commit to user 85
b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah
Latar atau setting dalam sastra wayang meliputi aspek ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa. Latar dalam aspek ruang pada seni pedalangan sering ditampilkan dengan
istilah jejer atau adegan. Dengan demikian kita mengenal jejer kerajaan, adegan paseban luar, adegan di pertapaan, di tengah hutan, di padepokan, di tengah samodra, di kahyangan, dan
sebagainya. Aspek waktu dalam seni pedhalangan juga tercermin dari pembagian
pathet
yang menjadi dasar pembentukan alur lakon. Sedangkan dalam karya sastra wayang penampilan latar
hanya dapat mengandalkan kepada kemahiran pengarang semata-mata karena tidak ada dukungan sarana lain lagi yang dapat diamati oleh pembaca selain tulisan yang dibacanya.
Sengaja tidak kami bahas setting suasana yang terjadi maupun setting waktu secara khusus. Keduanya hanya akan dibahas bersamaan dengan tanda-tanda yang lain karena sifatnya
yang hanya mendukung arti dari suatu tanda. Berbeda dengan setting tempat karena dalam wayang nama suatu tempat selalu memiliki arti dan biasa digunakan sebagai simbol, seperti
dalam ungkapan
asma kinarya japa
.
i. Hutan Tikbrasara
Penyebutan hutan tidak banyak dilakukan oleh pencipta cerita Dewa Ruci. Kata Tikbrasara muncul dalam
pupuh
kesatu
pada
ke-13:
13. prênahipun kang hèr adi êning | Rêsi Durna mojar marang Sena | adhuh sutaningsun anggèr | ênggoning kang toya nung | pan ing wana Tikbrasarèki | turutên tuduh ingwang |
sangêt pari kudu | nucèkakên badanira | ulatana soring Gôndamadanèki | ing wukir Côndramuka ||
13. Tempatnya air suci jernih, Resi Druna lirih kata-katanya kepada Sena, aduh anakku tercinta, air suci itu letaknya, berada di hutan Tikbrasarareki, ikutilah
petunjukku, harus diperhatikan, air itu akan menyucikan dirimu, carilah itu di bawah Gandamadaneki, di gunung Candramuka.
commit to user 86
Tikbra
secara denotatif berarti susah, prihatin, atau nesu banget „marah sekali‟.
Sara
dalam bahasa Jawa Kawi berarti
jemparing, lalandhep, dadamel, lungid, pamales, putus
. Namun
sara
dalam bahasa Jawa diartikan juga sangsara. Sangsara sendiri berarti
siksa, papa, cilaka, kapambengan, sakit, eca
Winters, 1987:239. Kedua kata tersebut digabungkan menjadi satu kata yang dalam sistem bahasa Jawa disebut dengan
kretabasa
, ialah penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu kata baru biasanya dengan menghilangkan sebagian kata. Kata
tikbra
dan
sara
keduanya memiliki arti yang sama ialah susah, prihatin, papa, sakit. Kata bentukan Tikbrasara dengan demikian merupakan penyangatan dari keprihatinan. Hal ini gayut dengan
konsep
laku
dalam budaya Jawa yang selalu menghubungkannya dengan keprihatinan. Kata
laku
dan
prihatin
sering disandingkan sebagai pasangan yang tidak terpisah dalam frase:
laku prihatin
. Hutan Tikbrasara merupakan latar tempat dimana tokoh utama Bima harus menjalani
laku prihatin
. Di dalam hutan itu tinggal berbagai macam hewan dan berbagai jenis bunga, yang
umumnya digunakan sebagai metafor dari nafsu hewaniah dan keindahan alam karunia Sang Pencipta. Hutan sendiri dalam cerita wayang merupakan salah satu tempat
nenepi
atau menjalani
laku
, tempat dimana manusia harus meninggalkan identitas-identitas politik dan sosialnya, hanya membawa dirinya sendiri. Dalam kebudayaan India raja-raja setelah menunjuk penggantinya
akan memasuki hutan belantara untuk menjalani
laku tapa madeg pandhita
. Bisa disimpulkan hutan Tikbrasara merupakan metafor dari laku prihatin,
nenepi
yang harus dimasuki oleh seorang pencari kedamaian dan kesempurnaan.
