Produktivitas Padi Organik Padi atau Beras Organik sebagai Beras Kualitas Premium

2.4.3. Potensi dan Peluang Pasar Padi Organik

Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi tren baru masyarakat dunia. Masyarakat dunia semakin menyadari bahwa penggunaan bahan kimia anorganik seperti: pupuk anorganik, pestisida anorganik, dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Akibatnya, masyarakat semakin selektif dalam memilih pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan teknologi pertanian organik Deptan, 2005. Pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0.5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian. Meskipun di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata di bawah 1 persen dari total lahan pertanian pada tahun 1987, menjadi 2-7 persen di tahun 1997, namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan Jolly, 2000 dalam Agus et al., 2006. Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Internasional Federation Organik Agriculture Movement IFOAM, Indonesia baru memanfaatkan 40 000 hektar 0.09 persen lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik di dunia. Berdasarkan luas penggunaan lahan, Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan pertanian organik setelah China dan India Siahaan, 2009. Padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang prospektif untuk dikembangkan secara organik karena permintaan beras organik baik dalam negeri maupun luar negeri terus meningkat. Dewasa ini pertanian padi organik telah menjadi kebijakan pertanian unggulan di beberapa kabupaten seperti: Sragen, Klaten, Magelang, Sleman, dan Bogor. Kebijakan ini didasarkan oleh 1 padi organik hanya memakai pupuk dan pestisida organik sehingga mampu melestarikan lingkungan hidup, 2 beras organik lebih sehat karena tidak menggunakan pupuk dan pestisida anorganik sehingga aman dan sehat untuk dikonsumsi, dan 3 segmen pasar beras organik umumnya merupakan masyarakat kelas menengah ke atas sehingga harga jualnya lebih mahal daripada beras anorganik 2.4.4. Potensi Pengembangan Padi Organik Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Pengembangan padi organik juga berpotensi meningkatkan pendapatan petani terutama karena: 1 penerapan padi organik memungkinkan petani menghemat biaya operasional karena petani mampu mencukupi dan mengolahnya sendiri sarana produksi pertanian yang digunakan, dan 2 karena sifat premium padi organik, harga padi atau beras yang dihasilkan lebih mahal sehingga pendapatan yang diterima petani lebih besar. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marhamah 2007 di Situgede, Kota Bogor dapat diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh petani anorganik untuk membeli pupuk anorganik mencapai Rp 905 170 per musim per hektar. Sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh petani organik untuk membeli pupuk organik lebih murah, yaitu Rp 672 583 per musim per hektar sehingga terdapat selisih biaya sebesar Rp 232 587. Menurut Mutakin 2010 keuntungan usahatani konvensional pada kasus Kabupaten Garut adalah Rp 5 175 000 per hektar, sedangkan dengan menggunakan budidaya organik metode SRI mencapai Rp 14 145 000 per hektar. Hasil penelitian Junaidi 2008 di Desa Sumber Ngepoh Kecamatan Lawang Kabupaten Malang menunjukkan penerimaan usahatani padi organik sebesar Rp 17 930 629.63 per hektar. Dari hasil penelitian di Desa Sumber Ngepoh diketahui bahwa RC rasio = 3.70, karena RC rasio lebih dari 1 satu maka usahatani padi organik efisien untuk diusahakan. Pendapatan usahatani padi organik sebesar Rp 12 991 787.04 per hektar. Alasan petani tetap berusahatani padi organik adalah biaya usaha yang relatif kecil sedangkan pendapatannya cukup besar. Penelitian Hapsari 2006 di Kabupaten Ngawi menunjukkan pada pengujian biaya sarana produksi menunjukkan bahwa biaya sarana produksi rata- rata pada pertanian padi organik sebesar Rp 1 540 568 per hektar, sedangkan pada pertanian padi konvensional sebesar Rp 2 108 854.43 per hektar dan secara statistik tidak berbeda nyata. Pendapatan rata-rata pada pertanian organik sebesar Rp 5 496 178 per hektar, sedangkan pendapatan rata-rata pada pertanian konvensional sebesar Rp 3 669 938 per hektar, hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata pertanian padi organik besar dari pada pertanian konvensional. Beberapa hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wijayanti 2005 di Kabupaten Sleman yang menunjukkan bahwa usahatani padi organik memberikan manfaat ekonomi sebesar 235 persen, berupa peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan kesehatan masyarakat pada umumnya.

2.4.5. Kendala Pengembangan

Berdasarkan perkembangan pertanian organik pada periode 2001-2007, tahapan pengembangan yang telah direncanakan tidak sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan timbulnya permasalahan dalam budidaya, sarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan regulasi Deptan, 2007b. Menurut Suwantoro 2008, pengembangan pertanian organik yang selama ini masih sulit dilakukan karena berbagai kendala sebagai berikut: 1 pertanian organik dipandang sebagai sistem pertanian yang merepotkan, 2 keterampilan petani masih kurang, 3 persepsi yang berbeda mengenai hasil, 4 petani mengalami saat kritis karena biasanya terjadia penurunan pada masa awal dimulainya budidaya organik, 5 lahan pertanian organik belum terlindungi, 6 pembangunan pertanian belum terintegrasi dengan pembangunan peternakan, 7 kegagalan menjaga kepercayaan pasar, dan 8 dukungan pemerintah masih kurang. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang menurut Mawarni 2008, diidentifikasi adanya hal-hal sebagai berikut : 1 kesulitan dalam pemasaran dan mendapatkan sertifikasi, 2 kurang mampu memelihara kepercayaan pasar, misalnya beras organik dicampur dengan beras anorganik untuk mengejar keuntungan yang tinggi, 3 belum mampu menjaga ketersediaan produk pertanian organik sesuai dengan permintaan pasar, 4 banyak petani sistem konvensional masih meragukan keberhasilan dari pertanian organik, 5 kurangnya pengalaman dalam mengusahakan pertanian organik, dan 6 turunnya minat generasi muda untuk menekuni bidang pertanian.