Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Beras Organik

sekitar 3 bulan telah terkumpul sekitar 2.70 kuintal, artinya kebutuhan pupuk untuk musim tanam berikutnya sudah terpenuhi dari kotoran hewan di musim tanam sebelumnya dan kondisi ini akan terus berulang sehingga kebutuhan pupuk dapat terpenuhi dari keluarga. Selain dari limbah ternak, limbah tanaman yang ada di sekitar lokasi dapat dimanfaatkan untuk mendukung penanaman padi organik sehingga dapat dimengerti mengapa sebagian petani berpendapat bahwa ketersediaan input produksi merupakan faktor yang mendorong pengembangan beras organik. Faktor pendorong pengembangan padi organik yang lain adalah tingkat harga beras organik yang lebih baik dan relatif stabil. Harga komoditas merupakan sinyal kemana sumber daya harus dialokasikan, sehingga mudah dipahami mengapa hampir seluruh petani menyatakan bahwa harga beras organik yang lebih baik dan stabil akan mendorong pengembangan beras organik lebih luas. Kasus di lokasi sampel, harga beras organik di tingkat petani sekitar Rp 7 000, sementara harga beras non organik berkisar Rp 5 600. Dari kajian ini diketahui bahwa nilai tambah yang diperoleh petani dengan pengembangan beras organik adalah sekitar 4.50 juta rupiah. Sayangnya nilai tambah ini belum dinikmati petani karena kelompok sebagai penampung utama belum siap menerima seluruh hasil petani karena keterbatasan modal, sistem pembayaran yang tidak kontan, dan sulitnya kelompok mengontrol kualitas beras organik yang dihasilkan. Salah satu yang menarik dari Tabel 26 tentang faktor yang mendorong tersebut adalah ternyata, letak geografis dan dukungan kebijakan pemerintah tidak menjadi faktor utama yang mendorong pengembangan beras organik. Letak geografis tidak banyak berpengaruh dikarenakan pengembangan beras organik di lokasi kajian lebih ditentukan dari perlakuan budidaya dan pasca panennya, sehingga hampir sebagian lokasi dapat dikembangkan untuk pertanian organik. Namun dalam jangka panjang pengembangan lahan organik sebaiknya terlokalisir pada wilayah tertentu sehingga pencemaran kecil dan lebih efisien. Dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan beras organik di lokasi sampel bukan sebagai faktor utama yang mendorong perkembangan pertanian organik. Hal ini bukan berarti dukungan pemerintah tidak berpengaruh terhadap pengembangan beras organik, namun karena selama ini kelompok petani organik di lokasi kajian secara struktur organisasi berada di luar institusi resmi pemerintah dan merasa tidak mendapatkan bantuan teknis, alat, atau permodalan dari pemerintah, serta merasa lebih diperhatikan oleh pihak lain di luar institusi resmi pemerintah, maka dukungan kebijakan pemerintah tersebut justru dimaknai sebagai faktor yang menghambat, seperti terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Proporsi Persepsi Responden Terhadap Faktor-Faktor yang Menghambat Pengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian Tahun 2010 Faktor penghambat Petani organik Petani non organik Jumlah Jumlah • Masa produksi yang lebih lama 1 3.33 - - • Tingkat pendapatan usahatani 1 3.33 9 30.00 • Tingkat kecukupan modal 1 3.33 7 23.33 • Skala usaha petani 5 16.67 2 6.67 • Pasarnya terbatas 2 6.67 2 6.67 • Dukungan kebijakan pemerintah daerah 2 6.67 - - • Pertanian organik tidak praktis 6 20.00 4 13.33 • Kebutuhan TK lebih besar 4 13.33 2 6.67 • Sosialisasipemahaman kurang 5 16.67 2 6.67 • Dampak dari aplikasi pupukobat organik lama 3 10.00 1 3.33 • Tidak mempunyai ternak - - 1 3.33 30 100.00 30 100.00 Pada kelompok petani organik, anggapan di masyarakat bahwa pertanian organik kurang praktis, merupakan faktor yang paling berperan menghambat pengembangan padi organik. Pada kelompok petani non organik, hambatan pengembangan beras organik adalah anggapan bahwa pendapatan padi organik rendah karena produktivitas rendah. Ada dua kemungkinan terkait pendapat ini, yaitu: 1 memang benar produktivitas padi organik tersebut memang rendah karena unsur hara belum terserap dengan baik, dan 2 kesalahan pengukuran hasil, dan sistem penjualan. Kemungkinan pertama dapat terjadi karena unsur organik yang dipakai belum mampu memperbaiki struktur tanah dan hara yang ada, karena unsur organik pada umumnya membutuhkan proses yang lebih lama. Pada penanaman selanjutnya biasanya hasilnya lebih baik, seiring dengan perbaikan struktur tanah dan hara. Kemungkinan kedua pendapat bahwa produktivitas beras organik lebih rendah diduga disebabkan perbedaan cara pengukuran hasil. Petani di lokasi kajian biasanya menghitung produksi dengan menghitung jumlah karung yang didapat sehingga kurang memperhitungkan mutu atau kualitas gabah yang dihasilkan. Informasi di lokasi kajian menunjukkan bahwa padi organik rata-rata membunyai gabah yang lebih berisi bernas dibanding dengan gabah non organik, sehingga bila dikonversikan ke GKP atau beras, sebenarnya produksi beras organik dan non organik tidak banyak berbeda. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis produktivitas yang menunjukkan tidak ada beda nyata produktivitas petani organik dan non organik. Persepsi tingkat pendapatan padi organik rendah dapat diakibatkan oleh sistem penjualan tebasan. Sistem tebasan tersebut masih banyak dilakukan karena desakan kebutuhan pertanian dan non pertanian rumah tangga petani, mengejar masa tanam selanjutnya, atau sebab lain, misalnya karena rumah tangga petani tersebut tidak ada lantai jemur. Dengan sistem tersebut, penebas pada umumnya tidak membedakan apakah padi tersebut padi organik atau padi non organik, sehingga perkiraan harga jual hanya diduga dari luasan lahan dan kondisi pertanaman. Berkembangnya persepsi bahwa pengembangan padi organik merepotkan termasuk faktor penghambat yang penting untuk diatasi. Persepsi ini dapat dipahami karena sejak berkembangnya revolusi hijau dengan pesat, petani menjadi terbiasa dengan hal-hal yang praktis, mudah dibeli dipasar, dan dampak aplikasi tersebut cepat terlihat. Pada pengembangan padi organik, kondisi-kondisi tersebut tidak ditemui. Dalam pertanian organik, pupuk dan pestisida secara umum disediakan dan dibuat oleh petani dengan memanfaatkan sumberdaya lingkungan yang ada dan pengaruh aplikasi tersebut biasanya lebih lama. Terkait persepsi ini, Suwantoro 2008 menunjukkan bahwa pemahaman yang beragam tentang pertanian organik masyarakat ternyata berpengaruh terhadap sikap petani Oleh pelaku pertanian organik, budidaya secara organik dirasakan sebagai sistem pertanian yang mudah dan murah untuk dilaksanakan sedangkan bagi komunitas di luar pelaku organik dipersepsikan sebagai suatu sistem pertanian yang rumit, sulit, lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Sosialisasi yang lebih intensif tentang pertanian organik. akan berpengaruh terhadap perubahan sikap karena pada umumnya sikap kita terhadap obyek dapat berubah bila, dari pandangan kita obyek itu berubah atau karena informasi tentang obyek tersebut berubah. Informasi Suwartono tersebut mengindikasikan bahwa perubahan sikap atau persepsi masyarakat tentang pertanian organik tersebut akan dapat dirubah bila informasi-informasi tentang pertanian organik seperti esensi pertanian organik, komparasi berbagai aspeknya dengan pertanian non organik, dan lain- lain dapat terus ditingkatkan dan sampai ke petani. Masalah lain yang menghambat pengembangan beras organik adalah masalah pasar. Meskipun hanya tiga orang di masing-masing kelompok petani yang menempatkan masalah pasar ini sebagai prioritas pertama faktor yang menghambat pengembangan beras organik, tetapi hampir semua petani menyatakan bahwa pasar beras organik masih terbatas, terutama bila dikaitkan dengan kemudahan menjual hasil produksinya. Hal ini sejalan dengan temuan Deptan 2007b dalam evaluasi pelaksanaan pertanian organik yang menyatakan permasalahan dalam pemasaran pangan organik terdiri dari: 1 belum ada kepastian pasar, sehingga petani ragu memproduksi komoditas tersebut, 2 belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk organik, 3 minimnya pengetahuan teknis dan jalur-jalur pemasaran yang dikuasai oleh pelaku pengusaha organik, 4 jalur-jalur pemasaran organik masih sedikit dan menganut pemasaran konvensional, sehingga berisiko untuk tercampur dengan pangan anorganik, 5 mahalnya biaya transportasi pangan organik, 6 minimnya tempat yang khusus dan memenuhi syarat untuk menjual pangan organik, 7 pemasaran