Sistem Tanda Penunjuk Proses i.

commit to user 101

e. Sistem Tanda Penunjuk Proses i.

“ ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi ” 14. dhungkarana ingkang wukir-wukir |jroning guwa jro panggonanira | tuhu hèr ning pawitrane | ing nguni-uni durung | ana kang wruh goning toyadi | trustha Sang Wrêkodhara | pamit awotsantun | mring Durna mring Suyudana | angandika sira Prabu Kurupati | yayi mas dèn prayitna || 14. Carilah di gunung-gunung, di dalam gua-gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum, ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil menyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan, berhati-hatilah adikku Sebuah karya sastra menjadi lazim jika di dalamnya dituntut adanya kebaruan dibandingkan dengan karya sastra yang sebelumnya pernah ada. Kebaruan tersebut bisa berupa kesadaran baru ataupun kreasi baru dalam hal cara penyampaian sebuah nilai. Pengarang Serat Dewa Ruci nampaknya ingin menegaskan bahwa toyadi yang dicari oleh Sena, yang berarti juga toyadi yang akan didapatkan pemahamannya oleh pembaca dari serat tersebut adalah sesuatu yang baru yang „sebelumnya belum pernah ada yang mengetahuinya‟ dengan pernyataan Guru Drona: “ ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi ”. 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa -tapa anèng gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit || 8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. Hewan-hewan berkaki empat, bubar dan bahkan menjadi hancur lebur, terlempar ke jurang yang dalam, terterjang jalannya Sena yang mencari toya wening. Tidak hanya itu, para ajar, murid yang sedang bertapa mereka terpengaruh oeh keributan yang ada. Para ajar merujuk kepada murid pendeta dari ajaran sebelumnya, nampaknya merupakan metafor dari nilai-nilai masa lalu commit to user 102 yang bahkan nasibnya hampir sama dengan para hewan, harus ikut disingkirkan. Kesimpulan ini dikuatkan lagi dengan tembang pangkur pada 9-10 yang isinya: 9. kêthu kathok kapalêsat | kuthetheran pathake pothar-pathir | rêrangkangan kèh mrêkungkung | sangêt katisên samya | tutup tangan cantrik manguyu kêplayu | dalancang mangsi kasingsal | ngungsi padesan gumriwis || 9. Kethu celana terlempar, menggigil ketakutan berantakan, merangkak banyak yang bersembunyi, badannya menjadi dingin, menutup wajah dengan tangan para cantrik berlari, kethu sampai tertinggal, mengungsi ke desa sekitar. 10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih || 10. Berbunyi gentanya untuk memuja, gugup sambil menebarkan wewangian, bau harum tersebar, lihatlah langkahnya, sampai gua di gunung Condramuka, dibuka gunung dikeduk, batu dilempar menjauh. Pakaian yang dalam nilai Jawa dianggap sebagai harganing raga gumantung saka busana „nilai raga tergantung dari tata busana yang digunakan‟. Namun dalam pada ini digambarkan para ajar penutup kepala dan celananya terlempar, artinya sudah tidak memiliki nilai lagi. Para ajar adalah sebutan murid dari para pendeta yang ada sebelumnya, yang secara kesejarahan merupakan nilai- nilai Jawa di masa sebelum masuknya Islam. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai masa lalu bermaksud ditinggalkan karena telah ada nilai baru dalam religiusitas, dan nilai baru ini sebagai pijakan proses perjalanan Bima untuk menempuh nilai-nilai baru. Dari pernyataan Drona “ing nguni - uni durung ana kang wruh goning toyadi” selain bisa diartikan sebagai sebuah metafor juga merupakan sebuah ambigu karena jika sebelumnya belum pernah ada yang mengetahuinya lalu darimana Drona bisa memberi petunjuk kepada Sena tentang adanya toyadi tersebut. Ambiguitas tersebut bisa terjawab dengan memposisikan Drona sebagai wakil dari pengarang, yang berdasarkan pengetahuannya telah mendahului kesadaran umum tentang adanya toyadi tersebut. Disini Drona mewakili peran pengarang yang serba tahu, yang berusaha menyampaikan kesadarannya tersebut melalui Serat Dewa Ruci yang disusunnya. commit to user 103 ii. Metafora Perjalanan Lurus Bait enam pupuh pertama menyatakan bahwa dalam usaha Sena mencari toya wening, ia harus menempuh perjalanan. 