8 yang tepat, dalam upaya mempercepat laju pematangan gonad. Data
dan Informasi ini, dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi usaha budidaya pembenihan, untuk tujuan rehabilitasi populasi kepiting bakau.
1.5 Hipotesis.
Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut 1. Karakter habitat yang berbeda akan mempengaruhi struktur populasi,
distribusi, dan aspek reproduksi kepiting bakau antar zona dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan
Mayangan, maupun antar ketiga wilayah perairan mangrove tersebut. 2. Terdapat perbedaan kualitas dan kuantitas gonad, embrio dan larva,
yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai mata, dengan induk tanpa perlakuan ablasi tangkai mata
alami.
9
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue dan bahasa Inggris yaitu grove McNae 1968. Dalam bahasa Inggris,
kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput- rumputan, atau semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir, maupun untuk
jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam Bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk jenis tumbuhan, dan kata mangal
untuk komunitas hutan, yang terdiri atas jenis mangrove tersebut. Sementara itu, menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove berarti vegetasi hutan yang
tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau
lumpur, atau pada pantai berlumpur Darsidi 1986.
2.1.1 Komposisi Jenis Mangrove dan Parameter Lingkungannya
Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies, yang terdiri atas 35 spesies
tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasitik Nontji 1987. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir
Indonesia adalah: bakau Rhizophora, api-api Avicennia, pedada Sonneratia, tanjang Bruguiera, nyirih Xylocarpus, tengar Ceriops dan buta-buta
Exoecaria. Menurut laporan Departemen Kehutanan tahun 1982, luas areal mangrove di Indonesia tercatat 4.25 juta ha, dan tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sedangkan berdasarkan laporan PHPA-AWB tahun 1987, luas areal mangrove di Indonesia tinggal 3.24 juta ha Agustono 1996.
Komposisi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan
salinitas Bengen 1997. Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis adalah api-api dan pedada. Api-api lebih
suka hidup pada tanah berpasir agak keras, sedangkan pedada pada tanah berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak,
komunitas mangrove biasanya didominasi oleh bakau. Lebih ke arah daratan hulu pada tanah lempung yang agak pejal, biasanya tumbuh komunitas tanjang.
11 Paku laut Acrostichum aureum dan jeruju Acanthus ilicifolius, seringkali
dijumpai di daerah pinggiran pohon-pohon mangrove sebagai tumbuhan bawah Dahuri 1996. Jenis palma yang disebut nipa Nypa fruticans, merupakan salah
satu komponen penyusun komunitas mangrove dan seringkali tumbuh di tepian sungai ke arah hulu dengan pengaruh air tawar yang sangat dominan.
Parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar, salinitas, stabilitas substrat,
dan pasokan nutrien. Ketersediaan air tawar dan parameter salinitas yang mengendalikan efisiensi metabolisme dari ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh
frekwensi dan volume air tawar, frekwensi dan volume pertukaran pasang surut, dan tingkat evaporasi. Stabilitas substrat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air
tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya, laju limpasan arus pasang surut, serta gaya gelombang Berwick 1983. Sedangkan pasokan nutrien bagi
ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi masukan ion-ion mineral organik dan anorganik, serta pendaur ulangan
nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis detritus.
2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove, merupakan sumberdaya alam wilayah tropis, yang memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek
sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat dilihat dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan,
di atas substrat, maupun di tajuk-tajuk tumbuhan mangrove, serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini Naamin 1991
Ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh
sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang.
Fitoplankton selanjutnya dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustasea, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia
sebagai konsumer utama Sumarna 1985. Vegetasi mangrove juga merupakan pendaur ulang zat hara tanah yang diperlukan bagi tanaman. Hasil penelitian di
Florida menunjukan bahwa 90.0 kotoran hutan menghasilkan 35-60 unsur hara yang terlarut di pantai. Pada awal pembusukan, daun-daun bakau
12 Rhizophora spp. mengadung kadar protein 3.1 dan setelah satu tahun
meningkat menjadi 21.0. Kadar N daun kering adalah sekitar 0.55 kg dan diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Produksi serasah
dalam satu hektar lahan hutan magrove dapat mencapai 7.1-8.8 ton per tahun Sumarna 1985.
Menurut pendapat para ahli, mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi yakni fungsi fisik, biologi dan ekonomi atau
produksi Naamin 1991. Fungsi fisik dari ekosistem mangrove adalah menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah
terjadinya erosi pantai, sebagai perangkap bahan pencemar dan limbah, perlindungan bagi tata guna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami,
pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, serta suplai detritus dan zat hara untuk perairan pantai di dekatnya.
Sedangkan fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat bertelur, tempat mencari makan serta
habitat alami berbagai jenis biota, yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada
sedimen mangrove sebagai lapisan sisa-sisa daun leaf litter, mendukung kehadiran sejumlah besar komunitas organisme detrital. Organisme ini bertindak
sebagai pengurai detritus, dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah spesies termasuk kepiting bakau dan jenis
krustasea lainnya, ikan, moluska, reptilia, mamalia serta burung Dahuri 1996. Sependapat dengan hal tersebut, Nontji 1987 melaporkan bahwa terdapat
kurang lebih 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska di ekosistem mangrove di Indonesia.
White dalam Naamin 1991, menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki produktifitas yang tinggi. Fungsi ekonomi ekosistem mangrove sangat
banyak, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Saenger 1983, ada 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan mangrove bagi
kepentingan manusia, baik produk langsung, seperti; bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku pembuatan kertas,
makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil, maupun produk tidak langsung seperti tempat rekreasi dan bahan makanan. Dikatakan pula bahwa sebagian
besar produk yang dihasikan telah dimanfaatkan oleh masyarakat.
13
2.1.3 Ketergantungan Kepiting Bakau pada Ekosistem Mangrove
Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau di sekitar
ekosistem tersebut. Nontji 1987, mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat
dengan ekosistem mangrove seperti udang Paneus, kepiting bakau Scylla dan Tiram Crassostrea
Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni
sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur-
angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah,
sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan
kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki
hutan mangrove. Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk
berlindung. Kepiting bakau muda pascalarva yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air
pasang dan akan menempel pada akar-akar mengrove untuk berlindung Hutching Saenger 1987. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan
penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lobang pada substrat lunak sebagai tempat
persembunyaian Queensland Depertment of Industries 1989
a
. Lebih lanjut Pagcatipunan 1972, menyatakan bahwa setelah berganti kulit moulting,
kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapaksnya mengeras. Hutcing dan
Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya pneumatophore. Sementara Hill 1982,
menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan
serasah cukup tersedia.
14
2.2 Kepiting Bakau 2.2.1 Klasifikasi
Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu: Carcininae,
Polybiinae, Caphyrinae,
Catoptrinae, Podophthalminae dan Portuninae. Moosa 1979, memperkirakan bahwa ada
sekitar 234 jenis yang tergolong dalam famili Potunidae, di wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam kelompok kepiting
perenang swimming crabs, karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih, dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup
rajungan Portunus, Charybdis Thalamita dan kepiting bakau Scylla spp.. Dinamakan kepiting bakau Scylla spp. karena banyak ditemukan di wilayah
hutan bakaumangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam. Di Jawa, masyarakat mengenalnya dengan nama kepiting, di
sebagian daerah di Maluku Tengah, dikenal sebagai katang nene, sedangkan di sebagian Sumatera, dikenal sebagai ketam batu, kepiting cina, atau kepiting
hijau. Di manca negara, kepiting bakau juga dikenal dengan beragam nama yaitu: kepiting batu di Malaysia Ong 1966, kepiting lumpur mud crab di
Australia, kepiting samoa di Hawai, alimango di Philipina, tsai jim di Taiwan, dan nokogiri gozami di Jepang Cowan 1984.
Motoh 1977, mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut Filum
: Arthropoda Subfilum
: Mandibulata Kelas
: Crustasea Subkelas :
Malacostraca Tribe
: Eumalacostaca
Supertribe : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Suku :
Brachyura Famili
: Portunidae Subfamili :
Portuninae Genus
: Scylla Selanjutnya Estampador 1949a, membagi genus Scylla atas tiga jenis
dan satu varietas, yaitu: Scylla serrata Forskal, Scylla oceanica Dana,
15 Scylla tranquebarica Fabricius dan Scylla serrata var. paramamosin
Estampador. Meskipun demikian, menurut Stephenson dan Campbell 1960 dalam Watanabe et al. 2001, genus Scylla hanya memiliki satu jenis saja yaitu
Scylla serrata. Hal yang sama juga diyakini oleh Alcock 1989 dalam Sulaeman dan Naevdal 2000, yang menyatakan bahwa Scylla dari perairan India terdiri
atas satu jenis yaitu Scylla serrata. Demikian pula halnya dengan Moosa et al. 1985, yang mendukung kesimpulan tersebut melalui kajian terhadap kepiting
bakau di perairan Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan metode Allozyme
electrophoresis dan mitocondria DNA, Keenan et al. 1998 menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu: Scylla serrata, S. tranquebarica,
S. pararamosain dan S. olivacea.
2.2.2 Taksonomi dan Identifikasi Menurut Moosa 1981, untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari
tiap jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya dipergunakan dalam taksonomi binatang
yang bersangkutan. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis dari famili Portunidae adalah
1. Karapaks carapace, yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di atasnya.
2. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks rostrum 3. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks
4. Bentuk sudut postero-lateral tubuh 5. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan periopod,
terutama dari pasangan kaki pertama yang berbentuk capit cheliped dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung
6. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod 7. Bentuk mulut terutama maxilliped III
8. Bentuk bagian ruas dasar antenne Basal antennal joint. Kriteria-kriteria tersebut di atas tidak semuanya berlaku untuk satu genus. Ada
kriteria yang dapat digunakan untuk genus yang satu, tetapi tidak penting atau kurang penting bila digunakan pada genus yang lain. Meskipun demikian, ada
16 kriteria yang sama-sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari
beberapa genus. Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili
Portunidae adalah: karapaks pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk
kebulat-bulatan, karapaks umumnya berukuran lebih lebar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya; tepi antero-lateral
karapaks berduri lima jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae sampai sembilan buah; dahi lebar, serta terpisah dengan jelas
dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah; antenne antennulae kecil, terletak melintang atau menyerong; pasangan kaki terakhir
berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas terakhir ada beberapa genus yang berkaki tidak berbentuk demikian Moosa 1981.
