Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa
self-assessment tool untuk membantu pengelola mengidentifikasi di bagian mana pengelola berhasil melakukan pengelolaan dan di mana pengelola perlu
mengarahkan atau memfokuskan untuk melakukan pengelolaan lebih lanjut. Dalam score card yang dikembangkan oleh Staub and Hatziolos ini kerangka
penilaiannya lebih detail per bagian elemen evaluasi, yang dikembangkan mengacu pada Hocking et al. 2000. Elemen atau kriteria evaluasi tersebut
meliputi konteks pengelolaan, design dan perencanaan, input terkait sumber daya untuk melakukan manajemen, proses pelaksanaan pengelolaan, output
yang dihasilkan dari program pengelolaan yang dilakukan, dan dampak dari pengelolaan yang dilakukan terhadap tujuan pengelolaan yang hendak dicapai.
Score card dalam penelitian ini juga dimodifikasi dengan score card yang dikembangkan oleh TNC White et al. 2009, yang membagi elemen pengelolaan
berdasarkan tingkat kawasan perlindungan laut KPL, yaitu saat KPL dimulai, saat KPL didirikan, saat KPL ditegakkan, KPL berkelanjutan, dan KPL
dilembagakan. Modifikasi yang digunakan dalam penelitian yang mengacu pada White el al. 2009 adalah uraian tentang dan status kawasan konservasi,
pengelolaan operasional kawasan konservasi, pengelolaan keuangan kawasan konservasi, penegakan aturan dan peraturan kawasan konservasi, dan kegiatan
pemantauan. Modifikasi ini dilakukan agar hasil penelitian dapat lebih menggambarkan kondisi sebenarnya dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan.
Manajemen yang efektif akan berdampak pada tujuan pengelolaan yang hendak dicapai, yaitu perbaikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat.
Keberhasilan pengelolaan pada aspek biofisik mencakup tujuan pengelolaan yaitu keberlanjutan SDI dan habitat terutama terumbu karang. Jika dilihat dari
kondisi biofisik, seperti yang disajikan pada Lampiran 8, terlihat hasil pengelolaan pada masing-masing zona yang dikelola. Persentase penutupan karang hidup di
zona inti meningkat pada tahun 2009 menjadi 54 dari tahun 2006 sebanyak 51. Penutupan karang hidup di zona perlindungan dan zona pemanfaatan juga
meningkat secara cukup signifikan. Kelimpahan achanthaster bintang mahkota berduri di zona inti dan zona
perlindungan berkurang cukup signifikan, sedangkan di zona pemanfaatan juga berkurang, namun kurang signifikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kondisi
terumbu karang di TNKJ mengalami pertumbuhan yang positif, karena kelimpahan achanthaster sebagai predator karang secara signifikan berkurang
jumlahnya, terutama di zona inti dan zona perlindungan.
Kondisi kelimpahan ikan, rekrutmen karang, dan biomassa ikan di zona inti, zona perlindungan, dan zona pemanfaatan pada umumnya tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Fluktuasi terjadi terhadap ketiga indikator biofisik tersebut, namun tidak terlalu besar jumlahnya.
Kelimpahan kima, baik di zona inti, zona perlindungan, maupun zona pemanfaatan, jumlahnya semakin menurun secara signifikan. Berdasarkan
kondisi tersebut dapat terlihat bahwa upaya pengelolaan terhadap kima masih belum menunjukkan hasil yang baik karena ketersediaan dan keberlanjutan kima
di ketiga zona tersebut sangat signifikan penurunannya sejak tahun 2006-2009. Hasil penilaian aspek sosial-ekonomi yang dihasilkan dari kajian penelitian
ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan umumnya telah memahami status perairan wilayahnya yang ditetapkan sebagai kawasan taman nasional laut, dan
telah menunjukkan sikap dan tindakan yang mendukung adanya kegiatan konservasi di beberapa titik perairan yang dilindungi. Masyarakat nelayan telah
menunjukkan indikasi memahami pentingnya untuk ikut serta menjaga lingkungan sebagai konsekuensi untuk menunjang keberlanjutan SDI, yang pada
akhirnya menunjang keberlanjutan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Penerimaan masyarakat nelayan terhadap TNKJ dan sistem zonasi yang
berlaku juga sudah terindikasi menuju ke arah yang lebih baik. Yang perlu diperhatikan saat ini adalah tinjauan dari sisi parameter pemerataan
kesejahteraan masyarakat nelayan, karena umumnya masyarakat nelayan ditengarai masih banyak yang belum dilibatkan sepenuhnya untuk secara aktif
ikut berperan serta dalam proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan TNKJ, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam perubahan zonasi.
