Model pengelolaan perikanan tangkap

Sistem pengelolaan perikanan tangkap di Karimunjawa merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari kegiatan di hulu sampai hilir. Sehingga keberhasilan pengembangan perikanan tangkap ini sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi subsistemnya. Kegiatan di bagian hulu antara lain terkait dengan SDI dan sarana penangkapan. Karenanya beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah penentuan SDI unggulan, penghitungan nilai potensi SDI, penentuan teknologi penangkapan ikan tepat guna, kelayakan usaha perikanan tangkap, optimalisasi jumlah alat tangkap, kajian kebijakan dan kelembagaan perikanan tangkap, dan penyusunan model penggunaan perairan di dalam zona PPT. Pengembangan perikanan tangkap tidak terlepas dari pengembangan jenis ikan komoditas unggulan SDI unggulan, disamping jenis dan jumlah unit penangkapan ikan yang akan dikembangkan. Penentuan prioritas SDI unggulan merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan SDI unggulan dapat menjadi penentu keberlangsungan pengembangan perikanan tangkap. Pengelolaan dan pengembangan potensi SDI unggulan perlu dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat menggerakkan ekonomi wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Berdasarkan hasil analisis SDI unggulan Tabel 17, ikan kuwe terpilih sebagai ikan dengan prioritas pertama. Namun jika dilihat dari segi produksi di Karimunjawa, produksi ikan kuwe tidak begitu besar Tabel 10, namun jika dibandingkan dengan produksi di Jawa Tengah yang relatif kecil, maka jumlahnya menjadi dominan unggul. Jika dilihat dari Tabel 10, maka ikan ekor kuning dan teri merupakan jenis ikan dengan produksi tertinggi di Karimunjawa. Ikan ekor kuning menduduki tingkatan produksi terbesar, dimana produksinya terus mengalami peningkatan sejak tahun 2006 44 ton hingga tahun 2009 sebesar 78 ton, hal ini diduga karena penggunaan alat tangkap muroami yang memiliki produktivitas tinggi. Produksi terendah adalah ikan kerapu, hal ini diduga karena kerapu ditangkap dengan bubu, dimana banyak nelayan yang langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul yang biasanya juga memiliki karamba jaring apung KJA untuk budidaya kerapu di sekitar Pulau Menjangan Besar. Meskipun terdapat petugas dari PPP Karimunjawa yang melakukan pendataan terhadap kegiatan KJA, namun hal tersebut dinilai masih belum optimal. Sehingga menyebabkan data perikanan kerapu dari hasil tangkapan nelayan tidak terdata dengan baik. Pemilihan komoditas unggulan perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan teknik CPI, dengan kriteria nilai LQ volume produksi, nilai LQ nilai produksi, peluang pasar, dan posisi ikan di dalam rantai makanan. Penggunaan empat kriteria tersebut diharapkan dapat mewakili prioritas yang dipilih, dimana tidak hanya dari kriteria volume produksi dan nilai produksi di dalam kawasan TNKJ dan di tingkat Provinsi Jawa Tengah, namun juga peluang pasar dari jenis ikan unggulan tersebut. Kriteria posisi ikan di dalam rantai makanan digunakan untuk mengakomodasikan aspek atau prinsip keberlanjutan karena kegiatan perikanan tangkap dilakukan di dalam kawasan TNL. Dengan memasukkan aspek keberlanjutan tersebut, diharapkan tingkat pemanfaatan SDI dapat dilakukan dengan tetap menjaga keberlanjutan SDI di perairan, yang pada akhirnya akan berdampak pada keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Pendekatan yang digunakan untuk menduga potensi SDI di suatu wilayah perairan, sebagaimana diungkapkan oleh Supardan et al. 2006, Tinungki 2005 dan Murdiyanto 2004, adalah dengan menggunakan data dan informasi hasil tangkapan per upaya penangkapan catch per unit effort, CPUE minimal lima tahun terkahir. Dengan mengetahui besaran potensi SDI, dapat ditentukan kebijakan yang sesuai untuk proses pengembangan dan pengelolaan kegiatan perikanan tangkap ke depan. Konsep optimalisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model bioekonomi Grafton et al. 2010; Sumaila and Hannesson 2010, dimana kegiatan perikanan tangkap diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi MSY dan dititikberatkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi MEY. Meskipun pemanfaatan pada level MEY masih menghasilkan keuntungan dan menjaga keberlanjutan SDI, namun dalam kawasan konservasi prinsip tersebut masih kurang tepat. Kawasan konservasi perairan mensyaratkan kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan harus sejalan dengan kegiatan konservasi. Kegiatan perikanan tangkap tidak diperbolehkan menyebabkan kepunahan jenis ikan tertentu yang dapat menyebabkan booming atau meledaknya jenis ikan tertentu yang lain. Pemanfaatan SDI di kawasan konservasi perairan dalam hal ini di dalam kawasan TNKJ diarahkan pada tingkat pemanfaatan 50-60 dari nilai MSY, sehingga keberadaan jenis-jenis ikan di TNKJ dapat tetap terjaga, yang pada akhirnya dapat mendukung keberlanjutan usaha penangkapan ikan yang dilakukan. Pemilihan SDI unggulan pada tahap awal sebelum mengkaji sistem juga mengakomodasikan kriteria posisi jenis ikan di dalam rantai makanan, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak akibat kegiatan pemanfaatan yang dilakukan seperti kepunahan atau booming jenis-jenis ikan tertentu, akibat tidak seimbangnya hubungan predasi di alam perairan. Model biologi terpilih dalam penelitian ini adalah model Schaefer, sehingga perhitungan bioekonomi menggunakan model Gordon-Schaefer. Berdasarkan hasil perhitungan potensi SDI karang dengan model Schaefer Gambar 14, terlihat bahwa tingkat pemanfaatan ikan karang masih lebih rendah dari nilai MSY, kecuali tahun 2007, namun pada tahun 2005-2007 upaya penangkapan effort aktual telah melebihi jumlah effort optimum, meskipun kemudian turun kembali pada tahun 2008 dan 2009. Gambar 16 menunjukkan pemanfaatan perikanan pelagis di perairan pantai utara Jawa Tengah pada tahun 2004 hingga 2008 telah mengalami tren CPUE yang terus menurun. Pada tahun 2004, 2005, dan 2008 tingkat pemanfaatannya masih di bawah nilai MSY, namun semua tingkat pemanfaatannya kecuali tahun 2005, semuanya telah melampuai jumlah effort optimum. Hasil perhitungan dengan model Gordon sebagaimana disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 17, menunjukkan adanya tiga posisi pengelolaan, yaitu posisi atau titik pada saat MEY, MSY, dan open access OA. Titik MSY menggambarkan jumlah produksi ikan maksimun yang boleh ditangkap secara berkelanjutan tanpa merusak kelestarian SDI yang ada. Titik MEY menggambarkan keadaan yang dapat memberikan keuntungan optimum tanpa merusak kelestarian SDI. Titik OA menggambarkan kondisi perikanan, dimana