Sistem perikanan tangkap Pengelolaan Perikanan Tangkap di TNKJ .1 Sumberdaya ikan unggulan

Gambar 14 Hubungan hasil tangkapan dan CPUE terhadap effort ikan karang di perairan Karimunjawa. Gambar 14 menunjukkan besarnya potensi ikan karang di Karimunjawa sebesar 149 ton, dengan jumlah upaya penangkapan effort optimal sebanyak 7.154 unit. Tingkat produksi dan tingkat effort perikanan karang selama tahun 2005-2009 sudah berada di kisaran jumlah MSY. Perkembangan produksi dan effort ikan karang secara aktual mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan waktu. Tingkat pemanfaatan ikan karang pada tahun 2005-2007 telah melebihi jumlah effort optimal, yang diduga terjadi karena adanya peningkatan effort dalam penangkapan ikan karang. Peningkatan ini lebih disebabkan adanya eksploitasi yang besar-besaran terhadap ikan jenis karang tertentu, yaitu ekor kuning. Kegiatan perikanan ekor kuning dengan alat tangkap muroami, yang secara ilegal dilakukan di dalam TNKJ diduga merupakan penyebab peningkatan jumlah produksi dan effort selama tahun 2005-2007. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan effort atau input akan berpeluang menguras SDI karang yang semakin terbatas dan jika tidak diperhatikan dalam jangka panjang dapat menimbulkan biological overfishing. Produksi maksimum pada tingkat MEY perikanan karang di Karimunjawa sebesar 140 ton, sebagaimana disajikan pada Gambar 15, tercapai sebelum tingkat produksi maksimum lestari MSY yaitu sebanyak 149 ton. Jumlah upaya penangkapan optimal pada kondisi MEY adalah sebanyak 5.435 unit, di mana nilai tersebut masih berada di bawah jumlah upaya penangkapan optimal yang diperlukan untuk menghasilkan produksi ikan sebesar maksimum lestari, yaitu sebanyak 7.154 unit. Artinya setiap upaya penangkapan yang berada pada tingkat MEY lebih efisien dibanding upaya penangkapan pada tingkat MSY, sehingga rente atau keuntungan ekonomi pada kondisi MEY lebih besar dibandingkan rente pada kondisi MSY. Gambar 15 Keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan ikan karang di Kepulauan Karimunjawa. Jumlah effort aktual perikanan karang sebanyak 3.159 unit dan produksi sebanyak 115 ton Gambar 15. Kondisi aktual perikanan di Karimunjawa masih lebih rendah dari kondisi pengelolaan MEY 140 ton, 5.435 unit dan MSY 149 ton, 7.154 unit. Kondisi ini menunjukkan perikanan karang di Karimunjawa belum terjadi kelebihan tangkapan over hasvested. Peningkatan upaya penangkapan akan meningkatkan produksi, yang akan diikuti penerimaan usaha hingga pada kondisi MSY, dengan penerimaan usaha tertinggi terjadi pada kondisi MSY. Peningkatan effort di sisi lain juga akan diiringi dengan peningkatan biaya penangkapan, sehingga efisiensi ekonomi tercapai pada saat kondisi MEY. Bila terus dilakukan penambahan upaya penangkapan, maka akan mencapai kondisi open access dan terus hingga mencapai titik nol. Kondisi open access perikanan karang akan tercapai saat jumlah upaya penangkapan mencapai jumlah 10.870 unit dengan produksi sebanyak 109 ton per tahun. Kondisi open access sudah tidak memberikan keuntungan lagi bagi nelayan. Jika terus dilakukan penambahan upaya penangkapan, maka produksi akan terus menurun dan nelayan tidak akan memperoleh keuntungan atau akan mengalami kerugian. Perhitungan potensi SDI pelagis dilakukan dengan menggunakan data perikanan pelagis di pantai utara pantura Jawa Tengah, karena keterbatasan data untuk perhitungan potensi perikanan pelagis di Karimunjawa. Perhitungan potensi dengan data pantura Jawa Tengah diharapkan dapat lebih menggambarkan kondisi perikanan pelagis, karena sifat dari ikan pelagis yang bersifat aktif melakukan migrasi dan penyebarannya luas. Dengan mengambil data pantura Jawa Tengah, diharapkan dapat lebih menggambarkan kondisi perikanan pelagis yang sesungguhnya. Gambar 16 menunjukkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan pantai utara Jawa Tengah masih berada di bawah nilai