144 betina umumnya lebih panjang dari pada umur teoritis yang dapat dicapai oleh
kepiting bakau jantan.
4.1.6.5 Laju Mortalitas
Analisa laju mortalitas kepiting bakau dilakukan menurut analisa Estimasi Mortalitas dari FISAT, yang didasarkan pada data lebar kerapaks kepiting bakau
yang tertangkap. Laju mortalitas total Z dilukiskan sebagai nilai numerik dari kemiringan slope garis regresi antara logaritma persen Ndt terhadap umur
relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, atau dikenal dengan metode Kurva Hasil Tangkapan Lampiran 11.
Nilai-nilai laju mortalitas total, laju mortalitas alami, laju mortalitas penangkapan tersaji dalam Tabel 18.
Tabel 18 Nilai laju mortalitas kepiting bakau Scylla spp. pada stasiun penelitian
Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan
Dalam analisa ini kepiting bakau diklasifikasi menurut stasiun penelitian dimana kepiting bakau tersebut tertangkap, jenis, maupun jenis kelamin dari tiap
jenis, mengingat nilai parameter pertumbuhan ukuran lebar karapaks infinitif, L
∞
; kecepatan pertumbuhan, K; dan umur kepiting bakau ketika ukuran lebar
karapaks=0, t kepiting bakau antar stasiun penelitan relatif berbeda sehingga
tentu akan memberikan hasil analisa yang berbeda pula. Hasil analisa menunjukkan bahwa total laju kematian Z individu jantan
maupun betina dari kepiting bakau jenis S. paramamosain, S. olivacea,
S. serrata, dan S. tranquebarica, yang tertangkap pada stasiun penelitian
Jantan Betina Stasiun Jenis
Z M F Z M F S. paramamosain
3.57 2.69 0.89 3.46 2.57 0.89 S. olivacea
3.82 2.64 1.18 3.15 2.41 0.74 S. serrata
4.80 2.66 2.14 4.16 2.47 1.69 Blanakan
S. tranquebarica 2.83 2.68 0.15 2.75 2,53 0.22
S. paramamosain 3.07 2.97 0.10 2.94 2.74 0.20
S. olivacea 3.60 2.76 0.84 2.79 2.55 0.24
S. serrata 3.27 2.98 0.31 2.86 2.74 0.12
Tanjung Laut
S. tranquebarica 3.61 3.00 0.61 3.89 2.83 1.06
S. paramamosain 3.65 2.76 0.89 3.10 2.62 0.48
S. olivacea 3.21 2.64 0.58 3.34 2.46 0.88
S. serrata 3.02 2.84 0.18 3.03 2.55 0.48
Mayangan
S. tranquebarica 3.70 2.80 0.90 2.67 2.60 0.07
145 Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan berkisar antara 2.67-4.80tahun. Bila
dikaji menurut jenis kelamin per jenis kepiting bakau pada tiap stasiun penelitian maka terlihat bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, total laju mortalitas
individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 2.83-4.80tahun, sebaliknya total laju mortalitas individu betina dari keempat jenis berkisar antara
2.75-4.16tahun. Total laju mortalitas tertinggi dari kepiting bakau jantan maupun betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S. serrata. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, total laju mortalitas individu jantan dari keempat jenis kepiting
bakau berkisar antara 3.07-3.61tahun, sebaliknya total laju mortalitas individu betina dari keempat jenis berkisar antara 2.79-3.89tahun. total Laju mortalitas
tertinggi dari kepiting bakau jantan maupun betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis
S tranquebarica. Sementara pada stasiun penelitian Mayangan, total laju mortalitas individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara
3.02-3.70tahun, sebaliknya total laju mortalitas individu betina dari keempat jenis berkisar antara 2.67-3.34tahun. Total laju mortalitas tertinggi dari kepiting bakau
jantan pada stasiun ini dimiliki oleh jenis S. tranquebarica, sebaliknya laju
mortalitas tertinggi dari individu betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis S. olivacea.
Hasil analisa juga menunjukkan bahwa laju mortalitas alami kepiting bakau jantan dan betina dari jenis
S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata, dan S. tranquebarica, yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung
Laut, dan Mayangan berkisar antara 2.41-3.00tahun. Bila dikaji menurut jenis kelamin per jenis kepiting bakau pada tiap stasiun penelitian, maka terlihat
bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, laju mortalitas alami individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 2.64-2.69tahun, sebaliknya
laju mortalitas alami individu betina dari keempat jenis berkisar antara 2.41- 2.57tahun. Laju kematian alami tertinggi dari kepiting bakau jantan maupun
betina pada stasiun ini dimiliki oleh jenis S. paramamosain
Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, laju kematian alami individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 2.76-3.00tahun, sebaliknya
laju kematian alami individu betina dari keempat jenis berkisar antara 2.55-2.83tahun. Laju kematian alami tertinggi dari kepiting bakau jantan maupun
betina pada stasiun ini, dimiliki oleh jenis S. tranquebarica.
