Distribusi Temporal Individu Betina Matang Gonad

168 berdistribusi ke zona depan hutan, yang memiliki kerapatan vegetasi mangrove relatif lebih tinggi, untuk mencari tempat berlindung dan sumber makanan alami. Sistem perakaran mangrove yang khas umumnya dapat menjadi tempat berlindung bagi kepiting bakau. Selain itu sistem perakaran mangrove dapat memerangkap sedimen sehingga menciptakan substrat dasar lumpur yang merupakan habitat yang disenangi oleh kepiting bakau. Vegetasi mangrove juga menghasilkan serasah yang selain merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau, melalui proses pembusukan dapat menghasilkan zat-zat hara untuk meningkatkan kesuburan perairan. Perairan yang subur akan meningkatkan kehadiran organisme-organisme lain, yang diantaranya adalah jenis makanan alami kepiting bakau. Meskipun distribusi spasial kepiting bakau betina matang gonad pada tiap tingkat perkembangan terlihat berbeda antar wilayah perairan, namun secara umum kepiting bakau betina matang gonad memperlihatkan migrasi spesifik yakni bergerak dari perairan hutan mangrove dan muara sungai ke perairan laut untuk memenuhi kebutuhan reproduksinya. Menurut Hill 1974 dan Le Reste et al 1976, kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan seiring dengan perkembangan gonadnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke laut untuk memijah. Fenomena biologis tersebut memberikan indikasi bahwa kepiting bakau mencari kondisi lingkungan yang selain dapat mendukung kesempurnaan perkembangan gonad, proses pemijahan dan pembuahan, juga dapat menjamin kelangsungan perkembangan embrio dan keberhasilan proses penetasan.

4.1.7.5 Distribusi Temporal Individu Betina Matang Gonad

Untuk mengkaji distribusi temporal kepiting bakau betina matang gonad dalam kaitannya dengan parameter lingkungan, maka digunakan Analisa Komponen Utama Principal Component Analysis, PCA. Hasil analisa PCA terhadap kepiting bakau Scylla serrata betina matang gonad yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan Lampiran 16, menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antara parameter lingkungan yang terkait pada struktur temporal bulan penangkapan, terpusat pada dua sumbu utama sumbu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu ini ditentukan oleh besarnya akar ciri, yaitu masing-masing sumbu menjelaskan 169 61,1 dan 17,7 dari ragam total. Jadi hanya dengan menggunakan dua sumbu utama, keterkaitan antara kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat IV dan V, dengan parameter lingkungan dapat dijelaskan sebesar 28,8 dari ragam total. Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 71a memperlihatkan adanya korelasi positif antara kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat IV dan V TKG IV dan TKG V, suhu, salinitas, dan kecerahan perairan, yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sebaliknya korelasi positif antara parameter oksigen terlarut dan pH perairan, membentuk sumbu F1 negatif. Sementara parameter kedalaman perairan membentuk sumbu F2 negatif. Diagram representasi distribusi temporal dari bulan-bulan penangkapan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V Gambar 71b menunjukkan bahwa distribusi temporal bulan penangkapan membentuk empat kelompok distribusi, yaitu kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V tinggi, terdiri atas bulan penangkapan Maret, april, Mei, Juni, Juli dan Agustus yang berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Kelompok bulan penangkapan ini dicirikan oleh parameter suhu, salinitas, dan kecerahan perairan yang tinggi, parameter pH air dan oksigen terlarut yang rendah, serta parameter kedalaman perairan yang sedang; kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V sedang, terdiri atas dua kelompok yakni kelompok bulan penangkapan September dan Oktober, yang dicirikan oleh parameter kedalaman perairan yang rendah, serta bulan Februari, yang dicirikan oleh parameter kedalaman perairan yang tinggi; Kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V yang rendah, terdiri dari kelompok bulan penangkapan November dan Desember, yang dicirikan oleh tingginya parameter pH dan oksigen terlarut, serta rendahnya parameter suhu, salinitas, dan kecerahan perairan. Hasil analisa PCA terhadap kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V yang tertangkap pada stasiun penelitian Tanjung Laut Lampiran 17 yang dilakukan pada matriks korelasi menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter lingkungan yang terkait pada struktur temporal bulan penangkapan terpusat pada dua sumbu utama sumbu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu ini ditentukan oleh besarnya akar ciri, 170 yaitu masing-masing sumbu menjelaskan 68,9 dan 18,5 dari ragam total. Jadi hanya dengan menggunakan dua sumbu utama, keterkaitan antara kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V dengan parameter lingkungan dapat dijelaskan sebesar 87,4 dari ragam total. a b Gambar 71 Diagram analisis komponen utama keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau S. serrata dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada stasiun penelitian Blanakan a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V pada sumbu F1 dan F2 b Diagram representasi distribusi bulan penangkapan berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG pada sumbu F1 dan F2 : variabel aktif, : variabel tambahan, TKG: tingkat kematangan gonad, Sh: suhu, Sa: salinitas, Pa: pH air, Kc: kecerahan, Kd: kedalaman, DO: oksigen terlarut, Jan-Des: bulan penangkapan Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 72a memperlihatkan adanya korelasi positif antara kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat IV dan V TKG IV dan TKG V, parameter kecerahan, salinitas, dan suhu perairan, yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sebaliknya parameter oksigen terlarut membentuk sumbu F1 negatif, sedangkan parameter pH dan kedalaman perairan membentuk sumbu F2 positif. Diagram representasi distribusi temporal dari bulan-bulan penangkapan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V Gambar 72b, menunjukkan bahwa distribusi temporal bulan penangkapan membentuk empat kelompok distribusi, yaitu kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V tinggi, terdiri atas bulan penangkapan Maret, april, Mei, Juni, Juli dan Agustus yang berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif, dicirikan oleh parameter kecerahan, salinitas, dan suhu perairan yang tinggi, parameter oksigen terlarut yang rendah, serta parameter pH air dan kedalaman perairan yang sedang; Sh Sa Pa Kc Kd DO TKGIV TKGV -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 F1 61,1 F 2 1 7,7 Okt Sept Agst Jul Jun Mei Apr Mar Feb Jan Des Nov -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 2 -4 -2 2 4 F1 61,1 F2 1 7 ,7 Dist. TKG IV TKG V tinggi Dist. TKG IV TKG V sedang Dist. TKG IV TKG V rendah Dist. TKG IV TKG V sedang 171 kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V sedang, terdiri atas dua kelompok yakni kelompok bulan penangkapan September dan Oktober yang dicirikan oleh parameter pH dan kedalaman perairan yang tinggi, serta kelompok bulan Februari, yang dicirikan oleh parameter pH dan kedalaman perairan yang rendah. Kelompok berikutnya adalah kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V yang rendah, terdiri atas bulan penangkapan November, Desember, dan Januari yang dicirikan oleh tingginya parameter oksigen terlarut, serta rendahnya parameter kecerahan, salinitas, dan suhu perairan. a b Gambar 72 Diagram analisis komponen utama keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau S. serrata dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada stasiun penelitian Tanjung Laut a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V pada sumbu F1 dan F2 b Diagram representasi distribusi bulan penangkapan berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V pada sumbu F1 dan F2 : variabel aktif, : variabel tambahan, TKG: tingkat kematangan gonad, Sh: suhu, Sa: salinitas, Pa: pH air, Kc: kecerahan, Kd: kedalaman, DO: oksigen terlarut, Jan-Des: bulan penangkapan Hasil analisa PCA terhadap kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V yang tertangkap pada stasiun penelitian Mayangan Lampiran 18 yang dilakukan pada matriks korelasi, menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter lingkungan yang terkait pada struktur temporal bulan penangkapan, terpusat pada dua sumbu utama sumbu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu ini ditentukan oleh besarnya akar ciri, yaitu, masing-masing sumbu menjelaskan 69.7 dan 19.7 dari ragam total. Jadi hanya dengan menggunakan dua sumbu utama, Sh Sa Pa Kc Kd DO TKGIV TKGV -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 F1 68,9 F2 1 8 ,5 Okt Sept Agst Jul Jun Mei Apr Mar Feb Jan Des Nov -2 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 2 2.5 -4 -2 2 4 F1 68,9 F 2 18, 5 Dist. TKG IV TKG V tinggi Dist. TKG IV TKG V rendah Dist. TKG IV TKG V sedang Dist. TKG IV TKG V sedang 172 keterkaitan antara kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V dengan parameter lingkungan dapat dijelaskan sebesar 89,4 dari ragam total. Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 73a memperlihatkan adanya korelasi positif antara kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat IV dan V TKG IV dan TKG V, parameter kecerahan, salinitas, dan suhu perairan yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sebaliknya parameter pH dan oksigen terlarut membentuk sumbu F1 negatif, sedangkan parameter kedalaman perairan membentuk sumbu F2 positif. a b Gambar 73 Diagram analisis komponen utama keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau S. serrata dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada stasiun penelitian Mayangan a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V pada sumbu F1 dan F2 b Diagram representasi distribusi bulan penangkapan berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan dan kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V pada sumbu F1 dan F2 : variabel aktif, : variabel tambahan, TKG: tingkat kematangan gonad, Sh: suhu, Sa: salinitas, Pa: pH air, Kc: kecerahan, Kd: kedalaman, DO: oksigen terlarut, Jan-Des: bulan penangkapan Diagram representasi distribusi temporal dari bulan-bulan penangkapan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V Gambar 73b, menunjukkan bahwa distribusi temporal bulan penangkapan membentuk tiga kelompok distribusi yaitu kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V tinggi, terdiri dari bulan penangkapan Maret, April, Mei, Juni, Juli dan Agustus, yang berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif, dicirikan oleh parameter kecerahan, salinitas, dan suhu perairan yang tinggi, parameter oksigen terlarut dan pH perairan yang rendah, serta parameter kedalaman perairan yang sedang; kelompok distribusi kelimpahan kepiting bakau betina TKG IV dan TKG V sedang, yakni kelompok bulan penangkapan September, Oktober, Januari, dan Februari, yang dicirikan oleh kedalaman perairan yang tinggi, serta kelompok Sh Sa Pa Kc Kd DO TKGIV TKGV -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 F1 69,7 F 2 1 9,7 Okt Sept Agst Jul Jun Mei Apr Mar Feb Jan Des Nov -2 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 2 -4 -2 2 4 F1 69,7 F2 1 9 ,7 Dist. TKG IV TKG V sedang Dist. TKG IV TKG V tinggi Dist. TKG IV TKG V rendah 173 bulan November dan Desember, yang dicirikan oleh parameter oksigen terlarut dan pH perairan yang tinggi, serta parameter kecerahan salinitas dan suhu perairan yang rendah. Dari hasil analisa PCA terhadap kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir TKG IV dan TKG V, yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan seperti yang tergambar dalam ketiga diagram tersebut di atas, maka terlihat jelas bahwa kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir TKG IV dan TKG V pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, berdistribusi tinggi pada bulan April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Parameter lingkungan yang sangat mempengaruhi tinggingnya distribusi tersebut adalah parameter salinitas, suhu, dan kecerahan perairan. Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laut. Arriolla 1940 dan Brick 1974, menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah, sedangkan Kasry 1996, menyatakan bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Meskipun demikian, hasil penelitian nenunjukkan bahwa pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir, selain dijumpai pada perairan tambak, juga dijumpai pada perairan laut. Hal ini dapat menjadi indikasi terjadinya proses pemijahan kepiting bakau di perairan tambak dalam wilayah hutan mangrove. Kondisi ini bukan merupakan hal yang baru, karena Escritor 1972 dan Pagcatipunan 1972 dalam penelitiannya di Pilipina, juga menemukan kepiting bakau memijah di tambak bandeng, walaupun tingkat kelulus-hidupan larva tingkat awal sangat rendah. Hill 1974 dalam penelitiannya di Afrika Tenggara, menemukan kepiting bakau memijah di perairan estuari. Sedangkan di Indonesia Toro 1984 berdasarkan hasil penelitiannya di Segara Anakan Cilacap, menjumpai kepiting bakau bertelur di daerah mangrove, dan menduga