Relevansi Serat Dewa Ruci dengan Pembelajaran Bahasa Jawa

commit to user 152 Hal yang tidak boleh dilupakan ada lah bahwa dalam konsep „bekti‟ tersebut juga menuntut kualitas guru yang sangat tinggi. Dari istilah guru sendiri sebenarnya sudah mengandung tuntutan yang tinggi kepada setiap guru. Arti guru adalah orang yang telah melatih diri sendiri sampai ia tak punya lagi kepentingan pribadi, mengalahkan kecenderungan buruk tubuh dan jiwanya. Guru adalah orang selalu punya jawaban dari permasalahan atau memiliki problem solving berdasarkan problem-setting yang benar-benar dipahami dengan keluasan cakrawala pandang dan ketentraman hati. Kualitas setinggi itu ditunjukkan oleh Drona yang merupakan metafor dari kelapangan dada paripurna, yang rela hidup di dalam lingkungan Kurawa, demi memitigasi keburukan- keburukan Duryudana dan saudara-saudaranya. Bukan hanya memahami peta permasalahan dan peta penyelesaian namun juga menjalani peran yang harus dimainkannya dengan tulus ikhlas meskipun hatinya selalu memuji Pandawa termasuk Bima di dalamnya. Maka „bekti‟ bukanlah kepasrahan buta tapi kepasrahan yang didasari kesadaran dan hubungan saling menghormati peran masing-masing, peran murid dan peran guru pada kualitas tertinggi.

4. Relevansi Serat Dewa Ruci dengan Pembelajaran Bahasa Jawa

Pembelajaran bahasa dan sastra Jawa sebagaimana yang diatur di dalam PERDA No. dan PERDA No. 9 tahun 2012 bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan pada sekolah formal, nonformal dan informal. Sekolah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Berdasarkan peraturan daerah di atas pemngembangan dan pembinaan bahasa dan sastra Jawa pada kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, namun juga berperan sebagai perencana pendidikan. Pada kurikulum KTSP bahasa commit to user 153 Jawa SMA kelas XII semester 1 terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan cerita wayang. Cerita wayang merupakan media yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan positif secara halus, utuh, dan mendalam agar dapat diterima dengan baik oleh pembacanya. Di dalam konteks pembelajaran bahasa Jawa khususnya cerita wayang, guru dapat menggunakan materi cerita wayang utamanya dihubungkan dengan kandungan filosofi dan sikap hidup yang umumnya dikandung oleh sebuah cerita wayang bukan sebagai pengetahuan semata namun sebagai sebuah laku penghayatan di dalam hidup sehari-hari. Dihubungkan dengan kurikulum 2013 Salah satu Kompetensi Inti darinya adalah adanya kompetensi religius yang berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa serat Dewa Ruci mengandung muatan nilai religius yang teramat kental. Di dalamnya juga terdapat metode menyuburkan kompetensi religius tersebut. Serat Dewa Ruci bisa menjadi referensi bagi pengembangan Kompetensi Inti pada kurikulum 2013, sekaligus juga bisa sebagai bahan pembelajaran tentang wayang sehingga nilai-nilai religiusitasnya bisa diserap oleh peserta didik. Metode yang tepat dalam pelaksanaan proses pembelajaran akan mempermudah penyampaian bahan ajar secara lebih lancar. Dihubungkan dengan metode pembelajaran yang merupakan bagian tak bisa dipisahkan dalam mendukung keberhasilan pembelajaran maupun pendidikan, serat Dewa Ruci memiliki salah satu metode khas Jawa yaitu laku . Metode laku dalam pendidikan Jawa sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pendekatan saintifik di dalam kurikulum 2013, dimana titik beratnya adalah pada kesempatan siswa untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuan berdasar pengalamannya. Sedikit pembedanya adalah bahwa dalam metode laku manusia Jawa selain menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek pembelajaran sekaligus sebagai objek pembelajaran. Mengenali diri sendiri sesuai hasil penelitian merupakan pintu awal bagi seorang pembelajar untuk memasuki dunia pengetahuan. commit to user 154

B. PEMBAHASAN

Berangkat dari hasil penelitian terhadap kajian semiotik Serat Dewa Ruci dan kajian nilai pendidikan karakter pada bagian sebelumnya, akan dibahas lebih lanjut melalui pembahasan yang dilakukan untuk mencerna masalah: Sistem tanda, makna hermeneutik, nilai pendidikan karakter, dan relevansi dengan pembelajaran. Langkah-langkah dalam bagian pembahasan ini adalah dengan menilai berkas hasil penelitiantemuan penelitian terhadap tanda dalam serat Dewa Ruci dengan menggunakan perspektif teori tertentu dan penelitian yang relevan. Digunakan artikel untuk menjustifikasikan temuan penelitian tanda dan atau mengungkapkan persamaan, perbedaan dengan penelitian terdahulu.

1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap Serat Dewa Ruci yang dihubungkan dengan nilai pendidikan seperti yang dilakukan di dalam penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga metode pembelajaran laku sebagai salah satu metode pembelajaran dalam budaya tidak pernah diangkat dalam penelitian terhadap serat Dewa Ruci oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya, sebagai contoh, Simuh 1988 setelah uraiannya mengenai konsep monisme, penyatuan manusia dengan Tuhan menyimpulkan serat Dewa Ruci melalui metafor masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci sebagai bagian ajaran mistik kejawen. Soetarno 2004:21 menyimpulkan bahwa Serat Bimasuci sebagai mistisisme Jawa dalam rangka manunggaling Kawula-Gusti. Wahyudi dalam desertasinya hanya melihat secara struktural relasi oposisi berpasangan Bima-Drona sebagai transformasi relasi oposisi berpasangan Vayu-vata dalam kapasitasnya sebagai relasi nafas halus- nafas kasar yang menghasilkan inti nafas atau prana 2013: 605. Laku dalam pemahaman umum masyarakat Jawa dianggap sebagai cara atau metode untuk memperoleh kesaktian atau pusaka, atau dihubungkan sebagai perilaku mistis. Hal ini