Kebijakan Strategis Pengelolaan Perikanan Tangkap

Matriks SWOT menurut Marimin 2004 menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dari matriks ini akan terbentuk empat kemungkinan alternatif strategi. Strategi SO strength- opportunities, yaitu menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang kuadran I. Strategi ST strength-threats, yaitu menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman kuadran II. Strategi WO weaknesses-opportunities: menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang kuadran III. Strategi WT weaknesses-threats: menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman kuadran IV. Membuat keputusan untuk memilih alternatif strategi sebaiknya dilakukan setelah mengetahui terlebih dahulu posisi kondisi saat ini di kuadran sebelah mana sehingga strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang dimiliki. Pengambilan keputusan pemilihan strategi yang tepat dalam berbagai strategi menurut Marimin 2004 dan Nurani 2010 adalah sebagai berikut: 1 Kuadran I, merupakan kondisi yang sangat menguntungkan, yaitu sistem memiliki kekuatan dan peluang yang baik. Strategi yang tepat adalah strategi yang mendukung pertumbuhan agresif. 2 Kuadran II, sistem memiliki kekuatan namun menghadapi berbagai ancaman. Strategi yang tepat adalah diversifikasi, yaitu menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. 3 Kuadran III, sistem memiliki peluang yang baik namun terkendala kelemahan internal. Strategi yang tepat adalah strategi turn around, yaitu meminimalkan masalah-masalah internal, sehingga dapat merebut peluang eksternal dengan lebih baik. 4 Kuadran IV, kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Strategi yang tepat adalah strategi defensif, yaitu dengan meminimalkan kerugian-kerugian yang kemungkinan akan timbul. 2 Strategi penerapan model Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural interpretative structural modeling atau ISM. ISM adalah suatu pemodelan deskriptif yang bernilai efektif bagi proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis. Perencanaan strategis mancakup suatu totalitas sistem yang tidak dapat dianalisis bagian demi bagian, melainkan harus dipahami secara keseluruhan. Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks. Teknik ISM menganalisis elemen-elemen sistem, dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. ISM adalah proses pengkajian kelompok group learning process di mana model- model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat Eriyatno 2003; Marimin 2004; Nurani 2010. ISM menurut Saxena 1992 bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan iteratif. Metodologi dan teknik ISM menurut Eriyatno 2003 dan Marimin 2004 dapat dibagi menjadi dua yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman perihal yang dikaji. Penentuan strategi implementasi model dengan menggunakan teknik ISM memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan ke dalam model atau program. Menurut Saxena 1992 program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1 sektor masyarakat yang terpengaruh, 2 kebutuhan dari program, 3 kendala utama program, 4 perubahan yang dimungkinkan dari program, 5 tujuan dari program, 6 tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7 aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8 ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9 lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Output teknik ISM berupa ranking masing-masing subelemen dan plot subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya Marimin 2004, yaitu: 1 Sektor 1; weak driver-weak dependent variables autonomus. Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mempunyai hubungan sedikit. Subelemen pada sektor 1, jika: nilai driver power DP 0,5X dan nilai dependence D ≤ 0,5X, serta X adalah jumlah subelemen. 2 Sektor 2; weak driver-strongly dependent variables dependent. Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen pada sektor 2, jika: nilai DP 0,5X dan nilai D 0,5X. 3 Sektor 3; strong driver-strongly dependent variables linkage. Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara subelemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan balik dapat memperbesar dampak. Subelemen pada sektor 3, jika: nilai DP 0,5X dan nilai D 0,5X. 4 Sektor 4; strong driver-weak dependent variables independent. Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen pada sektor 4, jika: nilai DP 0,5X dan nilai D 0,5X.