setiap orang bebas melakukan kegiatan penangkapan, dimana pada kondisi ini jumlah keuntungan yang diperoleh hanya mampu menutupi biaya operasi BEP; break event point. Kegiatan perikanan karang berdasarkan hasil model Gordon-Schaefer Gambar 15 menunjukkan hasil tangkapan pada kondisi aktual tahun 2009 sebesar 115 ton. Hasil tangkapan ikan lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pada saat kondisi MSY 149 ton, MEY 140 ton, maupun OA 109 ton. Jika dilihat dari jumlah effort, maka jumlah effort aktual pada tahun 2009 sebanyak 3.160 unit, maka jumlah alat tangkap ini juga masih lebih rendah dari jumlah alat tangkap pada saat kondisi MSY 7.154 unit, MEY 5.435 unit, dan OA 10.870 unit. Kondisi tersebut menunjukkan kegiatan perikanan karang di TNKJ masih memungkinkan untuk dikembangkan, namun harus tetap memperhatikan potensi SDI dan kondisi habitat perairan agar tercipta perikanan karang yang menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan secara bioekologi. Dari sisi ekonomi, upaya penangkapan pada kondisi aktual, MSY, dan MEY masih menguntungkan bagi nelayan. Pada kondisi OA usaha penangkapan mencapai kondisi yang hampir impas atau break even point BEP bagi nelayan, jika terus dilakukan penambahan upaya, maka akan mengakibatkan kerugian, seperti yang terlihat pada Gambar 15. Kondisi perikanan pelagis pada tingkat produksi aktual pada tahun 2008 sebesar 16.263 ton, hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi MSY 19.080 ton dan MEY 17.361 ton Gambar 17. Dari sisi ekonomi, upaya penangkapan ikan pelagis pada kondisi aktual, MSY dan MEY masih menguntungkan bagi nelayan. Kebutuhan operasional melaut terutama BBM yang tinggi dengan harga yang masih terlalu tinggi bagi nelayan Rp. 5.100L, sehingga menyebabkan biaya operasional menjadi sangat besar, sedangkan penerimaan revenue dari penjualan ikan hasil tangkapan tidak terlalu besar, sehingga keuntungannya tidak terlalu besar. Penggunaan model bioekonomi dalam penelitian ini karena pengkajian potensi SDI tidak hanya berdasarkan model biologi semata, namun juga berdasarkan nilai ekonominya. Dalam bioekonomi perikanan, model dasarnya menggunakan teori dan konsep biologi yang selanjutnya dipadukan dengan konsep ekonomi. Konsep bioekonomi perikanan dikembangkan karena ada kekhawatiran terjadinya the tragedy of the common pada sumber daya perikanan Grafton et al. 2000; Libecap 2009. Apabila suatu SDI menjadi milik bersama atau tidak jelas kepemilikannya, dimana setiap pihak secara bebas dapat mengaksesnya maka eksploitasi terhadap SDI tidak dapat dikendalikan yang berujung pada over eksploitasi. Jika pemanfaatan SDI melebihi kemampuan daya pulih SDI regenerasi stok, maka stok SDI akan mengalami penurunan dan bisa menuju pada kepunahan. Oleh karena itu dikembangkan pendekatan MSY. Pada level MSY, pemanfaatan SDI tidak menganggu kelestarian SDI, dimana jumlah hasil tangkapan berada pada batasan surplus produksi. Model Gordon-Schaefer sebagaimana dikemukakan oleh Fauzi 2010 memiliki keunggulan-keunggulan dari segi kesederhanaan dan kemudahan. Model Gordon-Schaefer memadukan antara prinsip efektivitas dengan prinsip efisiensi, dimana keuntungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi, tetapi juga dipengaruhi oleh biaya. Model pertumbuhan populasi alami yang telah ada diperbaiki dengan penambahan variabel dan parameter ekonomi, sehingga besarnya keuntungan bersih atau profit dari setiap tingkat penangkapan yang dilakukan dapat diketahui atau ditentukan. Parameter biaya perlu ditambahkan dengan pertimbangan bahwa realisasi produksi dari suatu SDI memerlukan input sampai tingkat tertentu atau tidak terlepas dari penyertaan input sampai tingkat tertentu. Sehingga dari model dapat ditentukan tingkat produksi yang dapat memberikan keuntungan atau profit tertinggi, yang dikenal sebagai maximum economic yield MEY. Para ekonom meyakini bahwa titik MEY itulah konsep optimum yang sesungguhnya. Model Gordon-Schaefer juga telah banyak digunakan untuk memahami fenomena economic overfishing overfishing secara ekonomi dan terkurasnya rente ekonomi rent dissipation di bidang perikanan tangkap. Namun model Gordon-Schaefer juga memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain menyangkut asumsi permintaan elastis sempurna harga konstan dan keterbatasan pada struktur pasar yang bersaing sempurna perfectly competitive. Model Gordon-Schaefer menurut Fauzi 2010 umumnya menggunakan pendekatan penerimaan rata-rata atau average revenue dan biaya rata-rata average cost. Pada penelitian ini penerimaan rata-rata diganti dengan harga ikan rata-rata per kilogram. Penggunaan pengukuran dengan pendekatan nilai rata-rata penting secara ekonomi, karena dalam ekonomi pengukuran indikator melalui perubahan dan nilain rata-rata jauh lebih baik dari pada pengukuran absolut pengukuran total. Ekonom lebih concern terhadap pengukuran relatif dari pada pengukuran total. Gordon menyebutkan bahwa keseimbangan akses terbuka tidak optimal secara sosial not socially optimal karena biaya korbanan yang terlalu besar capital dan tenaga kerja yang terbuang pada tingkat akses terbuka bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Dalam perspektif model Gordon-Schaefer menurut Fauzi 2010, pengelolaan yang efisien dan optimal secara sosial adalah pada titik E MEY , yang dikenal sebagai keseimbangan MEY. Titik keseimbangan ini bisa diperoleh jika perikanan tangkap dikendalikan oleh rezim kepemilikan yang jelas atau sering disebut dengan rezim sole owner. Pada titik MSY, meski kurva penerimaan total revenue, TR mencapai titik maksimum, namun jarak dengan kurva TC total cost bukan merupakan jarak terbesar, sehingga tidak dihasilkan rente ekonomi yang maksimum, sehingga input pada E MSY tidak dikatakan sebagai input yang optimal secara sosial. Sumaila and Hannesson 2010 menyatakan bahwa kondisi MSY dan MEY akan sama jika biaya penangkapan sama dengan nol Clark 1990, tetapi tidak demikian dengan Christensen 2009 yang menyatakan bahwa kegiatan perikanan tangkap khususnya bagi negara-negara berkembang yang mengekspor ikan tanpa proses pengolahan, maka akan menyebabkan biaya operasi yang semakin tinggi, sehingga menyebabkan keuntungan yang rendah baik bagi nelayan maupun SDI. Konsep keuntungan ekonomi maksimum maximum economic rent tidak sama jika tujuannya untuk memaksimalkan SDM untuk kegiatan penangkapan atau memastikan manfaat jangka panjang bagi konservasi SDI dan ekosistemnya Sumaila 2004; Clark et al. 2010. Teknologi penangkapan ikan tepat guna yang terpilih untuk memanfaatkan ikan karang adalah pancing ulur dan bubu Tabel 18. Hal ini menunjukkan penekanan pengembangan TPI sudah