commit to user 51
diketahui pula kecenderungan perilakunya, namun dalam kenyataannya tidak selalu suatu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai. Artinya terjadi proses
pengaruh mempengaruhi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku Hutagalung, 2007:53.
“
Character educators can recognize relig
ion‟s contribution to our culture while honoring the first amendment. Schools can help students understand religion‟s
role in our nation‟s beginnings, major social
-
reform movements, and individuals‟
motivation; construct special curricula; and encourage students to tap inner resources to address social issues and ultimate questions
” Lickona, 1999: 26
.
Pendidikan karakter adalah sesuatu yang harus dan wajib. Setiap orang bisa menjadi canggih tapi tanpa karakter dan nilai baik dalam dirinya maka ia akan
menjadi seperti mesin. Baik atau buruknya tidak tergantung oleh dirinya tapi oleh orang lain yang mengoperasikannya. Dia bukan lagi pribadi yang merdeka namun
sepenuhnya terjajah. Dengan demikian hakikat pendidikan berbeda dengan pembelajaran, adalah pendidikan karakter, watak dan nilai dimana suatu kompetensi,
ketrampilan, kecerdasan bisa diarahkan supaya bernilai positif.
c. Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa
Dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Nomer 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan Nasional disebutkan salah satu sumber pembentukan karakter
adalah dengan bersumber kepada kebudayaan. Setiap kebudayaan terdapat model dari karakter yang baik. Pendidikan karakter berbasis kebudayaan dapat menjadi
pembendung arus modernisasi dan globalisasi yang tidak sejalan dengan kebudayaan
commit to user 52
Indonesia. Sekaligus bisa memberikan tawaran nilai-nilai alternatif. “Pendidikan
karakter dalam konteks membangun karakter bangsa memiliki pertautan erat dengan basis kebudayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian luhur. Di
konteks kebudayaan yang lebih luas, pendidikan karakter tentu merupakan pranata penting dan strategis untuk membangun kebudayaan dan peradaban bangsa.
Joesoef nmengatakan bahwa Dewantara mengadopsi sistem pendidikannya ke tanah air dengan konsepnya
education part of culture,
jadi yang diajarkan adalah
culture
atau kebudayaan. Tentu kebudayaan bukan dalam arti seni pertunjukan. Sistem pendidikan Indonesia yang ideal adalah yang menghamba pada pertumbuhan
dan perkembangan anak didik sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan
bangsanya 2007:6. Pendidikan budaya dan bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis produktif dan kreatif Kemendiknas Balitbang,
2010: 4. Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan pada bahasa asing dan dijauhkan
dari bahasanya sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak dikemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap
bangsanya sendiri Dewantara, 1977: 11. Anak tersebut cenderung akan tercerabut dari latar budayanya.
Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan
commit to user 53
kita yang terus dalam kesenian, peradaban, syarat-syarat agama atau terdapat dalam kitab-kitab cerita. Semua itu adalah arsip nasional dalam mana tersimpan beberapa
kekayaan batin dari bangsa kita Dewantara, 1977: 16. Pendidikan memiliki metode, alat-alat yang pokok, cara-cara mendidik. Cara-
cara itu amat banyaknya, akan tetapi dalam pokoknya semua cara itu bisa dibagi seperti berikut: a. memberi contoh, b. pembiasaan, c. pengajaran, d. perintah, paksaan
dan hukuman, e. laku
zelfbeheresching, zelfdiscipline
, f. pengalaman lahir dan batin
nglakoni, ngrasa, beleving
Dewantara, 1977: 28. Khusus tentang cara mendidik dengan laku akan menjadi perhatian dalam penelitian ini.
Laku
merupakan salah satu metode kuno bagi manusia Jawa untuk memperoleh
kawicaksanan
dan
kasampurnan
. Sehubungan dengan konsep
laku
, Ki Hajar Dewantara membagi tingkatan psikologis manusia yang sekaligus menjadi dasar metode pengajaran dengan memperbandingan
dengan tradisi pendidikan Islam. Tingkatan pertama adalah pengajaran syariat diartikan sebagai pembiasaan
bertingkah laku serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan yang umum. Tingkatan kedua adalah hakikat yang berarti kenyataan atau kebenaran dan yang
mengandung maksud memberi pengertian kepada anak-anak agar mereka menjadi insyaf serta sadar tentang segala kebaikan dan kebalikan-kebalikannya. Tingkatan
ketiga ialah tarikat yang lebih terkenal dengan sebutan tirakat. Tarikat berarti
laku
, yakni perbuatan yang dengan sengaja kita lakukan dengan maksud supaya kita
melatih diri untuk melaksanakan berbagai kebaikan, bagaimanapun sukarnya atau beratnya. Metode keempat ialah makrifat berarti faham benar-benar. Siswa harus
commit to user 54
sudah mengerti akan adanya hubungan antara tata tertib lahir dan kedamaian batin, sudah cukup berlatih dan biasa berlatih dan biasa menguasai dirinya sendiri serta
menempatkannya di dalam garis-garis syariat dan makrifat Dewantara, 1977: 485- 487. Laku dengan demikian oleh Ki hajar Dewantara dianggap memiliki konsep
yang sama dengan tingkatan tarikat dalam agama Islam. Pada umumnya segala laku yang disengaja yang memerlukan kekuatan
kehendak dan kegiatan tenaga yang istimewa bisa dianggap sebagai bentuk pengajaran budipekerti. Pokok isinya pengajaran budi pekerti yaitu segala apa yang
mengandung maksud memelihara keinsyafan dan kesadaran dalam hal hidup tertib- damai, bagi diri dan masyarakat, anak-anak. Selain bahan-bahan pengajaran budi
pekerti yang secara spontan dan
occasional
, hendaknyalah diinsyafi bahwa segala ceritera yang dikenal sebagai dongeng-dongeng atau
mythen
dan
legenden
, ataupun lakon-lakon dalam pertunjukan-pertunjukan wayang dan sandiwara, akhirnya segala
babad dan sejarah, baik yang mengenai hidup kebangsaan sendiri maupun kebangsaan-kebangsaan lain sedunia, dapat dimasukkan dalam
reportoire
pendidikan Nasional Dewantara, 1977: 489-490.
Karya sastra Jawa banyak mengandung ajaran tentang laku, yang bisa menjadi tauladan bagi peserta didik dalam usaha mengenal lingkungan utamanya mengenal
dirinya sendiri. Melalui sastra Jawa dan cerita wayang masyarakat Jawa melakukan pendidikan. Melalui pengajaran yang efektif dan sungguh-sungguh karya sastra Jawa
klasik akan mampu menjadi bagian dari usaha pemerintah dan sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter bagi siswa-siswi yang saat ini teramat kering
commit to user 55
dari acuan nilai-nilai keindahan, kehalusan, kerendahatian, kedewasaan, kepedulian, kelapangan dada, keteguhan niat. Metode pendidikan Jawa laku sejajar artinya
dengan pendekatan saintifik yang ada dalam kurikulum 2013. Kebudayaan Jawa yang memiliki kandungan nilai-nilai kehidupan memiliki potensi sebagai jalan alternatif
dari pendidikan Indonesia yang selama ini kering dari nilai-nilai karakter.
C. Kerangka Berpikir
Pelestarian warisan budaya bangsa bukan sekedar keinginan untuk mempertahankan masa lalu, sebab kebenaran selalu berkembang. Warisan budaya
bangsa merupakan rahim yang telah membentuk dan melahirkan jatidiri bangsa saat kini. Melupakan jatidiri sama artinya melupakan keberadaannya yang tidak mungkin
lepas dari sebuah sistem budaya. Sayangnya pendidikan di Indonesia terlalu berkiblat kepada pendidikan barat dan kurang mengolah bahan dari akar budaya bangsa
sendiri. Pendidikan merupakan pintu ke arah kemajuan yang tidak dapat dicapai hanya
dengan pencanggihan kognitif dan ketrampilan namun juga harus disertai dengan kuatnya nilai-nilai karakter, utamanya mengembangkan jiwa merdeka dan pengenalan
diri. Kenyataannya dalam dunia pendidikan formal tempat transformasi budaya berlangsung lebih dikuasai ilmu pengetahuan dan kebutuhan teknik. Pendidikan yang
demikian menghasilkan orang-orang yang cerdik-pandai yang mempunyai pikiran yang sehat, akan tetapi di dalam paradigma berfikirnya mempunyai azas-azas yang
salah, yang disadari atau tidak justru mengandung sifat merusak.