Metafor terhadap Kelemahan Manusia i. Gua

commit to user 96 kebanyakan kebudayaan air seringkali menjadi simbol dari kesucian, kecerdasan atau kedewasaan termasuk di dalam budaya Jawa. Di dekat Trowulan, dari abad ke-15, ditemukan pahatan menampilkan cerita pembendungan laut susu. Di candi sukuh di lereng gunung Lawu diketahui adanya jaringan saluran air lengkap dengan pipa-pipa batu yang dahulu mestinya dipakai untuk “pembaptisan” jemaah. Di Bali para pedanda dewasa ini masih juga memakai air penyuci, dan Ch. Hooykaas memakai istilah agama air untuk agama Bali, tidak demikian halnya di Jawa. Meskipun mulai tidak menjadikan sebagai simbol khusus, dalam Islam Jawa tema air penyubur tidak lenyap begitu saja, beberapa masjid menjadikan air penyubur ciri arsitektur yang berdiri di tengah-tengah kolam. Tirta kang wruh ing tirta „air yang ada di dalam air‟ dipadankan dengan frase suksma- sinuksma mawingit „suksma berjiwa penuh rahasia‟. Artinya toya yang dicari bukan sungguh- sungguh berarti air secara materiil tapi air dalam arti lain yang bersifat immateriil. Tirta pawitra sari bisa disimpulkan sebagai metafor dari ajaran batin atau suksma yang paling rahasia, sehingga juga merupakan ajaran batin yang paling suci, yang dengannya manusia bisa melihat kehidupan ini secara jelas dan terang tanpa rasa takut dan was-was seperti digambarkan pada tokoh Bima yang sampai tak hendak kembali dan tetap ingin tinggal di telinga Dewa Ruci.

d. Metafor terhadap Kelemahan Manusia i. Gua

Simbol gua terdapat pada pupuh pertama pada ke-14. Meskipun gua bisa dikatakan sebagai tempat yang berpotensi menjadi setting tempat namun kedudukannya dalam serat Dewa Ruci lebih tepat didudukkan sebagai metafor karena gua dalam serat tidak menjadi salah satu tempat terjadinya peristiwa. Digambarkan dalam pupuh pangkur pada 10-11 bahwa kedua commit to user 97 raksasa Rukmuka dan Rukmakala tinggal dalam gua yang kemudian keluar karena mulut gua dibongkar oleh Bima. 10. munya gênthane kang muja | gugup dènnya nawurkên wangi-wangi | sari sugônda sumawur | wau ta lampahira | praptèng wukir Côndramuka guwanipun | binubak wukir dhinukir | sela siningsal atêbih || 10. Berbunyi gentanya untuk memuja, gugup sambil menebarkan wewangian, bau harum tersebar, lihatlah langkahnya, sampai gua di gunung Condramuka, dibuka gunung dikeduk, batu dilempar menjauh. 11. wrêksa gêng-agêng kagêman | kaidêran balasah bosah-basih | prênahing toya rinuruh | dangu datan kapanggya | kawuwusa ditya kang wontên ing ngriku | Sang Rukmuka Rukmakala | kagyat dènira miyarsi || 11. Keinginan besar ingin dicapai, sekitarnya porak-poranda, mencari tempatnya Air, lama tidak ditemukan, keluarlah raksasa yang tinggal di tempat itu, ialah sang Rukmuka dan Rukmakala, terkejut keduanya melihat keadaan. Goa sering menjadi simbol dari kegelapan dan berkonotasi negatif. Seseorang yang masih dalam kebodohan digambarkan sebagai orang yang tinggal di dalam goa. Bisa disimpulkan goa di sini merupakan metafor dari keadaan gelap, bodoh, dosa, dikutuk, tersembunyi. Artinya Raksasa Rukmuka dan Rukmakala adalah sosok penghuni di dalam kegelapan yang kemudian dibebaskan dari kegelapan itu oleh Bima. Rukmuka dan Rukmakala adalah nafsu yang bisa dikalahkan oleh Bima sendiri sehingga ia bisa ngluari „membebaskan‟ dari nafsu ragawi. Di tempat tinggi gunung yang umumnya berarti sebagai kesucian atau ketinggian nilai dan berkonotasi positif terdapat goa sebagai tanda