commit to user 26
makna tanda, teka-teki bagian yang kosong dari donat karena menurut Riffaterre, “puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lainnya”.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian terhadap serat Dewa Ruci yang termasuk genre puisi akan dilakukan dengan mengingat kepadatan simbolnya yang
diartikan berdasar bagian-bagiannya yang saling menerangkan dan dihubungkan dengan konteksnya sehingga didapatkan maknanya yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Bagian-bagian puisi yang dimaksud adalah ketaklangsungan ucapan yang disebabkan oleh tiga hal:
displacing
penggantian arti,
distorsing
penyimpangan arti, dan
creating of meaning
penciptaan arti pada bunyi, irama, satuan arti berupa kata, dan sistem hubungan yang melingkupinya. Pembacaan secara
retroaktif dilakukan dalam rangka memahami bagian-bagian dalam keseluruhan, diusahakan pemaknaan yang seutuh dan sebulat mungkin. Hubungan puisi dengan
konteks didasarkan kepada berbagai latar, termasuk latar budaya, latar sosial, latar kesejarahan dan nilai-nilai pendidikan karakter yang harus diketahui dan dipahami
dalam melakukan penelitian. Hal ini paling tepat didekati dengan pendekatan semiotik Riffaterre.
2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat
a. Pengertian Tembang Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat puitik
adalah tembang. menurut Padmosoekotjo dalam Prawiradisastra, 1991: 64 tembang yaitu gubahan bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu membacanya harus
commit to user 27
dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa adalah sekar yaitu karangan yang terikat oleh aturan
guru gatra, guru wilangan, guru lagu
beserta lagu- lagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa merupakan unsur seni
budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan pembinaan dan pengemba- ngannya.
b. Jenis Tembang Dilihat secara tradisional jenis tembang dibedakan menjadi tembang Gedhe
Sekar Ageng, 2 tembang Tengahan Sekar Tengahan, dan 3 tembang Macapat sekar alit Karsono H. Saputra, 2001: 103. Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto
dalam Prawiradisastra, 1991: 64 menyatakan: “
Sekar Jawi menika wonten tigang warni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng, kejawi
punika wonten malih lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing
”. Hubungan antara tembang sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut Padmosoekotjo 1990: 25
adalah “
Kang diarani tembang iku reriptan utawa dhapukaning basa mawa paugeran tartamtu gumathok kang pamacane
kudu dilagokake nganggo kagunan swara.” Seni suara dapat dibedakan menjadi tiga seni, yaitu 1 seni tembang atau
vocal art
, yang diwujudkan oleh suara manusia, 2 seni gendhing atau
instrumental art
, yaitu tembang yang dibangun dari sisi laras gamelan atau musik atau karawitan, dan 3
perpaduan seni sekar dengan seni gendhing atau seni sekar gendhing.
commit to user 28
c Konvensi tembang Tembang macapat yang memiliki aturan terikat dalam pembuatannya adalah
salah satu bentuk puisi Jawa tradisional. Tembang macapat telah ada sejak jaman
Demak. Puisi tersebut ditembangkan atau dinyanyikan sesuai dengan lagu-lagu tertentu dengan aturan yang terikat yang biasa disebut metrum, berupa aturan: a
banyaknya gatra
guru gatra
yaitu banyaknya baris dalam tiap bait tembang. b terikat oleh
guru wilangan
yaitu banyaknya suku kata dalam baris tembang. c terikat oleh
guru lagu
atau jatuhnya suara akhir pada tiap gatra atau baris tembang, yang dalam istilah lain jatuhnya dhong-dhing atau jatuhnya suara a-i-u-e-o. Salah satu keunikan
macapat adalah selain memiliki aturan struktur fisik seperti tersebut di atas juga memiliki aturan struktur batin. Aturan batin berupa perasaan apa yang diungkapkan,
nada tembang itu bagaimana, tema dan amanat apakah yang tepat diungkapkan melalui jenis matra tembang tersebut Waluya, 1995:13.
Masing-masing matra memiliki watak-watak yang disesuaikan dengan isi puisi tersebut. Dengan demikian matra dalam macapat adalah bentuk puisi yang
memiliki spesifikasi kuantitas suku kata dalam tiap baris dan bunyi akhir vokal tiap- tiap baris, dimana isi puisi tersebut juga ikut mengakomodasi nama jenis matra,
misalnya asmaradana mempunyai watak atau struktur batin mengungkapkan duka asmara. Sekar Macapat menurut Adi 1991 : 89 ada 11 jenis yang kesemuanya
terikat dengan
guru gatra, guru wilangan
dan
guru lagu
atau
dhong-dhing
. Berikut disajikan tabel nama dan tembang macapat beserta aturan-aturannya.
