Tema dalam Serat Dewa Ruci

commit to user 117

2. Makna Secara Hermeneutik

Riffaterre mengemukakan teorinya tentang puisi yang digambarkannya seperti donat. Lubang di tengah donat adalah inti dari puisi yang berupa Matriks, hipogram, yang tak nampak. Secara semiotik lubang di tengah itu bisa didekati secara hermeneutik. Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu, bahwa pada sistem semiotik tingkat dua, objek concept pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier penanda yang memiliki makna signified ; petanda. Dengan demikian daerah jelajah penelitian tidak dapat dibatasi pada kemungkinan tersedianya data sinkronik saja tetapi juga dimensi diakronik sebagai lapisan-lapisan waktu yang menunjuk kepada perspektif kesejarahan. Jika penampang sinkronik dan dimensi kesejarahan diberlakukan dalam penelitian tidak lain dan tidak bukan tujuannya hanyalah mendudukkan SDR sesuai dengan pandangan penelitian ini dengan tujuan mendapatkan kesatuan makna logik. Berdasarkan tinjauan semacam ini setiap adegan dapat didudukkan sebagai unsur atau anasir yang membentuk kesatuan makna logik, yang hubungan antar unsurnya bukan hubungan kausal atau sebab-akibat misalnya tentang alur. Sebabnya adalah seluruh jagad SDR bukanlah merupakan satu jaringan kausal karena SDR memang bukan sistem organisme dalam satu masyarakat yang hidup tetapi sistem nilai estetik yang hubungan antar unsurnya relatif; keterkaitan antarunsur itu sangat tergantung pada konsistensi pandangan metodologik.

a. Tema dalam Serat Dewa Ruci

Tema dalam struktur cerita wayang merupakan ide sentral yang akan dijabarkan di dalam cerita. Tema pada lakon-lakon wayang dapat dibedakan sebagai berikut: Tema dalam Serat Dewa Ruci berdasarkan urutan peristiwa yang tergambar dari urutan pupuh adalah tema laku atau perjalanan dan rintangan yang harus dihadapi untuk mencapai commit to user 118 tujuan. Dilihat dari konstruksi yang dibangun menunjukkan bahwa setiap bagian dari serat mendukung tema perjalanan Bima. Tema yang telah dibuktikan kemudian akan menjadi panduan dalam melakukan pengartian dengan menghubungkan dengan tanda-tanda lainnya yang terdapat dalam karya sastra. Pupuh 1 menunjukkan pengenalan awal tentang keinginan Bima untuk mendapatkan kasampurnan . Di sisi lain Kurawa memiliki tujuan mencelakai Bima agar bisa melemahkan kekuatan Pandawa. Di sini hanya Bima yang melakukan perjalanan untuk mencapai usahanya. Disusul kemudian pupuh 2 Bima menghadapi rintangan pertama ialah raksasa Rukmuka dan Rukmakala, yang secara paradigmatik sering berganti dengan bidadari penggoda atau hewan yang menggonggong. Pupuh 3 Bima selamat dan membawa petunjuk dari Bathara Indra – Bathara Bayu setelah Sena berhasil mengalahkan kedua raksasa kemudian menghadap kembali kepada Drona sehingga membuat para Kurawa terkejut, pupuh 4 Bima menghadapi rintangan kedua ialah Naga di tengah samudera, yang membelit seluruh tubuhnya yang berhasil dikalahkan dengan kuku Pancanaka. pupuh 5 Bima bertemu Dewa Ruci dan mendapat wejangan tentang ilmu kasampurnan yang sesungguhnya menerangkan perjalanan Sena sendiri yang dikisahkan pada pupuh - pupuh sebelumnya. Mangkunegara IV dalam kitab Wulangreh menyampaikan bahwa: ngelmu iku kalakone kanthi laku: pang ekesing dur angkara “pencerahan itu tercapainya dengan laku , penghilang perbuatan buruk dan merusak. Laku merupakan istilah yang dikenal umum oleh masyarakat Jawa sebagai kesemestian dalam hidup. Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa Indonesia, merupakan konsep yang umum dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai metode utama mendapatkan kawruh „pengetahuan‟. Menurut Ki Hajar Dewantara 1977: 28, laku commit to user 119 zelfbeheresching, zelfdiscipline merupakan salah satu metode mendidik. Laku merupakan jalan kesadaran yang pertama-tama adalah untuk mengenali diri sendiri melalui pengalaman- pengalaman pribadi, baik dengan bimbingan guru atau tidak. Apa yang dilakukan Sena dalam cerita dewa Ruci nampaknya lebih dekat kepada cara laku yang digambarkan oleh Mangkunegara IV dimana tahapan laku adalah dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa kemudian sembah rasa. Hal ini bisa dilihat dimana pada awal pupuh sesungguhnya secara paradigmatik terdapat beberapa nama namun teks secara setia menggunakan nama Sena yang selain merupakan nama lain dari Wrekodara juga adalah nama hewan gajah. Hewan secara simbolis berarti nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah. Artinya pada perjalanan awal Bima menuju gunung Candramuka, Bima masih membawa identitas hewaniahnya. Perjalanan Bima menuju puncak gunung digambarkan hewan-hewan terlempar dan berjatuhan ke jurang. Maka bisa diartikan bahwa perjalanan Bima ke puncak gunung adalah perjalanan untuk menanggalkan sifat-sifat hewaniahnya. Pada perjalanan Bima selanjutnya Bima lebih sering disebut dengan nama Wrekodara. Seperti telah diketahui terdapat terutama perbedaan besar antara sebagian filsafat Barat dan Timur, di mana para ahli filsafat Timur bukan menciptakan filsafat sendiri. Pengetahuan senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa sebagai sarana ngudi kasampurnan telah mengarungi lautan luas pengaruh-pengaruh budaya Nusantara, budaya Hindu-Budha, budaya Islam dan budaya Barat modern. Karena pengalaman dan penghayatan manusia tidak semuanya dapat diuraikan dengan kata-kata maka sejak dahulu kala telah dipergunakan bahasa kias berupa simbol atau perumpamaan. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang. Walaupun isi cerita wayang berasal dari India namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam commit to user 120 mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing-masing. Kias dalam wayang ditemukan antara lain: a. Tingkat kedewasaan manusia yang berturut-turut berada dalam tahap Karma, Darma, Bakti, dan Moksa. b. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti watak ksatria, raksasa diyu, dur hangkara. c. Penggambaran watak dalam tiap peraga wayang, antara lain dalam bentuk dan warna. d. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk dalam adegan tertentu. e. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang berisikan kias. Kesatuan makna dari SDR didasarkan kepada kenyataannya sebagai filsafat Jawa: Laku , yang mengandung arti perjalanan atau jarak. Dengan demikian sistem relasi oposisi, jarak makna dari dua atau lebih tanda akan menjadi sangat dominan dalam proses pemaknaan yang dilakukan. Laku sendiri bisa diartikan perjalanan fisik, maupun spiritual. Melihat tanda-tanda yang terhampar SDR merupakan pemaparan tentang perjalanan spiritual.

b. Hipogram