95
4.1.4 Karakteristik Habitat Kepiting Bakau
Karakteristik habitat kepiting bakau menurut substasiun penelitian, berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan dianalisa dengan analisis
statistik multivariable, yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis, PCA. Parameter fisik dan kimia lingkungan,
yang terdiri atas suhu, salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan, serta oksigen terlarut, ditempatakan sebagai variable statistik aktif; substasiun penelitian
sebagai individu statistik; sedangkan parameter biologi lingkungan, yang terdiri atas kerapatan mangrove genus
Avicennia dan Rhizophora, produksi serasah dan kelimpahan makrozoobentos, ditempatkan sebagai variabel statistik
tambahan additional variable.
Hasil Analisa Komponen Utama terhadap parameter lingkungan pada matriks korelasi menunjukan bahwa informasi penting yang menggambarkan
korelasi antar parameter, terpusat pada tiga sumbu utama F1, F2, dan F3. Kualitas informasi yang disajikan oleh ketiga sumbu tersebut masing-masing
sebesar 49, 19 dan 15, sehingga ragam karakteristik habitat kepiting bakau menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan,
dapat dijelaskan melalui tiga sumbu utama sebesar 83 dari ragam total Lampiran 4.
Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 36a, memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter salinitas, pH air,
kedalaman, dan kecerahan, yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif. Sebaliknya parameter liat dan kerapatan
Rhizophora berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif, sedangkan parameter suhu dan oksigen terlarut berkorelasi
dan membentuk sumbu F2 positif. Diagram representasi substasiun penelitian dalam kaitannya dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada
perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 36b, memperlihatkan adanya empat kelompok substasiun yaitu: kelompok substasiun B1, B2, B4, T1, T3, dan M1,
yang dicirikan oleh parameter fraksi substrat liat, kerapatan Rhizophora, serta
parameter salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan, dan fraksi substrat pasir yang rendah; kelompok substasiun B3 dan T4, yang dicirikan oleh parameter suhu,
dan oksigen terlarut yang tinggi; kelompok substasiun M2 dan M4, yang dicirikan oleh parameter suhu, dan oksigen terlarut yang rendah; dan kelompok
substasiun B6, T5, dan M5, yang dicirikan oleh parameter salinitas, pH air, fraksi
96 substrat pasir, kedalaman, dan kecerahan perairan yang tinggi, serta parameter
fraksi substrat liat dan kerapatan Rhizophora yang rendah.
a b
M S
Rhi Av
do pa
d l
p kc
kd sa
sh
-1,5 -1
-0,5 0,5
1 1,5
-1,5 -1
-0,5 0,5
1 1,5
-- axis 1 49 -- --
axis 2 1
9 -
-
Gambar 36 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik habitat biofisik dan kimia lingkungan kepiting bakau
Scylla spp. a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik dan kimia lingkungan, serta kelimpahan kepiting
bakau pada sumbu F1 dan F2, b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan
pada sumbu F1 dan F2. : variabel aktif, : variabel tambahan, kb: kepiting bakau, sh: suhu, sa: salinitas, pa: pH air, ps: pH substrat, kc: kecerahan,
kd: kedalaman, do: oksigen terlarut, B1- B6: substasiun Blanakan, T1-T5: substasiun Tanjung Laut, M1-M5: substasiun Mayangan
Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F3 Gambar 37a, memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter fraksi substrat debu,
kerapatan Avicennia, produksi serasah, dan kelimpahan makrozoobentos, yang
berkontribusi membentuk sumbu F3 positif. Diagram representasi substasiun penelitian dalam kaitannya dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada
perpotongan sumbu F1 dan F3 Gambar 37b, memperlihatkan adanya dua kelompok substasiun yaitu: kelompok substasiun B5 dan T2, yang dicirikan oleh
parameter fraksi substrat debu, kerapatan Avicennia dan Rhizophora, produksi
serasah, serta kelimpahan makrozoobentos yang tinggi, dan substasiun M3, yang dicirikan oleh parameter fraksi substrat debu, kerapatan
Avicennia dan Rhizophora, produksi serasah, dan kelimpahan makrozoobentos yang rendah.
