Sistem Tanda Penunjuk Kualitas i. Pancanaka

commit to user 90 metafor dari nafsu hewaniah, sedangkan di samudra yang dihadapi adalah ular naga yang merupakan metafor dari ego yang tinggal di dalam diri. Tataran laku antara saat Bima menuju ke gunung Candramuka dengan menuju ke samodra bisa disimpulkan berbeda. Jika saat di gunung Candramuka Bima bertemu Bathara Indra dan Bayu masih dalam keadaan sadar, dan memperoleh kesadaran sedangkan di samodra saat bertemu dengan Dewa Ruci, Bima dalam keadaan pingsan „tak sadar diri‟ yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai keadaan yang dialami seseorang dalam laku, dimana seseorang memasuki alam halus, seseorang akan kehilangan kesadaran kepada identitas pribadinya, dan yang ada hanyalah kekosongan. Dengan demikian samodra dalam serat Dewa Ruci bisa diartikan sebagai metafor dari keluasan pengetahuan yang di dalamnya terdapat ego, keinginan untuk mengaku, menguasai karena menganggap bahwa keluasan yang diarungi sebagai milik pribadi namun sesungguhnya tidak. Pengetahuan dan keluasan samodra adalah anugrah yang tidak boleh dianggap sebagai hak milik.

c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas i. Pancanaka

Di dalam serat Dewa Ruci pupuh Pangkur pada 10 digambarkan Bima berhasil mengalahkan Naga menggunakan kuku Pancanaka. 10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng wus ngêmasi || 10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati. Sebagai tanda pancanaka tidak hanya hadir dalam cerita Dewa Ruci saja, namun muncul hampir di setiap kisah Bima. Bisa diartikan bahwa Bima selalu disertai oleh senjata berupa kuku pancanaka, karena Bima digambarkan sebagai tokoh yang selalu mampu mengendalikan panca commit to user 91 inderanya. Dalam proses laku pengendalian panca indera harus dilakukan. Setelah mengendalikan nafsu hanya dengan pengendalian panca indera maka manusia bisa mencapai tingkatan berikutnya dari proses nenepi yaitu mencapai pencerahan secara utuh. Bukan hanya terbebas dari keduniawian dengan terbebas dari nafsu namun juga mampu menggenggam pengetahuan dan kebijaksanaan. Bima dalam peristiwa ini dapat diasosiasikan sebagai tarak brata yaitu melalui pengendalaian panca indera dalam rangka memasuki dunia spiritual untuk mencapai kesempurnaan sejati. Bisa disimpulkan Pancanaka berarti kemampuan Bima mengelola panca inderanya sehingga tidak mengganggu tujuannya namun justru membantunya untuk membunuh naga. Keberhasilan Bima membunuh Naga diikuti dengan keadaan tidak sadar. Diistilahkan dalam kebudayaan Jawa dengan istilah layap-liyeping aluyup . Dengan mengorbankan naga dalam luasnya lautan pengetahuan setelahnya maka Bima berhasil menemui Dewa Ruci. Pengetahuan tersebut tentu hadir setelah disadari oleh Bima, sebagai pribadi, atau bisa dikatakan bahwa pengetahuan tinggal dalam diri Bima sendiri begitu juga Naga yang tinggal dalam luasnya pengetahuan tersebut tinggal dalam diri Bima juga. Dengan menguasai panca indera sepenuhnya maka akan terbunuh naga dalam diri. Apakah naga dalam diri tersebut? Pengetahuan dan kebijaksanaan yang dikuasai harus ditanggalkan sehingga ego terbunuh. Bisa diartikan naga adalah ego dalam diri yang hidup dalam alam sadar kita, yang hilang saat kita menyadari bahwa dalam keluasan yang kita ketahui, diri menjadi lebur. Hilanglah identitas manusia pada tataran titah hingga tinggal identitas terinti manusia yang abadi, identitas Ilahiah pada diri manusia. Laku mencari ngelmu kasampurnan dalam kebudayaan Jawa manusia harus mlaku dari alam materiil dengan mengendalikan diri pancanaka dan tidak tergantung padanya menuju alam halus, alam rohaniah. Dewa ruci merupakan aspek halus, identitas terkecil dari Bima itu sendiri commit to user 92 melihat dari kemiripan antara keduanya. Di dalam pagelaran wayang bentuk antara Bima dan Dewa Ruci juga mirip, yang membedakan hanya ukurannya. Dewa ruci sangat kecil sedangkan Bima tinggi besar. Jadi pancanaka adalah „kesaktian‟ yang dimiliki seseorang yang berhasil mengendalikan pancaindranya yang bisa digunakan untuk membunuh keakuan diri sehingga manusia lebur dan bisa memasuki alam halus, yang artinya juga mengenali hakikat diri. Pembunuhan keakuan merupakan syarat utama dari pencapaian tahap kasampurnan, dan justru keakuan yang melilit diri itu hanya akan membatasi dari keluasan yang ada. ii. Toya Suci Toya suci yang dicari Sena dalam serat Dewa Ruci disebutkan dengan berbagai nama yang berbeda-beda meskipun merujuk kepada konsep yang sama. Di pupuh dhandanggula padha 1: toya ingkang nucekake; padha 3: toya, padha 11: toya wening, padha 12: tirta pawitra sucining