Kecilnya peran serta masyarakat nelayan dalam proses pengambilan keputusan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan perairan membuat
warga menjadi kurang bersimpati terhadap kegiatan konservasi yang dilakukan. Penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran perairan yang tidak tuntas juga
seringkali memicu ketidaksenangan warga terhadap pihak pengelola, yang berakibat pada ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan pengelolaan yang
ada. Selain itu, kondisi zona yang dilindungi yang berada di wilayah perairan, kurang mendapatkan pengawasan dan sedikit sekali atau tanpa diberi fasilitas
penanda yang berupa objek sebagai tanda batas kawasan. Misalnya di zona inti fasilitas berupa pelampung tanda batas wilayah zona tersebut telah banyak yang
hilang, sehingga sangat rawan dimasuki oleh orang yang melakukan aktivitas
pemanfaatan sumber daya laut di lokasi tersebut. Pihak pengelola perlu segera memperbaiki dan menangani kondisi tersebut, karena dapat berakibat pada
penurunan kondisi sumberdaya di zona yang dilindungi akibat masuknya kegiatan masyarakat ke dalam zona tersebut. Pemasangan fasilitas berupa
tanda batas dan papan informasi tentang adanya perairan yang dilindungi, serta sosialisasi terhadap masyarakat merupakan contoh perbaikan yang diperlukan.
Pengawasan dan penegakan hukum di kawasan TNKJ menjadi hal yang kurang mendapat prioritas, hal ini diduga karena letak zona-zona yang dilindungi
berada jauh dari lokasi daratan tempat petugas berada, yang berada di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Bila dibandingkan dengan TN Kepulauan
Seribu TNKS yang sama-sama TNL kepulauan, dari sisi zonasi, maka TNKS jauh lebih adaptif sistem zonasinya, karena kegiatan pemanfaatan di zona
pemanfaatan TNKS tidak bersinggungan secara langsung dengan zona inti, sedangkan di TNKJ, kegiatan pemanfaatan kegiatan perikanan tangkap di zona
PPT bersinggungan secara langsung dengan zona inti dan zona yang dilindungi lainnya, sehingga risiko terjadinya pelanggaran masuk ke dalam zona yang lain
menjadi lebih tinggi. Hal ini jugalah yang mendasari pembuatan area tambahan seluas kurang lebih 500 meter pada zona-zona lain yang dilindungi dalam model
penggunaan perairan. Ketidakoptimalan pelaksanaan pengelolaan TNKJ bisa disebabkan oleh
beberapa hal, di antaranya adalah orientasi pengelolaan. Orientasi pengelolaan taman nasional laut TNL selama ini lebih banyak dititikberatkan pada
pengelolaan yang berbasis daratan manajemen terestrial, dimana aspek pemanfaatan di daerah konservasi perairan masih belum mendapat perhatian
yang sama dengan aspek konservasi. Kurangnya perhatian dalam pengelolaan di bidang perikanan dan kelautan yang memiliki dinamika dan ciri khas tertentu
merupakan contoh kurang diperhatikannya aspek pemanfaatan dalam kawasann konservasi perairan. Kasus di kawasan TNKJ misalnya terlihat dari pelaksanaan
pengelolaan dan pengawasan yang dilakukan terhadap hutan lindung maupun hutan mangrove yang ada di daratan Karimunjawa dan Kemujan. Berdasarkan
wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, nelayan, dan penduduk setempat, pengelolaan terhadap hutan lindung dan mangrove cukup baik, namun
tidak demikian dengan pengelolaan perairan dan sumber daya ikan SDI. Pengelolaan biota laut terlihat cenderung lebih difokuskan terhadap jenis biota
tertentu seperti penyu dan kima, meskipun pada beberapa lokasi di zona inti,
zona rehabilitasi, dan zona perlindungan, upaya konservasi dilakukan pula dengan menjaga tempat pemijahan dan pembesaran ikan-ikan karang yang
dilindungi, namun sejauh ini hasilnya masih dianggap kurang optimal untuk mendukung keberlanjutan SDI khususnya bagi kegiatan perikanan tangkap yang
merupakan mata pencaharian mayoritas masyarakat di Karimunjawa. Kasus yang sama juga terjadi di Taman Nasional Bunaken TNB, yang
diuraikan oleh NRM-EPIQ, bahwa kondisi ekosistem TNB terus menurun, di antaranya karena adanya beberapa ancaman utama terhadap terumbu karang
seperti pemanfaatan karang hidup, kerusakan akibat penyelam atau jangkar, pemboman, dan racun sianida; dan pengelolaan TNB yang kurang optimal.
Pengelolaan TNB yang tidak optimal di antaranya karena pengelolaan yang terpusat menyebabkan tumpang tindih kewenangan di lapangan Balai TNB,
instansi Pemda Provinsi Sulawesi Utara, kota, dan kabupaten; serta dana untuk program konservasi dari sumber APBN yang semakin lebih kecil. Strategi
mengoptimalkan pengelolaan TNB dilakukan dengan memperkuat peran multi- stakeholder dalam pengelolaan TNB melalui mekanisme co-management TNB;
dan memperkuat sistem pendanaan alternatif TNB, yaitu melalui desentralisasi pungutan masuk, dan mekanisme trust fund atau dana abadi Bunaken.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan TNB dan penerapan politik otonomi daerah, maka dibentuk Dewan Pengelolaan TNB DPTNB berdasarkan SK
Gubernur Sulut No. 233 Tahun 2000, yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota. Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan masuk
dalam anggota DPTNB, sehingga semua aspirasi bisa tertampung dan bisa dikoordinasikan satu sama lain. Fungsi DPTNB adalah sebagai wadah
koordinasi yang bersifat konsultatif, penggalangan dana, dan pusat informasi dan koordinasi program-program yang berhubungan dengan TNB. Pengelolaan
TNKJ saat ini belum mampu menciptakan koordinasi dan membentuk kelembagaan daerah seperti di TNB. Pengelolaan TNKJ masih dikelola penuh
oleh BTNKJ dengan peran serta yang masih minim dari stakeholder lain, meskipun daerah memiliki wewenang untuk pengelolaan wilayah dan DKP untuk
pengelolaan perikanan tangkap. Kurang optimalnya pengelolaan kawasan konservasi laut yang berbentuk
taman nasional atau yang lainnya menurut Wiryawan dan Dermawan 2006, disebabkan oleh: 1 orientasi pengelolaan kawasan konservasi laut lebih fokus
pada manajemen teresterial manajemen berbasis daratan; 2 pengelolaan
bersifat sentralistik terpusat dan belum melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat; 3 tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan
kepentingan para pihak; dan 4 banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi laut.
