Sistem Penamaan Tokoh Arya Sena

commit to user 66 Penggantian Arti Metafora, personifikasi, sinekdoke, 2. Penyimpangan arti paradoks, ambigu, kontradiksi, nonsense, 3. Penciptaan Arti rima, enjabemen, tipografi, ekuivalensi.

a. Sistem Penamaan Tokoh

Salah satu sifat khas sistem tanda dalam sastra wayang terdapat dalam nama yang memiliki arti tertentu seperti tercermin dalam ungkapan Jawa asma kinarya japa . Orang Jawa menjadikan nama sebagai salah satu cara mengekspresikan diri, menyatakan diri maupun mengenali, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun dalam sebuah karya fiksi termasuk dalam sastra wayang. Nama juga dipakai untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun makna. Dengan pemahaman terhadap nama dari setiap tokoh yang memiliki peran dalam cerita sistem penamaan juga akan bisa dimunculkan. Secara paradigmatik terdapat banyak tokoh dalam cerita wayang namun pencipta cerita memilih tokoh-tokoh tertentu dengan peran yang tertentu pula dalam karya sastra yang dibuatnya. Tokoh dalam sastra wayang biasanya sudah dikenal secara akrab oleh pendengar atau pembacanya. Tiap-tiap tokoh wayang yang tampil dalam karya sastra wayang sudah dipahami karakteristiknya sehingga tinggal mengikuti jalan ceritanya melalui sistem tanda dan bangunan ceritanya. Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penokohan, sebagaimana yang dikemukakan dalam teori sastra yang dilihat dari keterkaitannya dengan keseluruhan atau sebagian dari struktur cerita, teks Serat Dewa Ruci ini memiliki tiga kategori. Pertama, tokoh sentral protagonis yang meliputi: Arya Sena, Drona, Dewa Ruci. Kedua, tokoh sentral-antagonis yang meliputi: Duryudana. Ketiga, tokoh tambahan yang meliputi : Rukmuka dan Rukmakala, Naga. Berikut ini analisis ketiga jenis tokoh tersebut. commit to user 67

i. Arya Sena

Arya Sena adalah tokoh protagonis dalam cerita wayang, yang juga dikenal dengan nama: Werkodara, Arya Sena, Bhimasena dan Bharatasena. Di dalam naskah Dewa Ruci yang menjadi objek penelitian nama Sena atau Arya Sena muncul pada: pupuh pertama Dandhanggula bait 2, bait 15, pupuh 1, pupuh 29 , pupuh 33 , sinom 9, sinom 16, dandhanggula 9. Juga muncul dengan nama lain Wrekodara pada pupuh dhandanggula bait 2, pelog bait 13, pelog bait 14, pelog bait 19, pelog bait 26, pupuh kelima dhandanggula bait 5. Dengan nama Raden Wrekudara pada pupuh pelog bait 15, arya bima pada pupuh dandhanggula bait 14, Gondanarpatmaja pada pupuh pelog bait 5, Wong Agung Jodhipati pada pupuh pelog bait 42, Bayuputra pada pupuh sinom bait 3, Sang Pancaretna pada pupuh dandhanggula bait 50. Bima dalam bahasa Sansekerta berarti „mengerikan‟, Werkodara berarti perut Srigala merujuk kepada kegemarannya makan, sedangkan Sena sebenarnya adalah nama dari seekor gajah yang membantu kelahiran Bima sehingga nama gajah tersebut sering disematkan juga kepada Bima. Bhimasena berarti panglima perang sedangkan Bharatasena bisa diartikan sebagai panglima dari wangsa Bharata. Menurut cerita Mahabharata, akibat kutukan dari seorang resi, Pandu tidak dapat menurunkan anak. Kunti istri Pandu berseru kepada Bayu dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu lahirlah Bima. Bayu juga merupakan ayah dari Hanoman, tokoh kera dalam epos Ramayana yang menjadi tulang punggung kemenangan Rama atas Rahwana. Bima anak kedua dari Dewi Kunti setelah Yudhistira. Keluarga Pandawa dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai keluarga yang berbudi luhur putra para Dewa. Disebutkan dalam Adiparwa bahwa ketika dewa Indra hendak menitis ke dunia Ia menemui Dewa Wisnu untuk diajak menyertainya menitis ke dunia, adapun pancandriya-nya akan menjelma kepada lima Pandawa. Bisa diartikan commit to user 68 bahwa Pandawa merupakan inkarnasi dari lima unsur Indra atau sering diungkapkan dengan bahasa lain panca indera. Mitologi Jawa menceritakan bahwa kelima Pandawa sesungguhnya adalah keturunan dari para dewa, yang menitis melalui pemujaan yang dilakukan oleh Dewi Kunthi dan Dewi Madrim dengan menggunakan ajian Konta Druwasa atau Konta Herdaya. Maka tidaklah mengherankan nama-nama tokoh, senjata, ilmu yang mereka miliki mengacu kepada nama-nama para Dewa tersebut. Yudhistira bergelar Darmaputra atau putra Bathara Darma. Bima bergelar Bayuputra yang artinya Putra Bathara Bayu. Arjuna bergelar Indratanaya, tanaya berarti juga anak maka indratanaya berarti anak Bathara Indra. Nakula dan Sadewa adalah putra Bathara Aswan dan Aswin. Dengan demikian kelima Pandawa dalam sastra wayang sering menjadi simbol kebaikan dan nilai-nilai keutamaan. Bertindak sebagai hulubalang atau penasihat atau kusir sekaligus pengayom Pandawa adalah Prabu Kresna yang merupakan penjelmaan Bathara Wisnu, sang Dewa Kebahagiaan. Pada usia remaja Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata Bima lebih senang menggunakan gada, maka ia belajar kepada Baladewa saudara Kresna yang mahir menggunakan gada. Dianggap sebagai tokoh yang heroik dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh. Ia setia pada satu sikap yaitu tidak suka berbasa-basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri. Bima tokoh yang gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga ia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus ataupun duduk di depan lawan bicaranya, kecuali saat Bima bertemu dengan Dewa Ruci dan menjadi resi dalam lakon Bima Suci. Bisa dikatakan bahwa commit to user 69 diantara tokoh protagonis yang ada di pihak Pandawa hanya Bima yang memiliki nafsu sangat besar baik amarah maupun aluwamah. Selain bersenjatakan gada Rujakpala, Bima juga memiliki senjata Kuku Pancanaka, Alugara, Bargawa dan Bargawasta. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, Ikat pinggang Nagabanda dan celana Cinde Udagara. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, dan Sumping Surengpati. Bima digambarkan sebagai sosok yang tegas dan lugas kadang terkesan kasar. Ia seringkali menjadi pahlawan bagi keluarga dan saudara-saudaranya para Pandawa. Dalam peristiwa di Wanamarta atau biasa disebut Bale Sigala-Gala, Bima menyelamatkan Ibu dan saudara-saudaranya yang sangat mengantuk dan lelah sekaligus dibawanya melarikan diri lewat terowongan dari bale yang sedang terbakar. Di Hidimbawana Bima berhasil membunuh raksasa bernama Hidimba yang hendak menjadikan Ia dan keluarganya sebagai santapan. Saat Pandawa di kota Ekacakra Bima menghadapi raksasa Bakasura yang hendak menjadikan anggota keluarga seorang Brahmana yang telah berjasa kepada Pandawa sebagai santapan. Dalam perang Baharatayudha Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang menggunakan gadanya. Pada hari yang terakhir dari perang Bharatayudha Bima berkelahi melawan Duryodana dengan adu senjata gada. Pertarungan berlangsung sengit dan lama sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana maka matilah Duryodana jiwa tamak dari Kurawa. Bima memakai kain motif poleng sama seperti yang dipakai para ponakawan. Sebagai ksatria hal ini memang tidak lazim sama tidak lazimnya dengan tatakrama Bima yang commit to user 70 digambarkan tidak mau berbahasa krama kepada siapa saja, kecuali untuk cerita tertentu, juga tidak duduk di depan siapa saja. Bima juga beristri seorang raksasa ialah Arimbi. Karakter Bima berkesesuaian dengan karakter individu yang dibutuhkan untuk mencapai pengalaman kesempurnaan berdasar karakter hubungan interpersonalnya yang istimewa dalam membela keluarganya. Bima tidak tergantung pada orang lain, bebas dari norma-norma budaya atau harapannya sehingga digambarkan dalam pewayangan Bima tidak bisa memakai bahasa krama. Karakter emosi Bima yang bebas dari rasa takut, melampaui ego pribadi sesuai dengan karakter yang ngudi kasampurnan . Bima atau Sena adalah metafor dari nilai-nilai ideal yang sebaiknya dimiliki oleh pencari kesempurnaan. ii. Drona Tokoh yang menjadi perantara Bima mencapai jalan kesempurnaan adalah Drona, maka perannya dalam serat ini dianggap penting, selain hubungannya dengan alur cerita juga dengan fungsi metaforis yang diperankannya. Di dalam Serat Dewa Ruci nama Dhang Yang Druna muncul pada pupuh dandhanggula bait 4, sinom bait 1, sinom bait 11, dandhanggula bait 26. Selain itu juga muncul dengan nama Resi Druna pada pupuh dandhanggula bait 8,bait 13. Di cerita wayang Jawa tokoh Drona sering berganti nama menjadi Durna, sedangkan Dur berarti buruk. Namun dalam kitab Mahabharata India tidak demikian adanya. Drona tidak berkonotasi buruk bahkan ia adalah pelindung dan petunjuk bagi Arjuna, murid yang paling dikasihinya. Drona dilahirkan dalam keluarga Brahmana kaum pendeta Hindu. Ia merupakan putra dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun modifikasi dari kata dehradron, guci tanah liat. Kisah kelahiran Drona diceritakan sangat dramatis dalam Mahabharata. Pendeta Bharadwaja atau dalam versi Jawa Baratmadya pergi bersama rombongannya menuju sungai Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat commit to user 71 bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkan keluarnya air mani yang sangat banyak. Ia menampung air mani tersebut ke dalam pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut jadilah Drona. Dalam versi Jawa Drona adalah putra dari pendeta Baratmadya dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Nama lain dari Drona adalah: Dronacharya, Resi Drona, Begawan Drona, Durna. Di masa mudanya bernama Bambang Kumbayana. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan namun belajar agama dan militer bersma-sama dengan pangeran dari kerjaan Panchala bernama Sucitra yang akan berjuluk Drupada. Di masa kecilnya Drupada pernah berjanji akan memberikan setengah kerajaannya kepada Drona jika Drupada diangkat menjadi raja Panchala. Setelah dewasa teringat pada janji Panchala yang telah diangkat sebagai raja, Drona datang menghadap untuk meminta bantuan. Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona sebagai temannya dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia adalah manusia rendah. Drupada berkata, “Persahabatan hanyalah mungkin jika terjadi antara dua orang dengan taraf h idup yang sama”. Ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para Brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Kumbayana marah merasa dihina kemudian balas menghina Raja Drupada. Mahapatih Gandamana yang dulunya adalah patih di Hastinapura saat pemerintahan Pandu, menjadi murka dan menghajar Kumbayana dengan Aji Bandung Bondowoso ajian yang diturunkan kepada murid tercintanya, Raden Bratasena atau Bima sampai wajah Kumbayana menjadi rusak. Drona mendapat ilmu perang dari Parasurama saat Drona mendengar bahwa Parasurama mau memberikan pengetahuan yang dimilikinya kepada Brahmana, Ia mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada commit to user 72 brahmana yang lain. karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona. Dalam wiracarita Mahabharata, Drona adalah guru para Korawa dan Pandawa. Saat mereka menyelesaikan pendidikannya Drona menyuruh mereka agar menangkap Raja Drupada yang memerintah kerajaan Pancala. Arjuna berhasil menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh kekuasaan Drupada, dan mengembalikan separuhnya lagi. Dendam membara berganti menyala di dada Drupada, dengan sebuah upacara Ia memohon anugerah seorang putra yang akan membunuh Drona dan seorang putri yang akan menikahi Arjuna, lahirlah Drestyadumna yang membunuh Drona dalam Bharatayudha. Dalam salah satu kisah yang sangat populer di India maupun di pewayangan Jawa yaitu kisah Ekalaya, Drona menampakkan sifatnya yang diskriminatif. Ekalaya adalah seorang pangeran muda dari suku Nisadha yang datang kepada Drona untuk diajari ilmu memanah. Drona tidak mau mengajari karena sudah memiliki janji hanya akan mengajar keluarga Pandawa dan Kurawa dan juga karena Ekalaya tidak berasal dari kasta ksatria. Selain Ekalaya yang ditolak karena tidak berasal dari kasta ksatria Karna juga pernah ditolak oleh Drona saat ingin belajar kepadanya dengan alasan yang sama. Karena merasa terhina Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai Brahmana. Karna menjelma menjadi ksatria yang memiliki kemampuan memanah luar biasa hebat. Drona di dalam cerita wayang termasuk di dalam Serat Dewa Ruci seakan-akan sebagai karakter yang kontradiktif, antara mitra ataukah musuh Sena, sebagai Guru yang mengarahkan Sena ataukah Berkomplot dengan Kurawa? Di dalam teks pupuh pertama padha 14 tertulis: 14. dhungkarana ingkang wukir-wukir |jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna || commit to user 73 14. Carilah di gunung-gunung, di dalam gua-gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum, ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan, berhati-hatilah adikku Di masa lalu tidak ada yang tahu tentang letak air yang dicari Sena, lalu darimana Drona tahu letak air itu? Apakah Karena Drona telah mengalami sebelumnya? Terlepas dari peran dan perilaku yang digambarkan dalam beberapa cerita wayang yang telah diuraikan di atas, di dalam Serat Dewa Ruci peran Drona nampak sebagai tokoh protagonis. Drona menyampaikan kepada Bima tentang letak air suci itu dan ternyata benar-benar ada yang kemudian berhasil ditemukan oleh Bima. Berdasarkan data pada padha 14 di atas Drona mengetahui letak air suci tersebut bukan dari orang lain kecuali dari kesadarannya sendiri, dengan demikian pengetahuannya tersebut adalah hasil dari pemahaman atau pengalamannya sendiri, hasil pertemuan dengan Dewa Rucinya sendiri, yang artinya Drona telah memiliki kualitas sempurna yang tidak mungkin membela Kurawa. Bisa disimpulkan Drona adalah sosok yang telah mampu mengendalikan egonya untuk tidak berpihak kepada Pandawa secara langsung, ia berada di pihak Kurawa namun demi mendukung kemenangan Pandawa, pihak yang telah menemukan jatidirinya, pihak dimana murid-murid yang selalu dikasihinya berada. Drona dengan demikian adalah metafor dari kelapangan dada paripurna. iii. Kresna Kresna adalah kusir atau sais kereta perang Harjuna, satria penengah Pandawa. Ia merupakan pengarah bagi Harjuna kemana arah langkah dan petunjuk keputusan bagi Harjuna di saat mengalami kebimbangan. Di dalam Serat Dewa Ruci disebutkan di pupuh pangkur padha 39-40: commit to user 74 39. ngandika Narendra Krêsna | yayi prabu aywa sungkawèng galih | polahe arinirèku | Ki Arya Wrêkodhara | nadyan silih sêpuh yêktining pangapus | ing tingkah Kurawa cidra | dèn pasrah ing batharadi || 39. Kemudian Narendra Kresna berkata, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita, Ki Arya Wrekudara, walaupun sebenarnya tipuan, oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada Dewata Yang Agung. 40. wong anêdya puruhita | ujar bêcik upama dèn alani | santosa ing bathara gung | ingkang nêdya bancana | môngsa wurung nêmu wêwalês ing pungkur | punagi ing aturira | marang Prabu Harimurti || 40. Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik misalkan dengan tujuan buruk tetap dijalankan, yakin kepada Dewata Yang Agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akan mendapatkan balasan, lalu berkata prabu Yudhistira, kepada Prabu Harimurti. Di saat Pandawa mengalami kebingungan mensikapi kenekatan Bima dan kecurigaan terhadap niat tulus guru Drona beserta Kurawa, Pandawa mengirimkan utusan kepada Sri Harimurti atau Kresna untuk meminta pendapatnya. Kresna menjadi tempat bertanya bagi para Pandawa dimana pendapatnya dianggap sebagai sumber kebenaran dan sumber pertimbangan. Kresna dalam cerita ini ditempatkan sebagai nilai kebenaran, khususnya nilai kebenaran Jawa. Di dalam peristiwa usaha Kurawa menjerumuskan Bima kepada kematian Kresna menuturkan agar berserah kepada Dewata Yang Agung dengan percaya adanya kuasa Dewata Yang Agung terhadap akibat dari perbuatan. Para Pandawa yang terdiri dari para satria sakti dan berilmu tinggi, termasuk Yudhistira yang adalah saudara tertua memiliki ilmu yang tinggi sehingga digambarkan sebagai putra Dewa Surya, ternyata masih “membutuhkan” Kresna untuk memahami situasi Bima. Kresna nampak sebagai sumber kebenaran, acuan nilai-nilai yang harus diikuti. Dipaparkan di Pupuh Durma padha 14-16: 14. samya gubêl nênuwun kang pangandika | Sang Prabu Harimurti | samya tinangisan | sira Narendra Krêsna | wus aywana kang prihatin | pan kadangira | nora tumêkèng pati || 14. Semua memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, dan semua menangis, berkatalah Sang Kresna, sudah jangan bersedih, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia. 15. malah antuk kanugrahaning jawata | besuk praptane suci | iya pan sinihan | de Sang Suksma Kawêkas | winênang aliru dhiri | raga bathara | putus ing tingal êning || commit to user 75 15. Bahkan sena akan mendapat pahala dari Dewata, nanti dia akan datang dengan kesucian, ia akan mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening. 16. uwis padha maria aja sungkawa | enggar tyasira sami | sirna susahira | dene wau miyarsa | pangandika kang sayêkti | saking kang raka | nata ing Dwarawati || 16. Maka janganlah bersedih hati, gembirakanlah hati kalian, hilanglah rasa cemas mereka, setelah mendengar, penjelasan yang sebenarnya, dari kakanda Sang Prabu Kresna, Raja di Dwarawati. Sekali lagi Kresna menjadi penolong bagi kebimbangan dan kesedihan Pandawa dalam menghadapi peristiwa kepergian Bima mencari Banyu suci . Nilai tentang sebab akibat atau sapa nandur bakal ngunduh , kesetimpalan antara usaha beserta rintangannya dengan hasil yang didapatkan, disampaikan oleh Kresna. Berdasarkan dua data dari teks Dewa Ruci nampak bahwa Kresna merupakan personifikasi dari nilai-nilai ideal Jawa, khususnya nilai spiritual. iv. Dewa Ruci atau Anak Bajang Tokoh Dewa Ruci hanya muncul dalam satu kisah pewayangan saja ialah dalam Serat Dewa Ruci ini. Tokoh Dewa Ruci muncul dalam pupuh 5 dhandanggula pada 20, pupuh 5 dhandanggula pada 32, dan disebutkan juga dengan nama lain yaitu sang Wiku pada pupuh 5 dhandanggula pada 29. Penjelasan tentang Dewa Ruci terdapat pada pupuh 5 pada 20. Dewa dalam agama Hindu adalah pemilik kekuasaan atas satu anasir atau penguasa kekuatan tertentu yang melebihi manusia. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu. Masyarakat Jawa membagi alam semesta menjadi tiga tataran yaitu alam bawah fana, alam tengah antara, dan alam atas abadi. Dewa tinggal di alam atas, ia bersifat abadi, atau selalu ada melekat dalam manusia. Digambarkan dalam serat Dewa Ruci pupuh Durma bait 17: 17. ya ta malih wuwusên Sang Wrêkodhara | nèng têlênging jaladri | sampun pinanggihan | awarni dewa bajang | pêparabe Dewaruci | lir lare dolan | ngandika têtanyaris || commit to user 76 17. Kembali dikisahkan Sang Wrekudara, yang masih di tengah samudera, sudah bertemu, dengan Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main, bicaranya jarang. Penggambaran Dewa sebagai anak kecil tidak pernah ada di dalam cerita wayang kecuali penggambaran terhadap Dewa Ruci, maka hal ini tentu perlu untuk menjadi perhatian. Orang dewasa tumbuh melekat pada perannya yang terspesialisasi dan pada akhirnya salah memahami identitas jatidirinya sendiri. Sosok palsu yang tidak utuh mengambil alih sehingga menjadi hanya tampang luar saja, sementara jiwa yang misterius dan kreatif yang dulunya dimiliki saat masih anak-anak menghilang. Tampang luar itu harus diretakkan dan melalui retakan itu orang dewasa akan dapat mengintip sebuah dunia yang lebih kaya dan lebih vital, disitulah anak-anak berada. Anak-anak menyingkapkan kepada kita identitas-identitas palsu kepada diri sendiri dan betapa bahagia bisa kembali berjumpa dengan diri kita sendiri itu. Perilaku yang kita munculkan dalam kejadian-kejadian bisa jadi adalah sifat-sifat kekanakan yang tak pernah terkonfrontasi dan yang sudah mencengkeram hidup kita tanpa pernah sepenuhnya kita sadari. Kita tumbuh ditulari oleh orangtua maupun para pendahulu, ditulari takut laba-laba, tabu seksual, perilaku terhadap makanan, properti, uang, ketakutan-ketakutan karena trauma orang tua kita, kebiasaan- kebiasaan. Seberapa besar individualitas kita yang sungguh-sungguh terselamatkan? Kita sering gagal tumbuh dan individualitas kita tenggelam dalam kepribadian yang bukan milik kita, sehingga kita hanya mengulang kebiasaan-kebiasaan yang ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menjadi anak-anak adalah menjadi hadir dalam kekinian dan dalam kehadiran pada keadaan itu menjadi awal kesadaran. Mengada berarti secara aktif hadir pada saat sekarang dan bersentuhan secara utuh dengan apa yang ada di sini, saat ini. Kalau kita mengamati dengan sungguh-sungguh secara mendalam daun mangga yang sedang melambai-lambai ditiup angin maka kita menemukan kehadiran matahari dan bintang-bintang, karena tanpa kehadiran sinar dan commit to user 77 kehangatannya maka daun mangga tidak akan pernah ada. Kita menyadari bahwa kehadiran semua fenomena hanya mungkin karena adanya fenomena yang lain. Satu yang mengandung semua, dan semua terkandung di dalam yang satu. Pemilahan identitas manusia berdasar identitas profesi, disiplin ilmu, tingkat pendidikan, identitas jenis kelamin merangsang tumbuhnya reductive knowledge yang bekerja seperti orang buta memegang gajah: yang kebetulan memegang ekornya, berpendapat bahwa gajah adalah seperti tali, yang memegang kakinya berpendapat seperti tiang listrik, yang memegang belalainya menganggap gajah seperti selang besar. Demikianlah realitas dalam dunia manusia dewasa. Dewa Ruci adalah personifikasi dari nilai ketulusan dalam menjalani hidup sehingga dapat menemukan daya hidup ringas , tanpa terjebak oleh identitas-identitas spasial, peran- peran yang terspesialisasi. Totalitas kehadiran kepada kehidupan sehingga melahirkan kesadaran akan keluasan dunia dan hubungan-hubungannya.

v. Duryudana