diduga tempat memijah. Meskipun demikian kelimpahan kepiting bakau matang gonad dalam berbagai tingkat kematangan baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, secara umum memberikan gambaran adanya pola migrasi reproduksi kepiting bakau betina dari perairan 174 hutan mangrove ke perairan laut. Kondisi ini menguatkan teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa sesudah perkawinan berlangsung, kepiting bakau betina matang gonad akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah Arriola 1940 Brick 1974. Migrasi kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur. Dengan demikian merupakan juga upaya penjamin kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut menurut Kasry 1996, terutama terhadap parameter suhu dan salinitas lingkungan. Hasil analisa komponen utama Principal Component Analysis, PCA untuk mengkaji keterkaitan intensitas pemijahan dengan parameter lingkungan, menunjukkan bahwa pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Maret sampai Agustus. Hal tersebut berarti puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai menjelang akhir musim panas. Digambarkan juga bahwa intensitas pemijahan kepiting bakau berasosiasi kuat dengan parameter salinitas, suhu, dan kecerahan perairan, atau ketiga parameter tersebut sangat berpengaruh terhadap proses pemijahan kepiting bakau. Primavera 1985, menyatakan bahwa faktor lingkungan yang paling mempengaruhi proses reproduksi adalah salinitas, suhu, dan cahaya. Intensitas pemijahan kepiting bakau yang tinggi pada akhir musim hujan, memasuki musim panas, diduga merupakan strategi kepiting bakau untuk memanfaatkan produktifitas perairan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya. Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi pada musim panas, yang menyebabkan terjadinya fotosintesa fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau. Data parameter lingkungan menunjukkan bahwa pda bulan Maret sampai Agustus, cenderung terjadi peningkatan parameter salinitas, suhu, serta kecerahan perairan, yang diakibatkan oleh proses peralihan dari musim hujan ke 175 musim panas. Sedangkan grafik distribusi kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir yang menjadi indikasi frekwensi dan intensitas pemijahan menunjukkan bahwa pada bulan Maret mulai terjadi peningkatan intensitas pemijahan namun memasuki bulan Juli atau Agustus, yakni ketika parameter salinitas, suhu, maupun kecerahan terus meningkat, intensitas pemijahan kepiting bakau justru menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat toleransi terhadap parameter lingkungan tertentu dalam proses pemijahan kepiting bakau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa parameter salinitas, suhu, dan kecerahan perairan yang relatif stabil sangat mempengaruhi tingginya intensitas pemijahan kepiting bakau. Calabres dan Davis 1970 dalam Sudradjat 1989, menyatakan bahwa dibandingkan dengan stadia dewasa, pada stadia awal, organisme laut jauh lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Seperti diketahui kondisi salinitas perairan pada musim panas umumnya lebih stabil dibandingkan pada musim hujan, terutama untuk perairan laut yang kontribusi air tawar dari sungai atau aliran air tawar lainnya cukup tinggi. Kepiting bakau memijah pada perairan bersalinitas stabil dan relatif tinggi. Hastuti 1998, menyatakan bahwa telur tingkat akhir, embrio, dan larva kepiting bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi polihaline. Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi. Menurut Primavera 1985, reaksi akrosom sperma sangat tergantung dari adanya Ca ++ dan lendir telur. Air laut adalah substansi yang mampu merangsang reaksi kortikal, sebelum terjadi pembuahan. Lapisan lendir yang terbentuk oleh reaksi kortikal tersebut, merupakan fasilitas sel telur untuk menangkap sperma yang tidak bergerak nonmotil. Dengan demikian maka ketika kondisi perairan tidak mendukung terjadinya proses pembuahan, sel telur tidak akan dipijahkan tetapi akan diserap kembali oleh tubuh, apabila telah melewati tingkat kematangan akhir Primavera 1985. Selain itu salinitas dapat juga mempengaruhi telur kepiting bakau secara langsung, melalui tingkat kerja osmotik sebagai akibat perbedaan osmolaritas antara sitoplasma dengan cairan perivitelin, media eksternalnya, daya absorbsi air; dan berat jenis telur, serta proses pengerasan 176 hardnening selaput chorion. Fenomena ini