pangan organik masih terkonsentrasi di kawasan tertentu, belum menyebar secara merata di setiap wilayah konsumen, 8 pangan organik yang dipasarkan belum dikemas secara baik dan menarik, dan 9 produk impor berupa pangan organik olahan banyak diperdagangkan di Indonesia sehingga menjadi kompetitor. Berkaitan dengan permasalahan aspek pasar ini, informasi di lapangan bahwa pemasaran produk organik di dalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan menurut Mawarni 2008, beberapa permasalahan tentang pemasaran beras organik adalah karena: 1 kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi, 2 kurang mampu memelihara kepercayaan pasar, misalnya dengan mencampur beras lain, dan 3 belum mampu menjaga ketersediaan produk pertanian organik sesuai dengan permintaan pasar. Berbagai permasalahan yang ditemukan oleh penelitian-penelitian tersebut juga terjadi di lokasi penelitian, meskipun dengan tingkatan dan intensitas yang berbeda. Dari berbagai permasalahan pemasaran tersebut, masalah utama pemasaran di lokasi kajian adalah kelompok tani organik tersebut tidak mampu memanfaatkan besarnya permintaan beras organik yang dihasilkan karena: 1 relatif sulit meyakinkan petani untuk beralih ke padi organik, dan 2 kesulitan mengontrol keaslian produk organiknya. Kelompok tidak berani dengan mudah menerima beras organik yang dihasilkan dari petani di daerah tersebut dan hanya menjual beras organik yang dihasilkan dari lahan-lahan milik atau yang disewa kelompok atau dari anggota yang kelompok yang sudah diyakini kualitasnya. Kondisi ini menyebabkan volume beras yang dapat dijual relatif terbatas, padahal permintaan atas beras yang dihasilkan kelompok ini sangat besar. Kelompok belum mampu berperan sebagai quality guaranted atas beras organik yang dihasilkan petani di wilayah tersebut karena mekanisme kontrol tersebut sulit dilakukan sehingga lebih mengandalkan aspek saling kepercayaan antar pelaku usaha. Lembaga dan standarisasi produk yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan kontrol kualitas ini ternyata belum banyak termanfaatkan oleh petanikelompok petani setempat. Dari aspek produksi, hasil analisis deskriptif faktor-faktor pendorong dan penghambat produksi padi seperti yang telah diuraikan sedikit banyak tercermin dari hasil estimasi fungsi produksi padi di lokasi kajian seperti tercantum dalam Tabel 28 hasil lengkap estimasi produksi dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 28. Hasil Analisis Estimasi Fungsi Produksi Padi Organik dan Padi Non Organik di Lokasi Penelitian, Musim Tanam MK 2009 dan MH 20092010 Nama variabel Padi Organik Padi Non Organik Coefficients t Stat P- value Coefficients t Stat P- value Intersep 3.5133 6.2646 0.0000 5.6399 15.1216 0.0000 Jumlah Benih 0.1209 1.7940 0.0787 0.1822 2.2617 0.0279 Jumlah Pupuk cair 0.1894 2.3036 0.0254 Jumlah Pupuk padat 0.1298 1.8673 0.0676 0.0022 0.1152 0.9087 tn Jumlah Pestisida 0.2837 2.2026 0.0322 0.6250 4.9423 0.0000 Jumlah TK DK 0.1219 1.8019 0.0775 0.1253 1.9855 0.0524 Jumlah TK LK 0.2192 2.3160 0.0246 0.1182 2.8754 0.0058 Dummy Musim 0.0026 0.2957 0.7686 tn -0.0172 -2.3513 0.0225 Dummy Sumber Benih 0.0261 1.6488 0.1053 0.0088 1.0757 0.2870 tn R-squared 0.9807 0.9922 Adjusted R-squared 0.9776 0.9911 S.E. of regression 0.0334 0.0271 Sum squared resid 0.0570 0.0383 Log likelihood 123.6354 135.5554 F-statistic 323.3520 945.9352 ProbF-statistic 0.0000 0.0000 Catatan: = nyata pada taraf kepercayaan 95 ; = nyata pada taraf kepercayaan 90 ; tn = tidak nyata Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi Tabel 28 menunjukkan nilai R 2 pada kedua kelompok padi sekitar 0.99 artinya sekitar 99 persen perubahan yang terjadi pada produksi Q secara bersama-sama dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada variabel jumlah benih IQS, jumlah pupuk IQF, jumlah pestisida IQP, dan jumlah tenaga kerja dalam dan luar keluarga QLI dan QLO, pengaruh musim tanam DS, dan pengaruh sumber benih DSS, sementara sekitar satu persen perubahan yang terjadi pada produksi padi tersebut dijelaskan variabel yang lain. Berdasarkan nilai koefisien determinasi tersebut dan sebagian besar variabel bebas mempengaruhi variabel terikatnya secara nyata, menunjukkan bahwa model yang dibangun ini cukup handal untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di lokasi penelitian, terutama untuk produksi padi organik. Hampir semua variabel input langsung usahatani bertanda positif yang menunjukkan ketersediaan input produksi masih merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi padi. Perbedaan nilai-nilai koefisien regresi masing- masing peubah yang dimasukkan menunjukkan perbedaan pengaruh antara usahatani padi organik dan non organik. Informasi-informasi peubah-peubah fungsi produksi di kedua jenis beras ini penting untuk memahami karakteristik beras organik dari aspek budidaya sehingga dapat diketahui kebijakan yang tepat dalam pengembangannya. Jumlah pupuk padat pada kelompok petani non organik tidak menunjukkan pengaruh nyata tetapi pada kelompok petani organik pengaruh pupuk padat ini nyata pada taraf kepercayaan 90 persen. Pada kelompok petani non organik, jumlah pupuk tidak berpengaruh nyata pada produksi diduga karena jumlah pemakaian pupuk anorganik di lokasi tersebut rata-rata sudah melebihi batas kebutuhan. Rekomendasi dinas, pemakaian pupuk anorganik di lokasi kajian hanya berkisar 300 kghektar, namun rata-rata penggunaan petani untuk pupuk urea saja telah mencapai 295 kghektar. Hasil estimasi produksi terkait pengaruh pemupukan terhadap produksi padi organik tersebut ini menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk merupakan variabel penting dalam peningkatan produksi padi organik sehingga kebijakan- kebijakan pemerintah untuk mendukung ketersediaan pupuk organik di lapangan sangat dibutuhkan. Selain penyediaan skim-skim perkreditan ternak, penyuluhan tentang teknologi pembuatan pupuk organik melalui pelatihan-pelatihan, demplot, penyuluhan, dan kegiatan lain, diduga akan berpengaruh nyata pada peningkatan produksi padi organik. Perbedaan pengaruh input produksi antara petani organik dan non organik dapat dilihat dari besaran nilai elastisitas variabel-variabel yang mempengaruhi produksi padi. Misalnya variabel pestisida, elastisitas pestisida kelompok padi organik lebih rendah dibanding kelompok padi non organik, artinya perubahan jumlah pestisida padi non organik lebih elastis dalam mempengaruhi produksi padi dibanding pestisida padi organik. Artinya kelompok petani non organik sangat tergantung dengan penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT di lapangan. Implikasi dari kondisi ini adalah petani non organik akan cenderung menambah jumlah dosis pestisida di lahan sawahnya sehingga bila upaya ini tidak dikendalikan maka tingkat serangan OPT pada masa-masa mendatang dimungkinkan akan semakin besar karena timbulnya resistensi hama dan penyakit tanaman. Pemerintah diharapkan dapat berperan aktif mengatasi hal ini, misalnya dengan meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang pengendalian OPT secara hayati, karena bila terjadi ledakan hama tersebut, maka serangan OPT tersebut akan menyerang semua jenis padi, tidak hanya terbatas pada padi non organik.

8.3. Kendala Pengembangan Beras Organik

Pengembangan beras organik sebagai bagian upaya meningkatkan pendapatan petani padi, meskipun diyakini dalam jangka panjang akan menciptakan pertanian yang lebih berkelanjutan ternyata menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks. Permasalahan tersebut tidak hanya berhubungan dengan aspek teknis produksi, seperti teknologi apa yang bisa dilakukan, namun tantangan terbesar dari pengembangan beras organik sebagai beras premium justru aspek sosial ekonomi rumah tangga petani. Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, asset-aset produksi yang dimiliki, tingkat kebutuhan, persepsi yang berkembang di masyarakat, pemasaran, dan kelembagaan petani merupakan permasalahan yang lebih rumit dipecahkan dibanding dengan aspek teknis. Permasalahan semakin rumit karena berbagai aspek tersebut berinteraksi sebab akibat. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan beras premium seperti yang telah diuraikan maka berbagai kendala yang mungkin dihadapi dalam pengembangan beras organik adalah kendala dari aspek budidaya, sosial ekonomi, penanganan pasca panen, pemasaran, dan kelembagaan.