ii. Gunung Candramuka
Simbol gunung muncul di
pupuh
kesatu
pada
ke-16. Tradisi Jawa mengenal gunung sebagai simbol tempat tinggi dimana Dewa-Dewa bersemayam. Gunung juga biasa menjadi
commit to user 87
tempat
nenepi
ialah mencari atau mencapai keheningan, konsentrasi, mengheningkan cipta dalam rangka mencari petunjuk Tuhan. Dalam proses
nenepi
atau nyepi pada dasarnya adalah proses pengambilan jarak dari kehidupan manusia dan juga dari identitas diri yang tidak substansi,
termasuk peran sosial dan politik hanya dengan berbekal diri sendiri. Di gunung tinggallah dua raksasa yang kemudian berubah menjadi Bathara. Diterangkan:
ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar
katiban warsa | sela ngapit marga supit ||
Artinya: memasuki gunung menanjak ,menjalani tanah miring, tanah membusung jadi runtuh, jurang curam terpotong, semua menjadi rata saja, dengan bahagia kedatangan hujan, sela batu
menjadi jalan sempit.
Konsep gunung dalam teks dilengkapi dengan predikat tanah miring dan tanah membusung yang kemudian jadi rata diterjang. Gunung sebagai tempat tinggi dalam
mencapainya penuh rintangan namun semua harus dihadapi dan Bima berhasil melampauinya. Unsur-unsur dalam teks yang memiliki ekuivalensi paling dekat dengan gunung adalah
pencapaian Bima dalam usaha mendapatkan
kasampurnan.
Simbol jurang yang menjadi lawan kata dari tanah membusunggunung juga muncul pada
pupuh
Pangkur pada 7 dan 8 dimana digambarkan „
kidang
‟ kidang, „
andaka
‟ kerbau dan „bujongga‟ ular besar terterjang jatuh ke dalam jurang.
7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang
matyèng jurang | tibèng parang angêmasi ||
7. Ramai seisi hutan, dimana sang Poncawara Pandawa membuat cepat jadi prahara, hewan terterjang bubar, hancur lebur jadinya, karena besarnya prahara
hewan terbentur, kijang-kijang mati di jurang, jatuh hancur jadinya.
8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa-tapa anèng gunung | ajar-ajar
kapêlajar | prabawa prahara gumrit ||
commit to user 88
8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di
gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi.
Bahkan para
ajar
„siswa‟ terpengaruh oleh apa yang sedang dilakukan Bima. Bisa ditarik kesimpulan jurang merupakan simbol nilai-nilai rendah dimana hewan yang dekat maknanya
dengan nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah, terlempar ke dalamnya. Sehubungan dengan nama
gunung Candramuka
,
Candra
dalam bahasa kawi bersinonim dengan kata
rembulan, marna, ngrupa, rengga, ngrumpaka, nganggit, warni
„rembulan, mewajah, menata, menyusun, warna Winters, 1987: 28 dan 137. Candra juga berarti
crita kaananing maujud sarana pepindhan
„cerita keadaan berwujud dengan sarana perumpamaan Widada, 2001: 92. Muka berarti wajah, depan, pemimpin Winters, 1987:158. Berdasarkan
kemungkinan-kemungkinan makna Candramuka hubungannya dengan serat dan makna Serat Dewa Ruci maka perlu dilakukan analisis secara sintagmatik, dicari hubungan yang memberi
makna terhadap Candramuka dalam Serat Dewa Ruci. Berdasar pemaknaan yang telah dilakukan sebelumnya, Serat Dewa Ruci merupakan kisah
laku
prihatin Bima, maka candramuka berhubungan dengan hal tersebut memiliki makna menjaga wajah yang tertata bercahaya indah.
