begitu”. Peneliti menemukan fakta lain, terkait dengan hubungan antara subjek dengan ibunya. Ternyata beberapa hari sebelum subjek berangkat ke Semarang untuk mengikuti kegiatan OKKA di kampusnya, subjek bertengkar dengan ibunya dan tidak saling bicara selama beberapa hari. Seperti pernyataan seorang informan, “Iya… aku denger, katanya dia didiamkan sama ibunya selama beberapa hari gitu… sebelum dia berangkat ke Semarang”. b. Hubungan subjek dengan bapak cenderung baik, tetapi diliputi rasa takut Di lingkungan keluarga subjek, bapak yang memegang kendali keluarga dan menentukan segala keputusan keluarga. Seperti pernyataan bapak subjek sendiri, “Saya sendiri yang memegang kendali”. Subjek takut dan segan kepada bapak, terutama apabila bapak sedang marah. Bapak subjek sendiri menyatakan, “Kalau 94 pulang malam dia langsung masuk kamar karena takut dengan saya”. Ibu subjek juga menguatkan, “Kalau dengan bapaknya itu agak takut”. Bahkan subjek sendiri juga menyatakan hal yang sama, “Kalau bapak marah, saya takut. Misalnya kalau ada yang nakal atau ndak mau diperintah”. Bapak sering melakukan pemukulan terhadap GA, “Saya marah dan saya pukul dia, karena saya bilangin ndak mau”. Walaupun begitu, persepsi subjek terhadap bapaknya cenderung baik. Seperti pernyataannya sendiri, “Bapak itu pinter cari uang, disiplin, tanggung jawab, sabar. Terus pendidikan anak-anaknya dipenuhi”. c. Pola pengasuhan yang mengekang Pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua subjek cenderung tegas dan mengekang. Alasan bapak subjek adalah untuk membentuk perilaku disiplin anak- anaknya. Seperti pernyataan bapak subjek sendiri : “Saya kok cenderung mengekang dan melindungi, karena rasa sayangnya itu ya… seperti itu tadi contohnya, kalau pulang malam dia langsung masuk, takut, dan langsung sholat begitu”. selain itu, bapak subjek lebih tegas lagi dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Seperti pernyataan bapak subjek sendiri : “Anak-anak harus melakukan norma-norma agama… untuk yang berkaitan dengan sholat memang saya paksa. Karena sebagai orang tua kan di dalam aturannya, kalau diminta secara halus ndak bisa, istilahnya kalau sampai dipukul itu dalam hadistnya kan ada. Saya harap, mereka bisa berhasil dalam pendidikan formal maupun nonformal, termasuk pendidikan agamanya. Contoh lain, dia boleh ke internet tapi buka situsnya yang wajar, jangan sampai melakukan yang dilarang agama”. Pola penegakan disiplin dari orang tua cenderung keras. Bapak melakukan pemukulan kepada anak, apabila perilakunya dianggap sudah melebihi batas. Seperti pernyataan bapak subjek sendiri : 95 “Kamu boleh main, tapi sebelum Maghrib harus sudah sampai di rumah. Memang saya agak keras di situ. Untuk menyampaikan kritikan atau menampilkan kemarahan biasanya saya halus dulu. Kalau kesalahannya dalam tingkat yang wajar, saya cukup ingatkan. Tapi kalau misalnya tindakannya sudah di luar batas, kadang-kadang saya pukul”. Selain itu, di dalam keluarga ini, anak harus mengikuti kemauan orang tua. Ibu subjek menyatakan, “Kemauannya orang tua itu… anak harus mengikuti”. Namun terkadang, orang tua juga membebaskan anak untuk berpendapat dengan tetap memberikan saran. Seperti pernyataan bapak, “Ya, dia terserah mau apa, sekiranya kurang cocok kita arahkan begitu… saya jelaskan, akhirnya mau menerima”. Terkadang, anak protes terhadap pola penegakan disiplin dari orang tuanya. Seperti pernyataan bapak subjek,” Kadang-kadang protes atau nangis”. Apabila dengan ibu, “Kalau ndak setuju dengan saya tetap bilang, tapi kalau dengan bapaknya itu agak takut”. Pada saat tertentu, orang tua memberikan reward kepada anak, berupa pujian, makan bersama keluar, dan rekreasi keluarga. Seperti pernyataan bapak : “Misalnya dia naik kelas dengan nilai yang bagus, kami ajak makan bersama. Atau minta apa, kami tawari. Misalnya, “Mbok anu Pak, tukokne tas”, “Ya, mengko nek munggah bijimu apik”, saya bilang gitu. Misalnya saja kemarin, habis terima rapot, semua saya ajak ke Bali. Juga pas ulang tahun, saya bawa ke warung makan bersama”. Punishment kepada anak sering berupa tindakan agresif, seperti dimarahi dan dipukul. Bapak menyatakan, “…hukuman misalnya nakal, saya pukul”. Sedangkan ibu menyatakan, “Hukumannya itu dimarahi”. Ada perbedaan pemberian pola pengasuhan antara bapak dan ibu : “Mungkin ibunya lebih halus dalam menangani anak, jadi berbeda dengan saya. Saya selalu diingatkan oleh istri, “Aja Mas… Aja”, istilahnya jangan fatal-fatal begitu”. 