137 nilai koefisien korelasi r
2
dari individu jantan dan betina kepiting bakau jenis S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata dan S tranquebarica, melebihi 90,
yang mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara bobot tubuh dan lebar karapaks. Dengan demikian maka bobot kepiting bakau pada wilayah perairan
mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan dapat diduga dengan mengetahui ukuran lebar karapaks kepiting bakau tersebut.
4.1.6.4 Parameter Pertumbuhan dan Umur Teoritis
Seperti jenis krustasea lainnya, kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen yang dapat digunakan sebagai indikator pelacak umur.
Dengan demikin maka untuk tujuan tersebut, umumnya digunakan metode interpretasi ukuran tubuh ukuran lebar karapas. Melalui analisa Elefan dari
FISAT Lampiran 9, diperoleh nilai dugaan parameter pertumbuhan
von Bertalanffy, meliputi panjang infinitif L
∞
dan kecepatan pertumbuhan K. Dalam analisa ini kepiting bakau diklasifikasi menurut jenis dan jenis
kelamin, mengingat ukuran lebar karapaks antar jenis, maupun antar jenis kelamin cenderung berbeda, sehingga akan memberikan hasil yang berbeda.
Hasil analisa Elefan memperlihatkan bahwa lebar karapaks maksimum L
∞
, yang dapat dicapai oleh kepiting bakau jantan maupun betina dari jenis
S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata, dan S. tranquebarica, yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan mayangan berkisar antara
11.78-14.70 cm, dengan kecepatan pertumbuhan K berkisar antara 1.10-1.50tahun Tabel 17.
Bila dikaji menurut jenis kelamin per jenis kepiting bakau pada tiap stasiun penelitian maka terlihat bahwa pada stasiun Blanakan, nilai lebar karapaks
infinitif L
∞
individu jantan dari keempat jenis berkisar antara 12.90-14.25 cm, dan nilai kecepatan pertumbuhan K berkisar antara 1.23-1.30tahun. Sebaliknya
nilai L
∞
individu betina dari keempat jenis berkisar antara 13.70-15.43 cm, dan nilai K berkisar antara 1.10-1.25tahun. Nilai L
∞
tertinggi dari individu jantan maupun betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S. serrata, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis
S. olivacea
.
Pada stasiun Tanjung Laut, nilai L
∞
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 11.78-13.30, dan nilai K berkisar antara
1.30-1.50tahun. Sebaliknya nilai L
∞
individu betina keempat jenis berkisar antara
138 12.30-14.30 cm, dan nilai K berkisar antara 1.18-1.37tahun. Nilai L
∞
tertinggi dari individu jantan pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S. paramamosain, sedangkan nilai L
∞
tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis S. serrata. Sebaliknya nilai
L
∞
terendah dari individu jantan maupun betina dimiliki oleh jenis S. olivacea.
Tabel 17 Parameter Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla spp. pada stasiun penelitian
Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan
Jantan Betina Stasiun
Jenis L
∞
cm K t
t-max bulan
L
∞
cm K t
t-max bulan
S. paramamosain 13.80 1.300 -0.148 15.6 14.70 1.250 -0.151 27.0
S.olivacea 12.90 1.230 -0.159 14.8 13.70 1.100 -0.176 30.6
S.serrata 14.25 1.300 -0.146 15.6 15.43 1.200 -0.155 28.1
Blanakan
S. tranquebarica 13.85 1.300 -0.147 15.6 14.10 1.200 -0.159 28.0
S. paramamosain 13.30 1.500 -0.128 18.0 14.30 1.370 -0.138 24.6
S.olivacea 12.40 1.300 -0.152 15.6 13.00 1.180 -0.166 28.5
S.serrata 13.15 1.490 -0.130 17.9 13.85 1.350 -0.142 24.9
Tanjung Laut
S. tranquebarica 12.28 1.450 -0.138 17.4 12.30 1.350 -0.146 24.9
S. paramamosain 13.75 1.350 -0.142 16.2 14.40 1.300 -0.146 25.9
S.olivacea 12.80 1.250 -0.157 15.0 13.40 1.150 -0.169 29.2
S.serrata 13.25 1.420 -0.136 17.0 14.45 1.250 -0.152 26.9
Mayangan
S. tranquebarica 13.40 1.400 -0.138 16.8 14.00 1.270 -0.151 26.5
Pada stasiun Mayangan, nilai L
∞
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 12.80-13.75 cm, dan nilai K berkisar antara 1.25-
1.42tahun. Sebaliknya nilai L
∞
individu betina dari keempat jenis berkisar antara 13.40-14.45 cm, dan nilai K berkisar antara 1.15-1.30tahun. Nilai L
∞
tertinggi dari individu jantan pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S. paramamosain, sementara nilai L
∞
tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis S. serrata. Sebaliknya nilai
L
∞
terendah dari individu jantan maupun betina dimiliki oleh jenis S. olivacea.