MSY, namun jumlah effort yang ada jumlahnya telah melebihi jumlah optimum, kecuali tahun 2005. Tren hasil tangkapan per upaya penangkapan perikanan pelagis terlihat menurun, sehingga jika terus dilakukan penambahan jumlah alat tangkap akan mengakibatkan penurunan produksi. Gambar 16 Hubungan hasil tangkapan dan CPUE dengan upaya penangkapan ikan pelagis di perairan pantura Jawa Tengah. Pada tahun 2006 dan 2007 Gambar 16, tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan pantai utara Jawa Tengah telah melebihi nilai MSY, meskipun kemudian turun kembali pada tahun 2008. Hal ini diduga disebabkan karena adanya penurunan produksi akibat nelayan mengurangi aktivitas penangkapan karena berkurangnya stok ikan dan peningkatan harga BBM. Gambar 17 menunjukkan kondisi aktual pemanfaatan ikan pelagis telah melebihi kondisi MSY, yang berarti perikanan pelagis telah mengalami biological overfishing meskipun secara ekonomi usaha masih menguntungkan. Kondisi aktual perikanan pelagis dengan produksi 16.263 ton dan effort sebanyak 1.400 unit. Jika terus dilakukan penambahan armada, maka akan mengalami overfishing, baik secara biologi maupun secara ekonomi. Gambar 17 Keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan ikan pelagis di perairan utara Jawa Tengah. Produksi pada saat MSY sebesar 19.079 ton dengan effort 1.145 unit. Produksi pada kondisi MEY sebesar 17.361 ton dengan effort 801 unit. Kondisi open access akan dicapai pada saat produksi mencapai 16.028 ton dengan effort sebanyak 1.603 unit. Jika dilihat dari perkembangan CPUE antara pantura Jawa Tengah dan Karimunjawa yang disajikan pada Lampiran 11, maka perbandingan CPUE Karimunjawa dengan CPUE pantura Jawa Tengah hanya sebesar 2. Kondisi ini menunjukkan bahwa perikanan pelagis di Kepulauan Karimunjawa tidak cukup berpengaruh terhadap perikanan pelagis di pantura Jawa Tengah. 2 Subsistem usaha penangkapan ikan Analisis subsistem usaha penangkapan ikan meliputi tiga kegiatan, yaitu: 1 pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna, 2 kelayakan usaha dari kegiatan perikanan tangkap, dan 3 optimalisasi jumlah alat tangkap. 1 Pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna Pemilihan teknologi penangkapan ikan TPI tepat guna dilakukan berdasarkan empat kriteria atau aspek, yaitu biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Hasil analisis multi-kriteria terhadap jenis alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap ikan karang dan ikan pelagis di perairan Kepulauan Karimunjawa disajikan pada Lampiran 12. Penilaian gabungan keempat aspek tersebut disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Penilaian gabungan pemilihan teknologi penangkapan tepat guna Alat Tangkap Aspek Rata- rata Prioritas Biologi Teknis Sosial Ekonomi Perikanan Karang Pancing Ulur 0,63 0,75 0,79 0,77 0,71 1 Bubu 0,69 0,30 0,50 0,78 0,57 2 Perikanan Pelagis Pancing Tonda 0,72 0,71 0,74 0,61 0,70 1 Bagan Perahu 0,42 0,41 0,50 0,53 0,47 3 Gillnet 0,40 0,56 0,51 0,59 0,52 2 Pancing ulur terpilih sebagai teknologi penangkapan ikan tepat guna untuk memanfaatkan SDI karang, dan pancing tonda untuk memanfaatkan SDI pelagis di Kepulauan Karimunjawa Tabel 18. Pancing ulur untuk penangkapan ikan karang lebih unggul dibanding bubu jika dilihat dari aspek teknis dan sosial, sedangkan bubu lebih unggul dari aspek biologi dan ekonomi. Pancing tonda terpilih sebagai TPI tepat guna untuk perikanan pelagis, dimana nilainya lebih unggul dalam semua aspek dibandingkan dengan alat tangkap yang lain, yaitu bagan perahu dan gillnet. Bagan perahu mendapatkan nilai terendah sebagai TPI untuk perikanan pelagis, meskipun ikan teri sebagai target tangkapan utama bagan perahu menduduki ikan unggulan pertama untuk perikanan pelagis. Kondisi tersebut memerlukan strategi dalam pengelolaan dan pengembangan bagan perahu ke depan, sehingga dapat menjaga kelestarian SDI. 2 Kelayakan usaha kegiatan perikanan tangkap Kelayakan usaha dari kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa dihitung berdasarkan kondisi aktual, dimana biaya dan penerimaan dari masing-masing alat tangkap dihitung berdasarkan nilai rata-ratanya. Tingkat discount rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga investasi Bank Indonesia yaitu sebesar 9,6. Hasil analisis kelayakan usaha disajikan pada Tabel 19. Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa secara finansial usaha perikanan tangkap di Karimunjawa masih layak untuk terus diusahakan, dan masih menguntungkan untuk berinvestasi. Namun pengusahaan jenis-jenis alat tangkap tersebut harus disesuaikan dengan potensi SDI, peraturan perundangan yang berlaku, dan sesuai prinsip konservasi karena Karimunjawa merupakan wilayah TNL. Perhitungan kelayakan usaha dari kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa secara lengkap disajikan pada Lampiran 13. Tabel 19 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Karimunjawa Jenis AT Kriteria Keuntungan x Rp. 1 juta RC PP tahun NPV x Rp. 1 juta Net BC IRR Standar TC 1 1 1 9,6 Perikanan Karang P. Ulur 55,14 1,39 0,91 161,19 4,22 107,85 Bubu 70,01 1,42 0,50 233,33 7,71 200,91 Perikanan Pelagis P. Tonda 55,14 1,39 0,91 161,19 4,22 107,85 B. Perahu 40,29 1,25 0,89 118,29 4,29 109,77 Gillnet 21,42 1,14 2,71 24,02 1,41 24,74 Jika dilihat dari keuntungan usaha penangkapan ikan yang dilakukan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 19, maka usaha perikanan karang dan perikanan pelagis masih menguntungkan, karena penerimaan yang diperoleh masih lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Hasil analisis perbandingan penerimaan dan biaya RC menunjukkan semua alat tangkap masih menguntungkan karena semuanya bernilai lebih dari 1. Periode pengembalian investasi dari semua alat tangkap hampir semuanya kurang dari satu tahun, kecuali gillnet, yang berarti usaha penangkapan di Karimunjawa masih menguntungkan untuk dilakukan, karena pengembalian modal investasi dapat lebih cepat dilakukan. Hasil perhitungan NPV semua alat tangkap lebih besar dari nol, yang berarti usaha penangkapan yang dilakukan menghasilkan tingkat keuntungan sehingga layak untuk diteruskan. Tingkat keuntungan terbesar NPV diperoleh alat tangkap bubu, kemudian disusul oleh pancing tonda dan ulur, dan bagan perahu. Tingkat keuntungan NPV yang paling kecil adalah gillnet. Perhitungan nilai IRR menunjukkan semua alat tangkap masih layak dan masih menguntungkan untuk berinvestasi, karena semuanya masih berada di atas tingkat suku bunga investasi Bank Indonesia. Nilai IRR tertinggi adalah bubu sebesar 201, disusul bagan perahu 110 dan pancing 108, dan terendah gillnet sebesar 25. 3 Optimalisasi jumlah alat tangkap Optimalisasi jumlah alat tangkap di Karimunjawa dilakukan dengan teknik linear goal programming LGP dengan software LINDO linear interactive discrete optimizer. Hasil optimalisasi jumlah alat tangkap di Karimunjawa disajikan pada Tabel 20. Hasil perhitungan jumlah alat tangkap optimal dengan teknik LGP disajikan pada Lampiran 14. Tabel 20 Nilai optimal jumlah alat tangkap unit di Karimunjawa No. Alat Tangkap Jumlah Rencana Aktual Optimal Penambahan Pengurangan Perikanan Karang 1. Pancing Ulur 336 336 2. Bubu 135 21 - 114 Perikanan Pelagis 4. Pancing Tonda 336 336 5. Bagan perahu 115 115 6 Gillnet 168 168 Hasil analisis LGP menunjukkan jumlah alat tangkap optimal untuk memanfaatkan SDI karang di TNKJ adalah pancing ulur sebanyak 336 unit dan bubu sebanyak 21 unit, dan untuk SDI pelagis dengan alat tangkap pancing tonda sebanyak 336 unit, gillnet sebanyak 168 unit, dan bagan perahu 115 unit, sehingga diperlukan pengaturan jumlah alat tangkap bubu di kawasan TNKJ. Pengaturan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu operasi atau pengaturan waktu penangkapan. Penangkapan ikan dengan bubu selama ini hampir dilakukan sepanjang tahun, kecuali ketika cuaca buruk gelombang besar. Umumnya nelayan bubu