3 dilakukanlah penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat, yang dianggap dapat mewakili habitat kepiting bakau dengan kondisi lingkungan yang
bervariasi.
1.2 Perumusan Masalah Masalah penurunan produksi kepiting bakau di alam akibat degradasi
habitat dan over exploitation, terjadi pada banyak wilayah perairan mangrove di Indonesia. Hal ini mungkin juga terjadi pada wilayah perairan mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, yang merupakan bagian dari Kawasan Pemangkuan Hutan BKPH Ciasem, Jawa Barat.
Wilayah perairan mangove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, yang merupakan areal tambak tumpangsari silvofishery dengan sistem empang
parit dan komplangan, akhir-akhir ini menghadapi masalah pemanfaatan. Semestinya, melalui sistem silvofishery, masyarakat dapat memanfaatkan
ekosistem mangrove untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove yang ada. Namun pada kenyataannya, telah
terjadi penebangan hutan mangrove untuk perluasan tambak, kawasan wisata dan transportasi laut, sehingga merubah fungsi ekologis yang merupakan
perpaduan antara fungsi fisik dan fungsi biologi. Kondisi ini berdampak terhadap perubahan tipe dan karakter habitat, yang secara langsung menentukan
perbedaan struktur populasi, distribusi maupun aspek reproduksi, dari biota-biota penghuni ekosistem mangrove termasuk kepiting bakau, yang hidup beradaptasi
pada tiap zona dalam ekosistem mangrove tersebut. Dengan demikian informasi tentang dampak pemanfaatan hutan mangrove dengan cara konversi lahan,
terhadap keberadaan dan kestabilan populasi kepiting bakau, seperti yang terjadi pada wilayah BKPH Ciasem Jawa Barat sangat penting, sehingga dapat
ditentukan upaya pengelolaan populasi kepiting bakau maupun habitatnya, secara lebih tepat.
Peningkatan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting bakau dengan harga yang cukup tinggi, menyebabkan terjadinya penangkapan berlebihan over
exploitation, yang merupakan salah satu penyebab penurunan populasi kepiting bakau di alam. Intensifikasi penangkapan umumnya dilakukan dengan cara
memperbanyak alat tangkap dan memperpanjang waktu penangkapan. Selama
4 ini, alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi
kepiting bakau, karena kepiting bakau berukuran kecil yang bukan merupakan target utama penangkapan ikut tertangkap. Intensifikasi penangkapan terhadap
kepiting bakau betina bertelur dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting bakau, karena kepiting bakau tidak diberi kesempatan untuk melakukan proses
reproduksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok baru rekruitmen. Demikian pula halnya dengan intensifikasi penangkapan individu muda.
Selama ini, pemenuhan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting bakau di BKPH Ciasem Jawa Barat, masih bersumber dari intensifikasi
penangkapan di alam. Penurunan populasi kepiting bakau di alam mungkin dapat dihindari, apabila pemenuhan permintaan pasar dapat dialihkan dari usaha
intensifikasi penangkapan di alam ke usaha budidaya. Selain merupakan salah satu upaya untuk memenuhi pangsa pasar perikanan, budidaya juga merupakan
alternatif dalam upaya mempertahankan kestabilan populasi kepiting bakau di alam, dan sekaligus merupakan salah satu upaya rekruitmen. Salah satu
persyaratan dalam kegiatan budidaya adalah tersedianya benih yang cukup. Dengan demikian perlu diusahakan pembenihan secara cepat, masal dan
kontinyu. Upaya ini dapat dicapai, salah satunya melalui manipulasi hormon terhadap proses pematangan gonad induk kepiting bakau, dengan teknik ablasi
tangkai mata John Sivadas 1978,1979; Sulaeman Hanafi 1992; Fattah 1998.
Beberapa ahli melaporkan bahwa ablasi tangkai mata pada krustasea tidak hanya berpengaruh terhadap proses reproduksi, tetapi juga terhadap proses
metabolisme dan pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena proses-proses tersebut dikendalikan oleh hormon yang dihasilkan dan disalurkan oleh dan
melalui sistem neurosecretory pada tangkai mata. Dengan demikian perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, mengingat data dan informasi tentang
posisi sistem neurosecretory pada tangkai mata kepiting bakau sangat penting, untuk menjamin keberhasilan proses ablasi tangkai mata. Sehingga dengan
demikian, efek negatif ablasi seperti stres, penurunan daya kelangsungan hidup dan kematian induk kepiting bakau, serta penurunan kualitas dan kuantitas telur
yang dihasilkan dapat dihindari. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, perlu
dikumpulkan data dan informasi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi
5 kepiting bakau, melalui studi tentang bioekologi kepiting bakau Scylla spp..
Data dan informasi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam upaya pengelolaan populasi kepiting bakau dan habitatnya, melalui tindakan konservasi
dan rehabilitasi.
1.3 Pendekatan Masalah