Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur estetikanya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dari bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan- penciptaan baru kreativitas dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni Pradopo, 1997: 36. Karya sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang fakta individual atau libidinal, dan pengalaman sekelompok masyarakat fakta sosial Sangidu, 2004: 41. Sebagai karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak benda mati yang statis yang terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika Abdullah dalam Sangidu, 2004: 42. Karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Salah satu bentuk karya sastra dan karya seni yang paling kuno adalah puisi. Tidak hanya bisa digunakan sebagai sarana mengekspresikan namun puisi juga bisa digunakan sebagai sarana terapi. Seorang dokter Romawi Soranus membuat resep untuk pasien depresi yang disebut terapis puisi. Di samping itu, Dr. Benjamin Rush yang disebut “Bapak Psikiatri Amerika” menggunakan musik dan sastra sebagai pengobatan komplementer kemudian pasiennya menerbitkan tulisannya di koran Blank, 2010: 1. Orkestrasi atau musikalitas menjadi hal yang penting dalam menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. commit to user 2 Howard 1997: 81 melakukan penelitian memeriksa efek dari terapi dan puisi pada perempuan dan remaja yang hasil penelitiannya menunjukkan efektivitas pengaruh baik seni ekspresif terhadap perilaku remaja. Puisi seperti karya sastra lainnya dapat juga membangun sebuah ruang moral dan etika dalam diri masyarakat. Khasanah budaya Jawa juga mengenal berbagai jenis puisi, lama atau terikat maupun puisi baru atau bebas. Puisi lama antara lain sanepan, wangsalan, dan macapat yang banyak termuat dalam naskah Jawa tradisional beraksara Jawa. Berdasar katalog yang disusun Florida 1996 naskah Jawa bisa dipilah menjadi beberapa jenis ditinjau dari isinya, yaitu: sejarah, adat istiadat, arsitektur, hukum, roman sejarah, ramalan, kesusastraan, piwulang, wayang, cerita wayang, dongeng, puisi, roman Islam, ajaran Islam, sejarah Islam, mistik dan tari, linguistik, mistik kejawen, dan obat-obatan. Serat-serat Jawa umumnya ditulis dalam tembang macapat yang termasuk ke dalam genre puisi terikat karena setiap nama tembang macapat mempunyai aturan-aturan tertentu. Aturan bunyi vokal pada tiap akhir baris yang diseb ut “dhong-dhing” atau guru lagu. Aturan jumlah baris tiap bait yang disebut guru gatra. Aturan jumlah suku kata tiap baris disebut guru wilangan. setiap genre tembang macapat juga memiliki watak yang berbeda. Karya sastra Jawa mengandung berbagai bentuk ajaran, petunjuk, dan pendidikan adiluhung yang banyak terdapat dalam kebudayaan Jawa Endraswara, 2006: 6. Menarik perhatian, kenyataan bahwa sebagai rekaman kekayaan localwisdom , cerita wayang telah menjadi sarana pendidikan pada masa lampau. Di masa sarana komunikasi masih sangat sederhana, cerita wayang disajikan commit to user 3 dalam pertunjukan di pusat pemerintahan maupun di pelosok-pelosok desa. Cerita wayang pada masa Walisanga juga menjadi sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai agama Islam. Sejarah yang panjang tersebut dan keberhasilan cerita wayang beserta pertunjukannya mempengaruhi dan menyehatkan jiwa manusia Jawa, dan berhasil menjadi sebuah budaya populer pada jamannya menjadi sumber referensi nilai bagi hidup sehari-hari, patut untuk diapresiasi. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang, pertunjukan dan sastra wayang. Walaupun isi sastra wayang berasal dari India namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing- masing Ciptoprawiro, 1986: 31. Seni pertunjukan wayang dan cerita wayang telah tumbuh dan berkembang berdampingan lebih dari sepuluh abad lamanya. Wibisono menyebut cerita wayang purwa yang ada dalam karya sastra sebagai sastra wayang. Istilah sastra wayang yang digunakan tidak terlepas dari kaitan yang erat antara kedua jenis seni itu Wibisono, 2001: 330. Istilah sastra wayang dan cerita wayang dengan demikian mengacu kepada konsep yang sama yang dalam penelitian ini sangat mungkin saling bertukar penggunaannya, tergantung dari konteks. commit to user 4 Kisah Dewa Ruci adalah salah satu sastra wayang yang populer di lingkungan pendukung budaya Jawa. Bahkan dalam khasanah sastra Indonesia terlahir beberapa puisi yang terinspirasi dari cerita Dewa Ruci misalnya: Bima karya Subagio Sastrowardoyo, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini K.M. Selain dikenal dengan judul Dewa Ruci kisah yang sama kadang juga dikenal dengan judul Bima Sonya, atau Bima Suci. Tokoh Bima sering muncul dalam khasanah budaya Jawa, misalnya kisah Bhimaswarga, Bima Bungkus . Ketiganya muncul dalam teks sastra maupun dalam pertunjukan. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu Widada, 2001: 677. Kisah Dewa Ruci umumnya dikenal memiliki tema tentang pengendalian nafsu yang juga sering muncul dalam teks sastra wayang lainnya maupun dalam ajaran-ajaran Jawa. Selain kisah Dewa Ruci misalnya, di candi Sukuh terdapat ukiran kisah Nawaruci atau Sembilan Nafsu Munandar, 2004:54. Bertemunya simbol antara Bima dan Nafsu dalam kisah Dewa Ruci menjadi hal yang penting untuk dianalisa dan dipahami maknanya. Kisah Dewa R uci merupakan “ lakon pamijen ” karena tokoh Dewa Ruci hanya muncul dalam cerita ini. Pigeaud berpandangan bahwa kisah Dewa Ruci dipandang sebagai karya yang penting dalam kehidupan rohani, etika, yang di dalamnya mengandung ajaran keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam Wiryamartana, 1990: 2. Lakon Dewa Ruci memberikan tuntunan kepada manusia mengenai kewajiban manusia kepada Tuhan, hubungan antar sesama manusia dengan misteri hidup yang paling rahasia Sastroamidjojo, 1967:102. Menurut Susetya cerita Dewa Ruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri commit to user 5 yang mengandung pelajaran sebagai berikut: 1. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti , artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2. Sapa temen bakal tinemu , artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon Dewa Ruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan Susetya, 2007: 200. Pemahaman terhadap isi sastra wayang bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang karena semua karya sastra utamanya sastra wayang selalu dikemas dengan metafora atau perlambang yang ditampilkan lewat tokoh dan permasalahannya. Tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci adalah Sena atau Bima karena ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian Nurgiyantoro, 1995: 177. Tokoh Dewa Ruci yang namanya digunakan sebagai judul kitab justru hanya dihadirkan oleh pengarang di bagian akhir dari keseluruhan cerita. Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi, dalam hal ini adalah tokoh Sena, merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita Nurgiyantoro, 1995: 178. Kisah Dewa Ruci salah satunya termuat dalam Serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi Kediri. Isi dari cerita Dewa Ruci ialah tentang ajaran tokoh Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara Arya Sena Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan Tirtamerta. Kebanyakan kisah Dewa Ruci dan variannya hampir sama dengan menggunakan commit to user 6 unsur dasar yang sama. Satunya-satunya cerita yang berbeda adalah pada Cerita Dewa Ruci yang ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup Purwadi, 2002: 15, tanpa menghadirkan tokoh Drona. Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang 1952: 69. Penelitian ini menggunakan serat Dewa Ruci Kidung yang disadur dari bentuk kakawin tembang oleh Pujangga SurakartaSolo, Yosodipuro terbitan Tan Gun Swi Kediri, yang telah ditranskripsikan ke dalam aksara latin oleh Yayasan Sastra Lestari di Surakarta. Serat Dewa Ruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sansekerta dan Jawa Kuna. Menengok lagi khasanah budaya yang dimiliki merupakan hal yang harus dilakukan, seperti diungkapkan oleh Dewantara dengan nada menyesal dalam Dewantara, 1977: 51: “Kita telah kehilangan dunia kita, tetapi masuklah dunia lain. siapakah yang salah? Jawab kita ialah: kita sendiri. Kita harus memilih dan kita telah memilih. Pilihan atas jalan orientasi pendidikan itu salah, sebab dalam kita memperoleh yang baru itu kita senantiasa melepaskan sesuatu dari persediaan kebudayaan kita, yang bagi hidup kita sering mempunyai nilai tinggi yang hakiki. Kita tadinya memang tidak tahu dan baru sekaranglah kita tahu, setelah kita dalam commit to user 7 usaha kita yang sadar untuk pembangunan kembali senantiasa mengetahui dengan sedih, bahwa banyak hal-hal yang baik dan indah sudah hilang, justru hal-hal yang perlu untuk kelarasan dalam daripada gedong kita, atau setidak-tidaknya mempunyai nilai tinggi sekali. Materiil yang baru yang masuk sering lebih sesuai sebaga i “rias” saja daripada bahan bangunan”. Menengok dan memunculkan kasanah budaya kita sendiri juga selaras dengan orientasi pendidikan pemerintah saat ini. Pemerintah menetapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter di tahun 2010. Isu dan wacana pendidikan karakter terus bergulir sebagai suatu kepentingan yang mendesak dan strategis bagi kelangsungan masa depan bangsa hingga kemudian lahirlah kurikulum 2013 yang dirancang dengan empat kompetensi lulusan. Kl-1: Menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya, Kl-2: Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, dan cinta tanah air dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan guru. Kl-3: Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan cara mengamati dan mencoba mendengar, melihat, membaca serta menanya berdasarkan rasa ingin tahu secara kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain. Kl-4: Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas, logis, dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan commit to user 8 yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia. Pada pembacaan awal Serat Dewa Ruci dengan tokoh utama Sena, bisa dikatakan bahwa Serat Dewa Ruci di dalamnya mengandung model pendidikan seperti yang digambarkan dalam kurikulum 2013. Perjalanan yang dilalui oleh Sena, atau yang disebut sebagai laku , menunjukkan kualitas kompetensi dari empat kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013. Hal ini tentu menarik karena ternyata apa yang dirumuskan saat ini, jauh sebelumnya telah dirumuskan oleh para pendahulu kita, meskipun tidak dalam rumusan teori yang rumit, namun merupakan praksis pendidikan yang pada dasarnya disemangati oleh kesadaran yang sama, ialah pentingnya pendidikan karakter. Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa Indonesia, merupakan konsep yang umum dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai metode utama mendapatkan kawruh „pengetahuan‟. Menurut Dewantara 1977: 28, laku zelfbeheresching, zelfdiscipline merupakan salah satu metode mendidik selain memberi contoh, pembiasaan, pengajaran, perintah, paksaan dan hukuman, pengalaman lahir dan batin nglakoni, ngrasa, beleving . Laku merupakan jalan kesadaran yang pertama-tama adalah untuk mengenali diri sendiri melalui pengalaman-pengalaman pribadi, baik dengan bimbingan guru atau tidak. Dengan demikian laku sesuai dengan pendapat Lickona bahwa sebuah program refleksi moral yang serius hendaknya dapat pula mendorong suatu pemahaman moral yang merupakan bagian paling sulit untuk dicapai, tetapi sangat penting dalam pengembangan karakter, yakni memahami diri sendiri commit to user 9 Lickona, 2013: 338. Data dan pengetahuan berkenaan dengan laku akan menjadi salah satu perhatian dalam penelitian ini karena sifatnya yang khas Jawa sekaligus karena merupakan inti pendidikan karakter yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sebagai objek penelitian. Meskipun demikian nilai-nilai karakter yang lain juga akan mendapat perhatian. Latar belakang yang dipaparkan di atas menjadi dasar penelitian ini untuk mengambil judul: Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda, sesuai dengan objek penelitian berupa puisi yang banyak menampilkan tanda dan sistem tanda. Teori dasar yang digunakan adalah teori semiotik dari Riffaterre. Maka sesuai teori dari Riffaterre pendekatan semiotik yang digunakan dalam penelitian ini pada tahap pertama ialah tahap penelitian heuristik, berfungsi sebagai alat memahami arti dari serat Dewa Ruci. Pada tahap ini kebenaran yang menjadi basisnya adalah teori kebenaran logis atau teori koherensi, kesatuan coherence theory of truth . Arti dari bagian-bagian di dalam serat dihubungkan dalam kesatuan yang saling menerangkan dan tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Pada tahap kedua pendekatan semiotik ialah tahap penelitian hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami makna dari cerita yang ada, dan menghubungkannya dengan bingkai besar kebudayaan Jawa. Kebenaran empiris dengan teori korespondensi correspondence theory of truth menjadi basis paradigmanya. Kriteria kebenaran yang digunakan menilai sebuah pernyataan adalah kesesuaian pernyataan ilmiah dengan kenyataan empiris yang ada dalam kebudayaan Jawa maupun dalam bidang ilmu yang lain yang commit to user 10 memungkinkan sebagai pendukung kebenaran-kebenaran yang dinyatakan Rohman, 2013: 19. Pemanfaatan paradigma penelitian semiotik diharapkan penelitian dapat leluasa bergerak dan berpindah dari tataran arti dan makna. Bergerak dari koherensi arti teks dan merelasikannya dengan kebenaran-kebenaran dalam kenyataan kebudayaan Jawa. Kepaduan arti pada tataran heuristik terhadap serat Dewa Ruci tanpa meninggalkan konteks kebenaran di mana serat itu hidup dilakukan dengan tahapan penelitian hermeneutik, untuk selanjutnya diungkapkan nilai pendidikan karakter yang ada di dalam teks serat Dewa Ruci. Untuk menjadikan penelitian dapat diterapkan maka juga dilakukan pengungkapan relevansi Serat Dewa Ruci dengan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat serat tradisional Jawa umumnya dan cerita wayang khususnya mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan. Penelitian ini menjadi semakin penting untuk dilakukan karena penelitian sejenis jarang dilakukan. Dikenal dan dipahaminya kembali cerita wayang yang dimunculkan arti dan maknanya menggunakan kajian semiotik akan menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan utamanya bagi pendidikan karakter. commit to user 11

B. Rumusan Masalah