133 untuk memijahkan dan menetaskan telur-telurnya. Kondisi ini mendukung
pendapat Heddy dan Kurniati 1994, bahwa kecendrungan organisme untuk bergerombol terjadi ketika proses berbiak dan membentuk koloni.
4.1.6.3 Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa dengan menggunakan metode regres,i untuk mengkaji hubungan antara lebar karapaks kepiting bakau dengan
bobot tubuhnya. Berdasarkan hasil analisa, terlihat bahwa hubungan lebar karapaks dan bobot tubuh tiap jenis per jenis kelamin kepiting bakau, yang
tertangkap pada stasiun Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan selama satu tahun, dituangkan dalam rumus:
b
aL W
=
yang kemudian menghasilkan kurva hubungan lebar karapaks dan bobot tubuh kepiting bakau seperti terlihat pada
Lampiran 7. Selajutnya dari persamaan tersebut di atas, dapat ditentukan nilai b dan r
2
dari tiap jenis, per jenis kelamin kepiting bakau, pada masing-masing stasiun penelitian seperti tersaji pada Tabel 16.
Nilai b akan menjadi indikator
yang mendeskripsikan pola pertumbuhan kepiting bakau, sedangan melalui nilai koefisien korelasi r
2
, dapat dilihat keeratan hubungan antara lebar kerapaks kepiting bakau dan bobot tubuhnya. Sehingga melalui data tersebut, dapat
ditentukan apakah individu dari populasi pada suatu wilayah, dapat diduga bobot tubuhnya melalui ukuran tubuhnya.
Hasil analisa hubungan lebar karapaks dan bobot tubuhkepiting bakau, menunjukan bahwa nilai b individu jantan keempat jenis kepiting bakau pada
stasiun Blanakan berkisar antara 3.037-3.108; nilai b individu jantan keempat jenis pada stasiun Tanjung Laut berkisar antara 2.940-2.957; sedangkan nilai b
individu jantan keempat jenis pada stasiun Mayangan berkisar antara 3.049-3.117. Sebaliknya nilai b individu betina keempat jenis kepiting bakau pada
stasiun Blanakan berkisar antara 2.820-2.842; nilai b individu betina keempat jenis pada stasiun Tanjung Laut berkisar antara 2.768-2.932; sedangkan nilai b
individu jantan keempat jenis pada stasiun Mayangan berkisar antara 2.869-2.898.
Bila dilakukan analisa Uji t terhadap nilai b dari keempat jenis kepiting bakau jantan maupun betina, pada masing-masing stasiun penelitian terhadap
nilai 3.00 b=3, menunjukan hubungan isometrik pada taraf alpha ά=0.05,
maka hasil analisa Lampiran 8, menunjukkan bahwa t
hitung
nilai b individu jantan
134 dari keempat jenis pada stasiun Blanakan lebih besar dari t
tabel
; t
hitung
nilai b individu jantan dari keempat jenis pada stasiun Tanjung Laut lebih besar dari
t
tabel
; sedangkan t
hitung
nilai b individu jantan di keempat jenis pada stasiun Mayangan juga lebih besar dari t
tabel
Tabel 16 Hasil analisa hubungan ukuran lebar karapaks dan bobot tubuh kepiting bakau Scylla spp. pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan
Hasil uji t nilai b individu betina menunjukkan bahwa t
hitung
nilai b individu betina dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Blanakan lebih besar dari
t
tabel
; t
hitung
nilai b individu betina dari keempat jenis pada stasiun Tanjung Laut lebih besar dari t
tabel
; sedangkan t
hitung
nilai b individu jantan dari keempat jenis pada stasiun Mayangan juga lebih besar dari t
tabel
. Hasil analisa hubungan lebar karapaks dan bobot tubuh kepiting bakau, juga memperlihatkan bahwa nilai
koefisien korelasi r
2
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Blanakan berkisar antara 0.970-0.975; nilai r
2
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Tanjung Laut berkisar antara
0.968-0.975; sedangkan nilai r
2
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Mayangan berkisar antara 0.964-0.980.
Jantan Betina Stasiun Jenis
b r
2
b r
2
S. paramamosain 3.103 0.974 2.832 0.956
S. olivacea 3.037 0.975 2.826 0.949
S. serrata 3.108 0.975 2.842 0.955
S. tranquebarica 3.038 0.970 2.820 0.957
Blanakan
Hasil Uji t t
hit
= 3.637 t
tabel
= 2.353 P = 0.0179
t
hit
= -36.244 t
tabel
= 2.353 P = 0.0000
S. paramamosain 2.957 0.973 2.932 0.956
S. olivacea 2.940 0.975 2.768 0.947
S. serrata 2.954 0.972 2.824 0.948
S. tranquebarica 2.945 0.968 2.870 0.946
Tanjung Laut
Hasil Uji t t
hit
= -12.954 t
tabel
= 2.353 P = 0.0005
t
hit
= -4,356 t
tabel
= 2,353 P = 0,0112
S. paramamosain 3.100 0.978 2.898 0.949
S. olivacea 3.117 0.967 2.868 0.958
S. serrata 3.049 0.980 2.893 0.950
S. tranquebarica 3.111 0.964 2.885 0.958
Mayangan
Hasil Uji t t
hit
=6.085 t
tabel
= 2.353 P = 0.0044
t
hit
= -17.351 t
tabel
= 2.353 P = 0.0002
135 Nilai koefisien korelasi r
2
individu betina dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Blanakan berkisar antara 0.949-0.957; nilai r
2
individu betina dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Tanjung Laut berkisar antara 0.946-
0.956; sedangkan nilai r
2
individu betina dari keempat jenis kepiting bakau pada stasiun Mayangan berkisar antara 0.949-0.958.
