El Niño Southern Oscillation ENSO

1. Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret dipengaruhi oleh monsun Barat Laut dan satu palung pada bulan Mei-September dipengaruhi oleh monsun Tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut. 2. Daerah B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober-November dan pada bulan Maret - Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke Utara dan Selatan dari Inter Tropical Convergence ZoneITCZ daerah pertemuan angin antar tropis. 3. Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli JJ dan satu palung pada bulan November-Februari. Pola ini merupakan kebalikan dari pola A. Berdasarkan koefisien kemiripan curah hujannya, Liong et al, 2003 mengelompokkan wilayah Indonesia menjadi 3, yaitu SEAM South East Asia Monsoon yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM North Australia Indonesia Monsoon yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Australia dan MC Maritime Continent yang mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien kemiripannya, menurut Liong et al, 2003 tidak ada daerah kepulauan Indonesia yang mempunyai koefisien kemiripan untuk dapat dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Variabilitas curah hujan Indonesia terkait erat dengan kejadian IODM, ENSO dan sistem monsun Indonesia. Fenomena IODM, ENSO dan monsun dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia tidak terjadi secara bersamaan. Pada suatu saat salah satu fenomena menjadi dominan dibandingkan fenomena yang lain. Namun pada waktu lain, ketiga fenomena tersebut terjadi dengan pengaruh yang sama kuat. Indonesia bagian barat dipengaruhi besar oleh fenomena IODM, sedangkan bagian timur dipengaruhi oleh ENSO. Dalam studi global, Yamagata et al., 2003 menyimpulkan secara garis besar pengaruh IODM di wilayah Indonesia menurun ke arah timur, sementara pengaruh ENSO menurun ke arah barat. IODM berkaitan erat dengan variabilitas suhu dan curah hujan di wilayah yang dekat dengan Samudera Hindia. Ashok et al, 2001, 2003 mempelajari bahwa kejadian-kejadian IODM positif diduga meningkatkan curah hujan monsun musim panas di India. Selain berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan secara independen, IODM juga disinyalir berkaitan saling mempengaruhi dengan fenomena ENSO. Behera dan Yamagata 2002 menemukan adanya korelasi antara indeks IODM dengan tekanan udara di Darwin, yang secara tidak langsung mempengaruhi kuat lemahnya ENSO. Liong et al, 2003 mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SPL suhu permukaan laut pada Nino 3.4, perioda 1961 sampai dengan 2001, wilayah MC bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Niño, sedangkan wilayah NAIM hanya sekitar –0.3. Untuk wilayah MC bagian barat dan SEAM South East Asia Monsoon masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 9798 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 8283 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 9798 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 8283, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat lemah. Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatera Selatan pengaruh IODM diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Niño, DMI positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IODM. Menurut Hendon 2003, variabilitas SPL di NINO 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50 variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SPL di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15 curah hujan di seluruh Indonesia.

2.5. Kondisi Oseanografi Samudera Hindia di barat Sumatera

Perairan Samudera Hindia di barat Sumatera merupakan bagian dari Perairan Timur Laut Samudera Hindia TLSH. Kondisi oseanografi perairan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sistem angin muson Wyrtki 1961; Purba et al. 1995; perubahan iklim global atau regional seperti El Niño dan dipole mode Nicolls 1984; Meyers 1996; Saji et al. 1999; dan aliran beberapa massa air. Sebagai bagian Samudera Hindia, SPL perairan TLSH umumnya 25-31 o C Nontji, 1993. Sementara variasi suhu tahunan rata-rata kurang dari 2 o C dan antara 2-4 o C Wyrtki 1961. Salinitas permukaan laut 30- 35 ‰. Menurut Wyrtki 1961, salinitas di sekitar pantai barat Sumatera banyak dipengaruhi curah hujan, salinitas terendah bulan Januari rata- rata 32,5 ‰. Dari pengamatan spasial dan temporal variabilitas klorofil-a dari data sensor SeaWiFS periode Januari 1998 –Desember 2003, Susanto et al., 2006 menyatakan konsentrasi klorofil-a selama musim tenggaraSoutheast monsoon Juni-Juli-Agustus sepanjang pantai Jawa dan Sumatera lebih tinggi daripada musim Northwest monsoon Desember-Januari-Pebruari. Ini berarti bahwa massa air di barat Sumatera dan selatan Jawa pada musim timurmusim tenggara lebih subur dibanding musim barat.