hanya memiliki satu jenis alat tangkap, namun memiliki pekerjaaan sampingan di darat seperti bertani, berdagang atau menjual jasa. Hanya sedikit nelayan bubu yang memiliki alat tangkap lain, seperti halnya nelayan tonda dan bagan perahu yang memiliki alat tangkap lain. Umumnya nelayan Karimunjawa semuanya merupakan nelayan pancing ulur, dengan memiliki alat tangkap lain yang digunakan ketika musim ikan tertentu, sehingga kegiatan penangkapan ikan tidak terpaku pada alat tangkap tertentu. Kondisi kegiatan penangkapan ikan dengan berbagai macam alat tangkap di Karimunjawa selama 12 bulan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Matriks penggunaan alat tangkap di Karimunjawa Jenis AT Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 P. Tonda T U U U U U U T T T T T Bagan Perahu U U U BP BP BP BP BP BP BP U U Gillnet T G G G U U U T T T T T Bubu BU B B B B B B B B B BU BU Keterangan: U = pancing ulur Penggunaan alat tangkap seperti yang tersaji pada Tabel 21, menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di Karimunjawa pada dasarnya telah melakukan pengaturan penggunaan alat tangkap sesuai jenis musim ikan. Kondisi ini menunjukkan masyarakat nelayan telah sadar akan adanya keterbatasan kondisi SDI dan musim, sehingga melakukan penyesuaian dengan penggunaan alat tangkap yang beragam. Berkaitan dengan jumlah alat tangkap bubu yang perlu dilakukan pengaturan, maka dapat dilakukan skenario sebagai berikut. Nelayan bubu umumnya melakukan penangkapan sepanjang tahun. Namun, saat musim barat Desember-Maret, nelayan bubu tidak melakukan operasi penangkapan karena arus dan gelombang tinggi akhir November hingga awal Februari. Ada nelayan yang beralih ke pancing ulur, namun ada yang beralih pada pekerjaan lain, seperti bertani. Selama musim barat Desember- Januari, berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, hampir semua nelayan di Karimunjawa tidak melakukan operasi penangkapan. Aktivitas penangkapan hanya dilakukan di sekitar perairan pantai 3 mil atau di sekitar pulau yang terlindung dari arus dan gelombang. Pengaturan alat tangkap bubu dapat dilakukan dengan sosialisasi kepada masyarakat nelayan bahwa jumlah alat tangkap bubu sudah melebihi jumlah optimal. Introduksi jenis usaha baru yang dapat mengurangi ketergantungan nelayan bubu terhadap laut dan SDI merupakan salah satu alternatif dalam rangka pengaturan ini. Meskipun tidak mudah untuk mengarahkan nelayan untuk meninggalkan sepenuhnya kegiatan menangkap ikan, tapi dengan adanya kegiatan ekonomi lain yang mampu menunjang ekonomi keluarga, nelayan akan dengan sendirinya tidak lagi tergantung dengan laut dan SDI. Penelitian lebih lanjut mengenai dampak sosial ekonomi nelayan bubu sangat diperlukan akibat adanya rekomendasi pengurangan jumlah bubu di TNKJ. Di samping itu, dengan pelarangan aktivitas muroami di TNKJ, diharapkan tidak lagi akan memberikan tekanan penangkapan berlebih terhadap SDI karang, sehingga SDI akan tetap terpelihara yang pada akhirnya kontinuitas usaha dapat lebih terjamin. Kondisi tersebut dimungkinkan karena produksi ekor kuning, sebagaimana telah diuraikan dalam pada Bab 4 pada kondisi perikanan tangkap di TNKJ, jumlah produksinya meningkat secara signifikan sejak beroperasinya muroami di TNKJ. 3 Subsistem kebijakan dan kelembagaan Analisis kebijakan terhadap peraturan perundangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ dilakukan terlebih dahulu untuk melihat peraturan perundangan yang ada. Analisis kebijakan dilakukan untuk melihat mandat, implementasi dan kendala masing-masing peraturan perundangan. Selanjutnya dilanjutkan dengan analisis isi untuk melihat isi, latar belakang, dan pengaruh yang ditimbulkan akibat penerapan peraturan perundangan tersebut. Jenis-jenis peraturan dan perundangan yang berlaku dalam pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ, yang dianalisis dengan analisis kebijakan dan analisis isi, secara detail disajikan