Peningkatan kapasitas kelembagaan Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Karimunjawa

efektif dan berkelanjutan. Kuatnya kepentingan sektoral telah menghambat terjalinnya koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan SDI. Akibat lanjut dari kecenderungan tersebut adalah terkotak-kotaknya wilayah SDI berdasarkan batas-batas administratif dan kepentingan politik dan ekonomi. Obyek yang sama bisa menjadi lahan eksploitasi dan pertarungan kepentingan berbagai sektor, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan dan penegasian konservasi sumber daya alam hayati secara signifikan. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat Rustiadi et al. 2008. Sistem nilai yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menentukan pembagian lahan atau perairan bagi anggota masyarakat. Kelembagaan institution, sebagai kumpulan aturan main rules of game dan organisasi, berperan penting dalam mengatur penggunaan atau alokasi sumber daya secara efisien, merata, dan berkelanjutan. Kelembagaan tidak hanya sekedar organisasi. Selama ini terjadi kesalahpahaman karena kelembagaan sering diidentikkan dengan sistem organisasi. Dalam konsep ekonomi kelembagaan institutional economics, organisasi merupakan suatu bagian unit pengambil keputusan yang didalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau atural main behavior rule. Aturan main mencakup kisaran yang luas dari bentuk yang berupa konstitusi dari suatu negara, sampai kepada kesepakatan antara dua pihak individu tentang suatu pembagian manfaat dan beban biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak guna mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu unsur-unsur kelembagaan yang mengatur transaksi pertukaran manfaat-biaya antar pihak menjadi sangat penting. Dimensi hukum dan kelembagaan dalam pembangunan dan pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat tercapai apabila seluruh pengguna stakeholders memiliki komitmen pengendalian diri untuk tidak merusak lingkungan, tetapi ikut serta menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundangan yang berwibawa dan konsisten. Koordinasi yang dapat dilakukan di antaranya adalah: 1 Koordinasi wilayah teritorial, yaitu koordinasi yang dilakukan antara dua atau lebih pemerintah daerah dari tingkat desa atau kecamatan hingga tingkat kabupaten atau provinsi. Misalnya antara Kecamatan Karimunjawa dengan Pemda Kab. Jepara, atau antara Pemda Kab. Jepara dengan Pemprov. Jawa Tengah. 2 Koordinasi fungsional, antara dua atau lebih instansi atau kementerian yang menjalankan fungsi-fungsi terkait. Misalnya kegiatan perikanan di TNKJ memerlukan koordinasi antara DKP Kab. Jepara dengan DKP Prov. Jawa Tengah, antara BTNKJ Kemhut dengan DKP KKP dalam pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan di TNKJ guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan SDI. 3 Koordinasi instansional, yaitu koordinasi antara beberapa instansi untuk menangani urusan tertentu. Dalam hal ini misalnya antara kementerian kehutanan Kemhut selaku pengelola TNKJ, dengan DKP Kab. Jepara dan DKP Prov. Jateng selaku pengelola kegiatan perikanan, serta Dinas Pariwisata selaku pengelola kegiatan pariwisata. Koordinasi dan komunikasi yang baik akan menciptakan keselarasan pengelolaan dan saling memberikan masukan untuk perbaikan pengelolaan.

6.3.3 Pengawasan dan penegakan hukum

Pengelolaan perikanan berkelanjutan di suatu taman nasional laut harus ditopang oleh kepastian hukum yang jelas dan sistem kelembagaan yang akomodatif. Segala kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan harus memiliki jaminan hukum yang jelas, sehingga setiap pihak yang melanggar akan mendapat sanksi. Kebijakan yang harus diterapkan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan di taman nasional laut adalah yang pertama, merumuskan atau melengkapi peraturan perundangan untuk mengatur dan memantau penerapan kebijakan yang diterapkan. Hal ini karena peraturan prinsip pengelolaan taman nasional laut dengan prinsip pengelolaan perikanan terdapat sedikit perbedaan. Pengelolaan taman nasional laut yang berbasis daratan masih memegang prinsip bahwa kawasan konservasi harus seminimal mungkin atau tidak ada kegiatan pemanfaatan sumber daya. Sedangkan dalam pengelolaan perikanan, memungkinkan adanya kegiatan pemanfaatan, yang terkendali, karena ikan memiliki umur yang jika tidak ditangkap pun akan mengalami kematian. Tanpa ada kegiatan pemanfaatan SDI, maka secara alami populasi ikan akan tumbuh dan berkembang hingga sampai pada usia tertentu dan kemudian ikan sebagai individu akan mati karena proses penuaan atau karena pengaruh lingkungan alam natural mortality. Hanya karena kegiatan pemanfaatan oleh manusia maka SDI menjadi berarti dan menjadi sumber ekonomi. Intervensi manusia atas dan terhadap SDI inilah yang membuat SDI berarti secara sosial ekonomi dan sekaligus menimbulkan masalah pengelolaan SDI. Jadi kebutuhan pengelolaan SDI muncul karena adanya aktivitas pemanfaatan SDI oleh manusia. Karenanya, pengelolaan sumber daya perikanan pada hakekatnya tidak hanya sekedar suatu upaya atau proses mengelola SDI managing of fish resources tetapi sesunggguhnya adalah proses mengelola manusia managing of fishers sebagai pengguna, pemanfaat, dan pengelola SDI Nikijuluw 2005. Karenanya diperlukan adanya rumusan peraturan yang mampu menyatukan perbedaan persepsi mengenai kegiatan pemanfaatan SDI. Penegakan hukum dan kelembagaan yang tegas, berwibawa, dan adil, untuk menjamin terlaksananya peraturan dan UU yang telah dirumuskan. Beberapa kasus pelanggaran penangkapan ikan yang terjadi di perairan Kepulauan Karimunjawa, di antaranya jika terjadi pelanggaran kegiatan perikanan dan diketahui oleh masyarakat namun tidak ditindak secara tegas, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat nelayan terhadap pihak pengelola dan aparat penegak hukum. Pada saat wawancara dengan nelayan, motivasi warga untuk ikut menjaga kawasan taman nasional juga menjadi menurun, karena ketika masyarakat nelayan sadar untuk melapor saat terjadi pelanggaran di perairan TNKJ, justru tidak mendapat perhatian atau tidak ditindak tegas dan adil. Upaya di tingkat masyarakat menurut Santoso 2008 harus didukung oleh peningkatan kapasitas para pihak yang terlibat dalam pengelolaan konservasi, khususnya pengelola kawasan. Pengelola kawasan setidaknya memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan dalam: 1 komunikasi dan menjalin hubungan dengan masyarakat; 2 mengenali pengetahuan lokal; dan 3 memfasilitasi masyarakat untuk dapat mengembangkan pengetahuan lokal. Pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan dalam pengelolaan kawasan konservasi harus diganti dengan pendekatan hubungan yang saling menghormati dan lebih bersahabat. Masalah konservasi bukan lagi sekedar masalah menghitung atau inventarisasi biota semata. Masalah konservasi sekarang dan yang akan datang adalah masalah komunikasi. Komunikasi yang baik disertai dengan penghargaan atas keberadaan masyarakat lokal diharapkan akan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap kawasan, sehingga akan tumbuh upaya untuk menjaga kawasan dengan kesadaran sendiri. Kurangnya komunikasi dan koordinasi merupakan penyebab utama timbulnya konflik yang belum berujung dalam pengelolaan kawasan konservasi.