Hasil analisa PCA secara keseluruhan memberikan gambaran bahwa zona-zona dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan
Mayangan memiliki karakteristik yang berbeda. Gambaran karakteristik habitat dari tiap zona dalam ketiga wilayah penelitian, dapat dilihat pada skema
karakteristik habitat kepiting bakau Gambar 38, 39 dan 40.
M5
M4 M3
M2 M1
T5 T4
T3 T2
T1 B6
B5 B4
B3
B2 B1
-3 -2
-1 1
2 3
4
-4 -2
2 4
6
-- axis 1 49 -- --
a xi
s 2
19 -
-
97 a b
Gambar 37 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik habitat biofisik dan kimia lingkungan kepiting bakau
Scylla spp. a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik dan kimia lingkungan, serta kelimpahan kepiting
bakau pada sumbu F1 dan F3, b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan
pada sumbu F1 dan F3. : variabel aktif, : variabel tambahan, kb: kepiting bakau, sh: suhu, sa: salinitas, pa: pH air, ps: pH substrat,
kc: kecerahan, kd: kedalaman, do: oksigen terlarut, B1- B6: substasiun Blanakan, T1-T5: substasiun Tanjung Laut, M1-M5: substasiun Mayangan
Karakteristik habitat kepiting bakau adalah ciri-ciri khusus dari suatu habitat yang mempengaruhi distribusi kepiting bakau pada habitat tersebut. Data
penelitian menunjukkan bahwa kepiting bakau pada ketiga wilayah perairan mangrove tersebut umumnya berdistribusi tinggi pada zona depan dan zona
tengah hutan yang dicirikan oleh kadar oksigen terlarut yang tinggi, parameter kedalaman dan kecerahan perairan yang rendah, serta suhu, salinitas, pH air
yang sedang. Sulaeman et al. 1993, menyatakan bahwa kepiting bakau lebih
menyukai perairan yang berkadar oksigen terlarut relatif lebih tinggi, walaupun kepiting bakau dapat bertahan hidup pada kondisi kadar oksigen terlarut cukup
rendah. Sedangkan McNae 1968, menyatakan bahwa kepiting bakau lebih menyukai daerah pantai yang dangkal dan berlumpur. Oksigen terlarut dalam
suatu perairan mutlak dibutuhkan karena merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme. Semakin sedikit kadar oksigen terlaut di dalam air,
maka kebutuhan makan kepiting bakau menjadi berkurang. Selain itu, tingginya kadar oksigen terlarut akan mempercepat reaksi kimiawi dari bahan-bahan toksik
yang membahayakan kehidupan kepiting bakau di dalam air. Warner 1977, menyatakan bahwa walaupun kepiting bakau dapat hidup pada konsentrasi
oksigen yang rendah, khususnya jika konsentrasi CO
2
bebas juga rendah,
M S
Rhi Av
do pa
d
l p
kc kd
sa sh
-1,5 -1
-0,5 0,5
1 1,5
-1,5 -1
-0,5 0,5
1 1,5
-- axis 1 49 -- --
axi s 3
15 -
-
M5 M4
M3 M2
M1 T5
T4 T3
T2 T1
B6 B5
B4
B3 B2
B1 -3
-2 -1
1 2
3
-4 -2
2 4
6
-- axis 1 49 -- --
axi s 3
1 5
- -
98 namun kondisi tersebut sangat berbahaya karena dapat menyebabkan stress
bahkan kematian.