pada Lampiran 15. Hasil dari analisis kebijakan dan analisis isi, menghasilkan dampak dan kendala yang ada dari penerapan peraturan perundangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ, yang disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Peraturan perundangan pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ No. Peraturan Dampak Kendala 1. UU No. 51990 Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di dalam kawasan konservasi harus dilakukan sesuai dengan prinsip konservasi dan sistem zonasi yang berlaku. Paradigma konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan kawasan konservasi lebih menitikberatkan pada aspek perlindungan dan kurang memperhatikan aspek pemanfaatan dalam pengelolaan kawasan konservasi. 2. UU No. 452009 Pengelolaan perikanan tangkap dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian,dan pembangunan yang berkelanjutan. Kurangnya koordinasi antar lembaga untuk membentuk pengelolaan yang baik. Karena kegiatan perikanan di taman nasional laut belum diatur, sehingga aturan perikanan tidak bisa diimplementasikan dengan baik. 3. UU No. 262007 Proses penataan wilayah ruang harus memperhatikan konsep ruang sebagai satu kesatuan wilayah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan fungsional. UU ini belum mengakomodasikan falsafah konsep ekosistem. Falsafah konsep ekosistem meliputi sistem interaksi lingkungan hidup termasuk manusia dari skala ruang geografis yang kecil sampai global ekosistem bumi. Bukan sebaliknya. 4. UU No. 272007 Setiap proses pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, harus memperhatikan dampak yang timbulkan dari kegiatan tersebut terhadap ekosistem lingkungan dan manusianya. UU ini telah mengakomodasikan konsep ekosistem. Namun karena pengelolaan pesisir dan PPK melibatkan banyak sektor, koordinasi dan kelembagaan merupakan kendala utama dalam penerapan UU ini. 5. UU No. 322004 Pemda tingkat I Provinsi berhak mengelola wilayah laut sejauh 12 mil, sedangkan pemerintah daerah tingkat II Kabupaten berhak mengelola wilayah lautnya sampai sejauh 6 mil dari garis pantai. Pemerintah daerah masih belum mampu berkoordinasi dengan para pemegang kewenangan di daerah, sehingga seringkali pengelolaan menjadi bersifat sektoral. Tabel 22 Lanjutan No. Peraturan Dampak Kendala 6. PP No. 681998 Pengelolaan KSA dan KPA harus disesuaikan dengan UU No. 51990 dimana pengelolaannya berada di tangan pemerintah sebagai aktor utamanya. Pengambilan keputusan pengelolaan masih terpaku pada pengelola kawasan sektoral, dan lebih condong ke pengelolaan yang berbasis daratan pelaksana UU No. 51990. Pengelolaan daerah secara desentralisasi belum optimal. 7. PP No. 602007 Pengelolaan SDI merupakan wewenang dan tanggung jawab KKP. KKP berwenang menetapkan status perlindungan terhadap jenis ikan tertentu yang dilindungi. Belum semua urusan mengenai konservasi SDI termasuk berbagai ekosistem yang terkait di dalamnya dapat terwadahi. 8. Kepmentan No. 3921999 jo. Permen KP Tahun 2005 Pengelolaan perikanan tangkap dilakukan berdasarkan DPI masing- masing alat tangkap dengan kriteria yang telah ditetapkan, diantaranya berdasarkan jenis perahun kapal dan kedinamisan alat tangkap. Pengaturan di perairan laut membutuhkan pengawasan yang ketat, sehingga peraturan akan dijalankan dengan baik. Sanksi yang kurang tegas juga menjadi sebab tidak efektifnya penerapan aturan jalur-jalur penangkapan ini. 9. Permen KP No. 172008 Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Perbedaan otorita pengelola taman nasional laut, sehingga penerapan suatu peraturan harus disesuaikan dengan aturan dari pihak pengelola. Belum bisa menerapkan peraturan lintas sektor dengan baik karena ego sektoral yang terlalu tinggi. Tabel 22 menunjukkan masih adanya beberapa kendala dalam penerapan peraturan atau kebijakan untuk kegiatan pengelolaan perikanan tangkap di Karimunjawa. Kendala-kendala dalam penerapan kebijakan