Penghitungan Luas Massa Air

2004 dan 2009 yang dominan adalah massa air berwarna hijau yang memiliki nilai standar deviasi normal, menandakan nilai sebaran rata-rata SPL tidak berbeda dari normalnya. Pada fase IODM negatif 1996, 1998 dan 2005, dominansi massa air berwarna biru, nilai sebaran SPL umumnya lebih tinggi dari normalnya. Kisaran nilai sebaran, rata-rata dan standar deviasi SPL di barat Sumatera dan Selatan Jawa berdasarkan fase IODM ditampilkan pada Lampiran 2, sementara polanya dapat dilihat pada grafik Gambar 25. Secara umum, semakin ke arah selatan Bengkulu dan selatan Jawa Barat nilai standar deviasi SPL semakin tinggi dan sebaliknya semakin ke arah utara Aceh dan Sibolga semakin rendah. Artinya, pengaruh IODM terhadap penyimpangan nilai sebaran SPL semakin terasa pada bagian selatan perairan barat Sumatera. Sementara besaran nilai sebaran SPL rerata tahunan menunjukkan pola sebaliknya, semakin rendah ke arah selatan, kecuali di perairan Aceh terdapat perbedaan. Nilai sebaran SPL rerata tahunan perairan selatan Jawa Barat dan Bengkulu lebih rendah dibandingkan perairan Sumatera Barat dan Sibolga. Perairan Aceh memiliki nilai sebaran SPL lebih rendah dibandingkan perairan Sumatera Barat maupun Sibolga, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan perairan Bengkulu maupun selatan Jawa Barat. Nilai sebaran rerata tahunan SPL yang lebih rendah di perairan selatan Jawa Barat dan Bengkulu, karena berkaitan dengan posisinya yang berada di lokasi terjadinya upwelling dan mendapat aliran massa air upwelled dari selatan Jawa Timur dengan SPL yang lebih rendah. Nilai sebaran SPL tahunan yang tinggi di perairan Sumatera Barat dan Sibolga terkait dengan posisi perairan ini yang berada di equator dan hanya mendapat aliran massa air equator yang relatif lebih hangat. Sementara massa air perairan Aceh, mendapat pengaruh berbagai aliran massa air yaitu dari Selat Malaka, Laut Andaman dan Teluk Benggala. IODM Positif Kuat 25 26 27 28 29 30 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar SPL C rerata tahunan IODM Positif kuat 2006 1997 1994 SPL C 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar Standar deviasi rerata tahunan SPL C IODM Positif kuat 1994 1997 2006 Sta.Dev IODM Positif Lemah 25 26 27 28 29 30 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar SPL C rerata tahunan IODM Positif lemah 2008 2007 2003 2002 SPL C 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar Standar deviasi rerata tahunan SPL C IODM Positif lemah 2002 2003 2007 2008 Sta.Dev IODM Negatif 25 26 27 28 29 30 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar SPL C rerata tahunan IODM Negatif 2005 1998 1996 SPL C 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar Standar deviasi rerata tahunan SPL C IODM Negatif 1996 1998 2005 Sta.Dev IODM Normal 25 26 27 28 29 30 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar SPL C rerata tahunan IODM Normal 2009 2004 2001 2000 1999 1995 SPL C 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 Aceh Sibolga Sumbar Bengkulu Selatan Jabar Standar deviasi rerata tahunan SPL C IODM Normal 1995 1999 2000 2001 2004 2009 Sta.Dev Gambar 25.Nilai sebaran rerata dan standar deviasi tahunan SPL berdasarkan fase IODM di barat Sumatera dan selatan Jawa Barat 1994-2009

4.2. Curah Hujan

Berdasarkan nilai rata-rata bulanan, curah hujan di barat Sumatera mempunyai dua puncak yaitu bulan Oktober-November dan Maret-Mei Gambar 26. Menurut Aldrian dan Susanto 2003, pola yang demikian termasuk curah hujan tipe region B, dipengaruhi oleh pergeseran ke Utara dan Selatan dari Inter Tropical Convergence ZoneITCZ daerah pertemuan angin antar tropis. Perairan Air Bangis dan Sibolga memiliki curah hujan yang lebih tinggi, sementara curah hujan terendah terjadi di Bengkulu. Dari polanya terlihat curah hujan di Bengkulu memiliki sedikit perbedaan, yaitu pada akhir tahun cenderung meningkat sementara pada awal tahun polanya mirip dengan pola hujan region B. Jika mengacu kepada pengelompokkan curah hujan seperti dinyatakan Aldrian dan Susanto 2003, daerah Bengkulu termasuk wilayah dengan curah hujan tipe region A tetapi masih mendapat pengaruh dari pola hujan tipe region B. Puncak curah hujan pada November-Maret dipengaruhi monsun Barat Laut dan satu palung pada Mei-September dipengaruhi monsun Tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan di region A ini berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut. Dari nilai rata-rata tahunan, curah hujan pada fase IODM positif kuat di lokasi penelitian barat Sumatera jauh lebih rendah dibandingkan dengan fase IODM positif lemah, negatif maupun normal Gambar 27. Dari fluktuasi curah hujan bulanan sepanjang tahun pengamatan 1994-2009 Gambar 28, menunjukkan fase IODM positif kuat 1994 dan 1997 memiliki curah hujan yang sangat rendah. Fase IODM negatif 1998 dan 2005 memiliki curah hujannya sangat tinggi, berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, mulai dari pertengahan tahun sampai bulan Desember. Dari nilai rata-rata bulanan berdasarkan fase IODM, di perairan Aceh tidak terlihat perbedaan yang nyata antara curah hujan pada fase IODM positif lemah, negatif dan normal. Sementara di perairan Sibolga, Air Bangis, Padang, Painan dan Bengkulu, terlihat perbedaan nyata curah hujan antar fase IODM Gambar 29.