Model penggunaan perairan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kawasan Konservasi Perairan
1000 m akan membutuhkan alokasi perairan yang lebih luas, sehingga perlu diarahkan ke arah luar dari perairan Karimunjawa.
Pembagian model penggunaan perairan ini juga mempertimbangkan kondisi oseanografi, terutama kedalaman perairan dan substrat dasar di sekitar
Kepulauan Karimunjawa. Lindholm et al. 2001 menyatakan bahwa pembagian perairan berdasarkan kedalaman yang berhubungan pula dengan bentuk dasar
perairan, akan berpengaruh terhadap habitat jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini sesuai dengan kajian dalam penelitian bahwa ikan kuwe,
ekor kuning, dan kerapu, yang merupakan ikan unggulan perikanan karang di Karimunjawa, yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang, sehingga
penggunaan alat tangkap untuk pemanfaatannya juga perlu untuk diselaraskan dengan kebijakan konservasi terumbu karang yang dilakukan. Pengaturan ini
juga akan memberikan kesempatan bagi ikan-ikan karang yang masih kecil untuk hidup dan berkembang, tanpa terganggu akibat tekanan penangkapan yang
berlebihan di daerah terumbu karang. Pengelolaan perikanan tangkap di kawasan konservasi perairan dapat
lebih efektif dilakukan untuk perikanan karang. Kawasan konservasi perairan, sebagaimana dinyatakan oleh Wiyono dan Alimuddin 2006, pada beberapa
kasus, telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas juvenil
atau ikan dewasa. Migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari kawasan konservasi perairan, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dan
menurunkan kematian ikan-ikan juvenil. Sebagaimana disampaikan dalam perhitungan potensi SDI pelagis di Karimunjawa juga mengalami kelemahan
dalam ketersediaan data di Karimunjawa, sehingga diambil data pantura Jawa Tengah sesuai dengan sifat SDI pelagis yang memiliki mobilitas tinggi atau
melakukan migrasi. Di samping itu dilakukan penambahan luasan zona-zona lain sebanyak 500
m, hal ini dilakukan karena sistem zonasi yang berlaku di TNKJ saat ini menempatkan zona-zona lain terutama zona inti, zona rehabilitasi, dan zona
perlindungan bersinggungan secara langsung dengan zona PPT, sehingga kegiatan perikanan tangkap berisiko memasuki zona-zona yang dilindungi
tersebut. Penambahan luasan zona dimaksudkan untuk memberikan dukungan luasan bagi zona yang dilindungi agar tidak terkena dampak yang signifikan
terhadap kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat
di Karimunjawa, dan agar kegiatan perikanan tangkap tidak lagi dijadikan alasan utama ketika terjadi penurunan kondisi SDI dan habitat di zona-zona yang
dilindungi. Model penggunaan perairan yang dihasilkan dalam penelitian ini spesifik
untuk Karimunjawa, namun dapat diaplikasikan di kawasan konservasi perairan yang berupa kepulauan yang memiliki karakteristik perairan yang hampir sama
dengan Kepulauan Karimunjawa. Pemberian tanda batas zona-zona yang dilindungi dan tanda marka zona 3
mil dan 4 mil akan sangat berguna agar masyarakat khususnya nelayan dapat memiliki petunjuk untuk tidak melakukan penangkapan di zona yang dikonservasi
dan di zona perairan sesuai jenis dan ukuran alat tangkap yang dimiliki. Penggunaan zona-zona larangan tangkap dalam kawasan konservasi perairan
juga akan lebih optimal dan eektif bila dilakukan dengan dukungan teknologi seperti monitoring dengan satelit, sebagaimana dikemukakan oleh Wiyono dan
Alimuddin 2006, yang saat ini telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkapan.
Model penggunaan perairan yang diakomodasikan dalam penelitian ini ditujukan untuk mempersiapkan dukungan ruang perairan bagi kegiatan
perikanan tangkap di masa mendatang melalui alokasi perairan dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung perairan dan lingkungan,
struktur dan pola kegiatan perikanan, serta kebijakan konservasi yang perlu diakomodasikan. Di samping itu, pengelolaan perikanan tangkap juga perlu
dipertimbangkan untuk dapat mengurangi disparitas perkembangan dan pertumbuhan antar wilayah di Kab. Jepara maupun di tingkat Jawa Tengah,
melalui perkuatan setiap wilayah sesuai potensi dan kendala perkembangan yang dihadapi, terutama kawasan P2K seperti Karimunjawa. Pengurangan
disparitas tidak dimaksudkan sebagai pencapaian perkembangan dengan tingkat yang sama antara seluruh bagian wilayah di Kab. Jepara, namun ditujukan untuk
memperkuat daya saing masing-masing wilayah secara proporsional sesuai potensi SDI dan posisi geografis yang dimiliki. Ketersediaan prasarana dan
sarana produksi dan distribusi dalam hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
Model penggunaan perairan di zona PPT juga dimaksudkan untuk mendorong kemampuan Karimunjawa untuk memenuhi kebutuhan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan SDI dan SDM secara berkelanjutan. Keragaman
potensi lokal perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan, dengan tetap memperhatikan daya dukung SDI dan lingkungan. Tujuan lain dari model ini
adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor perikanan tangkap untuk memperkuat basis perekonomian melalui pembentukan nilai tambah. Jika sektor
perikanan tangkap menjadi basis pertumbuhan, maka inisiatif perkembangan sektor lainnya sebagai tata kaitan ke depan forward linkage yang kuat dan
tangguh menjadi prasyarat bagi pengembangan kawasan Karimunjawa. Tujuan lain dari model penggunaan perairan adalah untuk meningkatkan
dan mempertahankan kelestarian SDI dan lingkungan melalui pengelolaan dan pelestarian kawasan TNKJ yang melibatkan semua sektor, lembaga, dan seluruh
stakeholder terkait; mengembangkan kebijakan penggunaan perairan, termasuk hak dan kewajiban masyarakat nelayan terhadap perairan dan wilayah.
