commit to user 110
muslihat bahkan demi tercapainya
ego
pribadi, yang pada prakteknya bisa berupa nafsu seksual, nafsu kekuasaan, nafsu kenikmatan,
ego
sosial, keinginan dipuji dan dijadikan tuan bagi orang lain.
Cahaya putih merupakan perwujudan dari nafsu muthmainah atau diri yang tenang. Putih berarti nyata, itulah hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu perwira dalam kedamaian.
Hanya warna putih itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, merupakan tempat menerima anugrahnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan hati. Jika
yang tiga lainnya merupakan musuh bagi diri, dan juga sangat banyak kawannya sedangkan yang berwarna putih hanya sendirian tanpa kawan, maka ia sering kalah. Jika dapat mengalahkan
tiga hal yang merusak, maka akan terjadi persatuan makhluk dan pencipta Dewa Ruci
pupuh
5 bait 12-14.
Pancamaya merupakan pengungkapan tentang nafsu manusia yang dimetaforkan dengan berbagai jenis cahaya. Nafsu manusia menurut pancamaya terdiri dari nafsu angkara murka
berwarna hitam, hasrat berlebihan berwarna merah, ego yang digambarkan dengan warna kuning, dan nafsu muthmainah dimana manusia telah mencapai ketenangan diri. Jika bisa
mengalahkan tiga nafsu yang pertama maka akan bertemu dengan Dewa Rucinya. Pancamaya merupakan hasil proses yang dialami oleh Bima
f. Penciptaan Arti Melalui Susunan
Pupuh
Sebagai Susunan Alur
Alur dalam sastra wayang merupakan jalinan peristiwa untuk mencapai efek tertentu. Alur dalam lakon wayang adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama
melalui
sanggit-sanggit
yang mengarah pada klimaks dan penyelesaian cerita. Di dalam sastra wayang alur tersusun menurut pola dan kaidah yang berlaku, sedangkan dalam Serat Dewa Ruci
pola atau kaidah tersebut tertuang dalam penggunaan pupuh.
commit to user 111
Tembang Macapat memiliki konvensi bentuk tertentu dan lagu tertentu yang biasa disebut:
guru gatra, guru wilangan
dan
guru lagu
.
Guru gatra
ialah jumlah baris dalam setiap pada yang tertentu jumlahnya,
guru wilangan
ialah jumlah suku kata tertentu setiap gatra, dan setiap gatra diakhiri dengan huruf hidup tertentu pula yang biasa disebut
guru lagu.
Setiap metrum ditempeli karakter atau sifat tertentu.
Kumpulaning tembang sawarna
disebut
pupuh
Widada, 2001:643, kumpulan tembang satu metrum yang jumlahnya bisa beberapa pada „bait‟.
Jenis
pupuh
dengan demikian juga sama dengan jenis metrum tembang ialah sebelas:
Pupuh
Maskumambang,
pupuh
Mijil,
pupuh
Sinom,
pupuh
Kinanthi,
pupuh
Pangkur,
pupuh
Asmaradana,
pupuh
Durma,
pupuh
Dhandanggula,
pupuh
Gambuh,
pupuh
Megatruh, dan
pupuh
Pocung.
Pupuh
dengan kandungan karakter yang khas sekaligus juga merupakan pembagian tahapan cerita yang dimaksudkan oleh pengarang. SDR menghadirkan lima
pupuh
dengan pupuh pertama dan terakhir menggunakan metrum yang sama sehingga terdiri dari empat jenis metrum.
i.
Pupuh
Dandhanggula Berisi 16 Bait
Pupuh
pertama berupa tembang dandhanggula yang menurut konvensi sifat metrum dandhanggula luwes, manis, serba cocok untuk suasana apa saja. Biasa digunakan untuk
memberi nasehat, mengungkapkan rasa sedih di permulaan gendhing maupun di akhir gending sebgai penutup, dengan sasmita
sarkara, hartati, dhandang, dhandanggula, madu, sari, manis, bremana, guladrawa, gagak, kaga, tresna
. Mengandung rasa optimis terhadap kehidupan, tidak berburuk sangka terhadapnya karena hidup adalah rangkaian sebab akibat yang sudah tertata
rapi, dan manusia yang baik harus bisa berjalan menurut aturan-aturan, hukum-hukum yang ada dan menjalani kesemestian.