tepat untuk mendukung peningkatan komoditas unggulan perikanan karang yaitu kuwe. Pengembangan teknologi penangkapan harus dilakukan secara tepat, karena kondisi perikanan karang, dimana ikan karang bersimbiosis dengan terumbu karang, sehingga penggunaan dan pengembangan alat tangkap yang ada harus mendukung upaya perlindungan kondisi terumbu karang atau berwawasan lingkungan. Pengelolaan perikanan tangkap juga harus sejalan dengan program pengelolaan terumbu karang dan prinsip konservasi yang berlaku. Hal ini karena perikanan tangkap, terutama perikanan karang, masih dianggap kurang sesuai atau bertentangan dengan prinsip konservasi terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan-ikan yang berasosiasi assosiated reef fish dengan terumbu karang seperti kuwe dan ekor kuning dianggap masih berdampak kurang baik terhadap terumbu karang. Alat tangkap terpilih untuk memanfaatkan ikan pelagis di Karimunjawa adalah pancing tonda dan gillnet Tabel 18, hasil ini kurang sesuai dengan komditas unggulan perikanan pelagis di Karimunjawa yaitu ikan teri, disusul dengan tengiri, cumi-cumi, dan tongkol. Bagan perahu branjang menduduki prioritas ketiga, meskipun komoditas unggulan perikanan pelagis di Karimunjawa adalah ikan teri. Hal ini menunjukkan bagan perahu branjang perlu dikembangkan agar dapat memenuhi aspek penilaian yang digunakan biologi, teknik, sosial, dan ekonomi. Penggunaan bagan perahu branjang harus memperhatikan kondisi SDI yang akan ditangkap, bisa dilakukan dengan perbaikan teknologi penangkapan, perbaikan ukuran mata jaring, dan efisiensi usaha. Selain itu pengembangan alat tangkap harus disesuaikan dengan peraturan konservasi dan perikanan yang ada. Pengembangan bagan perahu branjang juga harus memperhatikan ikan target, yaitu ikan teri. Jika dilakukan pengembangan bagan perahu branjang yang mengarah pada peningkatan upaya penangkapan, sehingga akan mengakibatkan tekanan penangkapan yang berlebih terhadap ikan teri. Posisi ikan teri di dalam rantai makanan sangat penting untuk diperhatikan, untuk menunjang keberlanjutan SDI teri, sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan terutama dengan bagan apung harus dilakukan dengan tidak menyebabkan penurunan stok ikan teri. Hasil analisis teknologi penangkapan tepat guna dengan teknik LGP, yang disajikan pada Tabel 20 menunjukkan sudah tidak dapat dilakukan penambahan jumlah alat tangkap di TNKJ. Sementara dari potensi SDI berdasarkan hasil analisis bioekonomi masih memungkinkan untuk dikembangkan. Jika dilihat dari status Karimunjawa sebagai kawasan konservasi perairan TNL, maka pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ tidak dapat disamakan dengan pengelolaan perikanan tangkap di perairan umum. Pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ harus memperhatikan potensi keberlanjutan SDI. Potensi SDI yang dimiliki harus dimanfaatkan dengan prinsip kehati-hatian precautionary approach agar dapat terjaga keberlanjutannya. Pemanfaatan potensi SDI di TNKJ tidak dapat dilakukan sama seperti perairan umum pada level MSY ataupun MEY. Pemanfaatan potensi SDI di TNKJ harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek konservasi dan status sebagai kawasan konservasi perairan TNL. Tingkat pemanfaatan potensi SDI di kawasan konservasi perairan diarahkan pada tingkat 50-60 dari nilai MSY, sehingga keberlanjutan SDI dapat tetap terjaga. Pemanfaatan SDI di kawasan konservasi harus mempertimbangkan kesediaan SDI agar dapat terus tumbuh dan berkembang untuk mendukung kegiatan pemanfaatan yang ada. Potensi SDI sebagai pasokan untuk kegiatan perikanan tangkap harus seimbang dengan potensi SDI yang dieksploitasi atau ditangkap, sehingga tercipta keberlanjutan SDI yang pada akhirnya berdampak pada keberlanjutan usaha dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan di dalam TNKJ. Pengelolaan kawasan konservasi perairan di antaranya bertujuan untuk menjaga populasi biota dan habitat; pemanfaatan SDI dan lingkungan secara lestari; dan pengembangan ekonomi masyarakat. Karenanya pemanfaatan potensi SDI yang berada pada level 50-60 dari nilai MSY diharapkan dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Selain itu, pemanfaatan jenis ikan unggulan juga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena jika dilakukan eksploitasi secara berlebihan maka akan bisa memicu punahnya jenis ikan tersebut dan bisa menimbulkan ledakan jenis ikan yang lain. Proses interaksi jenis ikan dalam rantai makanan perlu untuk dicermati agar keberlanjutan SDI dapat terus terjaga dan tercipta kondisi seimbang di perairan. Berdasarkan hasil analisis dengan teknik linear goal programming LGP seperti yang disajikan pada Tabel 20, perlu dilakukan pengaturan terhadap jumlah alat tangkap yang sudah ada saat ini, karena sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan penambahan jumlah alat tangkap. Pengurangan alat tangkap bubu direkomendasikan dalam penelitian ini. Meskipun rata-rata nelayan bubu memiliki pekerjaan sampingan seperti bertani atau berdagang, namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai dampak sosial ekonomi masyarakat nelayan bubu akibat adanya pengurangan jumlah alat tangkap bubu di TNKJ. Perlu dikaji lebih lanjut apakah dengan berhentinya pengoperasian bubu oleh nelayan, kehidupan masyarakat nelayan akan tetap sejahtera, karena hal itu berarti berkurangnya pendapatan keluarga nelayan bubu dari kegiatan penangkapan ikan yang selama ini dilakukan. Hasil optimalisasi jumlah alat tangkap di TNKJ dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yanuar et al. 2008 menunjukkan adanya perbedaan. Hasil penelitian Yanuar et al. 2008 menunjukkan jumlah alat tangkap optimal di TNKJ adalah bagan perahu branjang sebanyak 81 unit, pancing tonda 101 unit, gillnet 71 unit, dan bubu sebanyak 0 unit. Hasil perhitungan LGP dengan LINDO pada penelitian ini diperoleh hasil jumlah optimal alat tangkap untuk perikanan karang pancing ulur sebanyak 336 unit dan bubu sebanyak 21 unit, dan untuk perikanan pelagis pancing tonda sebanyak 336 unit, bagan perahu branjang sebanyak 115 unit, dan gillnet sebanyak 168 unit. Perbedaan hasil diduga terjadi akibat perbedaan kriteria dan nilai yang digunakan. Data yang berbeda antara jumlah alat tangkap di PPP Karimunjawa dengan di DKP Kab. Jepara juga diduga menyebabkan hasil perhitungan yang diperoleh menjadi berbeda. Pada penelitian ini tidak diakomodasikan alat tangkap muroami, karena dalam pengelolaan ke depan, penggunaan muroami tidak diperbolehkan di dalam TNKJ, di samping itu pengembangan alat tangkap di kawasan TNKJ adalah pengembangan alat tangkap yang sudah ada sejak TNKJ belum