96 d. Suasana dan pola komunikasi keluarga cukup kondusif Orang tua menyatakan bahwa suasana keluarga biasa saja dan hubungan orang tua dengan semua anak cenderung sama. Seperti pernyataan bapak subjek : “Suasana hubungan keluarga di rumah biasa saja. Saya perlakukan sama semua, ndak ada bedanya. Ndak ada mana yang harus saya dahulukan, untuk dibedakan. Ndak ada yang terlalu dekat, ndak ada yang terlalu jauh, semuanya sama”. Ibu subjek juga menyatakan keadaan yang sama : “Saya rasa biasa, terkadang guyonan, tapi terkadang bertengkar. Ndak ada porsi mana yang lebih, mana yang kurang. Hubungan antara anak dan orang tua juga biasa saja”. Waktu untuk bercengkerama dengan semua anggota keluarga tetap ada. Biasanya malam hari, seperti pernyataan bapak, “Setiap saatlah, yang paling sering malam hari”. Sedangkan ibu subjek menyatakan lebih banyak pada waktu sore dan petang hari, setelah selesai melakukan aktivitas. Ini pernyataannya : “Kadang-kadang makan bersama di luar, kalau cerita-cerita waktu yang luas itu setelah ashar. Terus pas maghrib, setelah selesai beraktivitas. Kita ngobrol bersama”. Apabila anak memiliki sebuah keinginan, biasanya lebih banyak disampaikan ke ibunya. Setelah itu, baru ibu menyampaikan ke bapak. Keputusan terakhir ada di tangan bapak. Seperti pernyataan bapak subjek, “Kadang-kadang disampaikan kepada saya, kadang-kadang kepada ibunya. Tapi malah lebih banyak kepada ibunya”. Ibu juga menyatakan hal yang sama : “Terkadang tidak disampaikan dengan bapak, tapi disampaikan dengan saya. Nanti saya menyampaikan ke bapak. Kalau bapak tetep ndak setuju, tidak dilakukan. Jadi minta pertimbangan bapak dulu”. Ketika bapak marah, subjek sangat takut. Karena suaranya keras, seperti dinyatakan oleh subjek sendiri, “Kalau bapak marah, saya takut. Ya, Bapak 97 nyentak. Bapak marah sambil teriak-teriak”. Bapak subjek sendiri juga menyatakan hal yang sama, “Kalau pas marah keras”. Jika ada masalah dengan salah seorang anak, biasanya langsung diselesaikan bersama. Orang tua menanyakan langsung kepada anak tersebut. Seperti pernyataan bapak, “Kalau hal-hal yang biasa, diomongkan biasa. Saya tanyakan langsung ke anaknya sendiri”. Ibu subjek juga menyatakan hal yang sama, “Menyelesaikannya dirembug saja”. Ibu lebih banyak diam apabila sedang marah dan bertengkar dengan bapak. Ibu menyatakan belum pernah bertengkar hebat dengan bapak. Ibu subjek menyatakan : “Bertengkar dalam rumah tangga itu biasa, tapi kalau bertengkar hebat, saya kira ndak pernah. Misalnya kadang-kadang kalau emosi dan marah gitu, saya terus diam. Tapi nanti ya, biasa lagi dengan bapaknya”. Apabila ada masalah serius, anak-anak tidak boleh tahu. Seperti pernyataan bapak subjek, “Kalau masalahnya serius, anak-anak tidak boleh tahu”. Namun, apabila sampai bertengkar di hadapan anak-anak, mereka hanya diam dan melihat orang tuanya. Seperti pernyataan ibu, “Mereka diam saja, cuma ngeliatin Bapak dan Ibunya”. Di keluarga ini, ibu cenderung menurut kepada bapak. Ibu subjek menyatakan, “Kalau saya itu manut sama bapak. Apa yang menurut bapak terbaik, pasti saya ikuti”. e. Subjek belum menerima secara penuh tentang keadaan dirinya Sebagai anak pertama, subjek menginginkan kehadiran kakak laki-laki. Alasan subjek adalah agar ada yang melindungi, apabila pergi ada yang mengantar, dan tidak mengalah terus kepada adik. Seperti pernyataan ibu : 98 “Dia pingin punya kakak laki-laki. Karena kalau jadi anak pertama itu kan biasanya ngalah. Katanya, “Jane aku pengen duwe Mas, kok”, “Ben aku nek nang endi-endi, kuwi diterke”. “Tur neh, aku ora ngalah terus”. “Kan ana sing melindungi”. Bahkan, subjekpun juga menyatakan hal yang serupa : “Ingin punya kakak laki-laki, nanti kalau ke mana-mana ada yang mengantar. Terus kalau ada apa-apa bisa melindungi”. Pada dasarnya, subjek tetap menerima kondisinya sebagai anak pertama. Seperti dikutip dari pernyataannya sendiri : “Ada enaknya dan ada ndak enaknya. Enaknya kalau ada apa-apa lebih diutamakan, kebutuhannya dilengkapi. Ndak enaknya kalau ada apa-apa, anak pertama itu seharusnya gini-gini. Tapi saya enjoy aja… Iya menerima”. Mengenai kondisi fisiknya, subjek terkesan kurang menerima. GA ingin tubuhnya bisa langsing, karena dirinya merasa kurang percaya diri dan malu apabila sedang bersama dengan teman-temannya yang laki-laki. Seperti pernyataan dirinya : “Ingin langsing Ya, agak ndak PD kalau gemuk. Kalau mau kumpul sama temen-temen laki-laki, malu gitu”. Bapak subjek juga menguatkan pernyataan, “Terkadang dia mengeluhkan tentang dirinya. Misalnya kalau berat badannya meningkat”.

4. Pada saat Subjek Mengalami Gangguan