Gambar 38 Skema karakteristik habitat kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan
Gambar 39 Skema karakteristik habitat kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut
sal= 34.00‰ pH=7.10
ked=2.45 m kec=0.63 m
pasir=87.00
Rhizophora =291 indha
Serasah=3.38 kgthn lliat=76.20
Rhizophora =163 indha
Avicennia =98 indha
Serasah=2.53 kgthn Mzoobentos=23 860 indm
2
lliat=54.20 sal=34.00‰
DO=7.83 Rhizophora
=297 indha Avicennia
=189 indha Serasah=5.34 kgthn
Mzoobentos=2 5000 indm
2
debu=62.00
Avicennia =114 indha
suhu=31.30˚C lliat=54.20
sal= 31.00‰ pH=7.00
ked=4.70 m kec=0.60 m
pasir=74.00
DO=7,20 Rhizophora
=118 indha Avicennia
=129 indha Serasah=2,52 kgthn
Mzoobentos=9 590 indm
2
DO=8.10 Rhizophora
=163 indha Serasah=2.57 kgthn
Mzoobentos=1 7540 indm
2
suhu=29.70˚C debu=54.20
debu=53.00 Avicennia
=107 indha
99
Gambar 40 Skema karakteristik habitat kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Mayangan
Tingginya distribusi kepiting bakau pada perairan dangkal, disebabkan karena selain hidup di perairan, kepiting bakau juga dapat hidup di darat. Selain
itu, salah satu tingkah lakunya kepiting bakau adalah senang menggali lobang dan membenamkan diri dalam substrat, untuk tujuan perlindungan dan mencari
makan. Hutching dan Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap zona intertidal, dan sering membenamkan
diri dalam substrat lumpur, atau menggali lobang pada substrat lunak. Sedangkan menurut Pagcatipunan 1972, sebelum
moulting kepiting bakau akan membenamkan diri dalam lumpur atau masuk dalam lobang hingga
karapksnya mengeras. Sementara itu, distribusi kepiting bakau pada perairan yang memiliki tingkat kecerahan yang rendah atau keruh, berhubungan dengan
kedalaman perairan yang rendah. Pengadukan pada dasar perairan terutama yang berlumpur dan dangkal, dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan. Kondisi
ini dimanfaatkan oleh kepiting bakau, dalam strategi melindungi dirinya dari pemangsa.
Meskipun hasil analisa PCA secara umum memperlihatkan adanya parameter biofisik dan kimia lingkungan yang menjadi ciri khusus dari habitat
kepiting bakau, namun pada dasarnya nilai parameter tersebut bervariasi.
sal= 31.50‰ pH=7.20
ked=4.50 m kec=0.70 m
pasir=91.30
Rhizophora =91 indha
Avicennia =215 indha
Serasah=2.71 kgthn Mzoobentos=2 0480 indm
2
liat=59,10 Rhizophora
=329 indha Avicennia
=127 indha Serasah=5.13 kgthn
Mzoobentos=2 7400 debu=34.20
suhu=30,10˚C lliat=85,60
100 Bervariasinya nilai parameter lngkungan pada variasi tingkat distribusi kepiting
bakau, menunjukkan bahwa pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, nilai dari parameter-parameter tersebut masih
berada dalam kisaran nilai yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau. Dengan demikian diduga bahwa ada parameter lingkungan lainnya yang lebih
berpengaruh terhadap distribusi kepiting bakau, sehingga merupakan ciri khusus habitat kepiting bakau.