Pengelolaan TNL lebih bersifat sentralistik dan belum banyak melibatkan peran pemerintah daerah maupun DKP serta masyarakat setempat. Meskipun
sejak PP No. 602007 disahkan, telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan dari sentralistik menjadi desentralistik, namun pada kenyataannnya masih dinilai
belum optimal implementasinya. Dalam pengelolaan taman nasional laut di era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang
lebih besar untuk mengelola SDI di wilayahnya. Kewenangan ini meliputi hak dalam memanfaatkan, konservasi dan pengelolaan SDI, kewenangan
pengaturan administrasi, pengaturan tata ruang dan zonasi, dan kewenangan menegakkan hukum Dirjen KP3K 2008. Namun dalam realitasnya, karena
taman nasional masih dikelola berdasarkan UU No. 51990, maka kewenangan pengelola berada di pihak Kementerian Kehutanan yang dalam hal ini berada di
Balai Taman Nasional BTN. Hal ini menyebabkan peran pemerintah daerah menjadi sangat kecil karena bila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan UU
No. 51990, maka kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan di taman nasional yang bersangkutan. Demikian pula dengan peran dan gerak DKP baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten dalam pengelolaan perikanan tangkap di kawasan taman nasional masih sangat terbatas, sehingga sering kali justru cenderung
menghambat perkembangan usaha perikanan yang ada. Sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya dalam pandangan
pemerintah menurut Wiryawan dan Dermawan 2006 sangat penting untuk dikelola. Pengelolaan perlu dilakukan karena sebagai sumber daya alam yang
terkandung di dalam bumi Indonesia menurut Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dikuasai oleh negara dan untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik sumber daya alam
hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan demikian, penggunaan
sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan sangat bermanfaat bagi rakyat banyak bila secara ekonomis, politis,
sosiologis dan kultural menguntungkan.
Paradigma perencanaan pembangunan taman nasional laut di era otonomi daerah sekarang, seperti yang dikemukakan oleh Madjowa 2007 dalam kasus
Taman Nasional Bunaken TNB, harus mampu menyesuaikan pendekatan dan substansinya dengan dinamisnya aspirasi yang berkembang di tingkat
masyarakat. Perencanaan yang serba sentralistik sudah saatnya ditinggalkan dan digantikan dengan paradigma perencanaan partisipatif dan aspiratif, yang di
mulai dari kabupaten dan kota. Pemahaman terhadap pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi di
bidang konservasi menurut Nitibaskara 2005, hendaknya diwujudkan dengan bukan hanya memahami dari segi kewenangan authority saja, melainkan
mencakup pula pengaturan tanggung jawab responsibility, tanggung gugat accountability dan risiko risks, serta hal tersebut harus dapat mencerminkan
perwujudan kebersamaan antar pengelola, yaitu baik antara balai taman nasional, DKP dan Pemda, maupun antara Pemda dengan pemerintah pusat dan
masyarakat setempat. Peran serta dan pemberdayaan masyarakat nelayan dalam menjaga dan melakukan pengelolaan terhadap SDI dan lingkungan,
sebagaimana dikemukakan oleh Ferse et al. 2010, merupakan kunci utama bagi keberhasilan kegiatan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan
TNKJ ke depan. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan
berbasis pengembangan wilayah dibanding dengan pendekatan sektoral, serta mendorong lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam
pembangunan. Dengan otonomi daerah, wilayah yang kurang berkembang dan wilayah yang komunitasnya sangat menggantungkan hidupnya pada kegiatan
perikanan akan mendapat keleluasaan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas dalam mengelola sumber daya perikanannya dengan memperhatikan
aspek-aspek kelestarian Fauzi 2005. Menurut UU 322004, daerah yang memiliki wilayah laut diberi wewenang untuk mengelola sumber daya laut
desentralisasi Pasal 18 ayat 1. Kewenangan tersebut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut Pasal 18 ayat 3a,
pengaturan administrasi Pasal 18 ayat 3b, pengaturan tata ruang Pasal 18 ayat 3c, dan penegakan hukum Pasal 18 ayat 3d.