Dengan menggunakan kedua parameter tersebut diatas L
∞
dan K, maka dapat ditentukan nilai t
, yaitu umur kepiting bakau ketika lebar karapas sama dengan 0. Hasil analisa menunjukkan bahwa kisaran nilai t
dari keempat jenis kepiting pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara -0.128--0.176 Tabel 17.
Bila dikaji menurut jenis kelamin per jenis kepiting bakau pada tiap stasiun penelitian, maka terlihat bahwa pada stasiun Blanakan, nilai t
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara -0.146--0.159, sebaliknya nilai t
individu betina dari keempat jenis pada stasiun ini berkisar antara -0.151--176.
139 Pada stasiun Tanjung Laut, nilai t
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara -0.128--0.152, sebaliknya nilai t
individu betina dari keempat jenis berkisar antara -0.38--0.166. Sedangkan pada stasiun Mayangan,
nilai t individu jantan dari keempat jenis berkisar antara -0.136--0.157,
sebaliknya nilai t individu betina dari keempat jenis berkisar antara
-0.146--0.169. Dengan menggunakan data nilai L
∞,
K, dan t
0,
dapat dibuat persamaan pertumbuhan von Bertalanffy individu jantan dan betina dari keempat jenis
kepiting bakau yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan Lampiran 10. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diduga
umur teoritis yang merupakan dugaan umur maksimum t
max
kepiting bakau ketika tertangkap Tabel 17. Umur maksimum t
max
dari keempat jenis kepiting bakau ketika tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan
Mayangan berkisar antara 15.0-30.6 bulan. Pada stasiun penelitian Blanakan, nilai t
max
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 14.8-15.6 bulan, sebaliknya nilai t
max
individu betina dari keempat jenis berkisar antara 27.0-30.6 bulan. Nilai t
max
tertinggi dari individu jantan dimiliki oleh jenis
S. tranquebarica, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis
S. serrata. Sebaliknya nilai t
max
tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis
S. olivacea, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis S. paramamosain. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, nilai t
max
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 15.6-18.0 bulan, sebaliknya
nilai t
max
individu betina dari keempat jenis berkisar antara 24,6-28,5 bulan. Nilai t
max
tertinggi dari individu jantan maupun betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis S. olivacea, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis S. paramamosain. Pada
stasiun penelitian Mayangan, nilai t
max
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 15.0-17.0 bulan, sebaliknya nilai t
max
individu betina dari keempat jenis berkisar antara 25.9-29.2 bulan. Nilai t
max
tertinggi dari individu jantan pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S. olivacea, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis
S. serrata. Sebaliknya nilai t
max
tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis
S. olivacea, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh jenis S. paramamosain.
Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena
140 parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi,
ukuran stok rekruitmen, dan laju kematian dari suatu populasi. Hasil analisa parameter pertumbuhan kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, yang mengacu pada data frekwensi lebar karapaks, menunjukan bahwa ukuran lebar karapaks infinitif L
∞
kepiting bakau berbeda antar wilayah dimana kepiting bakau tersebut hidup, antar jenis,
maupun antar jenis kelamin. Ukuran lebar karapaks infinitif L
∞
yang dapat dicapai kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut,
relatif lebih kecil dibandingkan dengan L
∞
yang dapat dicapai oleh kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan, yang
memiliki L
∞
yang relatif hampir sama. Rendahnya tingkat pencapaian L
∞
oleh kepiting bakau yang hidup pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut,
diduga karena rendahnya kualitas lingkungan, terutama tingkat fluktuasi salinitas perairan yang tinggi, serta rendahnya ketersediaan makanan alami. Fluktuasi
salinitas perairan yang tinggi di wilayah ini, disebabkan karena wilayah ini dialiri sebuah sungai besar dan stasiun pengamatan terletak relatif dekat dengan
sungai, maupun perairan laut. Kondisi ini sangat mempengaruhi perubahan salinitas perairan mangrove akibat periode pasang surut, atau musim hujan.
Mardjono et al. 1992, menyatakan bahwa perubahan salinitas akan
mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting bakau akan mengubah
konsentrasi carian tubuhnya agar sesuai dengan lingkungan, melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Proses penyesuain tersebut membutuhkan energi
yang banyak, sehingga energi untuk pertumbuhan tubuh akan terbatas. Kondisi ini menyebabkan proses pertumbuhan tubuh menjadi terhambat. Sedangkan
rendahnya kelimpahan makanan alami kepiting bakau hasil analisa kelimpahan makrozoobentos, diduga berkaitan dengan rendahnya kerapatan vegetasi
mangrove pada wilayah ini. Selain sebagai daerah asuhan perlindungan dan pembesaran bagi berbagai organisme, diantaranya organisme yang menjadi
makanan alami kepiting bakau, ekosistem mangrove juga menyediakan sejumlah besar serasah dan organisme pemakan detritus lainnya, serta dapat
menghasilkan zat hara untuk meningkatkan produktivitas perairan. Perairan yang berproduktivitas tinggi, memiliki daya dukung yang tinggi bagi kehidupan
berbagai organisme. Dengan demikian maka hilangnya komunitas mangrove,
141 sangat berpengaruh terhadap ketersediaan makanan alami kepiting bakau, yang
secara tidak langsung dapat mengganggu proses pertumbuhan kepiting bakau. Dibandingkan dengan ketiga jenis kepiting bakau lainnya, ukuran lebar
karapaks infinitif L
∞
yang dapat dicapai oleh jenis S. olivacea pada wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, relatif lebih kecil. Kondisi ini diduga karena jenis
S. olivacea cenderung memiliki tingkat adaptasi yang rendah terhadap perubahan lingkungan, dibandingkan ketiga jenis
lainnya. Hal ini terutama terjadi pada individu-individu muda. Kenyataan ini terbukti melalui hasil analisa distribusi spasial kepiting bakau, yang menunjukkan
bahwa jenis S. olivacea memiliki wilayah distribusi yang sangat sempit.
Rendahnya tingkat adaptasi terhadap perubahan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya terjadinya pemborosan energi terutama ketika kepiting
bakau berusaha menyesuaian diri dengan lingkungannya, peningkatan tingkat stres, serta ketidakmampuan bermigrasi untuk mencari sumber makanan alami.
Hal ini menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan tubuh kepiting bakau. Selain itu, hasil analisa parameter pertumbuhan juga menunjukkan bahwa
ukuran lebar karapaks infinitif L
∞
yang dapat dicapai oleh kepiting bakau betina lebih besar daripada jantan. Kondisi ini ditunjukkan okeh keempat jenis kepiting
bakau yang hidup baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, yang mendukung hasil penelitian Toro 1984 pada
wilayah perairan Segara Anakan Cilacap. Hal ini disebabkan karena kepiting bakau terutama individu dewasa yang mengandung massa telur akan mengalami
pertambahan ukuran lebar maupun panjang karapaks, akibat perubahan kecembungan punggung karapaks, karena proses pertumbuhan dan
perkembangan massa telur yang dikandungnya. Hal ini tidak terjadi pada kepiting bakau jantan. Sulaeman dan Hanafi 1992 berdasarkan hasil penelitiannya
melaporkan bahwa pertambahan ukuran lebar karapaks umumnya lebih besar daripada pertambahan panjang karapaks kepiting bakau.
Dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, maka ukuran lebar karapaks infinitif L
∞
yang dapat dicapai oleh kepiting bakau yang hidup pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan relatif
lebih besar daripada kepiting bakau yang hidup pada perairan Bintan Selatan Riau, yaitu 12.69 cm Iskandar Badrudin 1991; pada perairan Bintan Timur
Riau, yaitu 12.95 cm Iskandar Sumiono 1990; serta pada perairan Segara
142 Anakan Cilacap yaitu 10.91 cm untuk jantan dan 12.61 cm untuk betina Toro
1984. Sebalikny lebih kecil bila dibandingkan dengan L
∞
yang dapat dicapai oleh kepiting bakau yang hidup pada perairan Teluk Luwu, yaitu15.66 cm dan
perairan Teluk Bone, yaitu 17.20 cm Ismail 1992. Kecepatan pertumbuhan K pada wilayah perairan mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, yang mengacu pada data frekwensi ukuran lebar karapaks, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tahunan kepiting
bakau berbeda antar wilayah dimana kepiting bakau tersebut hidup, antar jenis, maupun antar jenis kelamin. Isaac 1990, menyatakan bahwa perbedaan
tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan faktor intristik bagi populasi yang berbeda. Beverton dan Holt 1957
dalam Iskandar dan Badrudin 1991, menyatakan bahwa perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan rata-
rata perubahan tingkat metabolisme dan katabolisme. Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai kecepatan pertumbuhan K dari
kepiting bakau yang hidup pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, relatif lebih tinggi, dibandingkan nilai K dari kepiting bakau yang hidup pada
wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan. Hal ini mungkin disebabkan karena kepiting bakau pada perairan mangrove Desa Tanjung Laut
umumnya berukuran relatif lebih kecil. Berdasarkan sifat kerja Elefan, hanya modus yang tertinggi yang akan memberikan nilai K optimum. Apabila modus
yang dilalui oleh garis pertumbuhan lebih banyak pada kelompok kepiting bakau berukuran kecil, maka garis regresi akan bergeser ke arah slope yang lebih
tajam. Dengan demikian, pada kepiting bakau berukuran kecil kecepatan tumbuh untuk mencapai ukuran maksimum, lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kepiting bakau berukuran besar. Kepiting bakau jenis
S. olivacea yang hidup pada ketiga wilayah perairan memiliki kecepatan pertumbuhan yang relatif lebih rendah, dibandingkan dengan
jenis S. paramamosain, S. serrata, maupun S. tranquebarica, yang memiliki nilai
kecepatan pertumbuhan yang relatif sama. Hal ini diduga masih berkaitan dengan tingkat adaptasi
S. olivacea yang rendah, terhadap perubahan parameter lingkungan. Berdasarkan klasifikasi jenis kelamin dari tiap jenis kepiting bakau,
terlihat bahwa kecepatan pertumbuhan kepiting bakau betina, relatif lebih rendah daripada kepiting bakau jantan. Hal ini mungkin disebabkan karena kepiting
bakau betina cenderung memiliki tingkat aktifitas makan yang lebih rendah
143 dibandingkan jantan. Selain itu, selama masa reproduksi awal proses pemijahan
hingga akhir proses penetasan telur, berlangsung terutama aktifitas makan kepiting betina menurun, bahkan sering tidak makan sama sekali, sehingga
menyebabkan proses pertumbuhan tubuh menjadi terhambat. Lavina 1977, menyatakan bahwa pada kepiting bakau, sebagian besar alokasi energi ditujukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad proses reproduksi. Dengan demikian maka dapat dikatakan ketika memasuki masa reproduksi maka
kecepatan pertumbuhan tubuh kepiting bakau betina menjadi lambat. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab rendahnya kecepatan pertumbuhan kepiting
bakau betina, adalah karena selama dalam masa reproduksi, kepiting bakau betina tidak melakukan proses ganti kulit
moulting. Padahal setelah moulting, ukuran tubuh kepiting bakau umumnya akan menjadi dua sampai tiga kali lebih
besar dari ukuran sebelumnya. Sedangkan pada kepiting bakau jantan, proses moulting dapat berlangsung secara kontinyu.
Kecepatan pertumbuhan kepiting bakau yang hidup pada wilayh perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, relatif lebih tinggi,
dibandingkan dengan kepiting bakau yang hidup pada perairan Segara Anakan Cilacap, yaitu 0.12tahun untuk jantan, dan 0.09tahun untuk betina Toro 1984;
pada perairan Bintan Selatan Riau, yaitu 0.91tahun Iskandar Sumiono 1990; pada perairan Bintan Timur Riau, yaitu 0.85tahun. Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas lingkungan pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, masih lebih baik dalam
mendukung proses pertumbuhan kepiting bakau, dibandingkan dengan perairan Segara Anakan Cilacap, Bintan Selatan Riau, dan Bintan Timur Riau.
Umur teoritis yang dapat dicapai oleh kepiting bakau yang hidup pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan
berkisar antara kurang lebih 14-31 bulan, atau kurang lebih 1.2-2.5 tahun. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Ong 1964, bahwa
umur teoritis yang dapat dicapai oleh kepiting bakau adalah sekitar dua tahun. Iskandar dan Badrudin 1991, menyatakan bahwa umur teoritis yang dapat
dicapai oleh kepiting bakau pada perairan Bintan Selatan Riau adalah lebih dari tiga tahun, sedangkan di perairan Segara Anakan umur teoritis kepiting bakau
mencapai lebih dari dua tahun. Hutabarat 1983 Toro 1984. Bila dibandingkan antar jenis kelamin, maka umur teoritis yang dapat dicapai oleh kepiting bakau
144 betina umumnya lebih panjang dari pada umur teoritis yang dapat dicapai oleh
kepiting bakau jantan.
4.1.6.5 Laju Mortalitas