Pengelolaan perairan, dalam model penggunaan perairan dimaksudkan untuk menanggulangi masalah-masalah pemanfaatan perairan. Penggunaan
perairan perlu ditata dengan lebih baik sehingga konflik kepentingan dapat dihindari. Kerugian akibat salah pemanfaatan dan salah penggunaan juga dapat
dikurangi, serta hasil pemanfaatan perairan dapat lebih ditingkatkan Sanchirico et al., 2010. Informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek biologi, teknologi,
ekologi, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan, hukum, dan peraturan perundangan akan sangat berguna untuk mendukung pengaturan penggunaan
perairan dan pengelolaan perikanan dan lingkungan perairan yang lebih baik. Kawasan konservasi laut sebagai sarana pengelolaan perikanan tangkap
menurut Dermawan et al. 2008, memiliki dua fungsi, yaitu: 1 limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan; dan 2
ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan.
Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut juga memberikan manfaat tidak langsung sebagai berikut: 1 melindungi habitat yang
sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial; dan 2 memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan
lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.
Penataan wilayah laut atau zonasi menurut Basuki et al. 2009 pada dasarnya diperlukan dalam kaitannya dengan pengaturan dalam kegiatan
pemanfaatan laut secara optimal dan berkelanjutan dengan mengakomodasi
semua kepentingan untuk menghindari adanya konflik pemanfaatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada suatu pemahaman, bahwa pemanfaatan suatu
sumber daya laut diberikan batas yang jelas antara zona pemanfaatan yang satu dengan zona yang lain. Aspek yang diperhatikan dalam zonasi adalah sifat
dinamis laut, penafsiran nilai ekonomi dan nilai beban lingkungan, sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau, dan kepastian hukum pemanfaatan lahan laut.
Bila aspek-aspek tersebut dipertimbangan dalam pembuatan zonasi, maka kegiatan yang ada dalam suatu kawasan konservasi dalam berjalan secara
seimbang. Sifat dinamis laut, dalam hal ini menurut Basuki et al. 2009 dimana air
sebagai media penghantar yang baik sehingga sensitif terhadap setiap perubahan. Perubahan suhu akan berpengaruh pada perubahan salinitas dan
sifat fisik lainnya. Kondisi ini mengakibatkan laut sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Arus dan gelombang merupakan salah satu bukti gejala
dinamika laut. Aspek sifat laut yang dinamis perlu diperhatikan dalam penarikan zona untuk peruntukan tertentu. Sifat-sifat keseimbangan sistem yang terkait
pada zona tersebut perlu diketahui, sehingga penetapan zona apakah dapat dilakukan hanya secara spasial atau juga spasial-temporal untuk menjaga
keseimbangan yang ada. Prinsip ini dapat dikembangkan sebagai salah satu dasar pemanfaatan sumber daya laut yang lestari.
Penafsiran nilai ekonomi dan nilai beban lingkungan, dalam hal ini kawasan perairan menurut Sulistyo 2004 dan Basuki et al. 2009 mengandung beragam
sumber daya. Sumber daya laut ini perlu didata secara seksama meliputi jenis, sebaran dan rekaan kandungan cadangannya. Jika dikaitkan dengan penarikan
zona pemanfaatan untuk peruntukan tertentu ada dua unsur utama yang harus diperhatikan yakni: 1 potensi pasokan, merupakan kondisi sumber daya laut baik
fisik maupun biologi yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya; dan
2 potensi permintaan, yang meliputi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang dalam perkembangannya memerlukan potensi pasokan yang memadai.
Tindakan pemanfaatan sumber daya laut, menurut Sulistyo 2004 dapat dipastikan berdampak pada adanya perubahan keseimbangan alam. Tanpa
adanya suatu pengaturan yang tegas, keseimbangan baru yang ditimbulkan akan menjadi beban lingkungan. Apabila pada akhirnya biaya untuk perbaikan
lingkungan lebih besar dari pada nilai ekonomi yang didapatkan, maka tujuan
pemanfaatan sumber daya laut untuk dapat memberikan nilai tambah tidak dapat tercapai. Karenanya sangat penting selain penilaian terhadap potensi pasokan
dan potensi permintaan, penilaian juga dilakukan terhadap beban lingkungan akibat adanya kegiatan pemanfaatan SDI. Penilaian potensi tersebut dilakukan
pada setiap sumber daya yang tersedia pada kawasan perairan untuk menyusun skala prioritas jenis pemanfaatan sumber daya laut yang akan dikembangkan.
Sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau, dimana kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau sangatlah beragam Basuki et al. 2009.
Perkembangan sosial budaya secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam di sekitarnya. Perilaku sosial budaya ini memiliki kaitan erat
dengan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Kondisi demografi menyangkut masalah perkembangan penduduk,
taraf pendidikan, suku bangsa, agama serta tingkat arus informasi yang dapat diterima, merupakan faktor-faktor terkait dalam mengkaji permasalahan sosial
budaya masyarakat pesisir untuk perumusan kebijakan penataan wilayah laut. Kepastian hukum pemanfaatan lahan laut melalui UU No. 24 tahun 1992
pasal 1 jo UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas menyebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara. Dalam hal ini ruang diartikan sebagai salah satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup mereka. Berdasarkan
pemahaman ini, maka dapat dikembangkan suatu konsep bahwa laut merupakan kesatuan wilayah negara yang perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia NKRI.