Hasil penelitian menunujukkan bahwa, pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut maupun Mayangan kepiting bakau berdistribusi
tinggi pada zona depan dan tengah hutan mangrove, yang dicirikan oleh kerapatan vegetasi mangrove, baik dari jenis
Avicennia marina maupun Bruguiera spp., produksi serasah, kelimpahan makrozoobentos, serta persentasi
fraksi substrat dasar debu yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan habitat alami utama kepiting bakau. Senada dengan hal
tersebut, Moosa et al. 1985, menyatakan bahwa jenis kepiting bakau
berdistribusi luas sesuai dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan
selalu berada di sekitar hutan mangrove. Sedangkan McNae 1968, menyatakan bahwa sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai
dan hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut, merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung,
terutama ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit. Snedaker dan Getter 1985, menyatakan bahwa habitat kepiting bakau
adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak
sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut Nybakken 1992, gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove
ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut,
sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk
kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam
lumpur untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken 1992,
101 menyatakan bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar
vegetasi mangrove mangal, yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi
anoksik, mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang
sangat baik, sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah
perlindungan yang ideal bagi kepiting bakau. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan
mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada tingkat megalopa dan kepiting muda juvenil, yang setelah melewati stadia zoea
akan kembali memasuki hutan mangrove. Gunarto dan Cholik 1989, menyatakan bahwa setelah menetas, megalopa dan kepiting muda akan terbawa
arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber makanan alami
bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk kepiting bakau. Hutching dan Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar
hutan mangrove dan memakan akar-akarnya pneumatophore, Hill 1978,
menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makannya, seperti serasah dan bentos
cukup tersedia. Sedangkan Moosa et al. 1982, menyatakan bahwa kepiting
bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah, yang hidup pada perairan intertidal bersubstrat dasar lumpur. Tingginya kerapatan vegetasi mangrove
secara otomatis menyebabkan tingginya produksi serasah yang berasal dari guguran bagian-bagian tanaman mangrove. Waring dan Schlesinger 1985,
menyatakan bahwa kelihangan tahunan dari daun, bunga, buah, ranting dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari guguran serasah pada
ekosistem hutan, dan serasah daun merupakan 70 dari total serasah di permukaan tanah.
Keberadaan vegetasi mangrove dengan sistem perakaran yang khas, memerangkap sedimen dan meminimalkan gerakan air sekitarnya, sehingga
menyebabkan tingginya bahan organik yang dihasilkan oleh proses pembusukan serasah mangrove yang terperangkap disitu. Kesuburan akibat tingginya bahan
organik akan menyebabkan tingginya kelimpahan organisme penghuni dasar
102 hutan mangrove, termasuk makrozoobentos yang merupakan makanan alami
kepiting bakau. Meskipun demikian, kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi pada suatu
zona dalam wilayah perairan mangrove, tidak secara otomatis menjamin tingginya distribusi kepiting bakau pada zona tersebut. Tingginya aktifitas
masyarakat dalam memanfaatkan zona tersebut, diduga menjadi faktor pembatas distribusi kepiting bakau. Kondisi seperti ini terjadi pada substasiun B1
dan B4, yang merupakan zona belakang hutan pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, dan berada di sekitar areal wisata penangkaran buaya. Zona ini
dimanfaatkan untuk melengkapi fasilitas areal wisata tersebut. Sehingga walaupun memiliki tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang relatif tinggi,
namun tingkat distribusi kepiting bakau pada zona ini relatif rendah. Sebaliknya meskipun kerapatan vegetasi mangrove pada substasiun B3,
yang merupakan zona tambak depan hutan, pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan sangat rendah, namun kepiting bakau masih dapat berdistribusi
di sana. Kepiting bakau yang berdistribusi pada zona tersebut, adalah individu betina yang diduga akan bermigrasi ke laut untuk memijah, atau menetaskan
telur-telurnya, maupun yang bermigrsi kembali dari laut melalui pintu-pintu air. Sehingga dapat dikatakan bahwa zona ini bukan merupakan habitat tetap
kepiting. Demikian pula dengan yang terjadi pada substasiun B6, M5, dan T5, yang merupakan zona laut pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan,
Tanjung Laut dan Mayangan. Meskipun sama sekali tidak memiliki komunitas mangrove, namun kepiting bakau dapat berdistribusi di sana. Distribusi kepiting
bakau pada zona-zona tersebut, diduga selain berkaitan dengan proses migrasi reproduksi, yakni migrasi kepiting bakau betina matang gonad ke laut untuk
mencari kondisi lingkungan yang stabil, dalam mendukung aktivitas pemijahan dan penetasan, juga diduga merupakan distribusi dari jenis-jenis kepiting bakau
yang memiliki preferensi dan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap parameter lingkungan perairan laut, yang sangat berfluktuasi.
4.1.5 Kelimpahan Kepiting Bakau 4.1.5.1 Kelimpahan Individu