Kelimpahan Makrozoobentos Karakteristik Hutan Mangrove .1 Luasan Hutan Mangrove

73 Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan, yang ditemukan baik di permukaan tanah atau di dalam mineral tanah. Serasah terdiri atas guguran cabang, batang utama, daun dan buah yang menumpuk pada permukaan tanah Spurr Barnes 1980. Menurut Waring dan Schlesinger 1985, kelihangan tahunan dari daun, bunga, buah, ranting dan serpihan kulit kayu, merupakan bagian utama dari guguran serasah pada ekosistem hutan mangrove. Serasah daun merupakan 70 dari total serasah di permukaan tanah. Hasil analisa produksi serasah menunjukkan bahwa, produksi serasah berbanding lurus dengan kerapatan vegetasi mangrove. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat kerapatan mangrove pada suatu wilayah, semakin tinggi pula nilai produksi serasah pada wilayah tersebut. Hasil analisa produksi serasah pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, secara umum menunjukkan bahwa zona hutan mangrove dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi, memiliki produksi serasah yang tinggi pula. Sebaliknya zona dengan kerapatan vegetasi yang rendah, dan zona tanpa vegetasi mangrove zona perairan laut, memiliki produksi serasah yang rendah pula. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya produksi serasah pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung laut, dibandingkan dengan produksi serasah pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan, akibat tingkat kerapatan mangrove yang lebih rendah.