Sedangkan ciri kepiting bakau secara khusus menurut Sulistiono et al. 1992, adalah: karapaks berbentuk cembung dan halus, lebar karapaks satu
setengah dari panjangnya; bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area pencernaan gastric area dan area jantung cardiac area jelas; empat duri
berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, serta memiliki orbit yang lebar dengan dua celah.
Kathirvel dan Srinivasagam 1992 yang membedakan kepiting bakau berdasarkan habitatnya di wilayah Indo-Pasifik, menyatakan bahwa ada dua
jenis dari genus Scylla yaitu S. serrata dan S. tranquebarica, yang adalah sejenis dengan S. oceanica. Kedua spesies ini dibedakan melalui warna tubuh dan
habitatnya. S. serrata hidup pada lobang-lobang di hutan mangrove sementara S. tranquebarica yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah perenang bebas.
Sebaliknya Estampador 1949, menggolongkan kepiting bakau ke dalam dua kelompok, yaitu banhawin dan mamosain. Kelompok Banhawin terdiri atas
individu dengan warna tubuh hijau, dan memiliki tandapola poligonal pada semua kaki dan cheliped-nya. Sedangkan kelompok kedua adalah individu
berwarna coklat gelap dan tidak memiliki tandapola apapun pada kaki-kaki dan cheliped-nya. Kepiting banhawin adalah perenang bebas, sedangkan kelompok
mamosain tinggal menetap di dalam lobang. Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica digolongkan kedalam kelompok banhawin yakni sebagai perenang
17 bebas, sedangkan S. serrata digolongkan ke dalam kelompok mamosain yaitu
yang hidup di dalam lobang-lobang pada areal mangrove. Untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla, Estampador 1949
mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walaupun menurut Warner 1977, identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin
akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap
dispersi pigmen pada tubuh kepiting bakau. S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga
warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-abuan
sampai abu-abu. Estampador 1949, mengkaji juga beberapa perbedaan morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla seperti: sumber
pembuat warna, bentuk H pada karapaks, bentuk duri pada dahi karapaks, bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambutsetae Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau Scylla spp. menurut Estampador 1949
Warna dan ciri morfologis
Scylla oceanica
Scylla tranquebarica
Scylla serrata Scylla serrata
var. paramamosin
Warna karapaks Hijau keabu-
abuan Hijau buah zaitun
Coklat merah se- perti karat
Coklat kehijauan
Sumber pigmen polygonal
Pada capit dan semua kaki
jalan Hanya pada
bagian terakhir kaki jalan
Tidak ada Pigmen
putih pada bagian
terakhir dari kaki-kaki
Bentuk alur “H” pada karapaks
Dalam Dalam tidak dalam
Relatif tidak
begitu dalam
Bentuk duri depan Tajam Tajam Tumpul Sedang Bentuk duri pada
“fingerjoint” Kedua duri jelas
dan runcing Kedua duri jelas
dan satu agak tumpul
Duri tidak ada dan berubah
menjadi vestigial -
Bentuk Rambutsetae
Melimpah pada karapaks
- Hanya pada
hepatic area -
Selain perbedaan warna dan perbedaan morfologis tubuh, telah dikembangkan suatu teknik baru untuk memperoleh status taksonomi dari jenis
organisme tertentu, yaitu melalui analisa genetik. Analisa ini merupakan suatu komponen penting dari penelitian taksonomi dan biologi perikanan, dan
umumnya dikembangkan melalui pendekatan karakter-karakter individu dari suatu jenis organisme, yang tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Analisa
ini telah dikembangkan terhadap kepiting bakau oleh Keenan et al. 1998, yang
18 kemudian merubah klasifikasi genus Scylla dari klasifikasi sebelumnya, dengan
karakter tiap jenis seperti pada Tabel 2. Klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan secara eksternal.
Menurut Moosa et al. 1985, ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau jantan umumnya sempit dan berbentuk segitiga, sedangkan ruas-ruas pada tutup
abdomen kepiting bakau betina berukuran lebar dan sedikit membulat. Tabel 2 Karakter jenis kepiting bakau Scylla spp. menurut Keenan et al. 1998.
Jenis Fakror pembeda ciri morfologis
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna
bervariasi dari ungu, hijau sampai hitam kecoklatan
Duri pada dahi Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung
cekung dan membulat
Scylla serrata
Duri pada bagian luar
cheliped Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam
pada carpus
Pola poligon dan warna
Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola
poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. serrata
Duri pada dahi
Tumpul dan dikelilingi celah sempit
Scylla tranquebarica
Duri pada bagian luar
cheliped Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam
pada carpus.
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai coklat
kehitaman.
Duri pada dahi Tajam, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus
dan membentuk ruang yang kaku
Scylla paramamosain
Duri pada bagian luar
cheliped Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan
sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada propondus sedangkan pada juvenil duri di bagian luar carpus
tajam.
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna
bervariasi dari oranye kemerahan sampai coklat kehitaman.
Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi raung-ruang yang sempit
Scylla olivacea
Duri pada bagian luar
cheliped Umumnya tidak ada duri pada carpus. Sedangkan pada
bagian propondus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul
2.2.3 Daur Hidup
Menurut Arriola 1940; Hill 1974; dan Le Reste et al. 1976, kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove, dan secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan
yang parameter lingkungannya terutama suhu dan salinitas perairan cocok, sebagai tempat memijah. Dikatakan selanjutnya, kepiting bakau jantan setelah
19 melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak
atau sela-sela perakaran mangrove. Menurut Estampador 1949, perkembangan kepiting bakau dalam daur
hidupnya dibagi atas tiga stadia, yaitu: stadia embrionik, stadia larva dan stadia pascalarva. Secara lebih detil Motoh 1977, menyatakan bahwa perkembangan
kepiting bakau Scylla serrata mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa,
stadia kepiting muda juvenil dan stadia kepiting bakau dewasa. Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I zoea I yang
akan terus menerus berganti kulit moulting, kemudian terbawa arus ke perairan pantai, hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18
hari. Setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain ditandai oleh penambahan setae renang pada endopod maxilliped-nya Warner
1977. Zoea V kemudian akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa, yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih
memiliki bagian ekor yang panjang. Menurut Motoh 1977, megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia pascalarva.
Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting bakau muda juvenil, memerlukan waktu antara 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan
bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Gambaran daur
hidup kepiting bakau tersaji pada Gambar 2.
2.2.4 Sistem Neurosecretory Tangkai Mata
Kepiting bakau memiliki sepasang mata. Mata kepiting bakau dilengkapi dengan tangkai dan menempel pada bagian tepi anterior karapaks, tepat di sisi
kiri dan kanan bagian dahi karapaks. Tangkai pada mata kepiting bakau, memungkinkan kedua mata dapat digerakan dengan leluasa ke segala arah
Warner 1977. Tangkai mata kepiting bakau akan dimasukan dan ditempelkan rapat-rapat di dalam rongga mata, bila ada gangguan dari luar. Bila diamati
melalui bagian ventral tubuh, maka terlihat jelas bahwa diantara kedua mata terdapat mulut. Sistem neurosecretory yang berasosiasi dengan optic ganglia
sangat kompleks. Sistem neurosecretory dibentuk oleh organ-X, yaitu:
20 sekumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan tiap ganglion pada
optic ganglia, saluran sinus gland dan sinus gland Carlisle Passano 1953.
