Karakteristik Orang Tua Subjek Kasus

157

D. Pembahasan Ketiga Kasus dalam Perspektif Jawa

1. Karakteristik Orang Tua Subjek Kasus

a. Karakteristik Ibu Subjek Kasus

Di lingkungan keluarga ketiga subjek kasus, kedudukan ibu cenderung lebih lemah dari pada bapak. Oleh karena itu, ibu cenderung menurut kepada bapak. Ibu mengasuh dan mendidik anaknya lebih halus dari pada bapak, sehingga jalinan afeksi antara Subjek GA, RK, dan ZS dengan ibunya begitu dekat. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara 2003, h. 112 yang menyatakan bahwa ibu di Jawa memiliki peran penting dalam mendidik budi pekerti anak di lingkungan rumah. Anak-anak di Jawa sejak sebelum lahir sampai usia remaja, biasanya lebih dekat dengan ibunya. Namun, terkadang ibu dianggap kurang memberikan perhatian karena kurang mengerti akan kebutuhan dan kehendak subjek kasus. Bahkan sikap dan perilakunya tidak menunjukkan kasih sayang. Padahal dalam konteks hubungan orang tua dan anak, proses sosialisasi membutuhkan suasana yang hangat untuk mendukung terciptanya internalisasi nilai. Keadaan ini merupakan konsekuensi alamiah, karena setiap anak tetap akan membutuhkan kelekatan afeksi dengan orang tuanya Stayton, dalam Grusec, 1997, h. 382. Hubungan Subjek GA dengan ibunya cenderung kurang konsisten dan ambivalen, sehingga sering terjadi konflik. Konflik hubungan antara ibu dengan Subjek GA, terjadi karena terkadang ibu mampu memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap kebutuhan Subjek GA. Namun, terkadang ibu tidak memberikan apa yang dibutuhkan oleh Subjek GA. Bahkan, terkadang 158 ibu membiarkan Subjek GA menangis dalam waktu yang lama, mencubit, dan memarahinya. Ego Subjek GA mengalami splitting terhadap ibunya. Di satu sisi, ibu dianggap sebagai figur yang memuaskan, namun di sisi yang lain ibu dianggap sebagai figur yang mengecewakan dan mengancam. Oleh karena itu, dari pola hubungan subjek kasus dengan ibunya yang cenderung kurang konsisten akan berakibat pada kurang berhasilnya proses penanaman nilai kepada subjek kasus. Kurang berhasilnya tugas ibu dalam mengasuh dan menanamkan nilai kepada subjek kasus, akan menyebabkan subjek kasus menjadi sulit dalam menjalani kehidupannya di lingkungan yang lebih luas. Endraswara 2003, h. 112 berpendapat bahwa ibu adalah pengasuh anak dan menjadi figur yang pertama dan utama dalam upaya penanaman nilai-nilai kepada anak. Kegagalan ibu dalam menanamkan nilai kepada anak, akan menyebabkan anak menjadi sulit dalam menjalani kehidupannya. Hubungan antara Subjek RK dengan ibunya cenderung renggang dan dingin. Keadaan ini disebabkan karena kesulitan dalam proses berkomunikasi. Oleh karena itu, sering kali Subjek RK mengalami hambatan ketika harus menuntut ibunya untuk berperan lebih. Ketika sudah memasuki usia remaja, baik Subjek GA maupun Subjek RK mempersepsikan ibunya sebagai figur bad-enough mother. Namun, Subjek ZS mempersepsikan ibunya sebagai figur good-enough mother. Munculnya Skizofrenia pada Subjek GA, RK, dan ZS kemungkinan juga disebabkan oleh adanya permasalahan hubungan antara anak dengan ibunya caretaker Arif, 2006.a, h. 6. 159 Di Jawa, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga sangatlah dinantikan. Alasan utamanya adalah faktor emosional. Oleh karena itu, seorang anak di Jawa sudah banyak dilimpahi banyak perhatian sebelum anak tersebut lahir. Orang yang paling penting dalam kehidupan bayi di Jawa adalah ibunya, yang selalu menggendong di dalam selendangnya, menyusuinya, mengajaknya berbicara, dan yang selalu menyanyikan lagu-lagu untuknya sampai dirinya tertidur. Seorang anak pasti akan mencari ibunya apabila dirinya merasa takut terhadap sesuatu, atau saat dirinya sakit Koentjaraningrat, 1984, h. 107. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara ibu dan anak di masa balita pada kehidupan masyarakat Jawa secara umum sangatlah dekat dan berarti bagi proses perkembangan fisik, psikis, dan sosial bagi anak. Namun, dalam kasus pada penelitian ini jalinan hubungan ini kurang baik, sehingga berpengaruh pada proses perkembangan subjek kasus secara keseluruhan. Hubungan yang kurang baik ini, dipengaruhi oleh kurang optimalnya ibu dalam berperan dan melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengasuh anak. Keadaan tersebut disebabkan oleh keterbatasan pada diri ibu, seperti kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan anak karena ibu bekerja, ketidakmampuan ibu dalam berkomunikasi secara verbal karena ibu mengalami bisu dan tuli, ibu kurang berpengalaman dalam mengasuh anak.