Meskipun muncul kekhawatiran adanya orientasi dari pemerintah daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah PAD sebesar-besarnya yang dapat
mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap SDI, akan tetapi sikap ini
diharapkan tidak akan semakin memperparah penurunan kondisi SDI dan lingkungan. Karenanya koordinasi antar instansi dengan pemda akan sangat
penting untuk menjaga keberlanjutan SDI dan lingkungan. Hal ini perlu diupayakan karena pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal,
sebagaimana dikemukakan oleh Ritchie and Ellis 2010, memandang penting terlaksananya keterpaduan antar sektoral, antar spasial atau keruangan, dan
antar pelaku atau stakeholders. Terjadinya tumpang tindih pemanfaatan ruang perairan dan benturan
kepentingan di antara berbagai pihak khususnya yang menyangkut pemanfaatan TNL dan potensinya, juga merupakan penyebab kurang optimalnya pengelolaan
yang dilakukan. Taman nasional laut memiliki berbagai potensi pengembangan, baik dari sisi perikanan maupun wisata. Selama ini kesadaran masyarakat akan
peran taman nasional sebagai daerah tujuan wisata bahari telah diimbangi dengan adanya pembagian perairan yang digunakan untuk kegiatan wisata
bahari. Sebagian nelayan juga ada yang ikut menikmati manfaat adanya kegiatan wisata, seperti menyewakan perahu untuk berkeliling antar pulau
maupun untuk memancing. Selama ini konflik kegiatan perikanan dengan kegiatan wisata hampir sudah jarang terjadi atau tidak ada, keduanya sudah
saling mendukung. Sedangkan dari sisi SDI, potensi perikanan Karimunjawa nyatanya belum dikelola secara optimal, dan masih bisa ditingkatkan jika dikelola
dengan koordinasi yang lebih baik antar stakeholders terkait. Hasil valuasi ekonomi terhadap kegiatan perikanan tangkap di TNKJ,
menunjukkan bahwa TNKJ memberikan manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan sebesar Rp. 30,5 M Tabel 11. Manfaat ekonomi diperoleh dengan
perhitungan perkiraan besarnya ikan hasil tangkapan rata-rata nelayan selama setahun. Jika dilihat dari pendapatan bersih, maka kontribusi terbesar adalah
dari alat tangkap pancing tonda yaitu sebedar 55 juta rupiah muroami tidak diperhitungkan dalam hal ini karena dilarang dipergunakan di Karimunjawa, dan
merupakan alat tangkap yang dibawa oleh nelayan-nelayan dari Kepulauan Seribu. Kontribusi terendah berasal dari bubu. Jika rata-rata nelayan memiliki
10 unit bubu, maka pendapatan bersih per tahunnya mencapai 40 juta rupiah. Jadi kontribusi pendapatan bersih per unit alat tangkap akan memberikan
manfaat yang lebih tinggi bila jumlah unit alat tangkap yang ada juga banyak. Sasaran produksi perikanan tangkap, khususnya perikanan karang TNKJ
harus dilakukan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB yang lebih
konservatif, karena SDI karang juga dapat menjadi objek wisata yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Jika dikelola dengan baik, maka
nilainya bisa lebih besar dari kegiatan penangkapan ikan karang yang dilakukan. Manfaat tidak langsung dari kegiatan wisata berupa biaya perjalanan
wisatawan ke TNKJ dan kesediaan untuk membayar willing to payWTP karcis masuk TNKJ. Dari hasil perhitungan komponen biaya perjalanan wisatawan ke
TNKJ seperti yang disajikan pada Tabel 12, diketahui biaya rata-rata untuk berkunjung ke TNKJ adalah Rp. 1,4 juta. Jika jumlah wisatawan yang
berkunjung ke TNKJ pada tahun 2009 sebanyak 8.156 orang, maka nilai manfaat dari biaya berkunjung adalah sebesar Rp. 11.241 juta. Sedangkan nilai manfaat