tersebut lebih disebabkan karena peraturan yang ada lebih bersifat sektoral, sehingga dalam implementasinya seringkali menimbulkan friksi antar instansi. Di samping itu kuatnya kepentingan sektoral menjadikan peraturan yang ada di instansi tertentu seringkali tidak dikomunikasikan dan tidak dikoordinasikan, dan dianggap paling sempurna, sehingga dalam penerapannya menjadi saling tumpang tindih atau bahkan cenderung menimbulkan konflik. Peraturan perundangan yang ada belum mampu menjawab permasalahan dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa, yaitu bagaimana peraturan dalam pengelolaan perikanan tangkap di kawasan TNKJ. Kondisi tersebut menunjukkan masih terdapat celah atau permasalahan yang belum dapat diatasi dengan peraturan yang sudah ada, dan adanya kesenjangan antara kebijakan yang dibutuhkan untuk pengelolaan perikanan tangkap dengan kebijakan yang berlaku. Peraturan perundangan perikanan tangkap di TNKJ perlu dibuat untuk dapat mendukung pengelolaan SDI dan pemanfaatan zona PPT secara optimal. Penerapan UU No. 452009 dan UU No. 322004 di TNKJ yang memberikan wewenang terhadap DKP dan Pemda untuk ikut serta dalam pengelolaan TNKJ sangat dibutuhkan. Berdasarkan UU No. 51990 diperbolehkan adanya kegiatan perikanan tradisional, sehingga jika UU No. 322004 diimplementasikan, maka Pemda berhak melakukan pengelolaan perairan di TNKJ, dalam hal ini zona PPT. Pengelolaan oleh Pemda dapat dilakukan dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung perkembangan perikanan di Karimunjawa, dan pengembangan wilayah seperti sarana transportasi, komunikasi, dan investasi, sehingga perekonomian Karimunjawa dapat lebih bergairah. Pengelolaan perikanan yang sudah dilakukan saat ini adalah DKP Kabupaten berkonsentrasi pada pengelolaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya rumput laut, sedangkan DKP Provinsi pada pengembangan usaha budidaya kerapu dengan karamba jaring apung KJA. Kendala dalam proses tersebut adalah karena DKP tidak memiliki wewenang penuh dalam pengelolaan perikanan di TNKJ, sehingga pengelolaannya tidak optimal. Skenario yang direkomendasikan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah dengan menyatukan tiga peraturan perundangan, yaitu UU No. 51990; UU No. 452009; dan UU No. 322004, dengan tetap memperhatikan peraturan pendukung yang lain. Skenario ini tidak mengeliminasi salah satu peraturan perundangan yang ada, tetapi dengan mengintegrasikan semua peraturan tersebut untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung keberlanjutan SDI dan usaha perikanan tangkap. Pada UU No.51990 disebutkan diperbolehkan kegiatan pemanfaatan namun bersifat terbatas dan tradisional. Artinya, kegiatan perikanan tangkap diperbolehkan dilakukan di dalam TNKJ. Yang menjadi masalah adalah dalam UU tersebut tidak disebutkan perikanan tradisonal yang sepeti apa yang diperbolehkan. Apakah dari gross tonnage kapal, atau dari alat tangkapnya mesh size jaring, ukuran pancing, bahan jaring, atau dari modernitas alat bantu penangkapan yang digunakan. Pengaturan perikanan tangkap berdasarkan UU No. 452009 secara jelas menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan juga didasarkan pada jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan Kepmentan No. 3921999 dan Permen Kelautan dan Perikanan tahun 2005 yang membatasi upaya penangkapan ikan, serta jenis dan dimensi alat tangkap berdasarkan jarak perairan jarak lokasi pengoperasian alat tangkap dari pantai. Pengaturan kegiatan perikanan tangkap berdasarkan UU No. 322004 adalah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan perairan. Kewenangan pemerintah daerah meliputi kewenangan untuk melakukan pengelolaan perairan dan SDI, termasuk di dalamnya upaya pemerintah daerah untuk tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan SDI, untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan tangkap di TNKJ. Skenario kebijakan disajikan pada Gambar 18. UU