Proses kawin kopulasi Proses penetasan
telur
Masa telur yang menempel pada rambut di pleopod betina
Zoea tingkat I - V Megalopa juvenil
Kepiting muda
Proses percumbuan berpasangandoublers
Proses ganti kulit moulting pada individu betina
Peningkatan salinitas Hutan mangrove
Laut Estuari
Gambar 2 Skema daur hidup kepiting bakau Scylla serrata yang diadaptasikan dari Soim 1999
Menurut Johnson 1980, sel-sel neurosecretory pada jaringan tangkai mata kepiting biru Callinectes sapidus adalah sel-sel besar yang berukuran
sekitar 20-100 µm. Sel-sel ini memiliki sebuah inti nukleus pucat yang sangat besar dengan satu atau beberapa anak inti nukleolus. Dikatakan selanjutnya
bahwa kebanyakan sel neurosecretory memiliki chromatin bergranula kasar dan pada kepiting biru Callinectes sapidus, sitoplasma dari sel-sel neurosecretory
adalah basophilic atau neutrophilic. Rao 1985 membuat gambaran sistem neurosecretory tangkai mata
krustacea yang dimodifikasi dari Carlisle 1959, dan menyatakan bahwa kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan medulla externa disebut
organ-X medulla externa, kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan medulla interna disebut organ-X medulla interna, kumpulan sel neurosecretory
yang berasosiasi dengan medulla terminalis disebut organ-X medulla terminalis, sedangkan kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi pada bagian antara
21 medulla interna dan medulla terminalis serta berada pada lokasi yang kurang
lebih berhadapan dengan sinus gland disebut organ-X sensory pore. Diagram sistem neurosecretory pada tangkai mata krustasea tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram sistem neurosecretory pada tangkai mata krustasea menurut Rao
1985. a tampak dorsal b tampak ventral LG: lamina ganglionaris, ME: medulla extrna, MI: medulla interna, MT: medulla terminalis, SG: sinus
gland, MEXO: organ-Xmedulla externa, MIXO:: organ-X medulla interna, MTXO: organ-X medulla terminalis, XOC: Penghubung organ-X, SPXO:
organ-X sensory pore, TBr: aliran syaraf dari otak, OP: tangkai mata
Menurut Shangguan dan Li 1994a; 1995 dalam Li et al. 1999, ada dua
tipe sel neurosecretory yakni tipe B dan tipe C yang dapat dibedakan melalui karakter secretory. Dikatakan juga bahwa kedua tipe sel ini menghasilkan
produksi hormon yang berbeda. Johnson 1980, menyatakan bahwa serabut neuron axon dari organ-X
mengalir menuju ke sinus gland. Serabut neuron akhir dari sel-sel neurosecretory yang mengarah kedalam sinus gland umumnya tebal dan bertekstur kasar, serta
acidophilic dan Periodic Acid-Schiff PAS positif. Dikatakan selanjutnya bahwa sinus gland adalah organ neurohemal yang menyimpan dan mendistribusikan
produk yang dihasilkan oleh sel-sel neurosecretory kedalam sirkulasi umum. Carlisle dan Passano 1953, juga menyatakan bahwa sinus gland merupakan
tempat pertemuan berbagai neurofibra neurosecretory dengan vas sinusoidea yang membentuk organ neurochemal. Struktur jaringan tangkai mata blue crab
Calinectes sapidus Gambar 4, memperlihatkan posisi sel-sel neurosecretory dan posisi sinus gland yang berlokasi pada bagian atas samping dorsolateral
antara medulla externa dan medulla interna Johnson 1980. Menurut Highnam dan Hill 1969, terdapat perbedaan struktur sel
neurosecretory tangkai mata pada masing-masing kelompok krustasea. Pada
22 Lysmata seticaudata, organ-X terletak pada medulla terminalis; pada Palaemon
serratus, terdapat dua buah organ-X, yang masing-masing terletak pada medulla externa dan medulla terminalis; sedangkan pada Gecarcinus lateralis terdapat
dua buah organ-X, masing-masing terdapat pada medulla interna. Welsh 1961, menambahkan bahwa organ-X pada kelompok Brachyura terletak pada bagian
dorsolateral tangkai mata, medulla externa, dan medulla interna. Sedangkan pada kelompok Natantia, organ-X terletak pada bagian distal medulla terminalis.
Gambar 4 Struktur jaringan tangkai mata blue crab Callinectes sapidus. Nel: neulirema, mee: medulla externa, mei: medulla interna, met: medulla
interna, NSC: sel neurosecretory, sgl: sinus gland Sumber: Johnson 1980 Bullock dan Horidge 1965 dalam Johnson 1980, menyatakan bahwa
organ-X menghasilkan beberapa hormon, diantaranya ovarium inhibiting hormone dan testis inhibiting hormone, atau yang disebut gonado inhibiting
hormone GIH, yang berfungsi secara langsung untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu jantan, dan ovarium pada betina,
sehingga spermatozoa atau ovum akan terhambat perkembangannya. Organ-X juga menghambat aktivitas organ-Y, yang terletak pada bagian kepala
chepalothorax, untuk menghasilkan gonado stimulating hormone GSH, yang bekerja merangsang pembentukan spermatozoa pada jantan atau ovum pada
betina.
2.2.5 Reproduksi 2.2.5.1 Organ Reproduksi
Organ reproduksi pada kepiting bakau jantan maupun betina merupakan organ berpasangan yang terletak pada bagian posterior thorax, dibawah
23 karapaks dan melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Organ reproduksi
kepiting bakau jantan terdiri atas sepasang testis dan sepasang vas deferens. Testis berbentuk lonjong, berwarna putih dan terletak pada bagian atas bagian
posterior hepatopankreas dan jantung. Di bagian depan lambung, kedua bagian testis tersebut menyatu. Pada setiap ujung posterior testis, muncul vas deferens
yang mula-mula ke sisi lateral, kemudian menuju ventral dan bermuara pada tungkai kaki jalan terakhir. Gambaran sistem reproduksi kepiting bakau Scylla
serrata jantan 1980 tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5 Sis asman
1980. T: testis, AVD: vas deferens anterior, MVD: vas deferens median, PVDm: vas deferans posterior, ED: kantong ejakulasi, P: penis
tem reproduksi kepiting bakau Scylla serrata jantan menurut He
ambar 6 Ga s
enurut Barnes 1987, organ reproduksi kepiting bakau betina terdiri atas sepas
G mbaran struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting Cancer paguru
betina menurut Barnes 1977 M
ang indung telur ovarium, sepasang saluran telur oviduct, serta
24 sepasang wadah sperma spermatheca. Ovarium adalah organ berupa badan
berbentuk sabit, terletak melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Struktur morfologis ovarium bervariasi, sesuai dengan umur dan tingkat
perkembangannya. Oviduct muncul dari bagian pertengahan ovarium. Pada bagian sisi terluar oviduct terdapat wadah penyimpanan sperma spermatheca.
Ujung oviduct dan spermatheca berbentuk corong, yang mengarah menuju ke bagian ventral tubuh secara vertikal, dan bermuara pada bukaan kelamin yang
terletak pada thorachic sternum. Gambaran struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting Cancer pagurus betina yang memperlihatkan posisi gonad
ovarium tersaji pada Gambar 6. 2.2.5.2 Peranan Hormon dalam Reproduksi
Neurohormon yang berperan dalam siklus pematangan gonad kepiting bakau adalah gonado inhibiting hormone GIH, yang dihasilkan oleh organ-X
serta dilepaskan oleh sinus gland ke sirkulasi darah, dan gonado stimulating hormone GSH, yang dihasilkan oleh thoracic ganglion dan otak Sirojini et al.
1995 dalam Fujaya 1996. Adiyodi dan adiyodi 1970, mengemukakan sistem kerja hormon dalam proses reproduksi Decapoda Gambar 7, dan menyatakan
bahwa kondisi lingkungan merupakan sumber rangsangan alami pertama yang mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sebelum dilepaskan ke organ sasaran,
GIH terlebih dahulu disimpan dalam sinus gland. Fungsi GIH adalah secara langsung menghambat perkembangan kelenjar
androgen pada individu jantan dan ovarium pada individu betina, sehingga spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Selain itu, GIH juga dapat
mempengaruhi perkembangan gonad secara langsung, dengan cara menghambat aktivitas organ-Y. Padahal bila organ-Y bekerja aktif, akan
dihasilkan GSH yang berfungsi merangsang kelenjar adrogen untuk menghasilkan hormon androgen, yang berfungsi merangsang testis untuk
menghasilkan spermatozoa pada individu jantan, dan merangsang ovum untuk
menghasilkan telur pada individu betina.
Selanjutnya Adiyodi dan Adiyodi 1970, mengemukakan bahwa apabila konsentrasi GSH meningkat dan konsentrasi GIH menurun dalam sirkulasi darah
hemolimfa kepiting bakau, maka pematangan ovum akan segera berlangsung.
25
G on a do in hibitin g h o rm o n e G IH
G on a do S tim ula tin g H o rm o n e G S H
O rg a n-X S u su na n sya raf p u sa t
R a n g san g an lin gku n ga n
K ele n ja r an d ro g e n
H o rm o n a n dro g en
P erke m b a ng a n sp e rm a to zo a
T in g ka h la ku se xua l
O rg a n-Y H o rm o n
kela m in b etin a
O va riu m P erke m b a ng a n
telu r
T ing ka h la ku se xua l
T h ora chic ga n glio n
O ta k S in u s g la nd
Gambar 7 Sistem kerja hormon dalam proses reproduksi Decapoda menurut Adiyodi dan Adiyodi 1970
2.2.5.3 Proses Reproduksi
Waterman dan Chace 1960 dalam Heasman 1980, menyatakan bahwa krustasea pada umumnya bersifat dieocious, yakni memiliki kelamin yang
terpisah. Berdasarkan struktur organ reproduksinya, kepiting Branchyura dapat dibagi atas dua kelompok. Pada kelompok Gymnopleura dan Dromlaceae,
proses fertilisasi terjadi di luar tubuh external fertilization, sedangkan pada kelompok Corystoldea, Oxystomata, Branchyncha, dan Oxyrhyncha, proses
fertilisasi terjadi di dalam tubuh internal fertilization. Scylla termasuk dalam kelompok Branchyncha, sehingga proses fertilisasinya berlangsung di dalam
tubuh Hartnoll 1969. Menurut Ong 1966, fase-fase dalam proses reproduksi kepiting bakau
dimulai dari proses transfer sperma kopulasi dan perkembangan ovarium yang berlangsung sekitar 30 hari, serta proses pemijahan, pembuahan, inkubasi dan
penetasan telur yang berlangsung sekitar 17 hari. Hartnoll 1969, menyatakan bahwa proses perkembangan gonad dapat berlangsung apabila kepiting bakau
betina telah mengalami proses kopulasi. Umumnya kepiting bakau yang siap untuk matang gonad adalah yang ukuran lebar karapaksnya berkisar antara
105-123 mm Arriola 1940. Meskipun demikian Ong 1966, melaporkan bahwa
26 kepiting bakau dapat mencapai kematangan gonad pada ukuran lebar karapaks
99.1mm.