ditetapkan dan dipergunakan sampai sekarang. Pemasyarakatan teknologi penangkapan ikan tepat guna harus dilakukan dalam rangka keberlanjutan SDI; pengembangan pemanfaatan SDI; serta peningkatan ketrampilan dan budaya masyarakat nelayan di kawasan Kepulauan Karimunjawa yang telah berjalan selama ini. Penerapan teknologi penangkapan ikan tepat guna harus dilakukan sejalan dengan upaya menjaga kelestarian dan keberlanjutan SDI dan lingkungan perairan. Ketrampilan yang berkaitan dengan pengelolaan SDI dan lingkungan perairan yang benar akan sangat berguna bagi masyarakat nelayan untuk meningkatkan kualitas usaha dan meminimalkan pemanfaatan SDI yang kurang memperhatikan kaidah kelestarian dan keberlanjutan SDI dan lingkungan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kusumastanto 2003 bahwa pemasyarakatan teknologi penangkapan ikan untuk masyarakat perikanan tangkap hendaknya difokuskan pada upaya penciptaan kemandirian masyarakat nelayan melalui penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi penangkapan ikan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan SDI, termasuk rehabilitasi habitat ikan. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan penggunaan material atau bahan dan peralatan yang produktif, efektif, dan efisien, serta berwawasan lingkungan bagi pengembangan perikanan rakyat. Permasalahan utama yang banyak dialami oleh masyarakat nelayan yang ada di kepulauan adalah ketergantungan pada alam atau musim Haryono 2005. Misalnya pada musim ikan, nelayan akan sangat sibuk, sedangkan saat paceklik, nelayan akan menganggur atau mencari kegiatan ekonomi yang lain. Namun masyarakat nelayan di Karimunjawa umumnya telah memiliki kesadaran diri untuk mengantisipasi kondisi tersebut. Masyarakat nelayan telah memiliki kesadaran untuk menghadapi perubahan alam atau musim yang terjadi, di antaranya dengan pengaturan jenis alat tangkap yang digunakan. Nelayan telah mampu menyesuaikan perubahan musim ikan dengan penggunaan alat tangkap yang sesuai. Umumnya nelayan di Karimunjawa memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap. Misalnya nelayan pancing tonda umumnya menggunakan pancing tonda selama enam bulan Agustus-Januari, dan juga menggunakan pancing ulur Februari-Juli. Nelayan gillnet umumnya menggunakan gillnet selama tiga bulan Februari-April, kemudian juga menggunakan ulur Mei-Juli dan tonda Agustus-Januari. Nelayan bagan perahu branjang biasanya menggunakan bagan perahu branjang selama tujuh bulan April-Oktober, dan setelah tidak musim ikan teri, dan beralih menggunakan pancing ulur November-Maret. Hal ini sedikit banyak telah membantu mengatasi keterbatasan karena alam, di samping ada yang memiliki jenis usaha lain, seperti pertanian dan perdagangan. Penggunaan jenis alat tangkap yang beragam dan berubah-ubah sesuai musim ikan, menyebabkan perubahan pada daerah perairan yang menjadi lokasi daerah penangkapan ikan Clay 1996; Dalzell et al. 1996; Auster et al. 1997; Jennings and Kaiser 1998. Meskipun TNKJ telah dikelola dengan sistem zonasi, dan kegiatan perikanan memiliki luasan area yang sangat luas, namun dalam pelaksanaannya tidak semudah pengelolaan di area daratan. Kawasan perairan di kepulauan cenderung memiliki akses terbuka terhadap kegiatan perikanan tangkap, terutama oleh nelayan-nelayan dari luar kawasan Kepulauan Karimunjawa. Saat melakukan penelitian, banyak dijumpai nelayan-nelayan dari daerah Kendal, Jepara, Pati, Juwana, Rembang, dan Pekalongan. Meskipun nelayan-nelayan tersebut tidak semuanya melakukan operasi penangkapan di dalam kawasan TNKJ, namun masih ada beberapa pelanggaran yang terjadi. Beberapa kasus yang terjadi ketika melakukan penelitian di antaranya konflik nelayan gillnet antara nelayan Karimunjawa dengan nelayan dari Madura 06 o 08’00’’-110 o 30’00’’, dan konflik antara nelayan gillnet Karimunjawa dengan nelayan rawai dari Indramayu, karena rawai nelayan Indramayu mengenai gillnet, serta pengoperasian cantrang yang dilakukan di dalam kawasan 05 o 56’22’’- 110 o 22’00’’. Banyak nelayan-nelayan dari pantura Jawa Tengah yang singgah di Karimunjawa untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan setempat; melakukan perbaikan alat tangkap, kapal atau mesin; dan atau melakukan pengisian perbekalan seperti bahan bakar dan kebutuhan makanan lainnya. Pengoperasian alat tangkap muroami di Karimunjawa juga merupakan indikasi bahwa kawasan perairan di kepulauan bersifat open akses. Meskipun telah dilakukan pelarangan terhadap penggunaan muroami, namun saat penelitian dilakukan, masih terdapat satu unit muroami di Karimunjawa. Perikanan muroami di Karimunjawa jika tidak dihentikan secara tegas, dapat menyebabkan tejadinya overfishing SDI tertentu, terutama ikan ekor kuning yang merupakan ikan target muroami. Penggunaan muroami sejak tahun 2000-an di Karimunjawa bisa disebut sebagai tindakan penangkapan yang menyebabkan overfishing. Overfishing di Karimunjawa terjadi akibat peningkatan kompetisi antara nelayan-nelayan tradisional di Karimunjawa dengan nelayan-nelayan dari luar Karimunjawa, yang dikenal dengan istilah malthusian overfishing. Malthusian overfishing di Karimunjawa terjadi akibat masuknya nelayan-nelayan muroami ke dalam TNKJ dari kepulauan Seribu, dengan cara penangkapan yang menggunakan cara-cara yang bersifat merusak, baik terhadap SDI maupun terhadap habitat perairan. Pengelola perlu secara tegas melarang dan memberikan punishment terhadap nelayan muroami yang masih beroperasi di dalam TNKJ, sehingga diharapkan keberlanjutan SDI dan habiatat perairan dapat terus terjaga. Pengoperasian muroami jelas telah mengakibatkan pengurasan terhadap SDI ekor kuning dan berdampak buruk terhadap terumbu karang. Penegakan hukum terhadap muroami juga akan menguntungkan bagi nelayan bubu dan pancing ulur, karena tekanan penangkapan terhadap SDI karang akan berkurang. Karena sebagaimana terlihat dari produksi ikan ekor kuning yang disajikan pada Tabel 10, terlihat bahwa produksi ikan ekor kuning sangat besar jumlah produksinya jika dibandingkan produksi ikan-ikan karang lainnya. Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau kecil yang memiliki tipe-tipe ekosistem dan sumber daya yang cukup melimpah. Sejak ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1999, kegiatan pemanfaatan khususnya perikanan di TNKJ harus sesuai dengan konsep konservasi. Berdasarkan prinsip pengelolaan konservasi conservation management, menurut Nikijuluw 2005, perairan harus ditata atau dikelola dengan baik, baik untuk keberlanjutan SDI dan untuk tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Pengelolaan konservasi, secara sederhana, adalah konservasi sumber daya menjadi tujuan utama dari kegiatan pengelolaan, dan pada skim pengelolaan ini sumber daya yang dikelola masih dapat dimanfaatkan sesuai dengan kaidah perlindungan atau konservasi dan keberlanjutan sumber daya. Cara pengelolaan sumber daya laut di suatu wilayah dapat berbeda-beda antar wilayah. Hal ini bisa tergantung pada sejarah wilayah, keadaan jumlah penduduk dan tingkat potensi SDI, mobilitas masyarakat nelayan, tujuan pasar perikanan ekspor atau lokal, dan tujuan usaha komersial atau subsistence. Pengembangan Kepulauan Karimunjawa sebagai daerah taman nasional laut menjadi tantangan tersendiri, mengingat Karimunjawa memiliki jumlah penduduk yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan. Pengelolaan yang bijak sangat diperlukan agar tercipta keharmonisan antara kegiatan pemanfaatan dan konservasi yang dilakukan. Hasil analisis kebijakan dan analisis isi Tabel 22 dan Lampiran 15, terlihat masih ada kendala atau kesenjangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Karimunjawa. Beberapa permasalahan yang masih menimbulkan kesenjangan kebijakan di antaranya: 1 Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap. 2 Masih adanya kegiatan perikanan tangkap yang bersifat merusak muroami, baik terhadap SDI maupun terhadap habitat terumbu karang, mangrove, akibat kegiatan pengawasan dan penegakan hukum yang belum tegas dan efektif. 3 Masih rendahnya pengaturan perairan untuk kegiatan perikanan tangkap. 4 Belum ada peratuan khusus mengenai pengunaan perairan untuk kegiatan perikanan tangkap di dalam kawasan taman nasional. 5 Aturan zonasi taman nasional sudah jelas, namun belum secara jelas mengatur kegiatan perikanan tangkap yang ada. 6 Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap terkait dengan kebijakan pengelolaan TNKJ yaitu berdasarkan UU No. 51990. Namun belum mampu mengakomodir berbagai kepentingan pemanfaatan, terutama jika lokasi taman nasional berupa perairan. 7 PP No. 681998 sebagai pelaksanaan UU No. 51990 belum mampu mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan di daerah. 8 Peraturan perikanan UU No. 45 tahun 2009 tidak bisa diimplementasikan secara langsung di kawasan taman nasional, karena sifat politik konservasi yang mengikat. 9 Pengelolaan besifat sentralistik dengan peran minimal dari stakeholders terkait, sehingga pengelolaan bersifat satu arah. 10 Belum ada peraturan untuk kegiatan perikanan tangkap di tingkat lokal. Proyeksi ke depan bila kondisi perikanan tangkap tetap dilakukan tanpa pengelolaan yang baik dan dengan pengelolaan yang baik adalah sebagai berikut. Bila kegiatan perikanan tangkap tetap dilakukan di dalam zona PPT, yang berarti kegiatan eksploitasi SDI berjalan terus menerus tanpa ada upaya pengelolaan yang optimal. Hal ini akan menimbulkan terkurasnya SDI; degradasi habitat perairan terumbu karang dan mangrove; dan daya dukung lingkungan menjadi rendah akibat tekanan penangkapan yang terlalu tinggi. Tidak adanya pengaturan penggunaan perairan akan menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap SDI terutama di zona-zona yang dilindungi. Karenanya, pengaturan penggunaan perairan sangat penting dilalukan di dalam TNKJ, agar kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan tidak mengganggu aktivitas di zona-zona yang lain, terutama zona-zona yang dilindungi. Penghasilan nelayan pada akhirnya akan berkurang karena terkurasnya SDI, keterbatasan modal usaha dan terbatas atau rendahnya penggunaan teknologi penangkapan ikan. Peran stakeholders yang masih minim akan menyebabkan rendahnya peran serta dalam pengelolaan dan pengawasan SDI dan lingkungan, serta pengambilan keputusan pengelolaan. Pengambilan keputusan pengelolaan yang bersifat intern oleh pengelola dengan tingkat partisipasi yang rendah dari stakeholders lain, sehingga tidak mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholders lain. Jika kegiatan perikanan tangkap dihentikan, maka masyarakat nelayan yang merupakan mayoritas penduduk di Karimunjawa akan kehilangan mata pencaharian atau penghasilan. Penghentian atau pelarangan bisa pula berujung pada konflik atau pertikaian antara mayarakat dengan pengelola. Namun di sisi lain sumber daya ikan SDI dan habitat perairan akan tetap terpelihara. Penghentian usaha penangkapan ikan sangat tidak logis untuk dilakukan, karena akan mematikan kehidupan masyarakat nelayan dan tidak berperikemanusiaan. Hal terbaik yang perlu dilakukan adalah melakuan pengelolaan perikanan tangkap dengan melakukan pengaturan penggunaan perairan secara optimal untuk kegiatan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1 Pengaturan kegiatan perikanan tangkap tidak hanya melalui zonasi, namun perlu peraturan khusus dalam penggunaan perairan di dalam zona PPT maupun eksploitasi SDI. 2 Perlu pengaturan perairan yang jelas untuk kegiatan perikanan tangkap, khususnya perikanan karang. 3 Perlu pengaturan penggunaan jenis alat tangkap secara jelas dan tegas. 4 Perlu pengaturan khusus mengenai kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan dari luar Kepulauan Karimunjawa. 5 Pengawasan pengelolaan bersama antara DKP, pengelola TNKJ BTNKJ, masyarakat nelayan dan pihak lain seperti TNI-AL dan LSM. 6 Kerjasama dan saling koordinasi antar instansi dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan perikanan dan ekonomi masyarakat. 7 Pembentukan kelembagaan bersama untuk pengelolaan dan pengawasan yang lebih efektif co-management. 8 Penegakan aturan hukum yang tegas, jelas dan tidak memihak. 9 Sistem reward dan punishment yang jelas terhadap stakeholders. 10 Pengenalan alternatif mata pencaharian selain menangkap ikan. 11 Pembentukan satuan tugas pengelolaan dan pengawasan yang melibatkan semua komponen masyarakat dan nelayan. 