diduga akan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan energi kuning telur untuk pertumbuhan embrio Gilles Pequeux 1983. Dikatakan pula bahwa semakin besar perbedaan osmolaritas antara cairan telur dengan media eksternal, maka semakin besar pula kebutuhan energi untuk kerja osmotik. Bila telur berada pada perairan yang tekanan osmotiknya terlalu rendah hipotonik, maka pengerasan selaput chorion akan terganggu, sehingga waktu penetasan telur menjadi lebih lama. Sebaliknya bila telur berada pada perairan yang tekanan osmotiknya terlalu tinggi hipertonik, maka absorbsi air menjadi sulit. Salinitas juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap embrio kepiting bakau, dalam hal ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Pada perairan bersalinitas tinggi, kelarutan oksigen perairan akan menjadi rendah. Sebaliknya pada perairan bersalinitas rendah, kelarutan oksigen perairan akan menjadi tinggi. Sedangkan Hill 1974 yang meneliti toleransi larva zoea kepiting bakau terhadap tingkat salinitas, mengemukakan bahwa zoea pertama tidak tahan terhadap salinitas perairan yang rendah, sehingga mereka tidak cocok berada dalam lingkungan perairan estuaria. Perairan merupakan pengontrol laju metabolisme dan perkembangan telur, sehingga akan mempengaruhi lama waktu penetasan telur pada tingkat yang dapat ditolelir Welsh 1991. Pada tingkat yang ekstrim, suhu perairan dapat menyebabkan mortalitas embrio, atau menyebabkan kelainan pada perkembangan embrio. Sehingga akhirnya akan menghasilkan larva abnormal,. sedangkan Hill 1974 yang meneliti toleransi kepiting bakau tingkat larva zoea, menyatakan bahwa zoea kepiting bakau tidak tahan hidup pada perairan yang bersuhu tinggi. Dikatakan selanjutnya bahwa rendahnya kelulus-hidupan larva tingkat-tingkat awal zoea I dan zoea II, pada suhu perairan yang tinggi mungkin merupakan alasan yang tepat terhadap penyebab kematian dalam usaha pemeliharaan larva kepiting bakau sejak dari telur. Meskipun demikian dikatakan pula bahwa zoea tropis mungkin lebih toleran pada suhu perairan yang tinggi daripada zoea subtropis dari wilayah di tenggara Afrika. Primavera 1985, menyatakan bahwa aspek cahaya yang mempengaruhi reproduksi adalah intensitas, periode panjang hari, dan spektrum cahaya. Vernberg dan Vernberg 1972, menyatakan bahwa pada dasarnya warna cahaya mempengaruhi mekanisme fisiologis krusetasea, melalui rangsangan panjang gelombang cahaya yang diterima oleh reseptor cahaya pada mata. 177 Selanjutnya pola rangsangan tersebut diteruskan ke sistem syaraf pusat, yang kemudian memerintahkan untuk mempolarisasikan cahaya menurut perbedaan rangsangannya. Perbedaan tingkat rangsangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda secara biologis, yaitu antar lain terhadap aktifitas pegerakan dan reproduksi. Hal tersebut yang mungkin menjadi penyebab perlunya kecerahan perairan, sehingga cahaya matahari dapat mencapai kedalaman yang diinginkan kepiting bakau untuk melakukan proses reproduksi. Selain itu kecerahan perairan yang tinggi menyebabkan cahaya matahari masuk ke perairan yang lebih dalam, sehingga dapat membantu pertumbuhan fitoplankton, yang akhirnya menghadirkan zooplankton sebagai makan alami larva kepiting bakau yang akan dihasilkan. Dari hasil penelitian pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, dapat dikatakan bahwa parameter lingkungan yang paling mempengaruhi intensitas pemijahan kepiting bakau adalah parameter salinitas, 31.0-35,1‰; suhu 29.2-30.8°C, dan kecerahan perairan 0.60-0.77m. 4.2. Aspek Reproduksi Kepiting Bakau 4.2.1 Performa Reproduksi 4.2.1.1 Karakter Jenis Kelamin Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau telah banyak diketahui dan dijelaskan oleh peneliti-peneliti sebelum ini. Namun demikian, untuk membuat suatu kriteria klasifikasi secara lengkap, dilakukan pengamatan deskriptif terhadap morfologi maupun anatomi kepiting bakau jantan dan betina. Dari hasil pengamatan dibuat kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau, yang didasari pada perbedaan porporsi panjang cheliped terhadap panjang karapaks, bentuk tutup abdomen, kehadiran pasangan bukaan kelamin oviduct openings pada tulang rongga dada thorachic sternum dan jumlah dan bentuk pleopod. Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau, berupa gambaran serta deskripsi struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau jantan dan betina, tersaji pada Tabel 19