146 Pada stasiun penelitian Mayangan, laju kematian alami individu jantan dari
keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 2.64-2.84tahun, sebaliknya laju kematian alami individu betina dari keempat jenis berkisar antara
2.46-2.62tahun. Laju kematian alami tertinggi dari kepiting bakau jantan pada stasiun ini, dimiliki oleh jenis
S. serrata, sebaliknya laju kematian alami tertinggi dari kepiting bakau betina dimiliki oleh jenis
S. paramamosain. Hasil analisa menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan dari
kepiting bakau jantan maupun betina jenis S. paramamosain, S. olivacea,
S. serrata dan S. tranquebarica, yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan berkisar antara 0.07-2.14tahun. Bila
dikaji menurut jenis kelamin per jenis kepiting bakau pada tiap stasiun penelitian, maka terlihat bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, laju mortalitas
penangkapan individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 0.15-2.14tahun, sebaliknya laju mortalitas penangkapan individu betina dari
keempat jenis berkisar antara 0.22-1.69tahun. Laju mortalitas penangkapan tertinggi dari kepiting bakau jantan maupun betina pada stasiun ini dimiliki oleh
jenis S. serrata.
.
Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, laju mortalitas penangkapan individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 0.10-0.84tahun,
sebaliknya laju mortalitas penangkapan individu betina dari keempat jenis berkisar antara 0.12-1.06tahun. Laju mortalitas penangkapan tertinggi dari
kepiting bakau jantan pada stasiun ini dimiliki oleh jenis S. olivacea, sebaliknya
laju mortalitas penangkapan tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis S. tranquebarica.
Pada stasiun penelitian Mayangan, laju mortalitas penangkapan individu jantan dari keempat jenis kepiting bakau berkisar antara 0.18-0.90tahun,
sebaliknya laju mortalitas penangkapan individu betina dari keempat jenis berkisar antara 0.07-0.88tahun. Laju mortalitas penangkapan tertinggi dari
kepiting bakau jantan pada stasiun ini, dimiliki oleh jenis S. tranquebarica,
sebaliknya laju mortalitas penangkapan tertinggi dari individu betina dimiliki oleh jenis
S. olivacea. Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas ialah laju
kematian, yang dalam demografi didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam suatu satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya
147 laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami
pada kepiting bakau seperti halnya pada organisme lain, disebabkan karena kepiting bakau tidak tertangkap sehingga mati alami karena mencapai umur tua,
atau karena daya dukung lingkungan yang rendah, akibat fluktuasi parameter lingkungan secara ekstrim dan kelimpahan makanan alami yang rendah.
Hasil analisa laju mortalitas kepiting bakau jantan maupun betina dari jenis S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata, dan S. tranquebarica pada wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, menunjukkan bahwa secara umum laju mortalitas alami lebih besar, dibandingkan dengan laju
mortalitas penangkapan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Iskandar dan Sumiono 1990, pada perairan Bintan Timur Riau, bahwa nilai M=2.13tahun dan
F=0.98tahun, serta hasil penelitian Iskandar dan Badrudin 1991 pada perairan Bintan Selatan Riau, bahwa nilai M= 2.24tahun dan nilai F=0.80tahun.
Bila dikaji menurut wilayah maka hasil analisa menunjukkan bahwa laju mortalitas alami dari kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa
Tanjung Laut lebih tinggi, dibandingkan dengan laju kematian alami kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan. Hal ini
mungkin disebabkan karena kondisi parameter lingkungan yang berfluktuasi, serta rendahnya kelimpahan makanan alami kepiting bakau. Rendahnya
kelimpahan makanan alami diakibatkan karena perubahan ekosistem mangrove, akibat semakin rendahnya tingkat kerapatan vegetasi mangrove pada wilayah ini.