urip, padha 13: nirmala panggih wisesèng urip, padha 14: hèr adi êning, padha 15: banyu wening tirtamarta. Pupuh pangkur padha 1 tirta êning pamungkas, padha 5: toya ning; padha 11: toya, padha 17: toya, padha 18: banyu pawitra, padha 22:toya , padha 31: tirta êning, padha terakhir pupuh pangkur yaitu padha 44: sinoming warih. Pupuh sinom padha 1: toya urip, pupuh Durma padha 1: toya rèh tirtamarta, padha 12: tirta kang wruh ing tirta , dan padha 26: banyurip tirta êning. Meskipun terdapat variasi penyebutan di dalam teks namun semuanya mengacu kepada hal yang sama. Di setiap pada di awal pupuh terdapat penyebutan toya suci ini. Di dandhanggula pada 2: 2. Wrêkodhara duk puruhita mring | Dhanyang Durna kinèn ngupayaa | toya ingkang nucèkake | marang sariranipun | Wrêkodhara mantuk wêwarti | maring nagri Ngamarta | pamit kadang sêpuh | sira Prabu Yudhisthira | kang para ri sadaya nuju marêngi | anèng ngarsaning raka || commit to user 93 2. Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna ia disuruh mencari, air yang mensucikan kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pun pulang memberi kabar, ke negara Amarta, mohon pamit kepada saudara tua, beliau Prabu Yudhistira, Pupuh Pangkur padha 1: 1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wanadri | ririh ing rèh gandrung-gandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati || 1. Jalannya Arya Sena, lalu sampai di hutan gunung, hatinya sangat gembira, senang usahanya, akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya, tak mengira bahaya yang ditempuhnya,tertarik pada yang dilihatnya.dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan mereka di hadapan kakaknya. Pupuh Sinom padha 1: 1. ing tuduhe Dhanyang Durna | angulati toya urip | gone têlênging samodra | iku arsa sun lakoni | atur kang para ari | adhuh kangmas sampun-sampun | punika dede lamba | tan pantês dipun lampahi | duk miyarsa jêtung Prabu Yudhisthira || 1. Sesuai Petunjuk Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, yang tempatnya di pusat samudera, itulah yang akan kucari, lalu berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan itu, itu bukanlah tugas, hal itu tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira. Pupuh Durma padha 1: 1. musthi ing tyasira Arya Wrêkodhara | ing baya tan kaèksi | yèn tan amanggiha | toya rèh tirtamarta | tan wrin palastra ing tasik | mangsah bêk pêjah | cancut gumrêgut manjing || 1 Maka sang Arya Wrekudara lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak menemukan, si air maya jernih tirtamarta, lebih baik mati di laut, menghampiri pastinya kematian, segera bersikap diri. semua penyebutan atau nama tersebut bisa disimpulkan sebagai variasi karena di setiap konteks kalimatnya sama-sama sebagai benda yang dicari ialah air jernih pensuci diri. Variasi tersebut juga bisa dikatakan sebagai variasi penyebutan dari predikat benda yang dicari, berdasarkan sifatnya, atau berdasarkan manfaatnya, atau berdasarkan luasnya manfaat bagi seluruh kehidupan. Tentu saja tidak semua kata „ banyu ‟ sama dengan „banyu‟ yang dicari, sebagai misal air laut di pupuh Durma pada 10, bukanlah air yang dicari namun air sebagai latar kejadian. 10. pôncanaka manjing awaking [a...][...waking] sang naga | tatas pating saluwir |rah mijil lir udan | abang toyèng samodra | sapandêlêng kanan kering | toya dadya rah | naga gêng wus ngêmasi || commit to user 94 10. Kuku Pancanaka menancap di badan naga, langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati. Pupuh kelima tembang dandhanggula yang merupakan pupuh terakhir Serat Dewa Ruci justru sama sekali tidak menyebutkan tentang air yang dicari, yang menjadi sebab perjalanan Bima atau menjadi sebab terjadinya peristiwa di dalam Serat Dewa Ruci. Di dalam pupuh kelima ini diuraikan oleh Dewa Ruci tentang hakikat dunia yang sebenarnya ada dalam diri Bima. 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya, tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra -sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. 7. Dewasuksmaruci ngandikaris | ingkang dhingin sira anon cahya | gumawang tan wruh arane | pôncamaya puniku | sajatine ing tyas sayêkti | pangarêping sarira | têgêse tyas iku | ingaranan muka sipat | kang anuntun marang sipat kang linuwih | kang sajatining sipat || 7. Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala itu, bernama pancamaya sesungguhnya itu ada di dalam hatimu, itu yang memimpin dirimu, maksudnya hati itu, yang disebut mukasifat, yang menuntun kepada sifat, lebih merupakan sifat itu sendiri. 