No. 51990 KSHAE UU No. 322004 OTDA UU No. 452009 PERIKANAN Pengelolaan SDI Perairan UU No. 262007 UU No. 272007 UU No. 262007 UU No. 272007 PP No. 602007 Kepmentan No. 3921999 Permen KP 2005 Permen KP No. 172008 PP No. 681998 Gambar 18 Skenario kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ. Lembaga yang berperan dalam pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ terdiri dari BTNKJ, DKP Kabupaten Jepara, DKP Provinsi Jawa tengah, kelompok nelayan, Pemerintah Kabupaten Jepara, kelompok usaha bersama KUB, lembaga pendidikan dan penelitian, koperasi unit desa KUD, dan LSM. Masing-masing lembaga telah memiliki peran dan arah kebijakan masing- masing, yang disajikan secara lengkap pada Lampiran 15. Arah kebijakan masing-masing lembaga pada umumnya telah saling mendukung dan saling melengkapi, namun dalam implementasinya masih belum optimal, karena minimnya koordinasi antar lembaga. Hasil analisis kelembagaan perikanan tangkap di TNKJ disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Kelembagaan perikanan tangkap di TNKJ No. Lembaga Aspek Politik Sosbud Ekonomi Hukum Teknologi 1. BTNKJ √ √ √ √ - 2. DKP Kab. Jepara √ √ √ √ √ 3. DKP Prov. Jateng √ √ √ √ √ 4. Kelompok Nelayan - √ √ √ √ 5. Pemda Kab. Jepara √ √ √ √ √ 6. KUB - √ √ √ √ 7. Lemdiklit √ √ - √ √ 8. KUD - √ √ √ √ 9. LSM √ √ √ √ √ Keterangan: √ = kinerja baik; - = kinerja kurang baik Berdasarkan hasil analisis kelembagaan Tabel 23, terlihat bahwa secara politik, lembaga seperti kelompok nelayan, KUB, dan KUD belum memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan, baik di tingkat lokal Kecamatan Karimunjawa, maupun tingkat yang lebih tinggi seperti di tingkat kabupaten dan provinsi. Semua lembaga dari aspek sosial budaya dapat menumbuhkan jiwa sosial dan bersinergi dengan stakeholders yang lain. Hal ini misalnya KUD dengan sistem simpan pinjam dengan nelayan. Nelayan yang menjadi anggota KUD berhak mendapatkan pinjaman untuk keperluan modal usaha penangkapan, atau pemberian modal bahan bakar sebelum melaut, serta KUB yang bekerja sama dengan nelayan, KUD, serta dengan DKP untuk memajukan usaha perekonomian masyarakat nelayan. Semua lembaga dari sisi ekonomi secara nyata memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan dan umum, kecuali dari lembaga pendidikan dan penelitian lemdiklit yang agak kurang perannya. Dari aspek hukum, semua lembaga telah memiliki mandat yang jelas dari hukum atau peraturan yang ada. Dari aspek teknologi, hanya BTNKJ yang masih minim dalam upaya pengembangan perikanan tangkap secara produktif, efisien, berkualitas, dan aman. BTNKJ lebih fokus pada keberlanjutan SDI dan habitat perairan, sehingga kurang intensif dalam mengembangkan teknologi untuk mendukung perikanan tangkap yang berkelanjutan dan efisien. Berdasarkan kinerja masing-masing lembaga tersebut, dapat diambil rekomendasi dalam pengelolaan Karimunjawa, yaitu BTNKJ bertanggung jawab terhadap pengelolaan TNKJ, DKP bertanggung jawab terhadap kegiatan perikanan, dan Pemda Kab. Jepara bertanggung jawab terhadap pengembangan wilayah. Penyerahan wewenang untuk ikut serta dalam pengelolaan TNKJ kepada DKP dan Pemda akan membantu dalam proses pengembangan wilayah. DKP dapat mengelola kegiatan perikanan secara optimal, membuka peluang- peluang investasi dan pengembangan usaha, namun dengan tetap mendapat pengawasan dari BTNKJ, sehingga kegiatan pengembangan yang dilakukan tetap sejalan dengan prinsip konservasi. Pemda membantu dalam penyediaan infrastruktur, baik untuk perikanan maupun pengembangan wilayah seperti sarana transportasi, jalan, listrik, dan air bersih. Jika perekonomian masyarakat maju, karena sektor ekonomi wilayah berkembang, maka masyarakat tidak akan sepenuhnya tergantung pada laut dan SDI, karena ada usaha alternatif. Konsep ini diharapkan dapat mengurangi ketertinggalan Kepulauan Karimunjawa, baik dalam pengembangan perikanan tangkap maupun pengembangan wilayah. Lembaga-lembaga