Pola pertumbuhan dan keeratan hubungan antara pertumbuhan lebar karapaks dan bobot tubuh, merupakan faktor penting bagi suatu usaha
pengelolaan dan budidaya kepiting bakau. Karena melalui informasi ini dapat diduga ukuran bobot tubuh kepiting bakau berdasarkan ukuran lebar karapaks
tubuhnya. Nilai b kepiting bakau antar jenis dan jenis kelamin, pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan,
cenderung tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Sehingga dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan kepiting bakau antar jenis per jenis kelamin
pad ketiga wilayah perairan tersebut sama, yaitu pola pertumbuhan alometrik atau pertumbuhan lebar karapaks dan bobot tubuh tidak seimbang. Meskipun
demikian, bila digolongkan menurut pola pertumbuhan alometrik positif atau negatif maka akan nampak perbedaan pola pertumbuhan antar jenis kelamin per
jenis, dan antar zona dalam tiap wilayah perairan mangrove. Secara faktual, pola pertumbuhan individu jantan dari jenis
Scylla paramamosain, S. olivacea, S. serrata, dan S tranquebarica, pada wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan adalah pola pertumbuhan alometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot tubuh yang lebih cepat dari lebar karapaksnya.
Sedangkan secara statistik, dikategorikan dalam pola pertumbuhan isometrik atau pertumbuhan lebar karapaks dan bobot tubuh seimbang. Sebaliknya secara
faktual maupun statistik, pola pertumbuhan individu betina dari keempat jenis pada wilayah ini adalah alometrik negatif, yaitu pertumbuhan lebar karapaks lebih
cepat daripada bobot tubuh, atau pertumbuhan lebar karapaks dan bobot tubuh tidak seimbang. Pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, secara
faktual maupun statistik, pola pertumbuhan individu jantan dan betina dari keempat jenis kepiting bakau adalah alometrik negatif, yaitu pertumbuhan lebar
karapaks yang lebih cepat daripada bobot tubuh. Sementara pada wilayah
perairan mangrove Desa Mayangan, secara faktual pola pertumbuhan individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau adalah alometrik positif, yaitu
pertumbuhan bobot tubuh yang lebih cepat dari lebar karapaksnya. Sedangkan
136 secara statistik, pola pertumbuhannya dikategorikan isometrik, yaitu
pertumbuhan lebar karapaks dan bobot tubuh seimbang. Sebaliknya secara faktual maupun statistik pola pertumbuhan individu betina dari keempat jenis
kepiting bakau pada wilayah ini adalah alometrik negatif, yaitu pertumbuhan lebar karapaks lebih cepat dari bobot tubuh. Dengan demikian, secara faktual kepiting
bakau jantan pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif dan negatif,
dan secara statistik memperlihatkan pola pertumbuhan isometrik kecuali pada wilayah Desa Tanjung Laut. Sebaliknya baik secara faktual mupun statistik,
kepiting bakau betina memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Perbedaan pola pertumbuhan antara jantan dan betina, dapat disebabkan
karena rasio bobot tubuh terhadap lebar karapaks keduanya berbeda. Rasio tubuh pada jantan lebih tinggi dari pada betina, atau bobot tubuh jantan lebih
besar dari lebar karakapsnya. Hal ini disebabkan karena ukuran chela jantan,
terutama pada individu berukuran besar umumnya berukuran lebih besar daripada
chela betina. Tongdee 2001, menyatakan bahwa rasio bobot tubuh terhadap lebar karapaks antara individu kepiting bakau jantan dan betina
berukuran kecil adalah seimbang, sebaliknya pada individu berukuran besar tidak seimbang.
Berbeda dengan kepiting bakau jantan pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan, kepiting bakau jantan pada wilayah perairan
mangrove Desa Tanjung Laut, secara faktual maupun statistik memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif, yang berarti pertumbuhan lebar karapaks
lebih cepat daripada pertumbuhan bobot tubuh. Hal ini diduga disebabkan karena populasi jantan pada wilayah perairan ini didominasi oleh individu
berukuran kecil, sehingga memiliki rasio tubuh yang seimbang. Tingginya populasi berukuran kecil pada wilayah ini diduga akibat rendahnya kelimpahan
makanan alami akibat daya dukung ekosistem mangrove yang semakin menurun. Hal ini mengakibatkan individu berukuran besar cenderung bermigrasi
ke wilayah yang kelimpahan makanan alaminya tinggi. Meskipun secara faktual maupun statistik pola pertumbuhan kepiting bakau
pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik dan isometrik, namun
hasil analisa hubungan lebar karapaks dan bobot tubuh memperlihatkan bahwa
137 nilai koefisien korelasi r
2
dari individu jantan dan betina kepiting bakau jenis S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata dan S tranquebarica, melebihi 90,
yang mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara bobot tubuh dan lebar karapaks. Dengan demikian maka bobot kepiting bakau pada wilayah perairan
mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan dapat diduga dengan mengetahui ukuran lebar karapaks kepiting bakau tersebut.
4.1.6.4 Parameter Pertumbuhan dan Umur Teoritis