commit to user 120
mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak
semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing-masing.
Kias dalam wayang ditemukan antara lain: a. Tingkat kedewasaan manusia yang berturut-turut berada dalam tahap Karma, Darma, Bakti,
dan Moksa. b. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti watak
ksatria, raksasa diyu, dur hangkara. c. Penggambaran watak dalam tiap peraga wayang, antara lain dalam bentuk dan warna.
d. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk dalam adegan tertentu. e. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang berisikan kias.
Kesatuan makna dari SDR didasarkan kepada kenyataannya sebagai filsafat Jawa:
Laku
, yang mengandung arti perjalanan atau jarak. Dengan demikian sistem relasi oposisi, jarak makna
dari dua atau lebih tanda akan menjadi sangat dominan dalam proses pemaknaan yang dilakukan.
Laku
sendiri bisa diartikan perjalanan fisik, maupun spiritual. Melihat tanda-tanda yang terhampar SDR merupakan pemaparan tentang perjalanan spiritual.
b. Hipogram
Sebuah karya sastra tidak pernah lahir dari ruang hampa dan memiliki latar penciptaan dari karya sastra teks sebelumnya. Riffaterre menyatakan bahwa puisi teks yang menjadi latar
penciptaan sebuah karya sastra teks yang lain disebut hipogram 1978:23. Hubungan intertekstual atau hipogramatik seringkali bukan merupakan sebuah proses kesadaran atau
kesengajaan dari seorang sastrawan, meskipun sering juga berasal dari proses yang disengaja.
commit to user 121
Untuk memberi makna sebuah karya sastra prinsip intertekstualitas perlu diterapkan yaitu dengan membandingkan antara suatu karya sastra dan hipogramnya. Karya sastra yang menjadi
hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan menyejajarkan sebuah teks dengan teks lain yang menjadi
hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya.
Hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial itu tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstraksikan darri teks. Hipogram
potensial adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci yang dapat berupa satu kata, frase atau kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial adalah
model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian. Hipogram yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hipogram aktual. Adapun hipogram aktual berupa teks nyata, dapat
berupa kata, kalimat, peribahasa atau seluruh teks. Hipograrm aktual menjadi latar penciptaan teks baru atau ditransformasikan menjadi teks baru. Hipograrm aktual dapat dilihat pada teks
yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra. Hikmah yang bisa ditangkap dari kehadiran tokoh Bima di atas adalah bahwa kesulitan
yang menimpa seseorang dan disusul dengan kesulitan berikutnya, maka pada diri orang itu akan timbul kekebalan. Ketahanan seseorang karena sudah terbiasa mendapat cobaan demi cobaan.
Kisah kehidupan yang berakhir dengan kegembiraan
happy end
. Keinginan dan harapan tokoh Bima untuk mendapatkan makna kehidupan dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat
besar, mempunyai kesamaan arti dengan ungkapan dalam budaya Jawa:
Jer basuki mawa bea,
„setiap kesejahteraan yang diinginkan tentu harus mengeluarkan biaya. Biaya yang dimaksud di sini dapat berupa uang, tenaga, pengorbanan perasaan dan waktu. Usaha tokoh Bima dalam
commit to user 122
hubungannya dengan usaha untuk mencari ilmu dan melaksanakan proses mendapatkannya seperti yang terkandung dalam serat Wedhatama karya Mangkunegara IV
pupuh Pocung
:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani, Setya Budya pangekese dur angkara
Terjemahan: Ilmu itu terlaksananya dengan dijalankan, majunya dengan niat, artinya niat
mensentosakan, setia pada budi untuk memberantas hati jahat.
Ilmu itu tercapai karena ada usaha, artinya ilmu itu harus dikerjakan dan diamalkan. Sesulit- sulitnya tindakan mencari lebih sulit untuk mengamalkan. Ilmu jika tidak diamalkan tidak ada
gunanya, bahkan ilmu kadang-kadang bisa menyusahkan. Pencipta Serat Dewa Ruci yaitu Yasadipuran I adalah sastrawan yang hidup di saat
Renaisans Jawa dimana naskah-naskah lama dari masa Mataram Kuno, Singosari, Majapahit, digubah ulang disesuaikan dengan konteks jamannya. Yasadipura I juga adalah seorang muslim
dan hidup di saat mulai surutnya pengaruh agama Hindu Budha dalam lingkungan Keraton Jawa digantikan dengan agama Islam, sehingga ajaran-ajaran Islam sangat mungkin mempengaruhi
karya-karya yang beliau ciptakan. Proses pengenalan diri dalam upaya mengenal Tuhan merupakan salah satu ajaran dalam agama Islam sebagaimana terdapat kata mutiara dalam
komunitas Islam “man arafa nafsahu faqad „arafa rabbahu” yang artinya barang siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya. Kata mutiara tersebut memiliki pemikiran yang sama dengan
ajaran yang terkandung di dalam Serat Dewa Ruci. Nilai-nilai ajaran yang dikandung Serat Dewa Ruci memiliki banyak kesejajaran pengertian dengan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam
kitab Suci agama Islam yaitu Al Quran. Serat Dewa Ruci sangat mungkin ditransformasikan dari ayat-ayat suci Al Quran. Dengan demikian hipogram aktual yang berasal dari Al Quran
adalah sebagai berikut:
commit to user 123
i Keutamaan zikir atau mengingat Allah SWT. Surat Al Baqarah ayat 152.