9. pan isining jagad amêpêktiamêpêki. | iya ati kang têlung prakara | pamurunge laku dene | kang bisa pisah iku | mêsthi bisa amor ing gaib | iku mungsuhe tapa | ati kang têtêlu | abang irêng kuning samya | ingkang nyêgah cipta karya kang lêstari | pamoring sukma mulya || 9. Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu tiga hal hati, merupakan pendorong segala langkah, bila dapat memisahkan, tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh pendeta, hati yang tiga curang, berwarna hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan sukma mulia. 16. marbudyèng rat Dewaruci angling | iya iku sajatining tunggal | saliring warna têgêse | iya ana sirèku | kabèh iki isining bumi | ginambar angganira | lawan jagad agung | jagad cilik nora beda | purwa ana lor kidul kulon puniki | wetan luhur myang ngandhap || commit to user 95 16. Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya, sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda, awal ada utara, selatan, barat, timur luhur di bawah. Serat Dewa Ruci sebagai puisi meskipun bersifat konotatif namun tetap merupakan sebuah wacana sehingga tentu seharusnya bersifat koherensif. Artinya bagian akhir tentulah berhubungan dengan inti dari pencarian Sena terhadap toya suci yang selalu disebut di awal hampir setiap pupuh. Jawaban dari ditemukannya „toya‟ yang dicari, yang menjadi tujuan dari tokoh Bima. Bisa disimpulkan bahwa „toya‟ yang dicari adalah uraian pada pupuh terakhir tersebut. Dengan kata lain „toya‟ adalah metafora dari: kasampurnan yang bisa dicari dan pada akhirnya bisa dicapai oleh Bima, sehingga Bima tidak perlu lagi cemas menghadapi seluruh perjalanan hidupnya. Kesimpulan ini dikuatkan oleh awal cerita dimana Bima menyatakan akan mencari kesempurnaan, menyatu dengan Hyang Maha Suci di pupuh pertama padha 5: 5. Wrêkodhara miyarsa nauri | ingsun môngsa [mông...][...sa] kênaa dèn ampah | mati ya ngumurku dhewe | wong nêdya mrih pinutus | panunggale Hyang Maha Suci | Arya Sena saksana | kalepat sumêmprung | Sri Narendra Yudhisthira | miwah ari katiga ngungun tan sipi | lir tinêbak mong tuna || 5. Arya Sena mendengar itu lalu menjawab,aku tak mungkin dapat ditipu, matipun sudah jatahku, karena ingin mencari kesempurnaan, menyatu dengan Hyang Maha Suci, setelah berkata begitu, Sena lalu segera pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran melihat sikap Sena mereka merasa bagaikan akan kehilangan sesuatu. Keterangan lebih jelas tentang air suci didapatkan dalam teks Dewa Ruci yaitu pada pupuh Durma bait 12. 12. dinuta tan uninga jatining lampah | tirtamarta mahêning | mapan tanpa ngarah | tirta kang wruh ing tirta | suksma-sinuksma mawingit | tangèh manggiha| yèn tan nugraha yêkti|| Artinya: Yang di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Air Penghidupan Jernih, yang letaknya tanpa arah, air yang ada dalam air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya. Semacam ungkapan menggalih yang berarti berfikir sampai intinya, merujuk kepada galih pada kayu pohon, maka air yang ada dalam air, suksma berjiwa penuh rahasia mengacu kepada nilai esensial dari apa yang dicari oleh Bima. Sesuatu yang menjadi inti dari kejernihan. Di dalam commit to user 96 kebanyakan kebudayaan air seringkali menjadi simbol dari kesucian, kecerdasan atau kedewasaan termasuk di dalam budaya Jawa. Di dekat Trowulan, dari abad ke-15, ditemukan pahatan menampilkan cerita pembendungan laut susu. Di candi sukuh di lereng gunung Lawu diketahui adanya jaringan saluran air lengkap dengan pipa-pipa batu yang dahulu mestinya dipakai untuk “pembaptisan” jemaah. Di Bali para pedanda dewasa ini masih juga memakai air penyuci, dan Ch. Hooykaas memakai istilah agama air untuk agama Bali, tidak demikian halnya di Jawa. Meskipun mulai tidak menjadikan sebagai simbol khusus, dalam Islam Jawa tema air penyubur tidak lenyap begitu saja, beberapa masjid menjadikan air penyubur ciri arsitektur yang berdiri di tengah-tengah kolam. Tirta kang wruh ing tirta „air yang ada di dalam air‟ dipadankan dengan frase suksma- sinuksma mawingit „suksma berjiwa penuh rahasia‟. Artinya toya yang dicari bukan sungguh- sungguh berarti air secara materiil tapi air dalam arti lain yang bersifat immateriil. Tirta pawitra sari bisa disimpulkan sebagai metafor dari ajaran batin atau suksma yang paling rahasia, sehingga juga merupakan ajaran batin yang paling suci, yang dengannya manusia bisa melihat kehidupan ini secara jelas dan terang tanpa rasa takut dan was-was seperti digambarkan pada tokoh Bima yang sampai tak hendak kembali dan tetap ingin tinggal di telinga Dewa Ruci.

d. Metafor terhadap Kelemahan Manusia i. Gua