2.10 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian mengenai Karimunjawa diantaranya dilakukan oleh Yusuf 2007 yang meneliti mengenai “Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Kawasan TNKJ secara berkelanjutan”. Hasil penelitian menunjukkan analisis penentuan zonasi dibagi menjadi empat zona, yaitu inti, perikanan berkelanjutan, pemanfaatan, dan rehabilitasi. Zona inti memiliki empat pulau atau lokasi dengan luas 943,5 ha 18,99, zona perikanan berkelanjutan lima lokasi dengan luas 865,46 ha 17,42, zona pemanfaatan enam lokasi dengan luas 971,17 ha 19,54, dan zona rehabilitasi 11 lokasi dengan luas 2.188,98 ha 44,05. Suryanto 2000 meneliti “Sistem Zonasi Pengelolaan TNL Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan Studi Kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah ”. Hasil penelitian menunjukkan zonasi telah menggambarkan keserasian antar kegiatan konservasi, wisata alam, perikanan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masing-masing zona menggambarkan keterkaitan antara penataan pemanfaatan lahan daratan dan perairan dengan cara meng-overlay-kan atribut-atribut penggunaan dan keadaan lahan, nilai IKL, dinamika hidro-oseanografi, daerah dan jalur penangkapan ikan serta kelayakan sosial ekonomi dan budaya. Hasil zonasi didapatkan empat zonasi dengan masing-masing luasan, yaitu: 1 zona inti seluas 10.046,25 ha 9, 2 zona perlindungan seluas 21.208,75 ha 19, 3 zona pemanfaatan seluas 29.022,50 ha 26, dan 4 zona penyangga seluas 51.347,50 ha 46. Penelitian mengenai sistem zonasi yang dilakukan oleh Yusuf 2007 dan Suryanto 2000 masih parsial dan belum mengakomodasikan peranan sistem zonasi yang dihasilkan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, sistem zonasi yang dijadikan acuan adalah sistem zonasi pada awal penetapan, sehingga kurang mewakili kondisi sekarang. Penelitian Yusuf dan Suryanto juga memiliki keterbatasan dalam pengkajian SDI, carrying capacity, dinamika dan kompleksitas ekosistem, karena hal tersebut belum diintegrasikan. Samidjan 2005 meneliti suksesi struktur komunitas pada terumbu karang buatan di perairan Pulau Menjangan Besar dan Gon Waru. Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua spesies bakteri pioneer yaitu Micrococcus luteus yang memicu penempelan Pocillopora damicornis di Pulau Menjangan Besar dan penempelan Marinomonas communis yang mendorong penempelan Acropora tenuis di Gon Waru. Struktur komunitas pada bakteri, juvenile karang, perifiton, dan makroalgae menunjukkan keanekaragaman yang rendah, tidak ada dominasi spesies dan kesamaan spesies yang tinggi. Hubungan komunitas di Gon Waru menunjukkan tipe protokooperasi, sementara di Pulau Menjangan Besar menunjukkan hubungan amensalisme. Purwanti 2008 meneliti tentang “Konsep co-management TNKJ”. Hasil penelitian menunjukkan potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan sumber daya kurang terkontrol sehingga dapat mengancam status TNKJ. Kajian kebijakan dan kelembagaan menunjukkan bahwa 1 peraturan pengelolaan kawasan lebih mengkonsentrasikan pada kewenangan pemerintah, 2 terdapat ketidakharmonisan dishamonisasi peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara Dephut, DKP dan pemerintah daerah sehingga cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan lintas sektor. Pengaturan kolaborasi dalam permenhut juga sulit dilaksanakan karena belum ada kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar stakeholders. Maksum 2006 meneliti dampak sosio ekonomi dari kawasan TNKJ terhadap aktivitas penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan adanya dampak signifikan dari KKL terhadap aktivitas perikanan tangkap. Peningkatan produksi perikanan secara statistik tidak signifikan karena kemungkinan ada sumbangan dari landing yang berasal dari fishing ground lain. Sebanyak 50 responden nelayan menyatakan bahwa TNKJ tidak memberikan manfaat untuk perikanan, hal ini disebabkan karena hampir 75 responden tidak mengetahui dan memahami mengenai KKL. Manfaat ekonomi lebih banyak dirasakan oleh