6. tan winarna kang kari prihatin | kawuwusa lampahira Sena | tanpa wadya amung dhewe | mung bajra sindhung riwut | ambêbênêr murang ing margi | prahara munggèng ngarsa | gora rèh gumuruh | kagyat miris wong padesan | kang kaambah kang kapranggul dhodhok ajrih | andhêpès nêmbah-nêmbah || 6. Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedihan,diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, ia berjalan lurus menentang jalannya, angin topan yang menghadang di depan, terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan, menepi sambil menyembah. Perjalanan yang harus ditempuh oleh Sena berdasarkan tempat tujuannya bisa dipilahkan menjadi dua yaitu hutan Tikbrasarareki dan pusat samudra. Perjalanan Sena dilakukan sendirian tanpa teman dengan lurus, menentang halangan alamiah berupa petir dan angin topan maupun nilai-nilai umumnya yang digambarkan dengan kebingungan orarng-orang desa juga sanak saudara yang melarangnya. Perjalanan Sena adalah perjalanan yang tidak perduli kepada nilai- nilai baku yang ada, ialah nilai keduniawian. Berupa keindahan duniawi yang dimetaforkan dengan gambaran bunga-bunga yang indah namun diabaikan saja oleh Sena, maupun nafsu duniawi yang dimetaforkan dengan terlemparnya hewan-hewan ke jurang karena perjalanan Sena. Juga nilai-nilai lama yang dimetaforkan dengan para terpelajar dan cantrik yang berlarian menghindari perjalanan Sena. Hal ini tercantum pada pupuh Pangkur bait 1 sampai dengan pada 10. 2. Pangkur. 1. lampahe Sang Wrêkodhara | lajêng ngambah praptanirèng wa nadri | ririh ing rèh gandrung-gandrung | sukanirèng wardaya | tirta êning pamungkas wêkasing guru | tan nyipta bayaning marga | kacaryan kang dèn ulati || 2. Pangkur. 1. Jalannya Arya Sena, lalu sampai di hutan gunung, hatinya sangat gembira, senang usahanya, akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya, tak mengira bahaya yang ditempuhnya,tertarik pada yang dilihatnya. commit to user 104 2. ngambah wukir sêngkan-sêngkan | anut bambing kapering lêmah miring | gêgêr mênggêr agra gugur | jurang rèjèng kaparang | angraganjang kèh ri sarywa lata lumung | myang enggar katiban warsa | sela ngapit [ngapi...][...t] marga supit || 2. memasuki gunung menanjak , menjalani tanah miring, tanah membusung jadi runtuh, jurang curam terpotong, semua menjadi rata saja, dengan bahagia kedatangan hujan, sela batu menjadi jalan sempit. Sena digambarkan menghadapi tantangan dalam perjalanannya, gunung yang menanjak, juga tanah yang tidak rata namun tantangan itu tidak dikeluhkan dan Sena tetap meneruskan perjalanannya, seakan kedatangan hujan yang menyegarkan perjalanannya. Hal ini menunjukkan betapa besar tekad Sena. 3. kèksi kang pala kasimpar | pan kawarsan ing môngsa catur asri | panjrah pamêwah rum-arum | abra kang patra wijah | ambalasah bogêm banas capaka nul | angsana myang kanigara | wilaja lan gôndasuli || 3. Tersingkir buah terhampar, dalam tahun di musim keempat yang asri, tersebar indah, indah seperti cahaya minyak, terhampar seperti untuk hidangan setan, angsana juga kanigara, tumbuhan wilaja dan tumbuhan gondasuli. 4. angglar ingkang anggrèk wulan | jônggawure araras wora-wari | argula mêkar lan mênur | anjrah gambir gambira | nagapuspa angsoka malathi tanjung | prabusètmata sridênta | lawan kananga kumuning || 4. Terhampar anggrek bulan, jonggaruwe menyatu dengan tumbuhan wora-wari, tumbuhan argula sedang mekar dan menur, tersebar merah cerah , berbunga angsoka melati dan bunga tanjung, Prabusetmata Sridenta, dengan kenanga juga kemuning. 5. tumiling ili nut awan | kadya manambrama ingkang lumaris | bramara rèh nguswa lumung | anglir karunanira | ing kaswasih sangsaya margèng malat kung | Risang Gôndanarpatmaja | lênglêng ngulati toya ning || 5. Nampak berjajar seperti awan, seperti menyambut yang sedang berjalan, kumbang beberapa menikmati musim semi, bagaikan sedang menangisimu, dalam welas asih semakin besar semakin bersungguh, sang Gondanarpatmaja, tetap hanya mencari toya ning . Tekad yang besar disambut alam raya dengan keindahan, berbagai jenis bunga dengan berbagai bentuk dan warna menemani perjalanan Sena. Menguarkan aroma yang menyegarkan dan menentramkan. Semuanya berjajar-jajar seperti awan menyambut Sena yang sedang dalam perjalanan mencari toya ning. Perjalanan Sena dalam penggambaran ini nampak seperti sebuah perjalanan suci, seperti halnya perjalanan para pertapa yang biasanya disekitarnya bertabur commit to user 105 berbagai bunga sebagai pemberi aroma. Perjalanan menuju kedamaian dan bukan perjalanan menuju peperangan. 