commit to user 29
No Jenenge Tembang Cacahe gatra, cacahe wanda,
lan dhong-dhing Watake Tembang
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 1 Maskumambang 12i 6a 8i 8a
Ngeres, nelangsa 2
Mijil 10i 6o 10e 10i 6i 6u
Prihatin, cocog karo crita sedhih utawa asmara
3 Sinom
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a Trengginas,cocog kanggo
ngandharake piwulang 4 Kinanthi
8u 8i 8a 8i 8a 8i Seneng, asih
5 Asmarandana
8i 8a 8e 8a 7a 8u 8a Sedhih utawa prihatin
sajroning asmara 6
Gambuh 7u 10u 12i 8u 8o
Sumanak, sumadulur,
cocog kanggo menehi pituduh
7 Dhandhanggula
10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a Ngresepake,
luwes kanggo nggambarake apa
wae 8 Durma
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i Galak, nesu
9 Pangkur
8a 11i 8u 7a 12
u 8a 8i
Sereng, nesu 1
Megatruh 12u 8i 8u 8i 8o
Nglangut, crita memelas 1
1 Pucung
12u 6a 8i 12a Greget
rada kendho,
cocog kanggo crita kang laras
Tabel. 1 Tembang Macapat beserta konvensinya Adi, 1991: 89
commit to user 30
Serat Dewa Ruci hanya mengandung empat
metrum
dan terbagi dalam lima
pupuh
. Pupuh pertama menggunakan metrum dhandanggula, pupuh kedua menggunakan
metrum Pangkur, pupuh ketiga menggunakan metrum sinom, pupuh keempat menggunakan metrum durma, pupuh kelima kembali menggunakan metrum
dhandanggula. Bunyi dalam bahasa Jawa mengandung beberapa gejala yang patut dibahas.
Peristiwa perubahan bunyi di dalamnya terdapat perubahan yang dimanfaatkan, dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakainya yang belum
mendapat wadah pernyataannya, dan terdapat pula perubahan bunyi yang tidak dimanfaatkan. Artinya terdapat perbedaan-perbedaan bunyi tanpa menghasilkan
makna. Bunyi-bunyi bahasa yang kebetulan sedang berperanan mengubah atau menambah nilai-nilai suatu bentuk lingual disebut fonestem, sedangkan gejalanya
disebut fonestemik. Misalnya bunyi [i] dalam
cilik
„kecil sekali‟ merupakan fonestem karena menunjukkan kesangatan dari
cilek
„kecil‟. Gejala yang lain ialah keikonikan yang berkata dasar ikon, digunakan untuk
menyebut tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya. Misalnya konsonan [g] pada kata
gunung
„gunung‟ menjadi ciri keikonikan kebesaran karena besarnya tenaga dan beratnya pembentukan suara dari
bunyi itu. Keikonikan bisa bersifat lingual berdasar pembentukan ikon oleh alat artikulasi dan artikulator tetapi juga bisa bersifat kial, ialah bentuk-bentuk mulut
yang mempunyai makna sesuai leksikalnya.
commit to user 31
Pengkajian bahasa demi penjelasan terhadap hubungan antara bentuk dan fungsi atau antara kode dengan amanat dalam bahasa manusia yang ternyata dari
berbagai pembuktian memiliki sifat nonarbitrer yang cukup menonjol sangatlah perlu. Pemahaman terhadap berbagai gejala dalam bahasa Jawa akan membantu dalam
usaha memahami bentuk-bentuk pemanfaatannya termasuk dalam puisi macapat. Puisi macapat juga mengenal adanya persajakan atau rima, yakni pengulangan bunyi
berselang, baik dalam satu larik sajak maupun larik sajak yang berdekatan. Rima atau
purwakanthi
berfungsi memudahkan penghafalan sajak dan ikut membina terbentuknya satuan sajak. Terdapat tiga macam
purwakanthi
, yakni
purwakanthi guru sastra
„aliterasi‟,
purwakanthi guru swara
„asonansi‟ dan
purwakanthi lumaksita
„pengulangan satu suku kata‟. Untuk menarik perhatian pembaca dan menambah estetika dalam karya yang dibuat, seorang pengarang seringkali
menggunakan gaya bahasa. Para pengarang sastra Jawa tradisional juga telah mengenal gaya bahasa antara lain:
tembung entar
„bahasa kiasan‟,
pepindhan
„simile‟, metafora, dan personifikasi. Uraian di atas menyatakan bahwa puisi tradisional macapat selain memiliki aturan
struktur fisik juga memiliki aturan struktur batin. Aturan struktur fisik meliputi
guru gatra, guru wilangan
dan
guru lagu
. Aturan bunyi yang terkandung di dalam struktur puisi macapat dalam bahasa Jawa mengandung gejala fonestemik, ikonik dan kial.
Struktur batin di dalam puisi tradisional macapat berupa watak atau karakter yang terkandung di dalam setiap metrum tembang macapat.
commit to user 32
3. Pendekatan Semiotik