12 Penanaman pendidikan cinta lingkungan terhadap masyarakat, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga lingkungan masyarakat. Skenario yang ditawarkan berdasarkan rekomendasi tersebut adalah integrasi kebijakan melalui pengakomodasian tiga peraturan perundangan yang ada, yaitu UU No. 51990, UU No. 452009, dan UU No. 322004, seperti yang disajikan pada Gambar 18. PP No. 282011 yang merupakan pelaksana dari UU No. 51990 dan pengganti PP No. 681998 telah menyatakan dengan jelas bahwa pengelolaan KSA dan KPA harus memperhatikan kebutuhan masyarakat di dalam kawasan konservasi dan masukan dari pemerintah daerah setempat. Pembagian zona atau blok pengelolaan dalam kawasan konservasi perairan perlu dilakukan agar pengelolaan lebih efektif. Karenanya berdasarkan hal tersebut, pengelolaan TNKJ tetap berada dibawah BTNKJ dengan fokus pada zona-zona yang dilindungi. Zona PPT yang merupakan zona untuk kegiatan perikanan tangkap didelegasikan kewenangannya kepada DKP, sehingga dapat diatur jumlah dan jenis alat tangkap yang optimal jumlahnya sesuai dengan daya dukung TNKJ. Sementara itu, pengelolaan perikanan tangkap dan perairan di daerah juga melibatkan peran Pemda sebagaimana amanat UU No. 322004, yang dalam hal ini Pemda Kabupaten Jepara. Pemda memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan perairan, termasuk di dalamnya kegiatan perikanan tangkap dan pengembangan wilayah. Dengan integrasi kebijakan, maka kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga menjadi lebih jelas dalam melakukan pengelolaan. Kewenangan pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan UU No. 272007; PP No. 602007; dan Permen KP No. 22009 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Pemberian kewenangan ini juga sesuai dengan mandat dalam UU No. 322004 jo. UU No. 122008 tentang pemerintah daerah terkait pengaturan pengelolaan laut dan wilayah konservasi. PP No. 282011 sebagai pengganti PP No. 681998 juga menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi perairan, termasuk dalam penyusunan zonasi atau blok pengelolaan, harus dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Kawasan konservasi perairan yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut dengan kawasan konservasi perairan daerah atau kawasan konservasi laut daerah KKLD. KKLD umumnya dikelola oleh pemerintah daerah tingkat II pemerintah kabupaten atau pemerintah kota, sedangkan yang dikelola oleh pemerintah tingkat desa disebut dengan daerah perlindungan laut DPL. Berdasarkan PP No. 282011 dan peraturan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, maka akan tercipta pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Dengan adanya peraturan tersebut, nelayan akan memiliki hak dan kewajiban dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk kegiatan perikanan di dalam kawasan konservasi, misalnya di zona perikanan berkelanjutan, dimana dalam paradigma konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Meskipun sistem zonasi di TNKJ telah menempatkan kegiatan perikanan tangkap di zona PPT, namun dalam pengelolaannya masih menggunakan paradigma lama. Kewenangan urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh lebih dari satu instansi, dengan mengacu pada peraturan perundangan yang berbeda, sehingga menimbulkan tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Dengan berlakunya PP No. 282011 diharapkan pengelolaan bersama antara instansi dan dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat akan menjadi solusi agar pengelolaan yang dilakukan lebih efektif. Kajian-kajian kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada dalam pengelolaan seringkali masih bertentangan, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam penerapan peraturan perundangan. Beberapa sebab terjadinya ketidakharmonisan atau disharmonisasi dalam penerapan kebijakan konservasi di Indonesia menurut Santoso 2008 antara lain karena: 1 Kuatnya kepentingan ego sektoral telah menghambat terjalinnya koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan SDA secara berkelanjutan. 2 Terjadinya tarik menarik kewenangan pengelolaan SDA. 3 Adanya kepentingan yang melekat pada berbagai pihak. 4 Tidak ada visi yang sama di Pemerintah Pusat dalam konservasi SDA. 5 Kuatnya agenda jangka pendek pemerintah atau instansi-instansi tertentu melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. 6 Buruknya koordinasi dan komunikasi antar instansi pemerintah dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan. Terjadinya disharmoni kebijakan konservasi menurut Santosa 2008 juga bisa terjadi karena jumlah peraturan dan kebijakan konservasi yang makin besar dan banyak. Hal ini menyebabkan terbatasnya instansi penyusun, parlemen serta para pihak pengambil keputusan lainnya untuk mengetahui dan menjadikan dasar pijakan bagi penyusunan kebijakan dan peraturan konservasi SDA atau mengenal semua peraturan tersebut. Disharmoni juga sering terjadi karena adanya pertentangan antara UU dengan peraturan pelaksanaannya. Seringkali peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah tidak sejalan. Kebijakan-kebijakan antar instansi juga seringkali cenderung masih saling bertentangan. Konflik bisa terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat di sekitar kawasan. Konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bisa muncul karena perbedaan kepentingan. Pemerintah pusat menghendaki suatu kawasan dilindungi, sehingga pembangunan fisik kawasan harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai berdampak negatif terhadap sumber daya hayati yang ada di dalam kawasan yang dilindungi. Di sisi lain, pemerintah daerah menginginkan daerahnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan, sehingga bisa memicu pertumbuhan ekonomi kawasan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan pemasukan bagi daerah. Adanya kawasan konservasi seringkali dianggap sebagai beban, bukan manfaat. Secara singkat, menurut Santoso 2008, konflik muncul karena: 1 Pemerintah daerah tidak bisa berinvestasi dan mengalami kendala dalam membangun infrastruktur di daerah sekitar kawasan konservasi. 2 Ketimpangan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. 3 Pemerintah daerah tidak peduli dengan kawasan konservasi, dan pengelola kawasan konservasi bersikap arogan karena merasa sebagai orang pusat. 4 Pemerintah daerah tidak memperoleh informasi yang meyakinkan tentang manfaat tidak langsung dari kawasan konservasi. 5 Pemerintah daerah mau tidak mau harus mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi konflik apabila terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi dengan pengelola kawasan. Pada tingkat yang lebih rendah, yaitu pada saat implementasi, konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat menurut Santoso 2008 juga bisa muncul. Konflik yang paling menonjol terkait dengan masalah hak masyarakat untuk mengakses kawasan konservasi. Berdasarkan studi kasus di berbagai kawasan konservasi, konflik pada umumnya berkaitan dengan: 1 kurangnya perhatian terhadap proses pelibatan komunitas lokal dan pihak lainnya yang turut berkepentingan di dalam perencanaan, pengelolaan dan pembuatan keputusan yang terkait dengan kebijakan kawasan konservasi; dan 2 kebutuhan komunitas lokal sekitar kawasan konservasi yang berkonflik dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat tidak diberikan akses untuk ikut serta menjaga dan mengambil keputusan pengelolaan, sehingga peran dalam menjaga kawasan konservasi juga menjadi rendah. Secara kelembagaan masih terlihat lemahnya kerjasama dan koordinasi