dari WTP karcis masuk ke TNKJ Tabel 13, diperoleh rata-rata Rp. 4.844,00orang. Jika jumlah wisatawan pada tahun 2009 sebanyak 8.156 orang,
maka nilai manfaat dari WTP karcis adalah sebanyak Rp. 39,5 juta. Berdasarkan dua nilai manfaat dari kegiatan wisata tersebut, maka nilai manfaat total dari
kegiatan wisata di TNKJ selama tahun 2009 adalah sebesar Rp. 11.281 juta. Kegiatan pariwisata di TNKJ juga belum didukung dengan infrastruktur
yang memadai. Sarana perhubungan laut masih terbatas, sehingga arus wisatawan ke TNKJ menjadi terhambat. Selama ini perjalanan menuju TNKJ
hanya dapat dilakukan dengan kapal melalui Jepara kapal ferry dan Semarang kapal cepat, serta melalui jalur udara sistem carter. Namun sering kali jika
cuaca kurang baik gelombang tinggi, hanya kapal ferry dari Jepara yang beroperasi. Sistem transportasi yang masih terbatas merupakan kendala dalam
pengembangan pariwisata di TNKJ, disamping prasarana lain seperti listrik dan ketersediaan air bersih. Jika dikelola dengan baik, kegiatan wisata bahari di
TNKJ dapat menjadi sektor andalan yang diharapkan mampu membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Berkembangnya kegiatan wisata
juga diharapkan dapat menekan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap SDI dan laut, yang merupakan sumber mata pencaharian bagi mayoritas
masyarakat Karimunjawa yang bekerja sebagai nelayan. Berdasarkan hasil WTP karcis seperti yang disajikan pada Tabel 13,
terlihat bahwa kisaran wisatawan yang bersedia atau mau membayar kancis masuk ke dalam kawasan TNKJ pada nilai karcis Rp. 2.500 dan Rp. 5.000 sama-
sama sebesar 41. Hal ini menunjukkan kesediaan untuk membayar lebih mahal terhadap karcis masuk pengunjung masih rendah. Kondisi ini diduga
karena kesadaran masyarakat atau pengunjung untuk ikut serta dalam menjaga
lingkungan dan kawasan konservasi masih rendah. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat atau pengunjung
terhadap pihak pengelola kawasan konservasi. Pengunjung kurang percaya terhadap pengelolaan pendapatan dari karcis masuk, apakah untuk kegiatan
konservasi atau tidak. Nilai manfaat ekonomi ekosistem TNKJ sebesar US 1.250.038 atau 11 M
rupiah Tabel 14. Jika dilihat dari nilai ekonomi masing-masing ekosistem, maka mangrove memberikan nilai ekonomi terbesar, disusul oleh terumbu karang. Ini
menunjukkan bahwa produktivitas kedua ekosistem tersebut sangat tinggi, namun dalam perhitungan manfaat ekonominya dilihat juga dari luasan wilayah,
dimana kontribusi terbesar berasal dari terumbu karang sebesar US 506.230 atau sekitar 40 atau Rp. 4,6 M, disusul oleh hutan tropis dataran rendah
sebesar 31 dan mangrove sebesar 26. Karenanya pengelolaan terhadap terumbu karang dan mangrove perlu dilakukan lebih intensif agar dapat
mendukung keberlanjutan SDI, yang pada akhirnya bagi keberlangsungan usaha penangkapan ikan di TNKJ.
Berdasarkan hasil valuasi ekonomi, maka manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap lebih dominan dibanding dengan manfaat dari kegiatan wisata
Gambar 10. Hal ini diduga karena komunitas masyarakat nelayan lebih banyak mayoritas penduduk yang bekerja sebagai nelayan kurang lebih 55 dari total
penduduk, luasan zona PPT yang mencapai 93 104 ha dari luasan total TNKJ 112 ha, dan perairan yang masih produktif sehingga hasil tangkapannya
masih menguntungkan. Namun perlu juga dicatat bahwa perhitungan nilai manfaat dari kegiatan wisata berdasarkan teknik willing to pay WTP dan biaya
perjalanan wisata harus dicermati karena sangat rentan terhadap bias, baik bias rancang bangun maupun bias jawaban, sehingga harus disikapi dengan hati-hati.
Besaran keinginan membayar WTP dan biaya perjalanan wisata memang belum sepenuhnya mencerminkan persepsi yang utuh terhadap nilai ekonomi
karena mungkin timbulnya bias. Namun paling tidak hal tersebut dapat memberikan gambaran bagaimana kesediaan para wisatawan untuk membayar
dan ikut serta dalam proses pengelolaan TNKJ. Jika dibandingkan dengan perhitungan manfaat langsung dari sektor
perikanan di Taman Nasional Kepulauan Seribu TNKS, maka nilai manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap di TNKJ lebih besar dibanding dari
kegiatan perikanan di TNKS US 647.591 atau Rp. 5.828.319.000 atau Rp. 6
M. Nilai ekonomi sekitar kawasan konservasi laut menurut Fauzi et al. 2007 sangat relatif dan bervariasi, karena berbagai faktor yang menyebabkannya, di
antaranya letak demografis, karakteristik sumber daya yang dimiliki biodiversity, aksesibilitas, dan density atau kepadatan penduduk yang berada di sekitarnya.
Dari sisi aksesibilitas, TNKS jauh lebih mudah diakses dibandingkan dengan TNKJ, karena transportasi laut di TNKJ masih terbatas.
Jika dilihat dari sistem zonasi yang berlaku, maka TNKJ telah menerapkan sistem zonasi yang mengakomodasikan berbagai kegiatan perlindungan dan
pemanfaatan yang ada di dalam kawasan TNKJ dalam masing-masing zona, mulai dari zona inti, zona rehabilitasi, zona perlindungan, zona pemukiman, zona
pemanfaatan pariwisata, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional Tabel 1. Sedangkan TNKS berdasarkan Kepmenhut No. 6310Kpts-
II2002, membagi kawasan TNKS seluas 107.489 ha menjadi empat zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan wisata, dan zona pemukiman.
Nilai total kawasan TNKJ diperoleh dengan menjumlah nilai dari manfaat kegiatan perikanan tangkap, kegiatan wisata, dan keberadaan habitat, yaitu
sebesar Rp. 53.051 juta atau Rp. 53 M. Nilai ini dapat juga diartikan sebagai nilai korbanan opportunity cost Fauzi et al. 2007 jika ekosistem TNKJ mengalami
kerusakan. Kerugian ekonomi minimum yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah sebesar nilai ekonomi tersebut. Besaran nilai tersebut tentu saja masih
mungkin ”undervalue” jika kita menghitung nilai lainnya. Konsep nilai ekonomi sumber daya menurut Fauzi 2003 sangat
bervariasi, dimana nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari hal tersebut. Value
atau nilai bisa diartikan sebagai importance atau desirability. Dalam konsep ekonomi, menilai diartikan sebagai melakukan valuasi yang berhubungan dengan
perubahan kesejahteraan masyarakat. Jadi nilai ekonomi pelayanan SDAL economic value of ecosystem services dapat diartikan sebagai menilai
kontribusi SDAL terhadap kesejahteraan masyarakat human welfare. Nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang
dihasilkan oleh SDA dan lingkungan menurut Anna 2007 bisa saja berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Konsep nilai dari sisi ekonomi akan
berhubungan dengan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, nilai ekonomi dari SDA dan lingkungan merupakan jasa dan fungsi dari SDA dan lingkungan
yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia, dimana
kesejahteraan ini diukur berdasarkan setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri. Perhitungan nilai manfaat ekonomi TNKJ berarti nilai ekonomi
SDA dan lingkungan perairan TNKJ yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalam TNKJ. Dalam kajian ini lebih
difokuskan pada nilai ekonomi SDI dan lingkungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan di TNKJ.
Fungsi laut menurut Sulistyo 2004 sebagai sumber daya yang dapat dikonversi sebagai nilai ekonomi, maka aktivitas manusia dalam kaitannya
dengan kepentingan pemanfaatan sumber daya laut memperlihatkan adanya kecenderungan tanpa memperhatikan fungsi laut lainnya. Tanpa pengaturan
yang tegas dalam pemanfaatan laut, akan berdampak pada konflik pemanfaatan ruang beserta sumber daya ikan di laut.
Valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan SDA yang terkandung di TNKJ juga memiliki peran penting dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan
pengembangan TNKJ ke depan. Kuantifikasi manfaat benefit dan kerugian cost harus dilakukan agar proses pengelolaan dan pengambilan keputusan
dapat berjalan dengan tetap memperhatikan aspek keadilan fairness. Pelanggaran-pelanggaran yang masih terjadi di dalam kawasan TNKJ, seperti
penggunaan alat tangkap muroami, perdagangan ilegal biota laut yang dilindungi seperti penyu dan telurnya, serta masuknya nelayan-nelayan dari luar Kepulauan
Karimunjawa dengan menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem seperti muroami dan cantrang, merupakan akibat dari penegakan hukum dan
pengawasan perairan TNKJ yang belum optimal. Upaya untuk meningkatkan peran kelautan dan perikanan untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Dirjen KP3K 2008, tantangan dan kendala tersebut di antaranya kemiskinan masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan
peraturan perundangan, konflik penggunaan ruang perairan, kerusakan SDI dan lingkungannya akibat kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali, serta lemahnya
kapasitas kelembagaan dan SDM kelautan dan perikanan, terutama dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti TNL merupakan masalah yang sangat
krusial. Hal ini menyebabkan inefisiensi pengelolaan SDI, akibat tidak efektifnya program-program kegiatan yang dilakukan. Program dan kegiatan tersebut
umumnya cenderung bersifat sektoral, padahal permasalahan yang ada bersifat
multi-sektoral. Karenanya, dalam pengelolaan TNL dibutuhkan mekanisme integrasi program dan kegiatan yang mampu memadukan dan mensinergikan
berbagai program dan inisiatif pemangku kepentingan agar pencapaian sasaran pembangunan menjadi semakin baik. Konsep ini merupakan paradigma
keterpaduan, sebuah alternatif pengganti paradigma pembangunan di masa lalu yang sangat bersifat sektoral. Penerapan konsep-konsep pembangunan
keterpaduan ini menuntut penerapan TNL yang profesional, yang mampu mengakomodasikan kepentingan pemanfaatan khususnya kegiatan perikanan
tangkap dengan kepentingan konservasi, di mana keduanya dapat berjalan secara beriringan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan kawasan konservasi menurut Nitibaskara 2005 merupakan bagian integral dalam pembangunan nasional yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap aspek lingkungan. Aspek lingkungan yang tercakup baik yang berskala lokal, daerah, nasional, dan internasional memuat hal-hal berikut:
1 Mengelola SDA dan memelihara daya dukungnya, agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
2 Meningkatkan dan memanfaatkan potensi SDA dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaannya
dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. 3 Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan SDA secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga.
4 Mendayagunakan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang.
5 Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan untuk pelestarian kemampuan, keterbaharuan dalam pengelolaan SDA yang dapat
diperbaharui, untuk mencegah keusakan yang tidak dapat balik. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, menurut Nitibaskara 2005,
pada dasarnya merupakan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati di habitat alam dengan tetap memelihara, melestarikan, dan melindungi
kuantitas dan kualitas keragaman sumber daya hayati berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatan secara bijaksana, serasi, dan
seimbang, sehingga mampu untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Kebijakan kawasan konservasi tersebut merupakan penerapan lebih lanjut dari prinsip-prinsip konservasi yang mencakup perlindungan terhadap sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi menurut Nitibaskara 2005
dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu: 1 re-orientasi; 2 re- fungsionalisasi; dan 3 re-vitalisasi. Re-orientasi dilakukan dimana kegiatan
pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan konservasi. Upaya ini akan berhasil apabila mampu membuktikan besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan kawasan
konservasi, serta kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, terhadap upaya peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat.
Re-fungsionalisasi dilakukan dengan kegiatan pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi, yang dilaksanakan dengan memanfaatkan
fungsi zona-zona tertentu dari sebagian kawasan konservasi untuk memberikan akses masuk bagi masyarakat dalam berperan atau berpartisipasi interaksi
dalam pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati, serta kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Re-vitalisasi dimana
kegiatan pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai metode dan teknik pelaksanaan kegiatan teknis
pengelolaan kawasan konservasi di lapangan, sehingga mampu meningkatkan kemampuan SDM secara profesional.