Pada
pupuh
Dhandanggula SDR ini berisi pengenalan masalah dimulai dari peristiwa di kerajaan Astina, Bima bertemu Drona diberi perintah untuk mencari air suci yang bisa
commit to user 112
menyucikan tubuh atau nafsu. Adegan berikutnya Bima meminta ijin kepada keluarganya di Amarta, walaupun dilarang namun Bima tetap menjalankan niatnya. Kembali menghadap Drona
bima diberitahu tempat dari air suci ialah di hutan Tikbraskara. Berangkatlah Bima diiringi tawa yang disembunyikan dari para Kurawa karena sebenarnya mencari air suci adalah cara mereka
mencelakai Bima.
ii.
Pupuh
Pangkur berisi 44 bait
Pupuh
kedua berupa tembang pangkur yang menurut konvensi sifatnya tegang, mantap atau serius dan biasa digunakan untuk memberi peringatan agar tidak lupa diri. Menggunakan
sasmita:
pangkur, wuntat, pungkur, yudakenaka, ungkur, wuri, kur
. Mengandung ajaran nilai kehidupan yang penuh kefanaan yang hendaknya manusia tidak terikat kepadanya sehingga
manusia bisa berwatak
samadya,
„secukupnya, jujur kepada keadaan‟. Keterikatan kepada dunia
akan membuat hati kurang peka dan dapat lupa diri. Pada
pupuh
pangkur SDR berisi rintangan pertama yang harus dihadapi tokoh utama. Diawali cerita tentang Bima sampai ke gunung hutan Tibraksara. Bima mengagumi keindahan
alam hutan tikbraskara namun karena ingin segera menemukan air suci dengan tergesa bima membongkar hutan yang dikaguminya. Dari dalam gua muncullah dua raksasa: Rukmuka dan
Rukmakala. Setelah peperangan kedua raksasa mati dan musnah, yang ternyata mereka berubah menjadi Bathara Indra dan Bathara Bayu, yang kemudian memberikan pencerahan bahwa air
suci yang dicari tidak ada di tempat itu. Bima kembali ke astina dan bertemu dengan Drona. Dia menanyakan dimana sebenarnya air suci, dan dijawab bahwa air suci sebenarnya tidak ada di
hutan Tikbraskara, perintah itu hanyalah ujian seberapa Bima taat kepada gurunya. ditunjukkanlah bahwa air suci itu adanya di
telenging samudra
„pusat samudra‟. Bima mohon
commit to user 113
pamit kepada gurunya dan kemudian menuju Amerta. Untuk kedua kalinya Bima bertemu keluarganya untuk mohon pamit.
iii.
Pupuh
Sinom berisi 18 bait
Pupuh
ketiga berupa tembang sinom yang menurut konvensi memiliki watak sabar, sederhana, sabar, ramah dan gigih, digunakan untuk memberi nasehat, mengungkapkan rasa
susah, namun tetap meneruskan usaha. Sasmita yang digunakan kata:
sinom, taruna, anom, weni, sri, nata, pamse, logondrang, rema, pangrawit, mudha, nom, ron kamal, weni, anjani putra
. Mengandung arti muda, suatu masa penuh semangat, perjuangan, mengejar cita-cita dan ilmu
untuk bekal menghadapi tanggungjawab yang lebih besar di usia dewasa.
Pupuh
ini berisi rasa senang keluarga pandawa, Bima berpamitan kepada Keluarganya, adegan usaha menghalang-halangi terjadi lagi, namun kali ini ada Kresna yang menenangkan
Pandawa bahwa kepergian Bima tidak akan membuatnya celaka justru akan membuatnya lebih kuat dari sebelumnya. Perjalanan Bima menuju samodra diiringi kesedihan alam dan hewan yang
dilewatinya.