2.5.1. Tipe Massa Air

Wyrtki 1961 mengidentifikasi tipe-tipe massa air TLSH Tabel 4. Posisi kedalaman lapisan gumbar core layer sebagai ciri utama dari tipe-tipe massa air di perairan TLSH di sepanjang 88 o BT antara 4 o LU – 11 o LS, diperlihatkan pada Gambar 11. Tabel 4.Tipe Massa Air di Perairan Timurlaut Samudera Hindia Wyrtki, 1961 No. Tipe Massa Air Karakteristik T o C S ‰ O 2 mll 1. Subtropical Lower Water S-maksimum 16 – 27 34,6 – 36,0 2,5 2. Northern Salinity Minimum S-minimum 16 – 19 34,8 – 35,0 1,0 – 2,0 3. Southern Salinity Minimum S-minimum 12 – 17 34,5 – 34,8 1,6 – 2,5 4. Upper Oxygen Minimum O 2 -minimum 12 – 16 34,8 – 35,1 1,6 5. Persian Gulf Water  t 27,0 S-maksimum O 2 -maksimum 8 – 14 11 – 13 34,6 – 35,1 34,9 – 35,1 1,0 – 2,0 1,2 – 2,2 6. Lower Oxygen Maximum O 2 -maksimum 8 – 11 34,7 – 35,1 3,2 – 4,0 7. Red Sea Water  t = 27,2 – 27,4 S-maksimum O 2 -minimum 7 – 9 6 – 10 34,8 34,6 – 35,0 0,7 – 1,4 2,1 8. Banda Sea Water S-Minimum 4,5 – 6 34,5 – 34,9 1,3 – 2,4 Keterangan : S = Salinitas, T = Suhu dan O 2 = Oksigen terlarut Gambar 11. Skema Posisi Kedalaman Core Layer di Perairan Timurlaut Samudera Hindia di Sepanjang 88 o BT antara 4 o LU – 11 o LS Wyrtki, 1961. Pada bagian bawah lapisan permukaan terdapat Massa Air Subtropik Bawah Subtropical Lower Water. Kedalaman lapisan gumbar massa air ini berada 50 - 100 m. Subtropical Lower Water berasal dari Lautan India bagian tengah dan barat laut pada kedalaman sekitar 75 m dan menyebar bersama Arus Sakal Khatulistiwa Samudera Hindia ke arah timur dan tenggelam 100-125 m di barat daya Sumatera. Selanjutnya di selatan Jawa – Sumbawa berada pada kedalaman sekitar 125 - 150 m Wyrtki, 1961. Di bawah Massa Air Subtropik Bawah terdapat massa air Northern Salinity Minimum yang menyebar bersama arus muson pada kedalaman 150 m ke arah tenggara menuju pantai Sumatera. Massa air ini memiliki karakter salinitas rendah 34,8- 35,0 ‰ dan suhu 16-19 o C serta kandungan oksigen terlarut minimum 1-2 mll. Pada bagian selatan khatulistiwa terdapat massa air Southern Salinity Minimum dengan ciri salinitas lebih rendah 34,5 - 34,8 ‰ dan suhu 12 - 17 o C serta kandungan oksigen terlarut 1,6 - 2,5 mll. Lapisan gumbar dari massa air Southern Salinity Minimum ini terdapat di kedalaman 150-200 m. Tipe massa air lain di perairan TLSH adalah Massa Air Teluk Persia the Persian Gulf Water datang dari barat Sumatera pada kedalaman 150-500 m. Massa air ini mempunyai karakter salinitas dan kandungan oksigen terlarut tinggi. Massa Air Teluk Persia dicirikan dua lapisan gumbar yaitu salinitas maksimum dan oksigen maksimum. Kedalaman lapisan gumbar berada antara 200-400 m. Di