yang berkonotasi negatif. Pola ini hampir sama dengan pola Durna di dalam Kurawa dan Naga di dalam samudra. Hal ini akan dibahas pada bagian tersendiri. ii. Masuk Telinga Bima tidak mengetahui apa sesungguhnya yang dia cari, sehingga tidak mengenali sosok yang ditemuinya di tengah laut, yang sesungguhnya adalah Dewa Ruci. Bima dengan duduk bersila meminta kasih, mohon diyakinkan tentang siapa sesungguhnya sosok yang ditemuinya itu. Bima merasa pengabdian diri kepada sang guru, sama seperti hewan hutan, yang tidak cukup commit to user 98 waspada kepada badan yang suci di hadapannya. Merasa lebih bodoh tolol dan penuh kelemahan di dunia, bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka. Pada pupuh keempat bait 32 dengan manis Sang Dewa Ruci menghibur Bima. Disambung perintah Dewa Ruci supaya Bima masuk tubuhnya melalui telinga pada pupuh kelima bait satu. Di balik tubuh mungil Dewa Ruci ditemuinya tempat tanpa batas, sunyi senyap. Di dalamnya Bima kehilangan arah. Situasi ini kerap kali menjadi gambaran dijalaninya suatu perjalanan batin oleh seseorang. Perjalanan batin itu biasa juga disebut sebagai jagad walikan. Kalimat masuklah ke dalam tubuhku, merupakan metafor dari jagad batin atau jagad walikan. 1. Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya, Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak, katanya tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, iya badan segunung, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin dapat masuk. 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya ,tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. Kebudayaan Jawa mengenal istilah jagad walikan artinya sesuatu dibalik dunia. Konsep ini sama dengan konsep nomena dibalik fenomena dalam filsafat phenomenologi, dalang dibalik kelir, makrokosmos dalam mikrokosmos. Bima memasuki jagad walikan ini melalui cara yang commit to user 99 irasional, dimana Bima harus memasuki tubuh Dewa Ruci melalui lubang telinga. Jagad walikan bukanlah jagad materiil yang harus dipahami dengan logika namun jagad walikan adalah jagad batin ada hanya dengan disadari, yang ada di dalam diri Bima sendiri atau dikenal juga dengan istilah mikrokosmos sementara dunia materiil disebut juga dengan dunia makrokosmos, yang keduanya adalah sama. Di dalam mikrokosmos tercermin yang makrokosmos melalui proses kesadaran, seperti diterangkan oleh serat Dewa Ruci di pupuh terakhir pada 2 s.d 4: 2. angandika malih Dewaruci | gêdhe êndi sira lawan jagad | kabèh iki saisine | kalawan gunungipun | samodrane alase sami | tan sêsak lumêbua | guwagarbaningsun | Wrêkodhara duk miyarsa | èsmu ajrih kumêl sandika turnèki | mènglèng Sang Rucidewa || 2. Dewa Ruci berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera beserta semua isinya, tak sarat masuk, ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci. 3. iki dalan talingan ngong kering | Wrêkodhara manjing sigra-sigra | wusa prapta ing jro garbane |Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. andulu samodragung | tanpa têpi nglangut lumaris | lêyêp adoh katingal | Dewaruci nguwuh | hèh apa katon ing sira | dyan sumaur Sang Sena inggih atêbih | tan wontên katingalan || 3. Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, ia melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tambah jauh, tak ada yang tampak. 