Pupuh
ini selain menyampaikan perjuangan Bima menghadapi masalah pertama juga berisi pengenalan masalah kedua ialah perjalanan tengah malam yang harus ditempuh Bima
menuju samudera disambut suara ombak bagaikan suara peperangan, sampailah Bima di tepi samodra. Awalnya ia merasa ragu-ragu namun lama-kelamaan kesedihan hatinya terkikis, dan
meneguhkan niat, masuklah ia ke dalam samudra.
iv.
Pupuh
Durma berisi 32 bait
Pupuh
keempat berupa tembang Durma yang menurut konvensi memiliki watak galak, marah, biasa digunakan untuk menyampaikan kisah peperangan, atau orang yang sedang marah
dan menantang. Menggunakan sasmita kata:
dur, durma
. Mengandung arti hidup harus mau
commit to user 114
menghadapi masalah yang silih berganti, hambatan, gangguan, dan cobaan adalah suatu yang harus dialami sehingga tidak benar jika manusia berputus asa.
Pupuh
keempat berisi Bima memasuki samudra dengan segala mara bahayanya yang sudah dilupakannya. Ia memakai ilmu jalasengara untuk menyibak air samudra. Datanglah naga
besar melilit dan menyemburkan bisa. Dalam kelelahan Bima menusukkan kuku Pancanaka ke tubuh naga, matilah ia sang Naga. Diselingi kisah kesedihan keluarga Pandawa karena khawatir
akan keselamatan Bima, mereka dihibur oleh Kresna bahwa Bima tidak akan apa dan justru akan menjadi Bathara jika berhasil melewati perjalanan mencari air suci.
Hadirlah kepada Bima sosok kecil, yang seperti bermain-main di tengah samodra, tanpa makanan tanpa pakaian. dewa ruci memaparkan hakikat berguru sehingga tahulah bima bahwa
sosok kecil di tengah samodra ini bukanlah sosok sembarangan, ternyata ialah sang amarbudyengrat, Dewa Ruci.
v.
Pupuh
dandhanggula berisi 55 bait
Pupuh
kelima berupa tembang dandhanggula sama seperti
pupuh
pertama. Tembang dandhanggula memang biasa digunakan sebagai pembuka dan penutup rangkaian
pupuh
dalam serat Jawa, hal ini sesuai dengan watak tembang dandhanggula yang netral. Nampaknya
pupuh
kelima Dhandhanggula yang berupa penjabaran dari Dewa Ruci kepada Sena sesungguhnya hanyalah penjelasan dari perjalanan Sena sendiri yang dikisahkan dari
pupuh
satu sampai empat. Isi dari
pupuh
yang kelima ini menceritakan saat Bima memasuki telinga Dewa Ruci, sehingga mengalami pengalaman tanpa arah, tanpa batas. Muncullah dewa ruci yang menjadikan
Bima memancarkan sinar menerangi sekitar sehingga semua nampak dan arah menjadi jelas. Sinar merupakan simbol hadirnya kesadaran. Bima menyadari ada sang Wiku dibalik segala
fenomena ini. Selanjutnya berisi hakikat diri, hakikat jagad raya, hambatan penyatuan Khalik
commit to user 115
dan makhluk, rasa, nafas, keberanian untuk mati. Kemudian Bima pulang ke Amerta, kembali bertemu dengan saudara-saudara, disambut pestan karena Wrekodara pulang dengan selamat.
Pertunjukan wayang yang satu dengan yang lainnya secara umum terdiri dari struktur dasar yang sama. Adegan pertama disebut
jejer
, biasa berlangsung di keraton raja pihak kanan baik, disusul kemudian menteri atau salah seorang utusan menyampaikan berita buruk. Adegan
berikutnya
perang ampyak
, prajurit yang berangkat melewati hutan rimba untuk menghadapi musuh. Adegan jejer sabrangan menggambarkan pihak kiri di paseban mempersiapkan
militernya. Terjadilah gara-gara dimana keseimbangan kosmos terganggu dan bencana besar menimpa, sehingga seorang tokoh kanan memutuskan menyepi diikuti hamba dan punokawan
masuk hutan. Jauh di dalam hutan rombongan kecil berjumpa dengan seorang pertapa resi disebut adegan jejer pandhita. Tokoh pahlawan lalu pulang dan di perjalanan menghadapi
raksasa-raksasa yang mencoba menghalangi perjalanannya, disebut adegan wana. Perang kembang terjadi setelah tokoh pahlawan kembali kepihak kanan dan menghadapi musuh. Perang
ageng menjadi tanda keberhasilan pihak kanan menghadapi masalah yang ada. Karya sastra wayang purwa ataupun dalam praktik pakeliran, alur lakon biasanya tidak
seketat pakem di atas. Ada beberapa adegan yang tidak ditampilkan berdasarkan pertimbangan tertentu, antara lain karena terbatasnya waktu, sedangkan lakonnya cukup panjang baik dalam
pagelaran wayang maupun dalam sastra wayang. Pakem wayang hanyalah sebagai pedoman saja dan jarang dipenuhi secara lengkap. Struktur alur dalam lakon paling tidak terdiri dari tiga
komponen yaitu introduksi, situasi, dan resolusi. Melalui introduksi cerita pembaca diharapkan mendapat gambaran selintas tentang apa
yang mungkin terjadi selanjutnya. Situasi mengungkapkan tahap-tahap peristiwa dengan berbagai konflik sampai mencapai klimaksnya. Dalam situasi sudah dapat dilihat tokoh-tokoh
commit to user 116
mana yang tergolong protagonis dan mana yang antagonis. Resolusi memaparkan tegangan yang mulai mengendor setelah melalui berbagai konflik dan menuju penyelesaian.
Setiap
pupuh
dalam Cerita Wayang Dewa Ruci mempunyai fungsi khusus atau sifat khusus jika dilihat dari adanya sub-tema yang berbeda di setiap
pupuh
dan perubahan peristiwa juga setting tempat pada setiap pergantian
pupuh
. Dengan demikian runtutan cerita Bima mencari
Banyu Pawitrasari
berdasar pembagian
pupuh
bisa dipilah menjadi:
Pupuh
1 Pengenalan masalah ialah keinginan Bima mendapat ilmu
kasampurnan
sekaligus upaya Kurawa mencelakai Bima,
pupuh
2 Bima menghadapi rintangan pertama ialah raksasa Rukmuka dan Rukmakala,
pupuh
3 Bima selamat dan menghadap kembali kepada Drona sehingga membuat para Kurawa terkejut,
pupuh
4 Bima menghadapi rintangan kedua ialah Naga di tengah samudera,
pupuh
5 Bima bertemu Dewa Ruci dan mendapat wejangan tentang ilmu
kasampurnan
. Rangkaian
pupuh
dalam SDR mewakili tahapan-tahapan peristiwa dengan suasana atau watak yang tiap tahapannya berbeda sesuai dengan watak dari setiap
metrum
tembang yang digunakan. Berdasarkan teori di atas dan mengingat pembagian cerita Dewa Ruci berdasarkan
pembedaan
pupuh
, ternyata ditemui adanya pola yang sama antara
metrum
tembang dengan isi tembang. Pertama berupa pengenalan setting masalah berupa datangnya ancaman atau ingin
dicapainya suatu tujuan. Bagian kedua rintangan yang harus dihadapi, bisa berupa harus menghadapi raksasa, bidadari, atau hewan sebagai simbol nafsu. Bagian ketiga mendapatkan
pusaka, pengetahuan atau pencerahan. Bagian keempat menghadapi musuh di medan perang atau naga di samodra. Kelima tokoh utama protagonis mendapatkan kemenangan. Rangkaian
peristiwa dari pupuh satu sampai pupuh kelima tersebut menampakkan bahwa serat Dewa Ruci memaparkan rangkaian laku yang dialami oleh Sena dengan berbagai hambatan dan rintangan.
commit to user 117
2. Makna Secara Hermeneutik