8.3.1. Aspek Budidaya

Peluang budidaya padi organik terbuka luas dengan tersedianya input produksi dari sumberdaya lokal, seperti varietas-varietas padi unggul lokal, limbah peternakan dan tanaman, namun karena beberapa sifat alami dari sumberdaya tersebut maka minat masyarakat mengembangkan padi organik ini belum besar. Beberapa kendala yang tergolong aspek budidaya adalah ketersediaan benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan lokasi budidaya. Ketersediaan benih padi organik bila akan dikembangkan dalam skala luas menjadi kendala karena meskipun varietas lokal unggulan banyak jumlahnya, namun biasanya belum diproduksi secara masal atau jika ada petani belum yakin jaminan mutu dan keaslian dari benih yang dipasarkan tersebut. Petani lebih memilih melakukan seleksi alami dari benih yang telah ada atau membeli dari pihak yang terpercaya di lingkungan sekitar dalam penelitian ini, petani mendapatkan benih dari kelompok. Sumber benih menjadi penting karena akan mempengaruhi pemasaran produksi yang dihasilkan. Ketersediaan pupuk dan pestisida juga menjadi kendala dalam pengembangan padi organik. Sumber bahan baku pupuk utama pupuk organik adalah limbah peternakan dan tumbuhan yang dikomposkan atau difermentasikan sehingga potensi pengeluaran uang tunai rumah tangga petani kecil. Kondisi yang ada menunjukkan belum semua rumah tangga petani mempunyai sumber bahan baku tersebut terutama dari ternak sehingga bahan baku tersebut harus dibeli. Pertanian organik rata-rata membutuhkan pupuk dalam jumlah besar per satuan luas, implikasi dari kondisi tersebut adalah biaya usahatani akan naik karena selain nilai pupuk tersebut lebih tinggi, jumlah biaya untuk mengangkut dan aplikasi di lahan semakin besar. Meskipun berdasarkan hasil penelitian ini, kenaikan biaya tersebut dapat ditutup dengan perbedaan harga gabah yang dihasilkan, namun hal ini cukup menjadi kendala bagi petani karena umumnya mempunya cadangan modal terbatas dan jumlah tenaga kerja yang tertarik ke pertanian semakin terbatas. Hambatan lain terkait budidaya adalah, beberapa sarana produksi padi organik harus dibuat sendiri oleh petani dan karena beberapa penyebab tidak semua petani bisa dan mau mengerjakan. Misalnya untuk mengumpulkan kotoran ternak untuk pupuk dan membuat pestisida dari proses fermentasi berbagai bahan. Bahan baku tersedia, namun tidak semua petani mau dan tekun membuat pupuk dan pestisida tersebut, sehingga berkembang persepsi padi organik tersebut merepotkan dan kurang praktis. Persoalan lain terkait aspek budidaya adalah lahan padi organik masih menyatu dengan lahan-lahan non organik dan berada dalam satu jaringan irigasi yang terpadu, sehingga pencemaran kimia melalui air dan udara masih besar. Akibat kondisi tersebut, jaminan keaslian dari beras organik yang dihasilkan relatif sulit, sehingga mengurangi posisi tawar petani. Upaya mencari sumber air baru dan membuat tata saluran air tersendiri memang bisa dilakukan namun upaya tersebut sangat mahal. Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya organik pada daerah yang masih minim pencemaran lingkungannya juga merupakan kendala karena akses transportasi.

8.3.2 Aspek Sosial Ekonomi

Aspek sosial ekonomi yang menjadi penghambat pengembangan beras premium adalah kecukupan modal usahatani, tidak memiliki aset produktif pendukung pertanian organik terutama ternak, serta berkembang persepsi yang tidak mendukung pertanian padi organik. Berbagai data statistik menunjukkan bahwa sebagian besar petani kita adalah masyarakat berpendapatan rendah sehingga tingkat kecukupan modal usahatani terbatas. Pada tahap awal pengembangan pertanian organik akan membutuhkan biaya produksi yang tinggi karena pada tahap awal ini merupakan tahap perbaikan unsur hara lahan, namun biaya tersebut akan cenderung turun seiring dengan perbaikan kualitas lahan. Penyadaran pemahaman ini di kalangan petani tidak mudah, apalagi bila petani tidak mempunyai aset produktif yang mendukung pertanian organik terutama ternak. Selama ini dengan berkembangnya revolusi hijau, petani terbiasa