Perubahan parameter lingkungan dapat mengakibatkan mortalitas alami kepiting bakau, karena ketidakmampuan adaptasi terhadap perubahan tersebut,
atau karena pertarungan dalam persaingan memperebutkan wilayah kawin, makanan dan tempat berlindung. Paundanan 1990, menyatakan bahwa
mortalitas alami kepiting bakau, disebabkan oleh keadaan lingkungan kompleks, yang dipengaruhi langsung oleh kuantitas dan kualitas pasokan air laut, sehingga
menyebabkan fluktuasi parameter lingkungan perairan secara cepat dan drastis. Selain karena kondisi lingkungan, minimnya sumber makanan alami kepiting
bakau dapat memicu persaingan antar individu terhadap sumber makanan alaminya. Persaingan dilakukan melalui pertarungan sehingga dapat
mengakibatkan kematian atau bahkan kanibalisme, yang merupakan sifat dasar kepiting bakau. Bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian pada wilayah
lainnya di Indonesia, maka laju mortalitas alami kepiting bakau pada wilayah
148 perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan relatif lebih
tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui hasil penelitian Iskandar dan Sumiono 1990 pada perairan Bintan Timur Riau, yaitu M=2.13tahun; Iskandar dan Badrudin
1991 pada perairan Bintan Selatan Riau, yaitu nilai M= 2.24tahun; dan Paundanan
1990 pada
perairan Luwu
Sulawesi Selatan,
yaitu nilai M = 0.49tahun.
Hasil analisa menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan tertinggi dari kepiting bakau jenis
S. paramamosain, S. olivacea dan S. serrata terjadi pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan. Hal ini dapat
dilihat dari beragamnya alat tangkap dengan intensitas penangkapan yang tinggi pada kedua wilayah tersebut. Rendahnya aktifitas dan intensitas penangkapan
pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut memberikan gambaran bahwa masyarakat Desa Tanjung Laut telah menyadari adanya penurunan
populasi kepiting bakau. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat belum memahami bahwa penurunan populasi kepiting bakau pada
wilayah tersebut terjadi akibat degradasi ekosistem mangrove. Walaupun laju mortalitas alami maupun laju mortalitas penangkapan antar
jenis kepiting bakau pada ketiga wilayah perairan mangrove berbeda, namun secara umum total laju mortalitas kepiting bakau pada wilayah perairan
mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, lebih disebabkan karena mortalitas alami dan bukan karena mortalitas penangkapan.
4.1.7 Distribusi Spasial dan Distribusi Temporal Kepiting Bakau 4.1.7.1 Distribusi Spasial Jenis
Kajian distribusi spasial tiap jenis kepiting bakau dilakukan melalui Analisa Faktorial Koresponden
Coresspondence Analysis, CA terhadap jenis kepiting bakau menurut substasiun pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan
Mayangan. Hasil analisa CA pada stasiun Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan Lampiran 12 memperlihatkan bahwa informasi utama mengenai
distribusi spasial jenis kepiting terhadap substasiun-substasiun pada stasiun penelitian ini, terpusat pada dua sumbu utama F1 dan F2, dengan tingkat
penjelasan sebesar 97. Masing-masing sumbu memberikan penjelasan sebesar 90 dan 7. Diagram profil jenis kepiting bakau dan substasiun
149
Gambar 54 Diagram profil jenis kepiting bakau Scylla spp. dan substasiun penelitian
pada perpotongan sumbu faktorial F1 dan F2 penelitian pada perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 54 memperlihatkan
terbentuknya tiga kelompok asosiasi. Kelompok pertama, merupakan kelompok asosiasi antara substasiun B3,
B4, B5, B6, T2, T4, T5, M2, dan M5, dengan kepiting bakau jenis S. serrata yang
berkontribusi terhadap pembentukan sumbu F1 positif. Merujuk pada karakteristik habitat kepiting bakau menurut parameter biofisik dan kimia
lingkungan, maka kesembilan substasiun tersebut dicirikan oleh parameter: suhu dan oksigen terlarut yang tinggi B3 dan T4; suhu dan oksigen terlarut yang
rendah M2; salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan, fraksi substrat pasir yang tinggi serta fraksi substrat liat dan kerapatan
Rhizophora yang rendah B6, T5, dan M5; fraksi substrat liat dan kerapatan
Rhizophora yang tinggi, serta parameter salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan dan fraksi substrat pasir yang
rendah B4, dan fraksi substrat debu, kerapatan Avicennia dan Rhizophora,
serta produksi serasah dan kelimpahan makrozoobentos yang tinggi B5 dan T2. Kelompok kedua, merupakan kelompok asosiasi antara substasiun B1, B2,
T1, T3, dan M1 dengan kepiting bakau jenis S. tranquebarica, S, olivacea, dan
S. paramamosain, yang berkontribusi terhadap pembentukan sumbu F1 negatif. Merujuk pada karakteristik habitat kepiting bakau menurut parameter biofisik dan
kimia lingkungan, maka ketiga substasiun tersebut, dicirikan oleh parameter: fraksi substrat liat dan kerapatan
Rhizophora yang tinggi, serta parameter salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan dan fraksi substrat pasir yang rendah.