1 Proses Kopulasi
Kawin kopulasi atau proses transfer sperma, hanya terjadi pada kepiting bakau betina dan jantan yang telah dewasa kelamin. Kopulasi terjadi pada saat
karapaks kepiting bakau betina masih dalam keadaan lunak, atau sesaat setelah proses moulting berlangsung. Kasry 1996, menyatakan bahwa kopulasi kepiting
bakau pada umumnya terjadi pada saat suhu perairan naik. Proses ini diawali dengan peristiwa pengeluaran feromon ke dalam air oleh kepiting bakau betina
sehingga mengundang kehadiran kepiting bakau jantan pasangannya untuk mendekatinya kembali. Kepiting bakau jantan akan melindungi kepiting bakau
betina mulai proses moulting berlangsung hingga karapaks mengeras. Sesaat sebelum karapaks kepiting bakau betina mengeras, kepiting bakau jantan akan
membantu membalikan tubuh kepiting bakau betina yang masih berkulit lunak, hingga berada dalam posisi terlentang, yaitu perut dan alat kelaminnya saling
berhadapan. Pada saat itu, pleopod kepiting bakau jantan akan berfungsi sebagai alat kopulasi. Pleopod pertama dimasukan ke dalam bukaan kelamin
betina, sedangkan pleopod kedua berperan untuk memompa kumpulan kantong sperma spermathopore Hartnoll 1969.
Spermatophore yang ditransfer oleh kepiting bakau jantan akan disimpan di dalam wadah penyimpan sperma spermatheca, yang terdapat pada tubuh
kepiting bakau betina, sampai telur matang dan siap untuk dibuahi Mardjono et al. 1994. Spermatophore yang tersimpan dalam spermatheca masih tetap hidup
dan aktif selama beberapa bulan Warner 1977. Heasman dan Fielder 1983, menyatakan bahwa sekali kopulasi, spermatozoa yang terdapat dalam
spermatheca cukup untuk melakukan pembuahan dalam dua kali pemijahan atau lebih. Hal ini dikemukakan juga oleh Ong 1966, yang menyatakan bahwa
kepiting bakau betina bertelur yang ditangkap di laut dan dipelihara di laboratorium, dapat memijah tiga kali dalam lima bulan tanpa melakukan proses
moulting dan kopulasi lagi. Dikatakan pula bahwa proses kopulasi pertama kali dapat dilakukan oleh kepiting bakau dengan lebar karapaks antara 99.1-144.2
mm.
27
2 Proses Perkembangan Gonad
Menurut Warner 1977, dalam tubuh krustasea terdapat sistem syaraf khas yang sangat berbeda dengan organisme lainnya. Mata yang selain
menjalankan fungsi utamanya sebagai organ penglihatan, juga merupakan lokasi dari organ-organ penunjang reproduksi. Pada tangkai mata kepiting bakau
terdapat organ-X yang menghasilkan gonado inhibiting hormone GIH, yang berfungsi secara langsung untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen
pada jantan dan ovarium pada betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Gonado inhibiting hormone juga menghambat
aktifitas organ-Y sehingga bebas menghasilkan gonado stimulating hormone GSH, yang bekerja merangsang pembentukan spermatozoa pada jantan atau
ovum pada betina. Perkembangan ovarium diawali oleh proses vitelogenesis, yakni proses
pembentukan kuning telur yang ditandai dengan terjadinya deposisi vitelogenin ke dalam ovum. Vitelogenin disekresi ke dalam darah hemolimfa dan dibawa ke
ovum untuk disintesis menjadi kuning telur. Yano 1992, menyatakan bahwa vitelogenin adalah bahan baku atau prekursor protein kuning telur yang disintesis
untuk mematangkan sel telur oocyte. Kuning telur akan menjadi sumber nutrien selama perkembangan embrio Silversand et al. 1993. Sedangkan bahan baku
dari vetelogenin adalah vitelin, yang disintesis oleh jaringan ekstraovarium dan dilepaskan ke dalam hemolimfa sebagai respons terhadap vitellogenin
stimulating ovarian hormone VSOH. Vitelin pada krustasea adalah gabungan pigmen dengan lipoprotein yang
berwarna jingga, serta mengandung 48 lemak, 50 protein dan 2 karbohidrat Lee 1991. Konsentrasi lipovitelin akan terus meningkat menjadi komponen yang
lebih besar, seiring dengan perkembangan kematangan ovarium dan sel telur Lee Walker 1995. Dikatakan selanjutnya bahwa umumnya akumulasi
lipoprotein akan segera diikuti oleh akumulasi butiran minyak, yang pada krustasea akan nampak pada tingkat akhir vitelogenesis. Lipovitelin dan butiran
minyak berupa komponen kecil yang ditemukan pada sel telur yang belum berkembang, dan konsentrasinya akan terus meningkat menjadi komponen
besar pada sel telur matang Lee Walker 1995. Sedangkan menurut Lee dan Watson 1995, akumulasi lipoprotein akan diikuti oleh akumulasi butiran minyak.
28 Pada krustasea butiran-butiran minyak akan nampak pada tahap akhir
vitelogenesis. Butir-butir kuning telur disintesa dalam badan golgi dan retikulum
endoplasma, sedangkan hepatopankreas merupakan sumber dari butir-butir minyak, yang dalam proses pembentukannya dibantu oleh sel-sel folikel yang
berperan penting. Secara umum, hemolimfa juga memegang peranan penting dalam sintesa lipovitelin. Meusy dan Payen 1988, mengemukakan bahwa pada
awal vitelogenesis, terbentuk sebuah pembungkus folikel yang mengelilingi tiap oocyte. Selanjutnya terbentuk jaringan berbentuk pipa tubuler yang
menghubungkan semua ruang ekstraseluler. Jaringan ini memudahkan pengangkutan substansi dari hemolimfa ke oocyte. Jumlah jaringan tubuler
tersebut akan menurun pada akhir vitelogenesis. Perkembangan telur selama
Gambar 8 Diagram sel telur matang dan sel telur belum Walker 1995
proses vitelogenesis dapat dilihat pada Gambar 8.
berkembang menurut Lee dan John dan Sivadas 1978; 1979, mengklasifikasikan kematangan gonad
as empat tingkat yaitu belum matang, menjelang matang, atang dan salin Tabel 3. Sedangkan Castiglioni dan Fransozo 2006,
embagi tingkat kematangan gonad kepiting Uca rapax jantan atas lima tingkat aitu belum matang, belum sempurna, sedang berkembang, berkembang dan
alin Tabel 4. Tingkat kematangan gonad pada kepiting bakau Scylla serrata etina berbeda menurut umur dan ukuran tubuhnya Escritor 1970. Kepiting
akau yang dipelihara dalam kondisi laboratorium, untuk pertama kalinya matang onad setelah berumur sebelas bulan dengan rata-rata lebar karapaks
kepiting bakau betina at m
m y
s b
b G
29 114.2 mm Ong 1966. Menurut Fielder dan Heasman 1978, alat-alat reproduksi
i wilayah tropika sud kepiting d
ah matang pada umur kira-kira 18 bulan, sedan
Tabel 4 Karakter pe dan Franso
Telur-telur yang s spermatheca lalu d
tersimpan di sana, kemudian akan dikeluarkan d
untuk diinkubasikan. gkan di wilayah subtropika, kematangan baru akan dicapai pada umur kira-
kira 36 bulan. Tabel 3 Karakter perkembangan gonad kepiting bakau S. serrata betina menurut John
dan Sivadas 1978; 1979
TKO Klasifikasi
Struktur morfologis menurut John Sivadas 1978
Struktur histologis menurut John Sivadas 1979
I Belum
Matang Ovarium berbentuk sepasang
filamen yang mengarah ke punggung berwarna kuning
keputihan, seluruhnya ditutupi selaput peritonium tipis
Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas, sitoplasma nampak
berwarna agak lemah mengelilingi inti yang nampak padat, bundar dan
berwarna gelap.