4.1.2.4 Kelimpahan Makrozoobentos

Hasil kajian selama penelitian berlangsung menunjukan bahwa dijumpai 19 jenis makrozoobentos pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan. Jenis-jenis tersebut dikelompokkan atas empat kelas, yaitu: Gastropoda, Bivalvia, Pelecypoda dan Malacostraca. Hasil analisa persentasi kelimpahan makrozoobentos antar stasiun penelitian Gambar 19, secara umum menunjukkan bahwa kelimpahan organisme makrozoobentos tertinggi dijumpai pada stasiun penelitian Blanakan, sebesar 42.2, diikuti oleh stasiun penelitian Mayangan, sebesar 35.6 dan stasiun penelitian Tanjung Laut, sebesar 22.2. Hasil analisa persentasi kelimpahan makrozoobentos antar substasiun pada tiap stasiun penelitian Gambar 20, menunjukkan bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, nilai persentasi kelimpahan makrozoobentos tertinggi 74 dijumpai pada substasiun B5 sebesar 34.2, sebaliknya nilai terendah dijumpai pada substasiun B6 sebesar 0.6. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, nilai persentasi kelimpahan makrozoobentos tertinggi dijumpai pada substasiun T4 sebesar 10.1, sebaliknya nilai terendah dijumpai pada substasiun T5 sebesar 0.2. Pada stasiun penelitian Mayangan, nilai persentasi kelimpahan makrozoobentos tertinggi dijumpai pada substasiun M1 sebesar 15.8, sebaliknya nilai terendah dijumpai pada substasiun M5 sebesar 0.1. Gambar 19 Grafik distribusi persentasi kelimpahan makrozoobentos pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan Gambar 20 Grafik distribusi persentasi kelimpahan organisme makrozoobentos menurut substasiun penelitian pada stasiun penelitian Blanakan B1-B6; Tanjung Laut T1-T5; dan Mayangan M1-M5 Hasil analisa persentasi kelimpahan kelas makrozoobentos pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan Gambar 21, menunjukkan bahwa nilai persentasi kelimpahan makrozoobentos tertinggi sampai terendah secara berturut-turut dimiliki oleh kelas Gastropoda, Pelecypoda, Bivalvia dan Malacostraca. Hasil analisa persentasi kelimpahan kelas makrozoobentos antar stasiun penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun penelitian Blanakan, nilai persentasi kelimpahan kelas Gastropoda tertinggi dimiliki oleh jenis Nerita spp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Collostoma antonii; nilai persentasi kelimpahan kelas Pelecypoda tertinggi dimiliki oleh jenis Yoldia sapotilla, 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 Blanakan Tanjung Laut Mayangan Pe rs e n 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 B 1 B 2 B 3 B 4 B 5 B 6 T1 T2 T3 T4 T5 M 1 M 2 M 3 M 4 M 5 Pe rs e n 75 sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Tapes phillippinarum; nilai persentasi kelimpahan kelas Bivalvia tertinggi dimiliki oleh jenis Codacia sp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Crassostrea cuculata; sedangkan nilai persentasi kelimpahan kelas Malacostraca tertinggi dimiliki oleh jenis Paratepusa sp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Platyneries dumerilii Lampiran 3. Gambar 21 Grafik distribusi persentasi kelimpahan kelas makrozoobentos menurut substasiun penelitian Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, nilai persentasi kelimpahan kelas Gastropoda tertinggi dimiliki oleh jenis Nerita spp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Collostoma antonii; nilai persentasi kelimpahan kelas Pelecypoda tertinggi dimiliki oleh jenis Tapes phillippinarum, sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Yoldia sapotilla; nilai persentasi kelimpahan kelas Bivalvia tertinggi dimiliki oleh jenis Crassostrea cuculata, sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Codacia sp.; sedangkan nilai persentasi kelimpahan kelas Malacostraca tertinggi dimiliki oleh jenis Paratepusa sp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Platyneries dumerilii Lampiran 3. Pada stasiun penelitian Mayangan, nilai persentasi kelimpahan kelas Gastropoda tertinggi dimiliki oleh jenis Nerita spp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Cassidulla multiplicata; nilai persentasi kelimpahan kelas Pelecypoda tertinggi dimiliki oleh jenis Telinna probina, sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Tapes phillippinarum; nilai persentasi kelimpahan kelas Bivalvia tertinggi dimiliki oleh jenis Codacia sp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Crassostrea cuculata; sedangkan nilai persentasi kelimpahan kelas Malacostraca tertinggi dimiliki oleh jenis Paratepusa sp., sebaliknya nilai terendah dimiliki oleh jenis Platyneries dumerilii Lampiran 3. 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 Blanakan Tanjung Laut Mayangan P er sen Gastropoda Bivalvia Pelecypoda Malacostraca 76 Kepiting bakau merupakan hewan pemakan bangkai scavenger Queensland Department of Primary Industries 1989 a , bahkan pemakan segala bangkai omnivorous scavengers Arirola 1940. Kepiting bakau dewasa juga merupakan organisme pemakan bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalva, jenis kelomang hermit crab, cacing serta jenis-jenis gastropoda dan krustacea Hutching saenger 1987. Dengan demikian maka kehadiran kepiting bakau pada suatu wilayah perairan, turut dipengaruhi oleh distribusi dan kelimpahan makrozoobentos pada wilayah perairan tersebut. Hasil analisa kelimpahan makrozoobentos antar zona, dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi umumnya dijumpai pada zona dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang relatif tinggi, sebaliknya kelimpahan terendah dijumpai pada zona dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang rendah. Hal ini disebabkan karena beberapa jenis makrozoobentos sangat bergantung hidupnya pada bagian-bagian vegetasi mangrove. Littorina lineata hidup pada hampir semua zona di hutan mangrove, kecuali pada zona belakang hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat dan jauh dari laut. Menurut Isarankura 1976 dalam Rangan 1996, genus Littorina hidup di batang, cabang, akar, dan daun mangrove, merayap naik dan menggantung hanya dengan bantuan lendirnya yang kental, dijumpai pada sebagian besar vegetasi mangrove. Selain itu, beberapa jenis makrozoobentos hidup pada substrat lumpur, seperti jenis Telebralia sp. yang dijumpai pada hampir semua zona dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, yang bersubstrat liat berlumpur. Substrat seperti ini umumnya terbentuk pada suatu wilayah perairan yang merupakan habitat vegetasi mangrove. Secara umum, distribusi jenis-jenis makrozoobentos dalam suatu wilayah perairan mangrove, sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serasah. karena tingginya produksi serasah, diikuti oleh tingginya tingkat produktifitas perairan. Kesuburan perairan merupakan salah satu faktor pendukung distribusi dan kelimpahan makrozoobentos. Dengan demikian, kelimpahan distribusi makrozoobentos turut ditentukan oleh tingkat kerapatan vegetasi mangrove. Distribusi jenis organisme makrozoobentos, berbeda antar zona dalam wilayah perairan mangrove. Hynes 1972 dalam Nazar 2002, menyatakan 77 bahwa distribusi jenis dan ukuran populasi makrozoobentos di perairan, sangat ditentukan oleh kecepatan arus, temperatur, tipe substrat, kekeruhan, zat makanan, dan kompetisi antar spesies. Tingginya kelimpahan kelas Gastropoda pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, menunjukkan bahwa kelas Gastropoda memiliki sebaran yang sangat luas pada zona-zona dalam wilayah hutan mangrove. Hal ini mendukung penyataan Rangan 1996, bahwa distribusi Gastropoda pada hutan mangrove sangat luas, yakni menyebar pada daun, akar dan batang mangrove, serta pada substrat lumpur, liat maupun pasir di perairan hutan mangrove. Demikian pula dengan Wibowo 1997 dalam Nazar 2002, yang yang menyatakan bahwa kelas Gastropoda di Pulau Tirang Malang Segara Anakan, memiliki persentasi kelimpahan tertinggi, dibandingkan dengan kelas-kelas makrozoobentos lainnya. Jenis Nerita spp. mendominasi organisme makrozoobentos dari kelas Gastropoda pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, maupun Mayangan, yang mengindikasikan bahwa jenis tersebut memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap perbedaan parameter lingkungan. Sebaliknya jenis organisme makrozoobentos yang mendominasi kelas Pelecypoda, terlihat berbeda antar wilayah perairan mangrove. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan kondisi parameter biofisik dan kimia lingkungan. Jenis Codacia sp. mendominasi kelimpahan makrozoobentos dari kelas Bivalvia pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan. Sedangkan jenis Crassostrea cuculata mendominasi wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut. Kondisi ini mungkin berkaitan dengan distribusi jenis substrat dasar. Jenis Codacia sp. umumnya senang hidup pada substrat dasar berlumpur. Jenis substrat ini meyebar luas pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan dan Mayangan, karena dibentuk oleh sistem perakaran mangrove. Sedangkan pada wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, jenis substrat lumpur sulit dijumpai, akibat tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang rendah. Jenis Crassostrea cuculata mendominasi wilayah perairan mangrove Desa Tanjung Laut, karena umumnya tidak hidup membenamkan diri di dalam substrat, tetapi menempel pada akar vegetasi mangrove, khususnya dari genus Rhizophora. Jenis Paratepusa sp. mendominasi kelimpahan makrozoobentos dari kelas Malacostraca, pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut maupun Mayangan, yang mengindikasikan bahwa jenis ini memiliki tingkat 78 adaptasi dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi parameter lingkungan, antar zona maupun antar ketiga wilayah perairan mangrove tersebut. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kelimpahan dan distribusi makrozoobentos pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan, sangat terkait dengan produksi serasah dan jenis substrat dasar, yang dipengaruhi oleh tingkat kerapatan vegetasi mangrove.

4.1.2.5 Fraksi Substrat Dasar