Yang artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-
Ku”.
Surat Al Hasyr ayat 19. Yang artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang- orang yang fasik.”
Surat Ar Ra‟d ayat 28. Yang artinya: “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.”
Surat Al Khafi ayat 2. Yang artinya: “kecuali dengan menyebut: “Insya Allah” dan ingatlah kepada Tuhanmu
jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”.
Ayat-ayat dalam surat-surat Al Quran seperti disebutkan di atas dicontohkan oleh pengarang melalui sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh Bima. Di dalam perjalanannya
mencari
toya pawitrasari
Bima ingin menyatu dengan Tuhannya. Ia menempuh perjalanan berbahaya, dinyatakan dalam teks Dewa Ruci, bukan karena ingin mendapatkan pusaka atau
kesaktian demi memenangkan perang atau mendapat kekayaan. Bima menempuh perjalanan dan menghadapi berbagai bahaya hanya karena ingin mendapatkan kedamaian dengan cara menyatu
kepada Tuhannya.
commit to user 124
ii Menahan Hawa Nafsu Surat Al Ahzab ayat 35.
Yang artinya: “sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki- laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuaan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Surat Al Baqarah ayat 183 Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang- orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Salah satu hadits qudsi menyebutkan: Seluruh ibadah kata Allah adalah untuk manusia tetapi puasa adalah untuk-Ku.
Dua ayat dan sebuah hadits qudsi di atas menunjukkan betapa pentingnya puasa menyingkirkan hawa nafsu untuk meningkatkan kualitas diri setiap manusia. Nilai tersebut juga
merupakan nilai yang dikandung di dalam Serat Dewa Ruci utamanya di pupuh pertama dan kedua ketika Bima menuju dan berada di hutan Tibraksara. Di dalam perjalanannya Bima
menyingkirkan hewan-hewan yang secara metafor berarti menyingkirkan hawa nafsu sehingga ia mampu mengalahkan dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala untuk kemudian mencapai
pencerahan. Bima bertemu dengan dua Bathara “hasil” mengalahkan nafsunya, yang kemudian meyakinkan kebenaran Bima akan tujuan perjalanannya serta menunjukkan tempat sebenarnya
toya pawitrasari
yang dicari.
commit to user 125
iii Perintah Sabar Surat Al Baqarah ayat 153
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar”.
Surat Ali Imaran ayat 120 Yang artinya: “ Jika kamu memperolah kebaikan, niscaya mereka bersedih hati,
tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya, jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan
kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
Dua ayat di atas selaras dengan peristiwa yang terjadi terhadap tokoh Bima, dimana di awal cerita ditunjukkan bahwa perjalanan yang diperintahkan guru Drona sebenarnya diniatkan
untuk mencelakakan Bima. Ternyata rencana jahat tersebut tidak mampu membuat Bima celaka namun justru sebaliknya Bima bisa benar-benar bertemu dengan Dewa Ruci yang memaparkan
kepadanya tentang
toya pawitrasari.
Bima dilindungi dalam perjalannya dan justru akhirnya memiliki kualitas sepadan dengan Bathara karena kesabaran dan ketakwaannya.
iv Nilai Baru dan Kabar Gembira Surat Yaa Siin ayat 6
Ya ng artinya: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak
mereka belum pernah diberi peringatan karena itu mereka lalai”. Surat Yaa Siin ayat 11
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
commit to user 126
walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
Tokoh Drona menjadi sarana pengarang untuk menyampaikan nilai yang sama dengan apa yang diungkapkan dalam dua ayat di atas.