lintas sektoral, lintas daerah dan lintas aktor yang menyebabkan timbulnya konflik berkepanjangan dalam hal penataan pengelolaan dan konservasi SDI. Salah satu permasalahan tersebut menurut Santoso 2008 adalah keterbatasan kapasitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi, sehingga banyak kawasan konservasi di Indonesia menjadi SDA yang terbuka open access. Kondisi tersebut seringkali dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab free-rider untuk mengambil manfaat ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak negatif terhadap keutuhan ekosistem kawasan konservasi. Hal ini sangat terkait sekali dengan pengurusan dan pengelolaan kawasan konservasi selama ini yang sering dinilai masih kurang partisipatif, kurang transparan, kurang bertanggung jawab dan kurang bertanggung gugat. Konsekuensi dari pola pengelolaan tersebut adalah kurang terakomodasinya aspirasi masyarakat serta stakeholder lainnya, sehingga muncul keengganan masyarakat dan stakeholders untuk ikut berbagi tanggung jawab sharing of responsibility dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi. Prinsip-prinsip yang perlu dikembangkan dalam kelembagaan pengelolaan kawasan taman nasional laut, mengacu pada Wiryawan et al. 2005 pengelolaan kawasan konservasi laut, adalah: 1 Sikap keterbukaan. 2 Berbasis kepada kebutuhan para pemangku kepentingan. 3 Jenjang pengawasan yang efektif dengan struktur yang efisien. 4 Dapat dipertanggungjawabkan. 5 Kejelasan wilayah kewenangan pengelolaan, berikut peran dan tanggung jawab berdasar protokol yang menunjang. 6 Adanya kelengkapan protokol yang mengatur sistem taman nasional laut. 7 Mampu mengakomodasi dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat. 8 Dikelola secara profesional dan legal. 9 Menerapkan prinsip dan norma hukum dalam rangka pengelolaan. Dari beberapa prinsip-prinsip kelembagaan tersebut, pengelolaan TNKJ hendaknya mengacu pada tiga elemen lembaga yang terlibat, yaitu BTNKJ, DKP dan Pemda Kabupaten Jepara. BTNKJ lebih fokus pada pengelolaan TNKJ, terutama zona-zona yang dilindungi. DKP fokus pada pengelolaan perikanan tangkap di zona PPT, pengelolaan jumlah dan jenis alat tangkap yang beroperasi, sehingga kegiatan perikanan tangkap berjalan sesuai dengan prinsip konservasi yang dianut. Pemda fokus pada pengelolaan dan pengembangan perairan dan wilayah, terutama pengembangan infrastruktur agar kegiatan perekonomian masyarakat dapat lebih lancar dan maju. Bila tupoksi masing-masing lembaga tersebut sudah jelas dan dilakukan komunikasi dan koordinasi yang baik, maka pengelolaan TNKJ secara keseluruhan perlindungan dan pemanfaatan dapat berjalan dengan lebih optimal. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Garcia and Rosenberg 2010 bahwa konflik kebijakan antara kepentingan konservasi dengan kegiatan perikanan dapat mengurangi atau menghambat upaya untuk mengembangkan perikanan tangkap yang produktif dan berkelanjutan. Kekurangan pengelolaan TNKJ selama ini karena minimnya koordinasi dan kuatnya ego sektoral untuk saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama pula, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan SDI. Ketiga lembaga atau elemen tersebut seharusnya berperan sebagai pihak yang memfasilitasi masyarakat nelayan dan stakeholders lain agar bisa ikut berperan serta dalam proses pengelolaan perikanan tangkap, yang pada akhirnya berperan pula dalam pengelolaan TNKJ. Bila koordinasi dan komunikasi antar instansi sudah terbina, maka jalinan hubungan dan komunikasi kelembagaan yang berada di bawahnya juga akan terjalin dengan baik. Kondisi di lapangan menunjukkan antar instansi belum optimal dalam menjalin komunikasi yang baik, sehingga bila terdapat program kerja yang hendak disampaikan ke masyarakat nelayan, instansi lain tidak ikut dilibatkan, sehingga kurang mendukung terhadap program kerja yang hendak dilakukan. Penataan kelembagaan menurut Notohadiningrat 1992 dalam rangka pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi: 1 Menciptakan keteraturan dalam program kerja. 2 Menciptakan sistem penyampaian untuk: i menyalurkan informasi inovatif terhadap masyarakat; dan ii membuka komunikasi untuk mendorong peran serta masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan pengelolaan. 3 Memajukan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik melalui peningkatan keterampilan maupun pemberdayaan masyarakat. Model kelembagaan daerah yang dapat dicontoh dalam pengelolaan taman nasional laut misalnya adalah Dewan Pengelolaan TNB DPTNB. Prinsip kerja DPTNB adalah mendukung fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada dan berkembang di tengah masyarakat; mendukung dana pengelolaan yang sudah ada; terbuka dan transparan; menekankan pola kemitraan dan partisipasi; pertanggungjawaban publik pengelolaan dan keuangan; memperkuat dan mengakomodasikan kepedulian dan kerjasama antar pihak; bersifat fleksibel dan dinamis; serta kesetaraan antar pihak. Tujuan DPTNB adalah terpeliharanya keutuhan fungsi TNB sebagai pendorong kegiatan pembangunan Sulut; meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan TNB; terwujudnya kepedulian dan rasa memiliki para pihak lokal, regional, nasional, dan internasional terhadap pelestarian TNB; dan terciptanya koordinasi yang jelas dan transparan dalam pengelolaan TNB. Struktur organisasi DPTNB terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota. Ketua DPTNB adalah Gubernur, sedangkan yang menjadi anggota adalah semua instansi atau lembaga yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan TNB, di antaranya Balai TNB, DKP, lembaga pendidikan dan penelitian, Dinas Pariwisata, Bapedalda, kelompok masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. DPTNB ini juga diperkuat dengan peraturan daerah. Dengan adanya dukungan perda tersebut, maka keberadaan DPTNB menjadi kuat di mata hukum dan memiliki kewenangan yang jelas dalam melakukan kegiatan dan koordinasi dengan Balai TNB. Pengelolaan yang dilakukan juga lebih terarah dan lebih optimal, sehingga hasil yang hendak dicapai yaitu keberlanjutan baik secara ekologi maupun ekonomi, dapat tercapai dengan dukungan dari seluruh stakeholders yang terlibat. Dukungan masyarakat yang berada di dalam kawasan TNB juga merupakan prioritas utama dalam pengelolaan TNB, karena inti dalam pengelolaan adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalam kawasan TNB. Contoh perangkat kelembagaan yang melibatkan masyarakat desa seperti yang diterapkan di Kepulauan Riau untuk pengelolaan terumbu karang, sebagaimana dikemukakan oleh Yuniarti 2007, di antaranya terdiri dari : 1 Motivator. Tugas motivator adalah memberikan motivasi kepada masyarakat di desanya agar dapat menjaga terumbu karang dari kerusakan. 