Kebudayaan Jawa seperti halnya kebudayaan yang lain menjadikan air muka atau mimik wajah sebagai penggambaran keadaan rohani seseorang. Air muka yang tenang dan bercahaya
menjadi tanda bahwa keadaan rohani seseorang juga tenang atau
menep
„mengendap‟ yang menandakan seseorang sudah mampu mengendalikan emosinya dari rasa takut, marah, congkak,
maupun sedih. Seorang yang telah menguasai diri bisa dianggap sebagai orang yang telah dewasa. Selaras dengan arti gunung sebagai metafor dari peningkatan kualitas yang bisa dicapai,
Candramuka menggambarkan hasil dari peningkatan kualitas tersebut ialah air muka yang tenang dan bercahaya.
commit to user 89
iii. Samodra
Tanda samodra muncul pada akhir
pupuh
keempat dan pada sebagian besar
pupuh
kelima, misalnya di
pupuh
empat
pada
2:
2. ing samodra wiraganira lêgawa | banyu sumawut wêntis | mêlêg angganira | alun pan sumamburat | sumêmbur muka nampêktinampêki. | migêging ôngga | wakêt jôngga kang
warih ||
2. Dalam samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, menyentuh tubuhnya, ombak menggelombang menampar wajahnya, dan bergerak-gerak
menerpa badan, menyentuh lehernya.
Kebudayaan Jawa melihat Samodra sebagai indentifikasi kemahaluasan, ketakterbatasan. Termasuk di dalamnya mitos tentang Nyi Roro Kidul di Laut Selatan sebagai „istri‟ dari raja
Jawa di masa Mataram Baru merupakan simbol dari kemahaluasan yang harus dimiliki oleh seorang Raja Jawa. Kualitas Jiwa seorang raja harus mampu menerima segala bentuk dan
keadaaan,
momot saliring kahanan
„memuat segala keadaan‟ seperti halnya samodra. Seorang yang bijak harus
legawa
atau berlapang dada, seluas samodra. Personifikasi kelapangan dada selalu menggunakan samodra dan tidak pernah memakai personifikasi daratan. Telenging
samodra sejajar dengan istilah
galih kangkung
. Seorang raja harus bisa
menggalih
artinya berpikir sampai intinya yang immateriil seperti halnya batang tanaman kangkung yang bagian
tengahnya kosong. Telenging samodra dengan demikian pada tataran spiritual juga bisa diartikan dengan cara yang sama yaitu inti dari segala keluasan. Di dalam keluasan samudra terdapat
intinya ialah
toya suci.
Selain gunung samodra juga merupakan tempat
nenepi,
tempat menjauh dari kehidupan sosial beserta berbagai identitas yang menyertainya. Bisa dikatakan masuk ke samodra
merupakan perulangan
laku
yang dilakukan oleh Bima sewaktu naik gunung Candramuka. Bedanya jika yang dihadapi di gunung adalah hewan-hewan dan raksasa yang merupakan
commit to user 90
metafor dari nafsu hewaniah, sedangkan di samudra yang dihadapi adalah ular naga yang merupakan metafor dari ego yang tinggal di dalam diri. Tataran laku antara saat Bima menuju ke
gunung Candramuka dengan menuju ke samodra bisa disimpulkan berbeda. Jika saat di gunung Candramuka Bima bertemu Bathara Indra dan Bayu masih dalam keadaan sadar, dan
memperoleh kesadaran sedangkan di samodra saat bertemu dengan Dewa Ruci, Bima dalam keadaan pingsan „tak sadar diri‟ yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai keadaan yang
dialami seseorang dalam laku, dimana seseorang memasuki alam halus, seseorang akan kehilangan kesadaran kepada identitas pribadinya, dan yang ada hanyalah kekosongan. Dengan
demikian samodra dalam serat Dewa Ruci bisa diartikan sebagai metafor dari keluasan pengetahuan yang di dalamnya terdapat ego, keinginan untuk mengaku, menguasai karena
menganggap bahwa keluasan yang diarungi sebagai milik pribadi namun sesungguhnya tidak. Pengetahuan dan keluasan samodra adalah anugrah yang tidak boleh dianggap sebagai hak milik.
c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas i. Pancanaka