yang lain tetap dilibatkan dalam proses pengelolaan perikanan tangkap, karena memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap di TNKJ, sehingga pengembangan perikanan dapat lebih optimal. Kelembagaan perikanan sebagaimana dinyatakan oleh Nurani 2010 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelembagaan pemerintah, kelembagaan swasta, dan kelembagaan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan tersebut, kelembagaan perikanan tangkap di TNKJ dapat kelompokkan menjadi tiga, yaitu 1 kelembagaan pemerintah, yang berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan administrator dalam pengelolaan SDI, yang terdiri dari BTNKJ, DKP, PPP Karimunjawa, dan Pemda Kab. Jepara; 2 kelembagaan swasta usaha, yang berperan sebagai pelaksana kegiatan pemanfaatan SDI, yaitu kelompok nelayan, KUD dan KUB; dan 3 kelembagaan masyarakat, yang terdiri dari LSM dan lembaga pendidikan. Peran aktif lembaga masyarakat sebagai kontrol sosial pelaksanaan pengelolaan SDI sangat diperlukan untuk mengikuti dinamika perubahan teknologi dan transformasi sosial yang terjadi.

5.3.3 Pemodelan sistem perikanan tangkap 1 Sumber daya ikan SDI

Submodel SDI dibangun dalam sebuah model bioekonomi dengan model biologi Schaefer dan model ekonomi Gordon, seperti yang telah dideskripsikan pada Gambar 14-17 pada bagian 5.3.2. dan Lampiran 11. Submodel SDI merekomendasikan pengelolaan perikanan karang dan pelagis di Karimunjawa dilakukan dengan memperhatikan tingkat produksi dan tingkat upaya pada kondisi MEY. Tingkat produksi pada saat MEY untuk perikanan karang sebesar 140 ton, sedangkan untuk perikanan pelagis sebanyak 17.361 ton. Jumlah effort pada kondisi MEY untuk perikanan karang sebanyak 5.435 unit, dan untuk perikanan pelagis sebanyak 801 unit. Model biologi Schaefer perikanan karang diverifikasi dengan hasil visual sensus yang dilakukan oleh WCS yang melakukan pengamatan pada tahun 2007. Hasil visual sensus menunjukkan biomas SDI Karang di Kepulauan Karimunjawa berkisar antara 143,21-1.209,72 kgha. Jika diambil biomas rata- rata ikan karang sebesar 676,47 kgha, dengan nilai tingkat kematian alami atau mortality M sama dengan tingkat kematian akibat kegiatan penangkapan atau fishing F, yaitu sebesar 0,46 Samoilys 1997, untuk kondisi perairan yang telah mengalami tekanan penangkapan yang cukup tinggi. Luasan terumbu karang di TNKJ adalah 713,11 ha. Hasil perhitungan berdasarkan konsep biomas yang dikembangkan oleh Garcia et al. 1989 diperoleh nilai MSY ikan karang sebesar 221.901,22 kgtahun atau 222 tontahun. Kondisi MSY hasil perhitungan dengan model Schaefer masih berada di bawah tingkat MSY hasil perhitungan denga teknik visual sensus, sehingga kegiatan perikanan karang di TNKJ masih bisa dikembangkan, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan SDI dan lokasi TNKJ yang merupakan kawasan konservasi perairan. 2 Usaha penangkapan ikan Submodel usaha dibangun dalam sebuah model persamaan linear dengan teknik linear goal programming LGP, dengan terlebih dahulu dilakukan pemilihan tehadap TPI tepat guna dengan teknik multi-kriteria analisis dan analisis kelayakan usaha. Model persamaan linear pada perikanan tangkap dapat digunakan untuk mengetahui berapa banyak unit penangkapan yang boleh beroperasi di perairan Karimunjawa, sesuai dengan potensi SDI pada kondisi MEY. Model persamaan linear memberikan output berupa jumlah upaya penangkapan sesuai dengan target produksi yang diharapkan, pada tingkat yang menguntungkan bagi nelayan kondisi MEY. Model persamaan linear yang dibangun dengan menggunakan batasan berupa produksi ikan pada saat kondisi MEY, penerimaan dari usaha penangkapan pada saat kondisi MEY, jumlah bahan bakar minyak BBM yang tersedia, jumlah trip per tahun, dan luasan zona PPT. Variabel yang digunakan dalam model adalah jumlah produksi, jumlah biaya, jumlah trip, jumlah kebutuhan BBM, dan jarak pengoperasian antar alat tangkap di perairan.