4. awang-awang kang kula lampahi | uwung-uwung têbih tan kantênan |ulun saparan- parane | tan mulat ing lor kidul | wetan kilèn datan udani | ing ngandhap nginggil ngarsa | kalawan ing pungkur | kawula botên uninga | langkung bingung ngandika Sang Dewaruci | aywa maras tyasira || 4. Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas tanpa batas, aku pergi ke mana- mana, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan, jangan takut tenangkan dirimu. Dunia batin tiada mengenal arah dan tanpa mengenal batas, hal ini bisa dimengerti karena dunia batin tidak di dalam ruang dan waktu sehingga abadi selamanya, tidak mengenal mati pupuh lima bait 35. Jagad di dalam tubuh Dewa Ruci sebagai gambaran dunia batin Bima sendiri dikuatkan dengan penjelasan pada bagian naskah berikutnya yang memilah antara badan luar sebagai wujud manusia sedangkan jiwa diumpamakan berada di dalam kaca tetapi bukanlah commit to user 100 cermin itu sendiri. Raga yang terkendali akan mampu menyatu dengan batin sehingga manusia yang bisa melakukannya sudah seperti Bathara. 33. badan jaba wujud kita iki | badan jêro munggwing jroning kaca | ananging dudu pangilon | pangilon jroning kalbu | yèku wujud kita pribadi | cumithak jron panyipta | ngêrêmkên pandulu | luwih gêdhe barkahira | lamun janma wis gambuh lan badan batin | sasat srira bathara || 33. Badan luar wujud kita ini, jiwa berada di dalam kaca rupanya, tetapi bukan cermin, cermin di dalam kalbu, itulah wujud kita pribadi, tercetak dalam cipta, memejamkan mata, lebih besar berkahmu, jika manusia telah menyatu dengan badan dan jiwa, ia sudah seperti Bathara. 34. awit dening lamun anujoni | sapatêmon ing sacipta kita | janji samurwate bae | badan jêro puniku | yêkti bisa aminangkani | badan kadim punika | iya uga wujud | jroning manik ananira | dene rahsa uga kaperang dadya tri | kang dhingin rahsa jaba || 34.Oleh karena tanpa tujuan, ditemukan dalam pikiran kita, jika secukupnya saja, badan dalam ini, pasti bisa memenuhi, badan yang batin ini, juga bisa dipahami wujudnya, di dalam otak adanya, sedangkan rasa juga terbagi menjadi tiga, yang mula rasa luar. 35. rahsa jêro nulya rahsa kadim | rahsa jaba iya rahsa badan |dene rahsa jêro rêke | yèku rahsaning tutuk | rahsa kadim rahsaning ngimpi | nging kabèh iku samya | kawêngku Hyang Agung | têgêse kang langgêng gêsang | kang angajak turu mêlèk mênêng mosik | lan nindakna ambêkan || 35. Rasa dalam ialah rasa batin, rasa jaba ialah rasa badan, sedangkan rasa dalam jelasnya, yaitu rasa yang sampai, rsanya batin seperti mimpi, tetapi semua itu, dalam kuasa hyang Agung, artinya yang tidak mengenal mati, yang mengajak tidur jaga diam bergerak, dan bernafas. Rasa terpilah menjadi tiga jenis ialah rasa dari luar, rasa hati dan rasa batin. Rasa luar adalah rasa yang ditangkap oleh pancaindra, berupa sakit di kulit atau geli, wangi yang terhirup oleh hidung, indahnya alam yang dilihat oleh mata, rasa pahit yang dicecap oleh lidah, terasa keras atau lirih, rasa hati berhubungan dengan perasaan, rasa sedih, gembira, marah, senang, merasa ingin. Rasa yang terakhir adalah rasa batin yang hanya terasa dalam pencerahan dari Hyang Agung. Jadi masuk telinga adalah sarana memasuki dunia batin, ngluari „membebaskan‟ dari kelemahan batin yang sering tidak awas „waspada‟ dengan cara mendengarkan hidupnya sendiri, memahami dan memaknai hidup, maka masuk telinga adalah sebuah sinekdoke, dimana telinga untuk menyebut keharusan berkhidmat terhadap hidup secara keseluruhan. commit to user 101

e. Sistem Tanda Penunjuk Proses i.