6. surya mangrangsang lampahnya | kumyus ingkang riwe saengga warih | gumrêgut sangsaya sêngkut | enggaring kabaskaran | nêrang nunjang kasandhung sukuning gunung | wrêksa rug rêbah balasah | sora dhèdhèt erawati || 6. sang surya merangsang jalannya, berlelehan keringatnya seperti air, ingin sesegera mungkin, mumpung diterangi matahari, menerjang menendhang kaki gunung, kayu tertabrak rebah roboh, keras suara langit campur angin. 7. gègèr saisining wana | de kang pôncawora prahara tarik | sato kabarasat mawur | gumyur sumyur wurahan | saking gênging ampuhan sato kabêntus | kidang-kidang matyèng jurang | tibèng parang angêmasi || 7. Ramai seisi hutan, dimana sang Poncawara Pandawa membuat cepat jadi prahara, hewan terterjang bubar, hancur lebur jadinya, karena besarnya prahara hewan terbentur, kijang-kijang mati di jurang, jatuh hancur jadinya. 8. andaka kèh tibèng jurang | bujôngga gêng amrih mulêt ing uwit | rungkading wrêksa karangkut | lumajêng maring jurang | wau ingkang tapa -tapa anèng gunung | ajar-ajar kapêlajar | prabawa prahara gumrit || 8. Kerbau banyak yang jatuh ke jurang, ular besar hanya menggeliat di pohon, kendurnya keinginan menjadi terjatuh, langsung masuk jurang, yang bertapa di gunung, para siswa terpelajar, terpengaruh keributan yang terjadi. Hewan-hewan berkaki empat, bubar dan bahkan menjadi hancur lebur, terlempar ke jurang yang dalam, terterjang jalannya Sena yang mencari toya wening. Tidak hanya itu, para ajar, murid yang sedang bertapa mereka terpengaruh oeh keributan yang ada. Metafor alam muncul pada pupuh pangkur bait 2 dan 3, dimana digambarkan bahwa dalam usaha sungguh-sungguh Sena menuju hutan Tikbrasara maka suasana semua nampak mudah dan alam nampak indah. Pada perjalanan Bima menuju samodra digambarkan juga perjalanan Bima disambut bunga-bunga yang bermekaran pupuh sinom bait 8. 8. kayon katubing maruta | sumuking swaraniratri | kadya ngatag sêkar mêkar | samirana mawor riris | panjrahning sarwa sari | karirisan marbuk arum | jôngga kumuning sumyar | angsana pudhak kasilir | tinon kadya kang wêntis kesisan sinjang || 8. Pepohonan terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin yang bertiup, bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup, tersebar bunga serba indah, gerimis commit to user 106 dengan semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak bergoyang-goyang, tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya. Saat Sena bersungguh-sungguh dan tiada ragu lagi dalam menempuh perjalanan alam raya akan menyambutnya dengan keindahan, namun harus juga ditinggalkan oeh Sena. Hewan muncul dalam pupuh pangkur bait 7 dan 8 dimana Sena sedang menuju ke hutan Tikbrasara. Digambarkan bahwa Bima dalam perjalanan banyak hewan yang mati dan bubar dari barisannya. Sedangkan pada pupuh Sinom bait 9 sampai bait 13 dimana digambarkan hewan-hewan berusaha mencegah atau mengganggu Sena menuju samodra. 9. sore subrataning driya | sahira saking nagari | canggèrètnong mawurahan | kadya nyapa ring sang brangti | mrak munya anèng wuri | barungan kang pêksi cucur | lir akèn awangsula | kidang wangsul saking ngarsi | kadya napu sruning sangsayèng wardaya || 9. Lain dari kesedihan yang dirasakan saudara-saudaranya, sejak kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah, bagaikan menyapa kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya,bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah menyuruh pulang, kijang pulang dari hadapannya,bagaikan memendam kesedihan yang mendalam. 10. rêsrês munya asauran | sayah kadya mituturi | bêbêluk darès lan wugan | anambêr - nambêr wiyati | anglir ngalangi margi | wangsula [wang...] [...sula] sang amalatkung | kongkang nèng rong lir rêntang | mawarah upaya sandi | endrasila tan wuk ing kartisampeka || 10. Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, mengatakan bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat. 11. diwasaning diwangkara | titi sonya têngah wêngi | kêdhasih munya timbangan | musthikèng ganeya muni | mangun onêng salwir ning | kadya mawarah mrih lampus | upaya Dhanyang Durna | tan tuhu amrih basuki | mawa komandaka durgamaning awan || 11. Pada waktu itu sang matahari tidak muncul, karena tengah malam, burung kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya, seolah-olah mengabarkan kematian, bahwa perintah Dhang Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dipenuhi dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan. 12. numinda sikarèng asta | ri ana sang hyang bayèki | anut ujunging aldaka | dènira lumaris aris | purwa ngimantarèki | sirat-sirat wus kadulu | wismane Hyang Baruna | panitihing jalanidhi | kèksi praba sang maharsi dipaningrat || 12. Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu,menuruni ujung gunung, dengan langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna Dewa Matahari, berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat. commit to user 107 13. ana rikang paksi mijah | panyêngak cangak munyasri | sasmita kèn awangsula | risang kasangsarèng ragi | sata wana munyanjrit | wêwar ah risang monêng kung | mangambah wana pringga | kongas têpining udadi | alun anrês gumulung anêmpuh parang || 13. Ada seekor burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, seolah memberi isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan, hewan- hewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak lah tepi laut, dan ombak bergulung-gulung menerpa karang. Hewan dan alam nampaknya memiliki kesejajaran arti. Semua hewan terbunuh atau dikorbankan oleh Sena dalam perjalanannya kecuali seekor burung yang dalam cerita juga memberi peringatan agar Bima kembali saja, mengurungkan niatnya. Hewan berkaki empat dekat artinya dengan nafsu dan keburukan yang perlu dikekang atau disingkirkan. Burung, atau hewan berkaki dua justru sering menjadi penanda kabar-kabar baik atau buruk, sebagai penyampai pesan dari Sang Takdir. Burung Garuda misalnya menjadi simbol alam dewata. Sesungguhnya secara paradigmatik terdapat beberapa nama bagi Bima namun teks secara setia menggunakan nama Sena yang selain merupakan nama lain dari Wrekodara juga adalah nama hewan gajah. Hewan secara simbolis berarti nafsu, misalnya dalam ungkapan nafsu hewaniah. Artinya pada perjalanan awal Bima menuju gunung Candramuka Bima masih membawa identitas hewaniahnya. Perjalanan Bima menuju puncak gunung digambarkan hewan- hewan terlempar dan berjatuhan ke jurang. Maka bisa diartikan bahwa perjalanan Bima ke puncak gunung adalah perjalanan untuk menanggalkan sifat-sifat hewaniahnya. Pada perjalanan Bima selanjutnya Bima lebih sering disebut dengan nama Wrekodara. Berdasarkan data-data yang ditemukan dan ditafsirkan, bisa disimpulkan bahwa perjalanan lurus Sena merupakan metafora dari proses menuju kebaikan meninggalkan keduniawian, baik itu yang berupa keindahan maupun nafsu hewaniah dan nilai-nilai lama. commit to user 108 iii. Pancamaya dan Empat Warna Pada pupuh lima bait lima Wrekodara berada dalam keadaan tanpa arah yang kemudian ada sinar memancar sehingga ia tahu arah dan dilihatnya matahari sehingga merasa nyaman hatinya. 5. byar katingal ngadhêp Dewaruci | Wrêkodhara sang wiku kawangwang | umancur katon cahyane | nulya wruh ing lor kidul | wetan kilèn sampun kaèksi | nginggil miwah ing ngandhap | pan sampun kadulu | apan andulu baskara | eca tyase miwah sang wiku kakèksi. | anèng jagad walikan || 5. Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku, terlihat memancarkan sinar, kemudian ia tahu utara selatan, timur barat sudah tahu,di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat, Sang Wiku di balik dunia ini. Bait tujuh menerangkan bahwa sinar itu adalah pancamaya yang sesungguhnya itu ada di dalam hati Wrekodara sendiri yang harusnya memimpinnya. Maksud hati itu, yang disebut mukasifat yang menuntun kepada sifat manusia, dan bisa dikatakan merupakan sifat itu sendiri. Diperintahkan oleh Dewa Ruci agar Wrekodara memantapkan hati karena mata hati itulah yang sesungguhnya merupakan hakikat manusia. Mendengar penuturan demikian semakin nyaman Sang Sena, hatinya merasa tenang dan terang. Sena yang tengah berada di dalam jagad batin melihat aneka wujud cahaya yang jumlahnya dan empat warna, yang oleh Dewa Ruci dikatakan sebagai penghalang hati. 6. Dewaruci suksma angling malih | payo lumaku andêdulua | apa katon ing dhèwèke | Wrêkodhara umatur | wontên warni kawan prakawis | katingal ing kawula | sadaya kang wau | sampun datan katingalan | amung kawan prakawis ingkang kaèksi | irêng bang kuning pêthak || 6. Dewa Ruci berkata lirih, sambil berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda, yang tampak olehku, semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih. Keempatnya merupakan gambaran empat tingkatan jiwa atau yang dinilai dari kemampuannya menguasai empat jenis nafsu. Digambarkan dengan empat warna: hitam, merah, kuning, dan putih sebagai simbol keadaan jiwa manusia itu sendiri. Pada dasarnya nafsu tidak bernilai negatif commit to user 109 kecuali jika tidak dikendalikan. Nafsu merupakan perangkat hidup manusia namun harus diletakkan pada tempatnya. Hal ini merupakan perulangan atau penerang dari peristiwa Sena sendiri saat menempuh perjalanan ke hutan Tikbrasara dimana Sena harus mampu mengendalikan nafsunya sendiri. Tingkatan pertama adalah cahaya hitam dalam ilmu sufisme merupakan perwujudan simbol dari nafsu amarah. Nafsu amarah jika tidak dikendalikan maka akalnya akan tertutup sehingga tidak dapat berfikir sehat. Pengendalian nafsu amarah harus dilakukan, yang di dalam teks pengendalian atasnya digambarkan harus dilakukan dengan laku , seperti Dewa Ruci yang hanya makan jika ada daun kering masuk ke mulutnya jika tidak maka harus berpuasa. Penggambaran tersebut sesuai dengan filosofi orang Jawa yang hidupnya hanya mengalir saja, mengikuti pergerakan kehidupan, tiada banyak rencana dan tiada banyak keinginan, hanya berpasrah diri kepada Tuhan Agung. Cahaya Merah adalah perwujudan dari nafsu Lawwamah yang menggambarkan keinginan memiliki untuk diri, atau hasrat berlebihan. Keinginan tersebut jika diumbar maka akan menimbulkan kerusakan. Segala sesuatu ingin dikuasai dan dimiliki, bahkan hal-hal yang tidak menjadi kebutuhannya. Nafsu lawwamah yang tidak terkendali bukan hanya merugikan orang lain namun juga diri sendiri. Setiap hal yang diletakkan tidak pada tempatnya akan berakibat buruk, termasuk menjadikan kita tidak waspada karena kesadarannya tertutupi. Nafsu luwwamah yang sesungguhnya adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi keinginan yang pasti tiada akan ada puasnya. Cahaya kuning menjadi simbol dari nafsu Sawwalah, yang menjadikan manusia melihat hal yang buruk sebagai hal yang baik karena dibutakan oleh kepentingan pribadi. Merupakan simbol dari ego manusia. Warna kuning bersifat ingin mengungguli yang lain, dengan tipu commit to user 110 muslihat bahkan demi tercapainya ego pribadi, yang pada prakteknya bisa berupa nafsu seksual, nafsu kekuasaan, nafsu kenikmatan, ego sosial, keinginan dipuji dan dijadikan tuan bagi orang lain. Cahaya putih merupakan perwujudan dari nafsu muthmainah atau diri yang tenang. Putih berarti nyata, itulah hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu perwira dalam kedamaian. Hanya warna putih itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, merupakan tempat menerima anugrahnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan hati. Jika yang tiga lainnya merupakan musuh bagi diri, dan juga sangat banyak kawannya sedangkan yang berwarna putih hanya sendirian tanpa kawan, maka ia sering kalah. Jika dapat mengalahkan tiga hal yang merusak, maka akan terjadi persatuan makhluk dan pencipta Dewa Ruci pupuh 5 bait 12-14. Pancamaya merupakan pengungkapan tentang nafsu manusia yang dimetaforkan dengan berbagai jenis cahaya. Nafsu manusia menurut pancamaya terdiri dari nafsu angkara murka berwarna hitam, hasrat berlebihan berwarna merah, ego yang digambarkan dengan warna kuning, dan nafsu muthmainah dimana manusia telah mencapai ketenangan diri. Jika bisa mengalahkan tiga nafsu yang pertama maka akan bertemu dengan Dewa Rucinya. Pancamaya merupakan hasil proses yang dialami oleh Bima

f. Penciptaan Arti Melalui Susunan