II Menjelang
Matang Ukuran ovarium bertambah dan
meluas baik ke arah lateral maupun antero-posterior, hampir
memenuhi bagian punggung, warna menjadi kuning keemasan
Butir-butir kuning telur keci mulai muncul. Butir-butir kuning telur yang
lebih besar terlihat terdapat pada bagian tepi dibandingkan dengan
pada bagian pusat sel telur
III Matang
Ovarium penuh dengan sel-sel telur matang berwarna orange
Butir-butir kuning telur berwarna gelap terlihat pada seluruh
terang. Bila karapaks dibuka, ternyata seluruh dada hanya berisi
ovarium sitoplasma. Perbedaan yang paling
jelas pada fase ini adalah deposisi kuning telur secara total dalam sel
sitologikal kecuali membran dari sel telu
telur. Setiap butiran kuning telur membesar sehingga tidak ada tanda
r
IV Salin
Ovari jadi
Kondis pada
um menciut men sepasang filamen berwarna orange
pucat. Pada beberapa bagian filamen masih berisi masa telur
matang yang tidak dikeluarkan sewaktu pemijahan
i sel telur nampak seperti betina dengan ovarium yang belum
matang
rkembangan gonad kepiting Uca zo 2006
rapax jantan menurut Castiglioni
udah matang akan turun ke ibuahi oleh spermatozoa yang
an disusun pada rambut-rambut pleopod oviduct, kemudian melewati
TKO Klasifikasi Ciri
morfologis I
Belum Matang Testis tidak terlihat
II Belum
p sempurna
Testis mulai n berwarna trans
ampak berbentuk filamen. Tidak aran
III Sedan
g Testis nampak, b
g berkemban ergelung, berwarna buram
IV Berkembang
Testis berkem bergelung dan b
bang mencapai ukuran terbesar, erwarna putih
V Salin
Testis kembali Tidak berwarna transparan
berbentuk filamen, tipis dan lembut.
30
3 Proses Pemijahan
Telur-telur yang sudah matang akan dikeluarka ses pemijahan
melalui oviduc dah sper
a yang berada pada bagian sisi luar oviduct, sehingga akan t
atozoa yang tersimpan dala
perm emik
telah keluar dan menempel pada r elah terbuahi zigote.
etelah dikeluarkan, massa telur akan dikumpulkan dan dilekatkan pada rambut- an bantuan sejenis perekat berwarna coklat Kasry 1996.
4 Ink
ada telur kepiting pertama kali adalah
n dalam pro t melewati wa
ma spermathec erbuahi oleh sperm
m s atheca. Dengan d
ian maka secara otomatis massa telur yang ambut-rambut pleopod, adalah massa telur
yang yang t Setelah telur hampir mencapai tingkat kematangan sempurna, kepiting
bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut untuk memijah, dan jumlah telur yang dikeluarkan dapat mencapai 1-8 juta butir, tergantung pada ukuran induk.
S rambut pleopod, deng
Selanjutnya diinkubasikan pada rambut-rambut pleopod. Saat menempel pada rambut-rambut pleopod, umumnya telur telah mencapai stadium blastula, dengan
ukuran rata-rata 63 µm. Proses pemijahan yang meliputi pengeluaran sampai penyusunan massa telur pada rambut-rambut pleopod, berlangsung selama satu
sampai satu setengah jam, dan proses ini umumnya berlangsung pada bagian perairan yang terlindung dan bersubstrat lumpur atau pasir.
ubasi Telur dan Penetasan Telur
Perkembangan telur zigote yang dierami selama masa inkubasi, dapat teramati melalui perubahan warna massa zigote, dari oranye menjadi coklat
sampai kehitam-hitaman. Telur yang baru dikeluarkan berwarna oranye, karena masih mengadung kuning telur. Telur makin lama makin menghitam, seiring
dengan berkurangnya volume kuning telur dan berkembangnya embrio. Warna hitam yang nampak umumnya disebabkan oleh bagian mata embrio. Sastry
1983 dalam Hastuti 1998, menyatakan bahwa perkembangan embrio krustasea pada umumnya dimulai dari tahap blastulasi, gastrulasi, penampakan
pigmen, denyut jantung pertama kali, penampakan anggota badan dan ciri morfologis lainnya. Sedangkan menurut Warner 1977, p
Aratus pisori tahap perkembangan yang dapat terlihat terbentuknya mata dan bintik pigmen setelah outline embrio terlihat, yang disusul
oleh penampakan abdomen dan chepalothorax. Sementara Booltian et al. 1959
dalam Heasman 1980 membuat kriteria perkembangan embrio sebagai berikut
31 Tingkat I
Tingkat II Tingkat III
Tingkat IV Tingkat V
Tingakt VI Tingkat VII
Tingkat VIII
Menurut Hill et al. 1989, lama masa inkubasi kepiting Aratus pisori adalah 16 hari, pada kepiting biru Callinectes sapidus, proses ini berlangsung selama
7-14 hari. Sedangkan proses inkubasi kepiting bakau S.serrata, berlangsung antara 9-11 hari Heasman 1980.
2.2.5.4 Siklus Reproduksi
Menurut Estampador 1949, daur hidup kepiting bakau dapat dibagi atas tiga tahap yaitu tahap embrionik, tahap larva dan tahap pascalarva. Sedangkan
menurut Ong 1966 dan Motoh 1977, perkembangan Scylla serrata mulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa mengalami beberapa tingkat
perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut adalah zoea, megalopa, kepiting uda
baru menempel pada rambut zoea, ef Larva zoea I yang berenang bebas, g Larva
m dan kepiting dewasa. Telur akan menetas setelah 17 hari proses
pemijahan, dan embrio dapat tetap berkembang meskipun induknya telah mati Ong 1966. Perkembangan telur menjadi larva dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Perkembangan telur menjadi larva kepiting bakau Scylla serrata Menurut Arriola 1940. a Telur dalam fase blástula, b Zoea dalam telur yang
belum dierami, c Zoea dalam telur yang baru menetas, d Kapsul telur yang Tingkat IX
Tingkat X : Pembelahan tidak nyata
: Pembelahan nampak nyata : Mulai terbentuk area bebas yolk berukuran kecil
: Area bebas yolk semakin terlihat nyata. Pigmen mata belum
nampak : Pigmen mata nampak nyata
: Nampak jalur-jalur pigmen tubuh chromathophores. Mulai nampak denyut jantung
: Pigmen larva semakin nyata telihat. Denyut jantung sangat nyata
:Yolk semakin berkurang. Mulai terlihat getaran kaki. :Yolk hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali. Kaki
terlihat bergerak : Telur menetas. Muncul zoea tingkat I
32 Pada fase awal, setelah telur kepiting bakau menetas akan muncul larva tingkat I
zoea I, yang terus menerus berganti kulit. Zoea I kemudian terbawa arus ke erairan pantai, dan berkembang hingga mencapai tingkat zoea V. Tiap tingkat
oea dibedakan oleh penambahanperkembangan organ tubuh, baik organ enunjang kemampuan bergerak, maupun organ penunjang aktivitas makan
ardjono et al. 1994. Hal ini dikemukakan pula oleh Warner 1977, bahwa ada tiap pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang, yang ditandai oleh
g pada endopod maxilliped-nya. Dalam perkembangan dari tingkat zoea I ke tingkat zoea selanjutnya,
punggung
thetes dan dua seta p
z p
M p
penambahan seta renan akan terjadi satu kali pergantian kulit melalui proses perobekan pada bagian
tubuh. Proses tersebut membutuhkan waktu sekitr 18-20 hari Ong 1966 Warner 1977. Lavina dan Buling 1977, mendeskripsikan karakter
perkembangan larva sebagai berikut: Larva kepiting bakau bersifat planktonik. Pada tingkat zoea I, tidak berwarna transparan, dapat mencapai panjang
1.15 mm, duri-duri rostrum berukuran 0.35 mm, duri dorsal 0.48 mm dan duri lateral 0.19 mm. Mata menempel, antenne tidak bersegmen dan pendek.
Antennula berduri dan panjang, exopodite antenne berupa duri pendek, serta memiliki seta yang panjang; pada tingkat zoea II, panjang tubuh mencapai
1.51 mm, duri rostrum 0.39 mm, duri dorsal 0.54 mm dan duri lateral 0.2 mm. Mata bertangkai, memiliki antenna dengan empat aes
pendek yang berbeda ukuran, memiliki antenne seperti yang dimiliki oleh kepiting bakau tingkat zoea I, tetapi lebih besar ukurannya; pada tingkat zoea III, panjang
tubuh mencapai 1.93 mm, duri rostrum 0.52 mm duri dorsal 0.63 mm dan duri lateral 0.24 mm. Memiliki antenne seperti yang terdapat pada zoea tingkat II,
tetapi lebih besar ukurannya; pada tingkat zoea IV, panjang tubuh mencapai 2.40 mm, duri rostrum 0.72 mm, duri dorsal 0.86 mm, dan duri lateral 0.28 mm.
Antenne mempunyai aesthestes yang panjang dan dua seta serta subterminal; pada tingkat zoea V, panjang tubuh mencapai 3.43 mm, duri rostal 1.07 mm, duri
dorsal 1.31 mm, dan duri lateral 0.32 mm. Memiliki antenne dengan aesthetes dalam tiga tingkatan, seluruh periopod bertambah panjang dan mulai bersegmen.
Setelah melewati lima tingkat zoea dengan cara lima kali moulting, terbentuklah stadia megalopa Brick 1974.
33 Proses pergantian kulit pada tingkat tingkat megalopa sama seperti yang
terjadi pada tingkat zoea, yaitu melui proses perobekan pada bagian punggung cephalotorax dan abdomen Warner 1977. Perkembangan kepiting bakau
Scylla serrata pada tingkat larva hingga megalopa dapat dilihat pada Gambar 10.
zoea III, d Larva zoeaIVe, Larva zoea V, f megalopa bakau dewasa,
tetapi masih me ai tingkat
pascalarva. kepiting
bakau muda, memerlu kat juvenil
memerlukan kat dewasa dicapai
setelah me ase zoea.
1977.
.3 Habitat Kepiting Bakau
keberadaan piting bakau.
eng Gambar 10 Perkembangan kepiting bakau Scylla serrata pada tingkat larva dan
megalopa menurut Ong 1964 a Larva zoea I, b Larva zoea II, c Larva Pada tingkat megalopa, bentuk tubuh sudah mirip kepiting
miliki ekor yang panjang, sehingga sering dirujuk sebag Proses perkembangan dari tingkat megalopa ke tingkat
kan waktu 11-12 hari Moosa et al. 1985. Ting waktu kurang lebih 30-34 hari, sedangkan ting
ngalami moulting kurang lebih 20 kali sejak mulai dari f Kepiting bakau mulai dewasa pada ukuran panjang karapaks 42.0 mm. Lavina
2
Kualitas lingkungan adalah fakor penting yang dapat mempengaruhi dan pertumbuhan semua organisme termasuk ke
D an demikian maka di alam, kepiting bakau hanya akan menempati bagian-
bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan yang mampu ditolelir olehnya. Untuk mengetahui habitat alami kepiting bakau, maka perlu diketahui
toleransi kepiting bakau terhadap karakteristik kualitas lingkungan yang menjadi habitatnya.
34
2.3.1 Suhu
Menurut Queensland Department of Primary Industries 1989a, kepiting bakau dapat mentolelir perairan dengan kisaran suhu antara 12.0-35.0
°
C. Sedangkan menurut Baliao 1983, kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada
23.0-32.0
°
C. Menurut Hill 1982; Hill et al. 1989; Queensl
a perairan dengan kisaran suhu 28.8
°
C-36.0
°
C Wahyuni Sunaryo ngkan di perairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau dijumpai
pada
k memijah kepiting bakau mencari perair
urut Baliao 1983
perairan dengan kisaran suhu and Department of Primary Industries 1989a, suhu air dapat
mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20
°
C akan mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan berhenti
walaupun kepiting masih dapat tetap hidup.
Di perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau dijumpai pad
1981, seda kisaran 13-40
°
C Sulistiono et al. 1994. Toro 1987, menjumpai kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.5
°
C. Pada perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tanggerang, kepiting bakau bakau dijumpai pada
perairan dengan suhu rata-rata 28.8
°
C Wahyuni Ismail 1987, sedangkan pada perairan hutan mangrove Teluk Pelita jaya Seram Barat Maluku, kepiting
dijumpai pada perairan dengan suhu air berkisar antara 26.0-30.5
°
C. Brick 1974, menyatakan bahwa di Hawai, kepiting bakau betina
bermigrasi untuk memijah ke perairan dengan kisaran suhu air antara 24-28
°
C rata-rata 25
°
C, sedangkan di Thailand untu an dengan suhu rata-rata 29.0
°
C Varikul et al. 1970. Menurut Fielder dan Heasman 1978, perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan
pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai dewasa menjadi singkat.
Suhu perairan juga dapat mempengaruhi tingkat perkembangan larva kepiting bakau. Tingkat zoea V pertama kali dapat dicapai dalam waktu 15 hari
pada suhu air rata-rata 27.5
°
C Ong 1964; 14-15 hari pada suhu air rata-rata 22.5
°
C Brick 1974; 13-14 hari pada suhu air rata-rata 27
°
C Motoh 1977; dan 14-18 hari pada suhu air rta-rata 27.0
°
C Heasman 1980. Men 0, disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap
efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting
35 bakau. Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan
dengan kisaran suhu 23-32
°
C. 2.3.2 Salinitas
lebih kecil dari 0.5‰, perairan payau salinitas .5-30.0‰, perairan hypersaline salinitas 40-80‰ dan brine water salinitas
um kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup
Menurut Kinne 1964 dalam Sara 1994, salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ organisme perairan, melalui perubahan
tekanan osmotik, proporsi relatif bahan pelarut, koefisien absorsi dan kejenuhan kelarutan, kerapatan dan fiskositas, perubahan penyerapan sinar, pengantaran
suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Selanjutnya ditambahkan bahwa keanekaragaman
organisme dan jumlah spesies akan mencapai maksimum pada perairan- perairan samudera salinitas 30-40‰, dan kemudian berturut-turut menurun
pada perairan tawar salinitas lebih dari 80‰.
Tiap fase dari siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salintas yang berbeda Clark 1974. Hill et al. 1989, menyatakan bahwa salinitas
perairan berpengaruh terhadap tiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat ganti kulit. Walaupun demikian menurut Queensland Department of
Primary Industries 1989a, kisaran salinitas yang ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan, akan tetapi kepiting bakau pada tingkat
zoea sangat sensitif terhadap perairan bersalinitas rendah. Sebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan salinitas
15-20‰ dan kemudian beruaya ke perairan laut dalam untuk memijah Kasry 1996.
Secara um luas. Kasry 1996, melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada
kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15‰ sampai lebih besar dari 30‰. Di Queensland, kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50‰, walaupun
belum diketahui pengaruh nilai salinitas tersebut terhadap pertumbuhannya Queensland Department of Primary Industries 1989a. Hill 1978, melaporkan
bahwa Scylla serrta mampu mentolelir perairan dengan salinitas sampai 60‰. Wahyuni dan Ismail 1987, menjumpai kepiting bakau dewasa di perairan
mangrove Tanjung Pasir, Tanggerang pada kisaran salinitas 0-18‰. Wahyuni
36 dan Sunaryo 1981 menjumpai kepiting bakau dewasa pada perairan mangrove
Muara Dua Segara Anakan yang bersalinitas 2-34‰, sedangkan Retnowati 1991
lebar karapaks 15.0 cm dan 10.0-15.0 cm, dijumpai melim
di erairan sekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva kepiting bakau yang
banyak dijumpai di sekitar estuaria dan hutan mangrove ,menjumpai kepiting bakau pada perairan mangrove Muara Kamal dengan
kisaran salinitas 5-30‰. Sirait 1997 melalui penelitiannya pada hutan mangrove RPH Cibuaya
Karawang, melaporkan bahwa jenis Scylla oceanica berukuran antara 10.0-13.8 cm, menyukai perairan bersalinitas 18.4-27.8‰; jenis S. tranquebarica
berukuran antara 6.2-9.9 cm menyukai perairan bersalinitas 8.9-18.4‰, sedangkan jenis S. tranquebarica berukuran 10.0-13.8 cm, banyak dijumpai
pada perairan bersalinitas 18.4-27.8‰. Kepiting bakau jenis S. serrata berukuran antara 6.2-9.9 cm, menyukai perairan bersalinitas 8.9-18.3‰, sedangkan jenis S.
serrata berukuran 10.0-13.8 cm, menyukai sebagian besar wilayah perairan yang disyaratkan bagi kepiting bakau secara umum. Pada perairan hutan mangrove
Teluk Pelita Jaya Seram Barat Maluku Tengah, kepiting bakau jenis Scylla tranquebarica berukuran
pah pada perairan bersalinitas air dan salinitas substrat berturut-turut 26.7-31.5‰ dan 29.1-32.0‰. Sedangkan yang berukuran 10.0 cm, melimpah
pada perairan bersalinitas air dan substrat berturut-turut sebesar 26.5‰ dan 27.1‰. Selain itu ditemukan juga jenis Scylla serrata dan S. oceanica dengan
ukuran lebar karapaks 10.0 cm dan 10.0-15.0 cm, keduanya menyukai perairan bersalinitas air dan substrat berturut-turut sebesar 2.0-15.0‰ dan 2.7-16.3‰.
2.3.3 Kedalaman Air
Kedalaman air dipengaruhi salah satunya, oleh peristiwa pasang surut. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
kerkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan Ismail 1987, menjumpai kepiting bakau pada kedalaman
30.0-79.0 cm di perairan dekat hutan mangrove, dan 30.0-125.0 cm di muara sungai.
Hill 1978, menyatakan bahwa pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkan Pirrene 1978, menyatakan bahwa di
pulau-pulau Caroline bagian timur, kepiting bakau jenis S. serrata tertangkap p
berasal dari laut dan
37 karen
g membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada subst
i Laguna Talanca Cikaso Sukabumi, kepiting bakau dijumpai pada isaran pH 6.21-8.50. Selain itu, penelitian lain melaporkan bahwa kepiting bakau
perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur deng
a terbawa arus dan air pasang, akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Hutching dan Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting
bakau pada stadia juvenil first crab mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan, kemudian kembali ke zona subtidal pada saat air surut.
Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap zona intertidal, dan serin
rat lunak. Pagcatipunan 1972, menyatakan bahwa kepiting bakau sebelum moulting premoult, membenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalam
lubang, sampai karapaksnya mengeras. Dengan demikian kemungkinan besar untuk mendapatkan kepiting bakau yang memiliki karapaks yang lunak, adalah
dengan mencarinya pada bagian hutan mangrove yang bersubstrat dasar lumpur.
2.3.4 Derajat Keasaman
Perairan yang mempunyai substrat lumpur cendrung mempunyai pH asam. Sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung kalsium dalam
bentuk CaCO3, bersifat basa Clough et al. 1983. Dari hasil penelitian Sudiarta 1988, dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan
kepiting bakau yang dipelihara. Wahyuni dan Sunaryo 1981, menambahkan bahwa pada perairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting bakau dijumpai
pada kisaran pH 6.16-7.50,sedangkan di pertambakan Muara Kamal, kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 7.0-8.0 Retnowati 1991. Menurut Hutasoit
1991, d k
dapat hidup pada kondisi an pH rata-rata 6.16 Toro 1987; kisaran nilai pH 6.5-7.0 Walsh 1967; dan
pada perairan dengan pH rata-rata 6.5 Wahyuni Ismail 1987.
2.3.5 Fraksi Substrat
Fraksi substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas lumpur dan liat. Hal ini dimungkinkan karena partikel lumpur dan liat dapat mengendap cepat
akibat gerakan air di sekitarnya yang relatif tenang dan terlindung Clough et al. 1983. Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau,
terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter
38 1985, habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal dekat hutan
mangrove yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak bahan
organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat Robertson 1988.
upakan makanan alami kepiting bakau seperti yang dikem
2.4 P
i kemampuan untuk enangkap ikan. Oleh sebab itu, Pagcatipunan 1972; Hill 1976; Hutching dan
piting bakau dewasa merupakan pemakan u organisme yang bergerak lambat seperti bivalva, siput,
serta jenis kepiting kecil lainnya, kumang hermit crab, cacing, serta jenis-jenis gastr
Serasah dikenal mer ukakan oleh Moosa et al. 1985.
Substrat halus lumpur dan liat yang mengandung banyak serasah dan bahan organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama
organisme pemakan detritus dari kelompok gastropoda Ellobiidae Potamididae. Gastropoda diketahui merupakan salah satu makanan alami
kepiting bakau berdasarkan hasil penelitian Opnai 1986, yang menyatakan bahwa 89 isi lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska
lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan
faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau.
akan dan Tingkah Laku Makan 2.4.1 Jenis Pakan
2.4.1.1 Pakan alami Menurut Chen 1976 dan Lavina 1977, kepiting bakau mempunyai sifat
tidak memilih-milih pakan, dan dapat makan segala jenis makanan seperti isi perut dan daging ikan, isi perut hewan, siput, kulit kodok, daging kerang-
kerangan, sampah dapur, atau sisa-sisa makanan lainnya. Chen 1976, menyatakan bahwa kepiting pada fase megalopa bersifat karnivora, dan setelah
dewasa bersifat omnivorous scavenger. Dalam kondisi alami, kepiting bakau jarang sekali memakan ikan karena tidak mempunya
m Saenger 1987 menyatakan bahwa ke
organisme bentos ata opoda dan krustasea. Opnai 1986, menyatakan bahwa dari hasil
pemeriksaan isi lambung kepiting bakau di perairan hutan mangrove Purari dan
39 Aird Deltas Papua New Guinea, ternyata 89 berisi bivalva, gastropoda dan
moluska lainnya, serta 11 sisanya terdiri dari krustasea yang sulit diidentifikasikan. Sedangkan Gunarto et al. 1987 menyatakan bahwa 90 isi
lambung kepiting bakau terdiri dari jenis-jenis alga Spirogyra sp, dan Chara sp, larva insekta dan benih tiram.
Sulaeman dan Hanafi 1992 berdasarkan hasil penelitian terhadap kepiting bakau yang dipelihara dalam wadah pemeliharaan, menyatakan bahwa ransum
ikan rucah yang diberikan pada kepiting bakau akan langsung diterkam dengan capitnya dan kemudian dicabik-cabik. Pakan yang hancur tidak semua dapat
ditelan, sehingga sebagian pakan akan buyar di dalam air dan mengendap di dasar wadah. Hutching dan Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau
hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya pneumatophore. Sedangkan Hill 1978 menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove
sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Hal senada dikemukakan juga oleh
Sned
an untuk pertumbuhan jaringan dan organ; pemberian lemak ditujukan sebagai komponen utama dari kuning telur, dan berperan dalam metabolisme
an aktivitas ganti kulit; sedangkan pemberian karbohidrat aker dan Getter 1985 serta Moosa et al. 1985, bahwa kepiting bakau
merupakan organisme bentik, yang memakan serasah, dan berhabitat pada perairan intertidal dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Perairan
Segara Anakan Cilacap, yang banyak mengandung moluska dan tiram, merupakan habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau Toro 1979 Toro
1987.
2.4.1.2 Pakan buatan
Kepiting bakau merupakan organisme pemakan segala jenis makanan ominvorous. Di alam, terutama pada ekosistem mangrove, kepiting bakau
mudah menemukan pakan alaminya. Meskipun demikian, untuk tujuan pemeliharaan dan pembesaran, kepiting bakau biasanya juga diberikan pakan
buatan. Untuk tujuan pematangkan ovarium kepiting bakau, Salam et al. 1990 dalam Fattah 1998, memberikan hati sapi yang mengandung kolesterol tinggi.
Pada krustasea, pemberian protein yang mengandung asam amino esensial, diperluk
yang berhubungan deng
40 dibut
, menunjukkan bahwa pemberian ikan teri rebus dapat meng
nisme pemakan segala ngkai omnivorous-scavenger, pemakan sesama jenis cannibal, pemakan
u, bambu, dan benda-benda lain yang membusuk. uhkan sebagai sumber energi, yang juga berfungsi sebagai bahan baku
sintesa kitin. Millamena et al. 1986 dalam Fattah 1998, menyatakan bahwa untuk
formulasi pakan buatan kepiting bakau, digunakan daging cumi-cumi, daging kepala udang dan daging ikan. Rusdi 1993, melaporkan bahwa pemberian
kombinasi pakan ikan lemuru dan kerang laut dengan perbandingan 1:1, akan mempercepat laju pematangan gonad ovarium kepiting bakau, dibandingkan
dengan pemberian ikan rucah, cumi-cumi dan kerang, ikan lemuru serta kombinasi ikan lemuru dan cumi-cumi. Dilaporkan selanjutnya bahwa
penambahan tepung udang, tepung cumi-cumi atau kerang hijau dapat meningkatkan daya pikat pakan. Sedangkan hasil penelitian Bonga 1992 dalam
Fattah 1998 hasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dari pada pemberian usus ayam
dan ikan teri segar pada pakan buatan kepiting bakau.
2.4.2 Tingkah Laku Makan
Kasry 1996, menyatakan bahwa pada tingkat larva, kepiting bakau termasuk pemakan plankton. Queensland Department Of Primary Industries
1989b, menyatakan bahwa makanan larva kepiting bakau di alam terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, moluska dan cacing; pada tingkat
kepiting muda, jenis makanan alami kepiting bakau adalah ikan-ikan kecil, udang dan moluska, terutama kerang-kerangan; sedangkan pada tingkat dewasa,
kepiting bakau merupakan organisme pemakan bangkai scavenger. Arriola 1940, meyatakan bahwa kepiting bakau adalah orga
ba algae, sisa-sisa potongan kay
Menurut Kasry 1996, capit chela kepiting bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh, atau merobek-robek makanannya.
Sobekan-sobekan makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya. Waktu makan kepiting bakau tidak teratur, tetapi umumnya lebih
aktif di malam hari daripada di siang hari. Sehingga kepiting bakau tergolong sebagai hewan noktural, yang aktif di malam hari Queensland Departement of
Primary Industries, 1989
b
. Hal senada dikemukakan oleh Hill 1976 dan Rajinder et al. 1976, bahwa kepiting bakau aktif mencari makan pada malam
41 hari, terutama pada periode bulan gelap. Aktivitas mencari makan dilakukan lebih
dari satu kali dalam semalam. Hal ini terbukti dari frekwensi pengisian lambung kepiting bakau yang dapat berlangsung beberapa kali.
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2005 sampai dengan Agustus 2006, yang diawali dengan kegiatan survey lapangan, persiapan alat dan bahan
penelitian, serta penelitian pendahuluan uji coba pemeliharaan kepiting bakau di tambak maupun di laboratorium pada akhir tahun 2004. Penelitian aspek ekologi
kepiting bakau, dilaksanakan di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan Gambar 11, 12 dan 13, yang merupakan wilayah
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat, sebagai stasiun-stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian dibagi atas
substasiun penelitian menurut zona dengan karakter ekologis yang berbeda. Deskripsi karakter ekologis tiap stasiun dan substasiun penelitian dapat dilihat
pada Tabel 5. Eksplorasi struktur jaringan tangkai mata kepiting bakau dilaksanakan di
laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, sedangkan penelitian aspek biologi reproduksi kepiting bakau, dilaksanakan baik
di alam pada ketiga stasiun penelitin, dan secara terkontrol di tambak pada Desa Tanjung laut Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Jawa Barat, dan
dilanjutkan di Laboratarium Laut ITK-IPB Ancol Jakarta.
3.2 Bagian Penelitian
Penelitian ini dibagi atas dua bagian. Pada bagian I, dilakukan kajian tentang aspek ekologi kepiting bakau. Sedangkan pada bagian II, dilakukan
pengkajian tentang aspek biologi, terutama aspek reproduksi kepiting bakau. Uraian dari tiap bagian penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
43
Gambar 11 Peta wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Jawa Barat
Gambar 12 Peta wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Jawa Barat
44
Gambar 12 Peta wilayah perairan mangrove Desa Mayangan, Kecamatan Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Barat
Tabel 5 Deskripsi ekologis stasiun dan substasiun penelitian
Stasiun substasiun
Deskripsi ekologis Blanakan
Secara keseluruhan areal pertambakan pada stasiun ini masih berupa tambak tumpangsari, sehingga komunitas mangrove masih tarjaga kelestariannya.
Meskipun demikian, area tambak pada beberapa bagian dari zona depan hutan telah mengalami perubahan karena pengerukan dan penebangan mangrove.
Blanakan1 B1
Merupakan zona belakang yang berbatasan dengan wilayah darat, dan merupakan area pertambakan. Mendapat pengaruh aktifitas masyarakat sangat
kuat karena merupakan bagian dari daerah wisata. Terletak agak jauh dari aliran creek ± 1 800 m, yang merupakan aliran buangan irigasi. Kerapatan mangrove
relatif tinggi dan didominasi oleh jenis Avicennia marina. Bersubstrat dasar liat
berlumpur.
Blanakan 2 B2
Merupakan zona tengah dan areal pertambakan. Berjarak ± 1 665 m dari garis pantai dan ± 1 710 m dari tepi aliran
creek. Kerapatan mangrove tinggi dan didominasi oleh jenis
Avicennia marina. Bersubstrat dasar liat berlumpur.
Blanakan 3 B3
Merupakan zona depan yang barhadapan langsung dengan laut ± 22 m dari garis pantai. Berupa area pertambakan. Berjarak relatif jauh dari aliran
creek ± 1 485 m. Merupakan area yang sangat terbuka karena kerapatan mangrove
sangat rendah dan didominasi oleh jenis Rhizophora spp. Bersubstrat liat
berpasir.
Blanakan 4 B4
Merupakan zona belakang. Berbatasan langsung dengan wilayah darat dan berada di sekitar aliran
creek ± 6.7 m. Mendapat pengaruh aktifitas masyarakat yang sangat besar, karena berada tepat di belakang area wisata, dan menjadi
tempat pembuangan sampah pemukiman maupun area wisata. Kerapatan mangrove relatif rendah dan didominasi oleh jenis
Avicennia marina. Bersubstrat dasar lumpur liat
Blanakan 5 B5
Merupakan zona depan yang persis berhadapan dengan laut, berada pada muara
creek, dan bukan area pertambakan. Berjarak 13.5 m dari garis pantai dan 9 m dari tepi
creek. Memiliki kerapatan mangrove yang tinggi dan didominasi oleh jenis
Rhizophora spp. Bersubstrat dasar lumpur berpasir.
45 Tabel 5 lanjutan Deskripsi ekologis stasiun dan substasiun penelitian
Stasiun substasiun
Deskripsi ekologis Blanakan 6
B6 Merupakan zona yang berada di prairan laut. Berjarak ± 1 485 m dari garis
pantai dengan kedalaman diatas 2 m.
Tanjung laut Secara keseluruhan areal pertambakan pada stasiun ini telah berubah dari
tambak tumpangsari, sehingga kerapatan vegetasi mangrove rendah. Meskipun demikian area tambak pada zona depan dan zona tengah hutan masih memiliki
vegetasi mangrove relatif tinggi, dibandingkan area lainnya. Terdapat aliran sungai yang cukup lebar ± 30 m di sekitar stasiun ini.
Tanjung laut 1 T1
Merupakan zona tengah dan bukan area pertambakan. Terletak di sekitar sungai ± 8 m. Walaupun bukan zona pemukiman, tapi mendapat pengaruh aktifitas
masyarakat yang sangat kuat, karena berada di sekitar sungai yang merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal, serta berhadapan langsung dengan TPI.
Kerapatan mangrove relatif rendah dan didominasi oleh jenis
Rhizophora spp.. Bersubstrat lumpur liat.
Tanjung laut 2 T2
Merupakan zona depan dan bukan area pertambakan. Terletak ± 116 m dari muara sungai, ± 9 m dari garis pantai dan ± 36 m dari tepi aliran sungai.
Kerapatan mangrove relatif rendah dan didominasi oleh jenis Rhizophora spp.
Bersubstrat dasar lumpur berpasir.
Tanjung laut 3 T3
Merupakan zona tengah dan area pertambakan tipe tumpang sari. Berjarak 1 280 m dari tepi aliran sungai dan ± 800 m dari garis pantai. Merupakan area
yang tertutup dengan kerapatan mangrove yang relatif tinggi dibandingkan substasiun lain dari stasiun Tanjung laut, dan didominasi oleh jenis
Avicennia marina. Bersubstrat liat berlumpur.
Tanjung laut 4 T4
Merupakan zona depan dan bukan daerah pertambakan. Berjarak ±10 m dari garis pantai dan ± 1 160 m dari tepi aliran sungai. Kerapatan mangrove relatif
tinggi dan didominasi oleh jenis Rhizophora spp. Bersubstrat dasar lumpur
berpasir.
Tanjung laut 5 T5
Merupakan zona yang berada di laut. Berjarak ±1 280 m dari garis pantai dengan kedalaman diatas 2 m.
Mayangan Secara keseluruhan, areal pertambakan pada stasiun ini masih berupa tambak
tumpangsari, sehingga komunitas mangrove masih tarjaga kelestariannya. Akan tetapi, beberapa substasiun menempati area pemukiman penduduk sehingga
memiliki tingkat kerapatan mangrove yang relatif rendah. Di sekitar stasiun ini terdapat sebuah sungai besar lebar ± 10 m, yang mengaliri area pemukiman
dan sebuah sungai kecil lebar ± 4.5 m, yang mengaliri area pertambakan. Pada bagian pantai terdapat area wisata yang merupakan area terbuka karena
mengalami abrasi yang cukup hebat. Abrasi juga berdampak terhadap hilangnya komunitas mangrove di sekitar pantai sehingga kerapatan mangrove pada area
ini semakin menurun.
Mayangan 1 M1
Merupakan zona tengah dan area pertambakan. Berjarak ± 5 m dari aliran sungai kecil, yang mengaliri hutan mangrove dan ± 1 000 m dari garis pantai.
Memiliki kerapatan mangrove tinggi dan didominasi oleh jenis Avicennia marina.
Bersubstrat dasar liat berlumpur
Mayangan 2 M2
Merupakan zona depan yang berhadapan langsung dengan laut, bukan area pertambakan, dan terletak pada muara sungai 7.5 m dari garis pantai dan ± 5 m
dari tepi aliran sungai. Zona ini mengalami abrasi pantai, sehingga kerapatan mangrove menjadi rendah. Didominasi oleh jenis
Rhizophora spp. Bersubstrat pasir berlumpur.
Mayangan 3 M3
Merupakan zona tengah dan area pertambakan. Terletak pada pemukiman ± 20 m. Memiliki kerapatan mangrove yang sangat rendah dari jenis
Avicennia marina, sehingga merupakan area terbuka. Bersubstrat liat berlumpur.
Mayangan 4 M4
Merupakan zona tengah dan bukan area pertambakan. Terletak pada area pemukiman dan berada di sekitar aliran sungai ± 10 m. Sering dimanfaatkan
sebagai tempat pemancingan. Memiliki kerapatan mangrove yang relatif rendah. Bersubstrat dasar liat berlumpur.
Mayangan 5 M5
Merupakan zona yang berada di laut. Berjarak 1 000 m dari garis pantai dengan kedalaman diatas 5 m
46 Tabel 6 Urairan bagian-bagian penelitian
Bagian Judul Uraian
I Aspek ekologi
kepiting bakau
• Mengamati parameter fisika kimia lingkungan, yang meliputi; suhu, salinitas, pH air, fraksi substrat, kedalaman, kecerahan, DO, BOD,
serta COD. • menganalisa distribusi jenis dan kerapatan vegetasi mangrove.
• Menganalisa produksi serasah dan kelimpahan makrozoobentos. • Menganalisa kelimpahan kepiting bakau menurut total individu,
jenis, jenis kelamin, kelas ukuran, dan individu betina matang gonad.
• Mengkaji struktur populasi kepiting bakau yang meliputi: ukuran maksimum dan minimum, pola distribusi, pola pertumbuhan,
parameter pertumbuhan dan umur teoritis, serta laju mortalitas kepiting bakau.
• Mengkaji distribusi spasial dan temporal kepiting bakau, serta kaitannya dengan karakteristik habitat.
II Aspek Biologi
kepiting bakau
• Mendeterminasi struktur morfologis dan anatomis kepiting bakau secara umum.
• Mendeterminasi struktur morfologis dan anatomis kepiting bakau yang menjadi faktor pembeda dalam identifikasi jenis.
• Mengkaji performa reproduksi kepiting bakau yang meliputi: karakter jenis kelamin, karakter dewasa kelamin dan ukuran
dewasa kelamin, serta karakter perkembangan gonad, embrio dan larva.
• Mengkaji potensi reproduksi kepiting bakau yang meliputi: rasio kelamin, frekwensi pemijahan, pola rekruitmen dan hasil per
rekruitmen relatif kepiting bakau. • Mengeksplorasi struktur jaringan tangkai mata kepiting bakau, untuk
mengenal dan mengetahui lokasi sistem neurosecretory organ-X
dan sinus gland dengan menggunakan metode histokimia, sebagai
dasar penentuan posisi ablasi tangkai mata yang tepat. • Mengevaluasi efektivitas ablasi tangkai mata kepiting bakau, melalui
perbandingan perkembangan gonad, embrio dan larva dari induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai mata dan tanpa
perlakuan ablasi tangkai mata alami.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Parameter Biofisik dan Kimia Lingkungan