“I
ng nguni-uni durung ana kang wruh goning
toyadi” memiliki kesejajaran arti dengan
kalimat: “Belum pernah diberi peringatan..” di surat Yaa siin ayat 6, yang keduanya menunjukkan adanya nilai-nilai baru yang disampaikan. Di
dalam Al Quran, penyampainya adalah Nabi Muhammad sedangkan di dalam Serat Dewa Ruci adalah pengarang melalui tokoh guru Drona. Ayat sebelas surah Yaa Siin menunjukkan bahwa
Muhammad hanya diutus mengingatkan umat yang mau mengikuti saja, sama seperti halnya peran Drona dalam Serat Dewa Ruci yang hanya menunjukkan
toya pawitrasari
kepada Bima dan tidak kepada para Korawa. Maka Bimalah yang mendapatkan kabar gembira dengan
ampunan dan pahala yang mulia sehingga tiada takutlah lagi Bima menjalani hidupnya karena semua sudah ada hukumnya dimana perbuatan baik akan berbuah kebaikan juga dan dimana
kekalahan dan kemenangan sesungguhnya hanya tergantung dari usaha diri sendiri. v Metafor jalan dan jalan yang lurus
Surat bani Israil ayat 72 Artinya: “dan barangsiapa buta di dunia ini akan buta pula di akhirat dan lebih
tersesat lagi dari jalan yang benar.”
Yaa Siin ayat 61 Yang artinya: “dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus”.
Metafor jalan seringkali dipakai untuk menggambarkan proses seseorang mencapai peningkatan kualitas. Demikian pula di dalam Al Quran, metafor jalan seringkali digunakan.
commit to user 127
Yasadhipura I memanfaatkan juga metafor jalan dan jalan lurus ini di dalam gubahannya untuk menyampaikan nilai-nilai yang diyakininya sebagai kebaikan.
Sebelum lahirnya serat Dewa Ruci oleh Yasadipura 1 pada sekitar tahun 1796 telah lahir beberapa naskah yang hampir sama. Hipogram aktual yang secara jelas dikandung dalam Serat
Dewa Ruci adalah: i. Dewa Ruci Tembang Gedhe
Cerita Dewa Ruci yang paling tua ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini
tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk
mencapai kesempurnaan hidup Purwadi, 2002: 15. Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum
jelas keterangan waktu dikarang. Gaya bahasanya masih menggunakan cara kuno, menggunakan sekar ageng tanpa guru lagu Purwadi, 2002: 15.
ii. Nawa Ruci Kitab Nawa Ruci berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa yang timbul pada zaman
kejayaan Majapahit. Kitab Nawa Ruci ditulis antara tahun 1500-1619 M oleh Empu Siwa Murti, dengan perkiraan dibuat di lingkungan luar keraton. Nama lain dari kitab Nawa Ruci adalah
Sang Hyang Tattwajnana yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup. Kitab Nawa Ruci ini merupakan karya sastra religius yang terpengaruh mistik Hindu. Lahirnya kitab
Nawa Ruci bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan
commit to user 128
masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang.
Kitab Nawa Ruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934 yang membandingkan antara kitab Nawa Ruci dengan kitab Dewa Ruci. Simpulannya
bahwa kitab Nawa Ruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewa Ruci yang semakin poluler dalam dunia pewayangan. Serat Nawa Ruci banyak mengandung unsur Hindu sedangkan Serat
Dewa Ruci mulai ditambah dengan unsur Islam. Secara historis Serat Dewa Ruci berkaitan dengan naskah Nawa Ruci yang ditulis pada
zaman Majapahit. Yasadipura memberi judul Kitabnya: Bima Suci, namun setelah Yasadipura wafat, serat Bima Suci kemudian disalin oleh beberapa orang sehingga keberadaannya menjadi
banyak variasi. Seperti halnya terjadi terhadap serat-serat tradisional, penyalinan Kitab Bima Suci dengan ditulis tangan umumnya mengalami perubahan, pengurangan maupun penambahan
dibandingkan dengan naskah aslinya, baik karena kesalahan tulis maupun adanya selera, nilai, pemikiran yang berbeda yang dengan sengaja dituangkan oleh para penyalin. Perpustakaan yang
memuat koleksi naskah Serat Bimasuci di antaranya Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan Perpustakaan Universitas Leiden.
Variasi naskah yang memuat cerita Dewa Ruci atau Bima Suci terdapat kurang lebih 29 naskah. iii. Dewa Ruci Jarwa
Abad ke-18 yaitu sekitar tahun 1796 pujangga Yasadipura I menggubah teks Dewa Ruci tembang gedhe yang bercorak Hindu-Budha ke dalam Serat Dewa Ruci macapat dengan
berbahasa Jawa Baru mengandung nafas Islam. Teks Serat Dewa Ruci macapat karya Yasadipura tersebut kemudian diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramadiprawira dengan
pencetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, 1880 dengan huruf Jawa. Isi teks
commit to user 129
Dewa Ruci macapat dengan Dewa Ruci tembang gedhe pada dasarnya sama yaitu mengisahkan perjalanan Bima dalam mencari air yang bisa membersihkan dirinya atas perintah guru Drona.
Berdasar angka tahunnya varian yang berupa cetakan ini diterbitkan sebelum penerbitan Serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi Kediri yang menjadi objek dalam penelitian ini.
c. Matriks i. Pertentangan Antara „Kesucian‟ dengan „Keduniawian‟ Sebagai Kodrat