S. paramamosain S.olivacea
S. serrata S. tranquebarica
B1
B2 B3
B4 B5
B6 T1
T2 T3
T4 T5
M1 M2
M3
M4 M5
-0,3 -0,2
-0,1 0,1
0,2 0,3
0,4
-0,8 -0,6
-0,4 -0,2
0,2 0,4
0,6 0,8
-- axis 1 90 -- -- a
x is
2 7
- -
150 Kelompok ketiga, merupakan kelompok asosiasi antara substasiun T3 dengan
kepiting bakau jenis S. paramamosain yang berkontribusi terhadap pembentukan
sumbu F2 negatif. Merujuk pada karakteristik habitat kepiting bakau menurut parameter biofisik dan kimia lingkungan, substasiun tersebut, dicirikan oleh
parameter fraksi substrat liat dan kerapatan Rhizophora yang tinggi, serta
parameter salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan dan fraksi substrat pasir yang rendah.
Data hasil tangkapan kepiting bakau pada tiap zona dalam wilayah perairan magrove Desa Blanakan, Tanjung Laut maupun Mayangan
menunjukkan bahwa keempat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla paramamosain,
S. olivacea, S. serrata dan S. tranquebarica, dapat dijumpai pada ketiga wilayah maupun pada ke-16 zona dalam ketiga wilayah perairan mangrove tersebut. Hal
ini berarti keempat jenis kepiting bakau mempunyai kemampuan berdaptasi terhadap variasi parameter lingkungan, sehingga dapat berdistribusi pada semua
zona dalam ketiga wilayah perairan mangrove tersebut. Meskipun demikian tiap
jenis kepiting bakau akan memilih zona yang lebih disukainya, atau tiap jenis kepiting bakau miliki preferensi terhadap habitat tertentu, sehingga
mempengaruhi distribusi spasial jenis kepiting bakau tersebut. Hasil analisa faktorial koresponden c
orrespondence analysis, CA untuk mengkaji distribusi spasial jenis kepiting bakau pada tiap zona dalam wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, dn kaitannya dengan karakteristik habitat Gambar 55, 56 dan 57, menunjukkan
bahwa kepiting bakau jenis S. serrata memiliki kecendrungan distribusi spasial
yang berbeda dengan kepiting bakau jenis S. paramamosain, S. olivacea, dan S.
tranquebarica. Kepiting bakau jenis S. serrata cenderung berdistribusi sendiri sementara ketiga jenis kepiting bakau lainnya cendrung berdistribusi secara
bersama-sama. Terlihat bahwa jenis S. serrata memilki preferensi pada zona
depan hutan mangrove dan zona laut, yang dicirikan oleh parameter lingkungan suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan, fraksi substrat debu,
liat dan pasir, serta kerapatan Avicennia, kerapatan Rhizophora, produksi
serasah dan kelimpahan makrozoobentos yang tinggi, tetapi juga parameter suhu dan oksigen terlarut yang rendah. Meskipun demikian
S. serrata terlihat memiliki preferensi juga pada zona belakang hutan, yang dicirikan oleh
parameter lingkungan fraksi substrat liat, kerapatan Avicennia dan Rhizophora
151 yang tinggi, serta parameter lingkungan suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH air,
kedalaman, kecerahan dan fraksi substrat pasir yang rendah. Karena jenis S. serrata memiliki preferensi pada zona depan hutan, yang berhadapan
langsung dengan perairan laut, serta mampu hidup pada zona yang memiliki kondisi parameter fisik kimia lingkungan yang cenderung tinggi maupun rendah,
mengindikasikan bahwa jenis tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap fluktuasi parameter lingkungan perairan, dibandingkan dengan ketiga
jenis lainnya. Hal ini pula yang mungkin menyebabkan jenis S. serrata memiliki
tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi selama proses perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam penelitian ini. Sebaliknya kepiting bakau
jenis S. paramamosain, S. olivacea, dan S. tranquebarica memiliki preferensi
pada zona belakang dan tengah hutan mangrove, yang dicirikan oleh parameter lingkungan fraksi substrat liat, kerapatan
Avicennia dan Rhizophora yang tinggi maupun rendah, serta parameter suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, fraksi
substrat pasir dan fraksi substrat debu yang rendah. Perbedaan fisiologis ini mungkin berkaitan dengan perbedaan struktur morfologis dan anatomis tubuh
kepiting bakau antar jenis, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Gambar 55 Skema distribusi spasial jenis kepiting bakau Scylla spp. pada wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan
B5 B6
B3
B4 B1
B2
S. serrata 75 indha
S. serrata 75-150 indha
S. serrata 150 indha
S. paramamosain 75 indha
S. paramamosain 75-150indha
S. paramamosain 150 indha
S. olivacea 75 indha
S. olivacea 75-150 indha
S. olivacea 150 indha
S. tranquebarica 75 indha
S. tranquebarica 75-150 indha
S. tranquebarica 150 indha
sal= 34.00‰ pH=7.10
ked=2.45 m kec=0.63 m
pasir=87.00
Rhizophora =291 indha
Serasah=3.38 kgthn lliat=76.20
Rhizophora =163 indha
Avicennia =98 indha
Serasah=2.53 kgthn Mzoobentos=23 860 indm
2
lliat=54.20 sal=34.00‰
DO=7.83 Rhizophora
=297 indha Avicennia
=189 indha Serasah=5.34 kgthn
Mzoobentos=2 5000 indm
2
debu=62.00
Avicennia =114 indha
suhu=31.30˚C lliat=54.20
152
Gambar 56 Skema distribusi spasial jenis kepiting bakau Scylla spp. pada wilayah
perairan mangrove Desa Tanjung Laut
Gambar 57 Skema distribusi spasial jenis kepiting bakau Scylla spp. pada wilayah
perairan mangrove Desa Mayangan
T5
T2
T3 T1
T4
S. serrata 75 indha
S. serrata 75-150 indha
S. serrata 150 indha
S. paramamosain 75 indha
S. paramamosain 75-150indha
S. paramamosain 150 indha
S. olivacea 75 indha
S. olivacea 75-150 indha
S. olivacea 150 indha
S. tranquebarica 75 indha
S. tranquebarica 75-150 indha
S. tranquebarica 150 indha
sal= 31.00‰ pH=7.00
ked=4.70 m kec=0.60 m
pasir=74.00
DO=7,20 Rhizophora
=118 indha Avicennia
=129 indha Serasah=2,52 kgthn
Mzoobentos=9 590 indm
2
DO=8.10 Rhizophora
=163 indha Serasah=2.57 kgthn
Mzoobentos=1 7540 indm
2
suhu=29.70˚C debu=54.20
debu=53.00 Avicennia
=107 indha
S. serrata 75 indha
S .serrata 75-150 indha
S. serrata 150 indha
S. paramamosain 75 indha
S. paramamosain 75-150indha
S. paramamosain 150 indha
S. olivacea 75 indha
S. olivacea 75-150 indha
S. olivacea 150 indha
S. tranquebarica 75 indha
S. tranquebarica 75-150 indha
S. tranquebarica 150 indha
M5
M2
M1 M3
M4
sal= 31.50‰ pH=7.20
ked=4.50 m kec=0.70 m
pasir=91.30
liat=59,10 Rhizophora
=329 indha Avicennia
=127 indha Serasah=5.13 kgthn
Mzoobentos=2 7400 debu=34.20
suhu=30,10˚C lliat=85,60
Rhizophora =91 indha
Avicennia =215 indha
Serasah=2.71 kgthn Mzoobentos=2 0480 indm
2
153 Salah satu parameter lingkungan perairan yang terlihat sangat menonjol
mempengaruhi perbedaan preferensi kepiting bakau jenis S. serrata dengan
ketiga jenis kepiting bakau lainnya, adalah salinitas perairan. Keenan et al.
1998, berdasarkan hasil penelitiannya tentang distribusi kepiting bakau pada tingkat larva dan juvenil, menyatakan bahwa keempat jenis kepiting bakau
memiliki perbedaaan preferensi dan tingkat adaptasi terhadap salinitas perairan. Jenis
S. serrata dominan pada perairan dengan salinitas diatas 34 ppt, dan pada perairan mangrove dengan salinitas yang tinggi sepanjang tahun, sedangkan
ketiga jenis kepiting bakau lainnya melimpah pada perairan yang secara umum memiliki salinitas dibawah 33 ppt, serta mampu berkoloni pada habitat estuari
dengan periode salinitas musiman yang rendah. Dengan merujuk pada pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa preferensi kepiting bakau terhadap
habitat tertentu yang terbentuk pada usia muda akan terbawa terus sampai dewasa, atau meskipun dalam tahapan perkembangan selanjutnya, kepiting
bakau mampu berdistribusi secara spasial pada wilayah yang luas, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ketika kemampuan beradaptasi terhadap
variasi lingkungan perairan telah berkembang secara baik, namun preferensinya terhadap habitat tertentu, yang terbentuk ketika masa muda akan terus
dipertahankan.
4.1.7.2 Distribusi Spasial Jenis Kelamin Kepiting Bakau