2 Reef Watcher. Bertugas memantau keadaan terumbu karang dan melaporkan kejadian yang terjadi yang merusak terumbu karang seperti pengeboman dan penggunaan alat tangkap trawl. 3 Kelompok Masyarakat Pokmas Produksi. Bertugas memanfaatkan dan meningkatkan potensi desa serta pengelolaan potensi desa secara optimal dengan dasar pengelolaan yang ramah lingkungan. 4 Pokmas Konservasi. Bertugas menjaga lingkungan dan potensi desa, kelestarian sumber daya alam darat dan laut serta keseimbangan alam. 5 Pokmas Gender. Bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan perbaikan pola hidup keluarga dengan pemberdayaan dan pengakuan hak kaum perempuan di desa untuk dapat berperan dalam pembangunan desa. 6 Dewan Pertimbangan Desa. Contah lain berupa mekanisme kerja lembaga pengelola kawasan konservasi laut KKL di Berau Wiryawan et al. 2005, antara lain: 1 Bupati Berau dan Gubernur Kalimantan Timur merupakan anggota ex-officio karena jabatan pada dewan atau badan pengelola KKL. Bupati dan gubernur memilih perwakilan dari representasi para pemangku kepentingan utama untuk duduk dalam lembaga pengelola. 2 Lembaga pengelola mengadakan pertemuan rutin yang terbuka untuk umum. 3 Sekretariat lembaga pengelola memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek pengelolaan KKL. Bupati dan Gubernur mengangkat sekretaris. 4 Penasehat ilmiah dan teknis berfungsi untuk memberikan masukan-masukan ilmiah dan teknis, merupakan orang-orang ahli di bidang keilmuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan KKL. 5 Bupati Berau mengangkat anggota dan ketua Kelompok Kerja dan Pelaksana Teknis untuk mengimplementasikan pengelolaan KKL.

6.2.2 Model penggunaan perairan

Kekurangan dari kegiatan pengelolaan selama ini adalah fokus tujuan dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan, yaitu terhadap SDI, sedangkan sumber daya manusia SDM nelayan sebagai pihak yang memanfaatkan secara langsung kurang dapat dikendalikan aktivitasnya. Karenanya, dalam model penggunaan perairan Gambar 20 yang direkomendasikan dalam penelitian ini, penggunaan perairan di dalam zona PPT dibagi menjadi 3, yaitu: 1 Zona 3 mil, yaitu penggunaan untuk kegiatan perikanan karang, dalam hal ini perikanan karang yang menggunakan alat tangkap statis, seperti pancing ulur dan bubu, pada perairan berjarak 0-3 mil dari garis pantai. 2 Zona 4 mil, yaitu penggunaan perairan untuk kegiatan perikanan pelagis dengan alat tangkap statis seperti gillnet dengan panjang 1000 m dan bagan perahu branjang, pada perairan 3-4 mil dari garis pantai. 3 Penggunaan perairan 4 mil, yang ditujukan untuk kegiatan perikanan tangkap yang lebih dinamis dan modern dalam penggunaan teknologi, seperti pancing tonda dan gillnet yang berukuran lebih dari 1.000 m. Alat tangkap perikanan karang statis dapat beroperasi di dalam zona PPT di luar perairan 3 mil. Alat tangkap perikanan pelagis yang bersifat statis seperti bagan perahu branjang dan gillnet panjang 1000 m tidak dapat beroperasi masuk ke dalam perairan 0-3 mil, namun dapat beroperasi di seluruh perairan 3 mil. Begitu pula dengan alat tangkap perikanan pelagis yang dinamis seperti pancing tonda dan gillnet yang berukuran lebih dari 1000 m, tidak dapat beroperasi pada perairan 4 mil, namun dapat beroperasi di seluruh perairan di dalam zona PPT yang berjaran 4 mil dari garis pantai. Kondisi di lapangan banyak gillnet yang berukuran lebih dari 1000 m, sehingga pengoperasian gillnet harus berada di perairan lebih dari 4 mil. Jika dilihat dari buffer 4 mil penerapan perairan 4 mil untuk alat tangkap statis dan perhitungan alokasi alat tangkap serta jarak antar alat tangkap, maka penggunaan pancing tonda dan gillnet disarankan dilakukan lebih ke arah luar perairan Karimunjawa. Zona PPT TNKJ lebih direkomendasikan untuk kegiatan perikanan tangkap yang bersifat statis. Gillnet yang berukuran lebih dari 1000 m sudah tidak memungkinkan lagi tertampung karena luasan perairan zona PPT untuk pengoperasian gillnet sudah tidak memungkinan. Jika dipaksakan beroperasi di dalam zona PPT, akan menimbulkan konflik antar nelayan, karena jarak antar alat tangkap sangat sempit. Gillnet yang berukuran panjang lebih dari 1000 m akan membutuhkan alokasi perairan yang lebih luas, sehingga perlu diarahkan ke arah luar dari perairan Karimunjawa. Pembagian model penggunaan perairan ini juga mempertimbangkan kondisi oseanografi, terutama kedalaman perairan dan substrat dasar di sekitar Kepulauan Karimunjawa. Lindholm et al. 2001 menyatakan bahwa pembagian perairan berdasarkan kedalaman yang berhubungan pula dengan bentuk dasar perairan, akan berpengaruh terhadap habitat jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini sesuai dengan kajian dalam penelitian bahwa ikan kuwe, ekor kuning, dan kerapu, yang merupakan ikan unggulan perikanan karang di Karimunjawa, yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang, sehingga penggunaan alat tangkap untuk pemanfaatannya juga perlu untuk diselaraskan dengan kebijakan konservasi terumbu karang yang dilakukan. Pengaturan ini juga akan memberikan kesempatan bagi ikan-ikan karang yang masih kecil untuk hidup dan berkembang, tanpa terganggu akibat tekanan penangkapan yang berlebihan di daerah terumbu karang. Pengelolaan perikanan tangkap di kawasan konservasi perairan dapat lebih efektif dilakukan untuk perikanan karang. Kawasan konservasi perairan, sebagaimana dinyatakan oleh Wiyono dan Alimuddin 2006, pada beberapa kasus, telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas juvenil atau ikan dewasa. Migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari kawasan konservasi perairan, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dan menurunkan kematian ikan-ikan juvenil. Sebagaimana disampaikan dalam perhitungan potensi SDI pelagis di Karimunjawa juga mengalami kelemahan dalam ketersediaan data di Karimunjawa, sehingga diambil data pantura Jawa Tengah sesuai dengan sifat SDI pelagis yang memiliki mobilitas tinggi atau melakukan migrasi. Di samping itu dilakukan penambahan luasan zona-zona lain sebanyak 500 m, hal ini dilakukan karena sistem zonasi yang berlaku di TNKJ saat ini menempatkan zona-zona lain terutama zona inti, zona rehabilitasi, dan zona perlindungan bersinggungan secara langsung dengan zona PPT, sehingga kegiatan perikanan tangkap berisiko memasuki zona-zona yang dilindungi tersebut. Penambahan luasan zona dimaksudkan untuk memberikan dukungan luasan bagi zona yang dilindungi agar tidak terkena dampak yang signifikan terhadap kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat