commit to user 77
kehangatannya maka daun mangga tidak akan pernah ada. Kita menyadari bahwa kehadiran semua fenomena hanya mungkin karena adanya fenomena yang lain. Satu yang mengandung
semua, dan semua terkandung di dalam yang satu. Pemilahan identitas manusia berdasar identitas profesi, disiplin ilmu, tingkat pendidikan, identitas jenis kelamin merangsang
tumbuhnya
reductive knowledge
yang bekerja seperti orang buta memegang gajah: yang kebetulan memegang ekornya, berpendapat bahwa gajah adalah seperti tali, yang memegang
kakinya berpendapat seperti tiang listrik, yang memegang belalainya menganggap gajah seperti selang besar. Demikianlah realitas dalam dunia manusia dewasa.
Dewa Ruci adalah personifikasi dari nilai ketulusan dalam menjalani hidup sehingga dapat menemukan daya hidup
ringas
, tanpa terjebak oleh identitas-identitas spasial, peran- peran yang terspesialisasi. Totalitas kehadiran kepada kehidupan sehingga melahirkan kesadaran
akan keluasan dunia dan hubungan-hubungannya.
v. Duryudana
Nama lain dari Duryudana adalah Suyodhana, Suyudana, Kurupati, Duryodana, Kurupati, gandarisuta, Drestaputra. Namanya muncul dalam teks Dewa Ruci pada
pupuh
1 pada 8, pada 10, pada 11 dan pada 14. Juga pada
pupuh
2 pada 25 dan pada 26. Pada
pupuh
2 pada 32 namanya disebut oleh Bima dengan sebutan Kurupati. Dalam bahasa Sansekerta Duryodana
berarti sulit ditaklukkan atau dapat pula berarti tidak terkalahkan. Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul
kandungannya dalam keadaaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putra. Atas tindakannya Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-
abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari, dengan cara memotong daging tersebut menjadi
commit to user 78
seratus bagian dan memasukkannya ke dalam
vat
atau pot. Pot-pot tersebut ditanam selama setahun, yang setelahnya digali kembali. Dikeluarkanlah yang pertama Duryodana disusul adik-
adiknya yang lain. Ketika Duryudana dilahirkan dalam Adiparwa diceritakan disertai peristiwa alam yang menakutkan dan suara yang menyeramkan. Hal demikian dalam tradisi wayang
dipahami sebagai pertanda bahwa orang tersebut kelak akan membawa kerusakan. Disebutkan juga bahwa dari keseratus Korawa, yang sembilan puluh sembilan merupakan titisan raksasa
sedangkan Duryudana adalah inkarnasi Bathara Kali, dewa perusak. Tubuh Duryodana digambarkan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya. Kepada
Krepa, Drona, Baladewa ia berguru, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada seperti halnya Bima dipihak Pandawa.
Duryudana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa dan merupakan saudara tertua dari Korawa. Korawa merupakan titisan dari
sembilan puluh sembilan raksasa putra Bathara Pulastya atau Pulasya. Raksasa sering juga disebut Gandarwa dalam bahasa Jawa, yang diasosiasikan berwujud menyeramkan dan memiliki
perangai buruk. Duryudana karenanya memiliki identifikasi yang buruk dan didudukkan sebagai tokoh yang jahat, sombong dan serakah.
Duryudana menikah dengan putri prabu Salya dan mempunyai putra bernama Laksmana. Duryudana di dalam semua cerita wayang baik India maupun di Jawa digambarkan sangat licik
dan kejam, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berfikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Duryudana dekat dengan Sangkuni yaitu pamannya yang licik dan berlidah
tajam, yang sekaligus merupakan penasehatnya. Drona dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayudha bendera keagungannya
bergambar ular kobra. Di
pupuh
Dandhanggula
pada
10 diceritakan:
commit to user 79
10. golong mangkono turira sami | Radèn Sudarma Surônggakara | anut rêmpêg samya ture | sira ta Sang Aprabu | Suyudana mênggahing galih | datan pati ngarsakna | ing
cidranirèku | ragi kagagasing kadang | lagya eca gunêm Warkudara prapti | dumrojog manjing pura ||
10. Mereka Kurawa begitu sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikianlah sifat Sang Prabu, Suyudana dalam
hatinya, tidak begitu mempedulikan, tentang kecurangannya, bahkan terhadap saudara dekat sekalipun Pandawa, ketika sedang asyiknya mereka bercakap-
cakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke dalam istana.
Dikatakan bahwa Kurawa menghalalkan cara-cara curang yang berarti mengingkari identitas mereka sebagai satria. Berdasarkan uraian di atas Duryudana dalam serat Dewa Ruci
bisa dipastikan merupakan karakter antagonis atau buruk. Semua perbuatan, perkataan yang dilakukan oleh Duryudana dengan demikian bisa diartikan sebagai perbuatan dan perkataan yang
berkonotasi negatif, yang biasa melekat pada tokoh antagonis. Duryudana khususnya dan Kurawa secara umum adalah personifikasi dari nafsu angkara murka dan kehendak untuk kuasa
yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian Duryudana dan Kurawa adalah antitesis dari Bima dan Pandawa.
vi. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Hampir dalam semua sastra wayang Jawa tokoh raksasa pasti muncul. Kebanyakan raksasa digambarkan sebagai sosok yang kejam, brangasan, namun sebenarnya ada juga tokoh
raksasa yang memiliki sifat baik misalnya kumbakarna sebagai raksasa ksatria utama bahkan dalam Tripama karya Mangkunegara IV, disebutkan Kumbakarna menjadi tokoh yang patut
ditiru, seorang nasionalis sejati. Prabu Sumali kakek dari Kumbakarna adalah raja Alengka, berwujud raksasa namun berwatak brahmana. Arimbi, istri Bima sendiri adalah raksasa yang
telah berubah wujud yang cantik dan memiliki watak utama. Perbedaan antara para raksasa yang berwatak baik dengan para raksasa yang umumnya digambarkan berwatak buruk adalah tempat
tinggal dan garis keturunannya. Raksasa berwatak buruk umumnya tinggal di hutan belantara
commit to user 80
dan tidak jelas asal keturunannya sedangkan raksasa berwatak baik digambarkan tinggal di istana dan memiliki darah keturunan dari tokoh yang juga punya sifat baik. Di dalam tulisan ini yang
dimaksud raksasa adalah sosok yang berwatak buruk tersebut. Di dalam struktur wayang terkadang secara paradigmatik peran raksasa digantikan dengan satu jenis hewan salah satunya
terdapat dalam cerita Ekalaya, atau bidadari yang cantik salah satunya dihadirkan saat Arjuna bertapa dalam serat Arjunawiwaha.
Bima bertemu dengan Rukmuka dan Rukmakala, merupakan pertemuan ksatria dengan raksasa. Raksasa selalu digambarkan sebagai sosok yang tinggi besar serba kasar, sedangkan
ksatria digambarkan sebagai sosok yang
guwaya teja
dan berbudi halus. Apabila dikategorisasikan pada tataran makhluk dalam pandangan budaya Jawa, raksasa dianggap
memiliki tingkatan yang lebih rendah dibandingkan manusia atau ksatria. Dalam wujudnya raksasa terkadang mendekati wujud hewan buas dengan taring, mata menyeramkan, rambut tak
tertata. Sering menjadi identifikasi peradaban rendah. Kata
Bhuta
berasal dari bahasa Jawa Kuna yang
diadopsi dari bahasa sanskrit „bhuta‟ yang sering diasosiasikan sebagai kegelapan, rakus, tamak, jahat. Ditya berasal dari kata aditya yang artinya matahari Mardiwarsito, 1990: 7-8.
Kata „
kala
‟, selain diartikan raksasa, jahat, atau buruk juga diartikan waktu atau saat Mardiwarsito, 1990: 260. Pertentangan antara ksatria dengan raksasa hanya bisa diatasi dengan
adu tanding. Raksasa dalam cerita ini merupakan halangan yang harus dilewati oleh Bima dan bukan diposisikan sebagai musuh utama.
Dalam cerita Dewa Ruci, kedua raksasa tidak dapat mati dengan cara seperti manusia mati. Keduanya hanya bisa mati ketika dibenturkan kepala keduanya sehingga mati bersama-
sama. Raksasa dalam cerita wayang seringkali digambarkan dengan cara yang sama yaitu kemampuannya untuk hidup kembali setelah mati. Hal ini bisa diartikan bahwa raksasa dalam
commit to user 81
cerita wayang bukanlah simbol dari peradaban manusia yang lebih rendah, atau rakyat biasa yang berbeda dengan ksatria. Raksasa digambarkan sebagai makhluk gaib yang immateriil. Bima
dalam mengalahkan kedua raksasa dengan melakukan semedi, mengheningkan cipta, memohon petunjuk dari Kang Murbeng Jagad. Artinya dengan mengingat kepada kuasa Tuhan akan diberi
kekuatan mengalahkan dua raksasa tersebut. Bila dilihat dari penggambaran fisik raksasa yang bertaring dan tingkah laku
keberingasannya bisa disimpulkan bahwa raksasa paling mungkin adalah personifikasi dari nafsu hewaniah. Keharusan Bima mengalahkan kedua raksasa adalah syarat pertama untuk
menemukan „banyu suci‟ yaitu mengalahkan nafsu hewaniah di dalam dirinya sendiri. Dua
raksasa adalah gambaran dua lubang nafas, atau dua lubang hidung dimana dalam banyak kebudayaan dunia pengendalian nafas seringkali menjadi cara yang paling mula dari
pengendalian nafsu. Di dalam bahasa Arab
nafs
diri berakar kata sama dengan
nafsun
nafsu dan
nafas
nafas
vii. Bathara Bayu dan Bathara Surya
Tokoh ini muncul dalam data pada
pupuh
pangkur
pada
ke-19. Keduanya muncul dalam cerita setelah dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala berhasil dikalahkan oleh Bima. Di dalam
cerita wayang keduanya dikutuk oleh Bathara Guru karena tidak dapat mengendalikan nafsu atas kemolekan dan keseksian Dewi Wilutama. Bathara Indra dan Bathara Bayu harus menjalani tapa
untuk menebus kesalahannya. Hidup mengembara di hutan Tikbrasara di lereng gunung Candramuka.
21. duk sira matèni ditya | iya ingsun karo jawata sami | kêna ing papa cintrèku | kang nampurnakkên sira | Endra Bayu araningsun kang satuhu | duk ditya Si Rukmakala | lawan
Rukmuka ran mami ||
21. Kau ketika membunuh kedua raksasa itu, ya kami inilah dua raksasa itu, sebenarnya kami adalah dua dewa yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau
commit to user 82
yang melepaskan kesusahan kami, dengan cara membunuh kami, kau telah melepaskan kutukan itu dari kami, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu,
sang Rukmakala dan Rukmuka nama kami.
Bima telah melepaskan kutukan yang menimpa kedua Dewa. Bathara Bayu adalah penguasa angin atau udara. Menjadi simbol dari pengetahuan dihubungkan dengan bahwa udara
ada dimana saja dalam kehidupan di jagad raya ini, yang artinya dia selalu ada bersama segala sesuatu yang ada. Bathara Indra adalah penguasa bumi. Menjadi simbol bagi kebenaran
dihubungkan dengan kemampuannya memberi cahaya dan simbol sumber tenaga. Bima merupakan putra Bathara Bayu, ditunjukkan dengan penyebutan Bayutanaya anak
Bayu dalam cerita wayang. Sekaligus Bima merupakan inkarnasi Indra, sebagai salah satu dari lima unsur Indra, sama seperti halnya Anoman. Bathara Indra dan Bathara Bayu dalam wujud
raksasa berhasil dikalahkan oleh Bima karena Bima telah menguasai pemahaman tentang Bayu dan Indra, sebagai simbol pengetahuan utuh dan pemberi hidup. Menguasai kualitas Bathara
Indra dan Bathara Bayu merupakan tahapan yang harus dilewati oleh seorang yang hendak menuju kesempurnaan, maka dengan mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala hadirlah Bathara
Indra dan Bathara Bayu kepada Bima sehingga didapatkanlah kepastian mengenai kebenaran tujuannya menuntut
ngelmu kasampurnan sejati
. Dikatakan oleh Bathara Indra dan Bathara Bayu pada
pupuh
Pangkur
pada
22:
22. sira angulati toya | pituduhe Dhanyang Durna ing nguni | nyata na banyurip iku | tuture Rêsi Durna | nanging nora ing kene panggonanipun | sira balia atasnaatanya. |
ênggone ingkang sayêkti ||
22. Kau mencari air suci melalui petunjuk Druna kepadamu, air itu nyata memang benar-benar ada, itulah sang air penghidupan, tetapi bukan disini
tempatnya, kau kembalilah ke Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata, Di Nagara Ngastina.
Bisa disimpulkan bahwa Bathara Bayu dan Bathara Indra yang bertutur kepada Sena adalah metafor dari kesadaran dari Bima yang muncul setelah berhasil mengalahkan kedua raksasa yang
commit to user 83
adalah nafsu angkara dalam diri Bima sendiri. Hanya dengan melampaui tahapan ini maka Bima memenuhi syarat untuk memasuki tahapan berikutnya dalam usahanya mencapai kesempurnaan.
viii. Naga
Tokoh Naga muncul dalam
pupuh
5
pada
4, 5, 6 , 7, 8, 9, 10, dan
pada
11. Tokoh Naga dalam sastra wayang terdapat beberapa misalnya Nagagini, penguasa di dasar Bumi, Nagasasra.
Masyarakat Jawa membagi alam semesta menjadi tiga tataran yaitu alam bawah fana, alam tengah antara, dan alam atas abadi. Naga biasa digambarkan hidup di alam bawah, di dasar
bumi atau di dasar samudra, artinya Naga adalah makhluk fana.
Pupuh
Durma
pada
7 menceritakan:
7. nêngah apan kasangsang kapulêt naga | angrês Sang Bayusiwi | wisane sang naga | tumampêk mukanira | kewran ing tyas nyipta mati | saya pinolah | ing naga mobat-mabit ||
7. Sesudah badannya dililit oleh tubuh ular naga itu, Sena merasa kecut hatinya, bisa sang naga, tersembur ke muka semua, kebingungan ia mengira akan cepat
mati, semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya.
Nampaknya Naga dalam Serat Dewa Ruci adalah tokoh yang menjadi penghalang yang harus dilewati bagi pencapaian tujuan Sena menemukan
toya suci.
Di dalam sastra wayang naga digolongkan sebagai makhluk bawah yang bertugas menjaga Bumi. Sebagai makhluk bawah
naga sering kali dioposisikan dengan garuda sebagai makhluk atas. Naga seringkali digunakan sebagai identifikasi pujangga, sebagai sosok yang menguasai kebijaksanaan dan pengetahuan.
Naga sering juga disebut dengan nama bhujangga yang artinya berbadan lengan. Bujangga dalam bahasa Jawa sering dilafalkan dengan pujangga. Naga dalam tradisi Mahabharata sering
diasosiasikan dengan Varuna, dewa laut. Bima atau Sena, tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci, memiliki anak bernama Antasena, perkawinannya dengan Dewi Urang Ayu yang adalah putra
Sang Hyang Baruna atau Anantanaga atau Sang Hyang Basuki Dewa berwujud naga. Basuki dalam bahasa Jawa berarti keselamatan. Sang Hyang Basuki dapat diasosiasikan dengan ilmu
commit to user 84
pengetahuan dan keselamatan. Jika demikian kenapa tokoh Naga justru hendak membunuh Sena? Di dalam cerita wayang pembunuhan bukanlah berarti adalah permusuhan, sama seperti
halnya saat Sena membunuh raksasa namun justru dengan jalan tersebut Sena menemukan kesadaran. Pola yang sama nampaknya juga digunakan dalam peristiwa perlawanan dengan
tokoh Naga. Pada
pupuh
Sinom
pada
7 digambarkan jalannya Sena nampak seperti Naga.
7. sahira saking jro kutha | nulya sru manjing wanadri | tan kèsthi durgamèng ngawan | tan ana baya kaèksi | sagung wong têpiswiring | gawok ing pandulunipun | lampahe Arya
Sena | lir naga krura ngajrihi | anrang baya amrih tuhuning ngagêsang ||
7. Semakin jauh dari dalam kota, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir olehnya, segala bahaya menghampiri, orang-orang yang ditinggal di perbatasan,
semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan, menantang bahaya agar tercapai tujuan hidupnya.
Penggambaran ini menunjukkan bahwa di dalam diri Sena terdapat „naga‟. Kemenangan Sena atas naga dengan menggunakan kuku pancanaka
pupuh
Pangkur
pada
10 yang merupakan metafor dari kemampuan Sena dalam mengendalikan panca inderanya tentang pancanaka akan
diterangkan di bagian lain.
10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng
wus ngêmasi ||
10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air
bercampur darah, naga besar sudah mati.
Naga di dalam diri Sena adalah egonya sendiri yang melilit seluruh dirinya dan harus dilepaskan dengan penguasaan panca indranya pancanaka. Setelah mampu mengalahkan nafsu angkara di
dalam diri Sena harus mampu melepaskan diri dari ego pribadi, yaitu kemampuan melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional, melepaskan diri dari ke-aku-annya sehingga di dalam dirinya
akan terisi kesadaran tentang Sang Hyang Tunggal. Tiada lagi sanak keluarga tiada lagi keinginan hidup kecuali dalam rangka menjalani identitas tunggal yang paling azali ialah sebagai
makhluk ciptaan Sang Hyang Tunggal.
commit to user 85
b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah