Tepa Sarira Empati Tenang

commit to user 148 seseorang menyenangi suatu objek, maka ada kecenderungan individu tersebut akan mendekati objek dan sebaliknya. Misalnya kecenderungan mahasiswa untuk bertindak terhadap senjata nuklir dengan menandatangani petisi dan mengadakan demonstrasi untuk menentang penyebaran rudal berkepala nuklir, menentang orang yang mendukung penggunaan nuklir. Dengan mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap tertentu maka akan dapat diketahui pula kecenderungan perilakunya. Namun dalam kenyataannya tidak selalu suatu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai. Artinya terjadi proses pengaruh mempengaruhi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku. Bima dalam Serat Dewa Ruci memiliki sikap yang idial. Secara Kognitif Bima berangkat mencari toya pawitra sari dengan keyakinan akan bisa menemukannya, dan membuka kewaspadaannya sehingga sampailah ia pada kesadaran akan yang dicarinya. Secara afektif perasaan tidak mudah terombang-ambing dan fokus hanya kepada tujuan perjalanannya, tidak terbujuk tangis kekhawatiran dari saudara-saudaranya. Secara konatif Bima berperilaku positif terhadap halangan yang dihadapinya, ia tidak mundur dari niatnya meskipun menghadapi halangan yang belum tentu bisa ia selesaikan.

f. Tepa Sarira Empati

Fuad Hassan dalam disertasinya berjudul: Neurosis Sebagai Konflik Existensiil melihat bahwa gejala neurosis bukan sekedar radang pada neuron-neuron, gejalah patologis, melainkan awalnya adalah suatu sikap yang dipilih oleh individu sebagai jawaban terhadap kenyataan mengenai keberadaan dirinya terhadap dunia yang dengannya keberadaan diri itu berpadu, betapapun derajat kesadaran yang mendukung pilihan itu. Memang benar bahwasannya neurosis itu adalah suatu konflik tapi bukanlah suatu konflik patologis pada dasarnya melainkan suatu konflik eksistensial. commit to user 149 Sesungguhnya semenjak abad ke-14 pujangga Mpu Tantular telah mengkonsepkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Suku bangsa di Nusantara memiliki toleransi dan kebijaksanaan dalam perbedaan. Dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi Bahasa resmi Bangsa Indonesia terdapat kosakata “kita” yang tidak terdapat dalam bahasa dari Barat yang hanya mengenal kata Iwe, you, heshethey sebagai subjek. Kata „kita‟ adalah sebentuk konsep kebudayaan yang mewadahi antara yang memberi pesan dengan yang mendapat pesan dalam satu kesatuan subjek. Individu dan masyarakat sebagai satuan yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ngilo githoke dhewe, tepa sarira , merupakan konsep yang mengandung kesadaran budaya bahwa dengan mengenali diri sendiri maka sesungguhnya kita akan mampu lebih memahami orang lain yang dengan demikian kita mampu memahami komunitas secara lebih luas. Mengenal diri seperti yang dicontohkan Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci, diri yang esensi, adalah pintu kesadaran eksistensi atau keberadaan individu yang secara esensial tidak berbeda dengan keberadaan yang lain. Mengenal diri juga adalah cara terbaik untuk bisa mengenal orang lain sehingga lahirlah tepa sarira , empati, kepedulian kepada yang lain.

g. Tenang

Peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan serat Dewa Ruci dibangun dengan dua persoalan yang datang dari Prabu Duryudana dan Bima dengan tujuan yang masing-masing berbeda. Prabu Duryudana yang ingin mempertahankan kedudukannya sebagai raja Astina dari Pandawa ia berusaha melemahkan Pandawa dengan cara membunuh Bima. Dirancanglah suatu cara mencelakakannya dengan meminjam kuasa Drona atas Bima. Sedangkan Bima sendiri seperti yang ia sampaikan kepada Drona, memiliki tujuan ingin mencapai kesempurnaan. Pada bait pertama digambarkan Drona meminta kepada Bima untuk mencari Banyu Pawitra Sari ke gunung Candramuka, dengan alasan yang disampaikan kepada Duryudana untuk commit to user 150 menjerumuskan Bima ke dalam celaka. Di gunung Candradimuka Bima mampu „mengalahkan‟ raksasa yang diharapkan oleh Duryudana benar-benar dapat membunuh Bima yang pulang tanpa hasil kecuali petunjuk dari Bathara yang ditemuinya bahwa Banyu Pawitra Sari tidak berada di gunung Candradimuka. Dapat dikatakan dalam peristiwa ini Kurawa atas nama Duryudana gagal dalam usaha pembunuhan, sapa salah seleh „siapa salah akan kalah‟. Kesadaran terhadap rumusan tersebut menjadikan Bima sosok yang tenang dalam menghadapi masalah.

h. Mau Berkorban