Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

67 tiap RPH dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan kondisi kawasan hutan tetap pada BKPH Ciasem Pamanukan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 7 Luas kawasan hutan dari tiap RPH pada BKPH Ciasem-Pamanukan Luas kawasan hutan ha RPH Hutan tetap Tanah timbul Tegaltangkil 750.00 976.00 Muara Ciasem 800.00 267.00 Poponcol 2 123.00 83.00 Bobos 1 655.00 415.35 Tabel 8 Kondisi hutan tetap pada kawasan BKPH Ciasem-Pamanukan Luas hutan tetap ha RPH Bakau Api- api Cam- puran Kayu Putih TKL Pertamina Sawah Abrasi Pemu- kiman Tegaltangkil 92.5 158.3 380.9 - - 7.0 94.0 - 17.2 Muara Ciasem 282.7 354.8 160.5 - - - - - 2.0 Poponcol 430.0 702.8 866.8 - - - 14.0 106.0 3.3 Bobos 256.0 688.6 350.0 244.5 10.0 - - 104.5 2.0 Pengelolaan hutan mangrove di BKPH Ciasem-Pamanukan, dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat, melalui program Perhutanan Sosial PS yang telah dimulai sejak tahun 1986. Progran PS di hutan mangrove PKPH Ciasem-Pamanukan, sebagian besar dilakukan dengan sistem tambak tumpangsari melalui pola empang parit, dan sebagian kecil dengan pola komplangan dan pola jalur. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, sistem tambak tumpangsari mulai mengalami perubahan akibat perluasan tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove.

4.1.2.2 Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa vegetasi mangrove yang dijumpai tumbuh pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan adalah jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata dan Avicennia marina. Pada stasiun penelitian Blanakan, jenis R. apiculata dan A. marina, dijumpai pada zona belakang hutan, yang mengarah ke daratan, dan zona tengah hutan. Sedangkan jenis R. apiculata dan R. mucronata, dijumpai tumbuh di sepanjang alur pasang surut creek, dan pada zona depan hutan terutama pada muara creek. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, jenis R. mucronata tumbuh pada zona depan 68 hutan dan di sepanjang muara sungai, sedangkan jenis A. marina, dijumpai tumbuh pada zona belakang dan zona tengah hutan. Pada stasiun penelitian Mayangan, jenis R. apiculata dan R. mucronata, dijumpai tumbuh di sepanjang sungai dan zona depan hutan, terutama pada muara sungai, sedangkan jenis A. marina dijumpai tumbuh pada zona tengah hutan, serta berasosiasi dengan jenis R. apiculata dan R. mucronata di sepanjang sungai. Skema distribusi jenis mangrove pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan tersaji pada Gambar 16a, 16b dan 16c. Kerapatan vegetasi mangrove jenis A. marina pada ketiga stasiun penelitian, berkisar antara 0-291 indha, sedangkan kerapatan jenis Rhizophora spp. berkisar antara 0-297 indha. Hasil analisa kerapatan vegetasi mangrove pada tiap stasiun penelitian, menunjukan bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, total kerapatan vegetasi mangrove adalah 1 250 indha. Nili kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun B5, sedangkan nilai terendah pada substasiun B6. Kerapatan vegetasi mangrove antar substasiun pada stasiun penelitian ini, berkisar antara 0-486 indha. Kerapatan A. marina berkisar antara 0-291 indha, dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun B1, dan nilai terendah pada substasiun B6. Kerapatan Rhizophora spp. berkisar antara 0-297 indha, dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun B5, dan nilai terendah pada substasiun B6 Gambar 17a. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, total kerapatan vegetasi mangrove adalah 751 indha. Kerapatan vegetasi mangrove antar substasiun berkisar antara 0-252 indha. Nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun T4, sedangkan nilai terendah dijumpai pada substasiun T5. Kerapatan jenis A. marina pada stasiun penelitian ini, berkisar antara 0-149 indha dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun T3, dan nilai terendah pada substasiun T5. Sedangkan kerapatan Rhizophora spp. berkisar antara 0-163 indha, dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun T4, dan nilai terendah pada substasiun T5 Gambar 17b. Pada stasiun penelitian Mayangan, total kerapatan vegetasi mangrove adalah 881 indha. Kerapatan vegetasi mangrove antar substasiun berkisar antara 0-456 indha. Nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun M1, sedangkan nilai terendah dijumpai pada substasiun M5. 69 Gambar 16 Skema distribusi jenis mangrove pada stasiun penelitian a Blanakan bTanjung Laut, dan c Mayangan a B6 B1 B3 B2 B4 B5 Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Avicennia marina K. S.serrata kecil 50-100 indha T5 T2 T4 T1 T3 Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata c Rhizophora mucronata Avicennia marina M3 M2 M1 M4 M5 70 Kerapatan jenis A. marina pada stasiun penelitian ini, berkisar antara 0-267 indha, dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun M1, dan nilai terendah pada substasiun M5. Sedangkan kerapatan Rhizophora spp. berkisar antara 0-215 indha, dengan nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada substasiun M2, dan nilai terendah pada substasiun M5 Gambar 17c. Gambar 17 Grafik distribusi kerapatan vegetasi mangrove menurut substasiun pada stasiun penelitian a Blanakan B1-B6; b Tanjung Laut T1-T5; c Mayangan M1-M5 Pada dasarnya pengelolaan hutan mangrove di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif melalui program Perhutanan Sosial. Program ini telah dimulai sejak tahun 1986, melalui sistem tambak tumpangsari yakni sebagian besar dengan pola empang parit, dan sebagian kecil dengan pola komplangan serta pola jalur. Semestinya sistem tambak tumpangsari terdiri atas 80 hutan mangrove, dan 20 empang atau tambak, serta melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Namun pada kenyataannya, vegetasi mangrove terutama pada areal pertambakan tidak berkembang secara baik, akibat penebangan untuk perluasan tambak. Dengan demikian sistem tambak tumpangsari tidak lagi dapat dipertahankan secara utuh. 50 100 150 200 250 300 350 B1 B2 B3 B4 B5 B6 Indha Avicennia marina Rhizophora spp. a 20 40 60 80 100 120 140 160 180 T1 T2 T3 T4 T5 Ind ha Avicennia marina Rhizophora spp. b 50 100 150 200 250 300 350 M1 M2 M3 M4 M5 Ind ha Avicennia marina Rhizophora spp. c 71 Kondisi tersebut di atas, menyebabkan bervariasinya tingkat kerapatan vegetasi mangrove. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove pada hampir sebagian besar wilayah tersebut. Pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, penebangan hanya terjadi pada sebagian zona depan hutan, sedangkan pada wilayah perairan mangrove Desa Mayangan, penebangan hanya terjadi pada sebagian zona tengah hutan yang berdekatan dengan areal pemukiman. Hal ini menyebabkan kerapatan vegetasi mangrove pada kedua wilayah tersebut, relatif cukup tinggi dibandingkan pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut. Meskipun demikian, pada beberapa zona dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, sistem tambak tumpangsari masih dipertahankan secara baik. Kondisi inilah yang menyebabkan kerapatan vegetasi mangrove pada zona-zona tersebut relatif tinggi. Pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, sistem tambak tumpangsari masih berlangsung secara baik pada zona tengah dan belakang hutan, yang berbatasan dengan wilayah daratan. Hal ini disebabkan karena, di sekitar wilayah tersebut terdapat area wisata buaya, sehingga pengamanan hutan mangrove terjamin dan berlangsung secara kontinyu. Pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, sistem tambak tumpangsari masih dipertahankan pada sebagian zona tengah hutan. Sedangkan pada wilayah perairan mangrove Desa Mayangan, sistem tambak tumpangsari masih dipertahankan pada zona tengah hutan, yang relatif jauh dari pemukiman penduduk. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, tingkat kesadaran masyarakat pengelola tambak terhadap pentingnya fungsi ekosistem mangrove bagi produktivitas perairan, merupakan salah satu penyebab terjaganya sistem tambak tumpangsari, sehingga menjamin keutuhan komunitas mangrove. Sebaliknya, rendahnya kesadaran mansyarakat, serta kurangnya pengawasan dari aparat Pemerintah Desa maupun pihak PERHUTANI terhadap keberlangsungan sistem tambak tumpangsari, menyebabkan hilangnya komunitas mangrove. Selain pada zona tambak tumpangsari, vegetasi mangrove pada ketiga wilayah perairan masih berkembang baik pada zona depan hutan, dengan arus 72 yang relatif tenang, serta mendapat pengaruh aliran sungai dan alur pasang surut creek secara kontinyu. Nybakken 1992, menyatakan bahwa perkembangan maksimal hutan mangrove dapat dijumpai pada daerah-daerah dengan curah hujan yang tinggi, atau daerah-daerah bersungai yang memberikan aliran air tawar yang cukup, untuk mencegah perkembangan kondisi hipersalin. Sedangkan Nontji 1987, menyatakan bahwa mangrove tidak tumbuh di pantai yang berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, yang merupakan substrat ideal bagi pertumbuhan mangrove.

4.1.2.3 Produksi Serasah