b. Karakteristik Bapak Subjek Kasus

Di lingkungan keluarga Subjek GA, RK, dan ZS, bapak sebagai figur yang paling kuat. Bapak memiliki peran yang lebih aktif dan menentukan dari pada ibu, sehingga bapak menjadi figur sentral dan memegang keputusan 160 keluarga. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Astiyanto 2006, h. 3 yang menyatakan bahwa suami atau bapak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan penting serta mempunyai kekuasaan yang lebih besar di lingkungan keluarga Jawa. Keadaan tersebut bertolak belakang dengan pendapat Arif 2004, h. 204 dan Lidz, Fleck, dan Cornelison 1965, h. 262 yang memaparkan fakta bahwa karakteristik bapak dari remaja yang mengalami Skizofrenia cenderung lebih lemah dari pada ibu. Oleh karena itu, ditemukan perbedaan hasil antara penelitian di budaya Jawa dengan budaya lainnya. Kuatnya figur dan peran bapak di dalam keluarga ketiga subjek kasus, ternyata berdampak lebih luas. Dampak ini termanifestasi pada pola asuh yang diterapkan kepada Subjek GA, RK, dan ZS yang cenderung mengekang kurang memberikan toleransi dan sering melakukan tindakan kekerasan. Maccoby Martin; Schaffer dalam Grusec, 1997, h. 34 menyatakan bahwa interaksi antara orang tua dan anak sering diwarnai dengan konflik apabila telah mengarah pada pola penegakan disiplin orang tua untuk mengendalikan perilaku anak. Oleh karena itu, orang tua harus mampu mencari strategi yang tepat untuk menjamin rasa aman pada diri anak, dengan menghindari tindakan kekerasan ketika mendisiplinkan anak Grusec, 1997, h. 35. Keadaan tersebut dapat terjadi karena pada sistem pergaulan keluarga di Jawa, anak harus lebih hormat aji dan berbakti bekti kepada bapaknya. Suseno 2001, h. 94 menyatakan bahwa ketika melakukan hubungan interaksi dengan bapak, anak harus mampu mengungkapkan perasaan wedi, isin, dan sungkan untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat 161 itu. Selain itu, adanya prinsip hormat, akan menuntut anak untuk menghormati, mengasihi, dan segan kepada orang tuanya, baik dalam berbicara maupun berperilaku Koentjaraningrat, 1984, h. 107. Anak di Jawa juga harus dapat mikul dhuwur mendhem jero. Maksudnya, anak harus dapat menutupi kekurangan keluarga di mata orang lain dan dapat menjunjung tinggi kehormatan keluarganya Endraswara, 2003, h. 116. Seorang anak di Jawa dituntut untuk menghormati orang tua dan meninggikan derajad mereka. Anak tidak diperbolehkan banyak menuntut dan harus selalu menurut kepada orang tua. Keadaan ini dialami oleh ketiga subjek kasus di lingkungan keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan terhadap subjek kasus, peneliti menyimpulkan bahwa ketiga subjek kasus cenderung kurang menyadari akan nilai ini dari orang tuanya. Oleh karena itu, terkadang ketiga subjek kasus menunjukkan perilaku yang dinilai kurang hormat kepada orang tuanya. Sikap dan perilaku kurang hormat itu ditunjukkan seperti perilaku membantah pendapat dan nasehat orang tua, cenderung enggan melaksanakan perintah dan permintaan orang tua ketika diminta untuk membantunya. Contohnya, Subjek GA sering membantah pendapat ibu dan enggan untuk bekerja membantu ibunya dengan berbagai alasan. Subjek RK sering dimarahi oleh Bu Dhenya, karena dianggap malas bekerja di rumah. Subjek ZS selalu merasa dituntut oleh bapak tirinya untuk selalu bekerja merawat kambing dan ayam setelah pulang sekolah sampai petang hari. 162 Nilai-nilai di budaya Jawa akan menentukan tingkah laku orang Jawa dalam hubungan sosialnya. Greetz dalam Koentjaraningrat, 1984, h. 25 memilih hormat aji sebagai titik temu antara berbagai perasaan individu Jawa yang timbul bila dirinya sedang berinteraksi dengan orang lain. Hormat aji menunjukkan perasaan bahwa orang yang bersangkutan adalah lebih tinggi derajadnya, dan mempunyai kewibawaan, dan memang seharusnya dikagumi dan dihormati. Apabila dibuat sebuah bagan dengan superioritas pada urutan tertinggi, kemudian semakin menurun hingga inferioritas di tempat terendah, maka aji harus ditempatkan paling tinggi dan isin ditempatkan paling rendah. Isin untuk menyatakan superlatif yang menunjukkan suatu perasaan yang dimiliki oleh seorang Jawa apabila merasa dirinya sangat inferior terhadap orang lain ketika menjalin sebuah hubungan. Hubungan seperti inilah yang diharapkan oleh bapak atau Pak Dhe kepada Subjek GA, RK, maupun ZS. Namun pada kenyataannya, ketiga subjek kasus kurang mampu menunjukkan perilaku hormat dan patuh kepada orang tuanya. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan nilai dan pandangan antara anak dengan orang tua mereka. Pertentangan nilai ini pada akhirnya menimbulkan berbagai konflik yang sifatnya terpendam di lingkungan keluarga. Kuczynski dan Kochanska dalam Grusec, 1997, h. 34 menyatakan bahwa konflik dapat terjadi apabila negosiasi dan kompromi antara orang tua dan anak tidak tercapai. Selain itu, konflik dapat terjadi apabila tidak tercapai 163 kesepahaman dalam proses komunikasi antargenerasi Eisenberg; Goodnow, dalam Grusec, 1997, h. 34. Konflik yang terjadi antara bapak dan ketiga subjek kasus, termasuk dalam jenis konflik terpendam. Keadaan ini sesuai dengan tuntutan kondisi di lingkungan masyarakat Jawa yang cenderung menekan perasaan dan menghindari keterusterangan ketika berhubungan dengan orang lain. Suseno 2001, h. 42 menyatakan bahwa masyarakat Jawa harus dapat mengekang emosinya jangan sampai pecah secara terbuka, sehingga dapat menimbulkan konflik. Pengekangan emosi sangatlah diharuskan, karena membuka perasaan hati begitu saja akan dinilai negatif oleh lingkungan. Selaras dengan pendapat tersebut, Koentjaraningrat 2002, h. 133 menyatakan bahwa dalam adat sopan santun Jawa, orang harus bersikap ramah terhadap seseorang walaupun di dalam batinnya mungkin membenci orang tersebut. Oleh karena itu, ketiga subjek kasus akan selalu berusaha memendam emosi negatifnya terhadap keadaan di lingkungan rumahnya. Berbagai emosi negatif ini dipendam dalam waktu yang cukup lama, sehingga akan sangat berpengaruh pada proses perkembangan mentalnya. Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa peran dan kedudukan bapak pada ketiga subjek kasus sangatlah superior dan dominan. Keadaan tersebut sesuai dengan kondisi di lingkungan budaya Jawa yang menuntut anak untuk dapat menunjukkan suasana hubungan yang bernuansa hormat aji terhadap bapak. Namun kenyataannya ketiga subjek kasus kurang dapat menunjukkan suasana hubungan sesuai dengan harapan dari orang tuanya, sehingga proses 164 interaksi antara orang tua terutama bapak dengan anaknya selalu diliputi oleh konflik yang sifatnya terpendam. Konflik di lingkungan keluarga ini berlangsung lama dan bahkan cenderung meningkat. Keadaan ini sangat berpengaruh pada proses perkembangan mental pada diri ketiga subjek kasus.

2. Pola Pengasuhan dan Proses Sosialisasi Nilai oleh Orang Tua